Monday, June 1, 2015

RAN FLEURISTE (Episode 3)


Beberapa nenek yang mondar-mandir diatas jajaran batu yang tersusun rapi mulai meninggalkan  Vondelpark. Seorang kakek yang duduk menunggu bus, tersenyum. Bus yang sudah lama ditunggu akhirnya datang. Bus dengan jurusan Groningen itu dipenuhi dengan puluhan lansia. Kakek itu pelan-pelan naik keatas bus, dibantu oleh seorang kondektur bus. Mungkin bus itu khusus untuk mengangkut para lansia yang akan pergi ke Residentie Buitenzorg, sebuah institusi pelayanan kesehatan yang diakui oleh pemerintah Belanda. Melayani kelompok lansia yang memiliki kesamaan latar belakang dan hubungan dengan Indonesia. Selain di Groningen, Residente Buitenzorg juga ada di provinsi Friesland, Drenthe dan wilayah Twente. Aku melambaikan tangan ke arah para lansia yang ada di dalam bus ketika bus mulai meninggalkan Vondelpark. Mereka membalas lambaianku. Tersenyum ompong, tanpa ada gigi yang tersisa.

Aku mulai membuka tokoku, setelah bunga-bunga yang tersapu angin menjadi lebih rapi dan kaca tokoku bersih dari remah-remah embun yang menyelimuti karena hujan malam tadi. Sean juga mulai membuka tokonya. Berbeda denganku, tokonya masih terlihat berantakkan dengan interior ruangan yang tak jelas posisi peletakkannya. Kakek Winskel membuka kedai tehnya sembari meletakkan papan menu di depan kedai miliknya. Sebuah papan tulis kapur berwarna hitam yang disangga pada penyangga kayu, menyajikan menu dan harga teh yang beraneka macam.

Tak banyak orang yang berlalu lalang. Truk itu juga belum datang, aku berdiri di belakang meja kasir berwarna putih yang dihiasi ornamen bunga-bunga yang berwarna di bagian bawah meja. Di belakangku berdiri ada papan nama besar bertuliskan “Ran Fleuriste”. Tiba-tiba seorang anak lelaki dengan celana pendek hitam berhenti berlari, lalu berjongkok tepat di depan pintu Ran Fleuriste. Dia bersembunyi, anak lelaki lain mencarinya dengan raut muka yang bingung. Anak itu berhasil tidak ketahuan, setelah anak lelaki lainnya melewati Ran Fleuriste. Anak dengan celana pendek hitam itu lalu berlari melawan arah anak yang mencarinya, beberapa detik kemudian dia dikejar, tepat ketika truk penghantar keperluan tokoku datang. Aku bergegas keluar, membuka pintu Ran Fleuriste. Lonceng kecil di atas pintu berbunyi. Lelaki gendut yang menjadi sopir truk itu turun dari truk dengan membawa catatan dan pena kecil yang terselip di saku bajunya.

“Goedemorgen Ranum”. Katanya.

“Pagi juga Uncle” aku menyalaminya sembari tersenyum.
 “Kamu sehat, Ranum?”

“Sangat sehat”

“Maaf saya terlambat”

“Hanya terlambat 10 menit, nggak jadi masalah, Uncle.”

“Terimakasih Ranum, sesuai pemesanan: vas bunga, bibit bunga tulip, anyelir, mawar dan satu paket buket sudah siap” Uncle membuka pintu belakang truk yang dikendarainya. Lalu naik untuk mengambil barang pesananku. Aku membawanya masuk ke Ran Fleuriste, meletakkanya di semping meja kasir.

“Jadi, semuanya berapa Uncle?” tanyaku. Uncle mengambil kalkulator yang ada di dashboard truk. Sibuk menghitung harga yang harus aku bayar.

“12 Euro. Tapi karena saya terlambat. Untuk Ranum jadi 10 Euro saja” Uncle memperlihatkan kalkulatornya padaku.

Aku merogoh saku celemek yang aku pakai, memberikan Uncle, 11 Euro, 1 Euro untuk tip. Uncle mengucapkan terimakasih lalu berpamitan pergi. Aku masuk ke Ran Fleuriste setelah Uncle melambaikan tangan untukku. Membawa bibit tanaman ke kebun di belakang Ran Fleuriste. Meletakkan buket bunga pada lemari khusus penyimpanan buket bunga, dan meletakkan vas bunga di bawah meja kasir.

Sembilan lima belas, Rambutku hanya kuikat dengan karet yang biasa dipakai untuk mebungkus bunga dalam satu buket. Bibirku kering, aku lupa untuk sarapan. Setelah aku menanam beberapa bibit di kebun, aku lantas pergi menuju Scarlet Thee, kedai teh milik kakek Winskel. Tak ada yang berubah di Scarlet Thee, semuanya masih serba kayu. Meja, kursi, lantai hingga pintu kayu yang jika dibuka akan berdecit, mengganggu telinga seperti pintu kayu zaman para cowboy masih berjaya. Aku langsung memesan teh, pelayan di kedai ini sangat ramah meskipun sudah sangat akrab denganku. Aku memesan satu Hot Thee yang menjadi menu andalan di Scarlet Thee. Pelayan itu tersenyum, tebakkanya benar kalau aku akan memesan teh yang sudah biasa aku pesan, dan jadi kesukaanku. Pagi itu hanya ada satu perempuan tua yang duduk di sudut kedai teh milik kakek Winskel. Dekat dengan foto istri kakek Winskel. Aneh, keduanya punya ekspresi yang serupa. Gelisah seperti orang yang kebelet pipis. Dinding di Scarlet Thee memang dipenuhi foto hitam putih, foto istri Kakek Winskel dengan berbagai ekspresi. Perempuan tua itu seperti dibekukan oleh waktu, hanya bisa diam memegang gelas berisikan teh dengan kedua tangannya.

“Ini tehnya” sahut Si pelayan.

“Terimakasih, ini uangnya” lalu aku meninggalkan meja kasir sambil melihat perempuan tua itu. Perempuan tua itu seperti duduk di kursi panas, Duduknya makin tak jelas. Seperti menunggu seseorang yang sudah lama dinanti.

Setelah keluar dari Scarlet Thee aku menuju ke Queen Of Sean lewat pintu belakang yang menjadi satu dengan kebun di belakang Ran Fleuriste. Aku sengaja tidak masuk, aku memanggil satu pekerja yang bekerja di Queen Of Sean untuk membawakanku satu roti. Diberikannya satu roti lonjong dengan bubuk gula putih diatasnya padaku, aku mengucapkan terimakasih,  pekerja itu membalas ucapanku lalu tersenyum. Aku tidak membayar, Sean melarangku untuk membeli kue-kue yang ada ditokonya. Kalaupun aku memaksa untuk membayar dia akan sangat marah. “Kue dan Roti ditokoku bebas untuk kamu makan, Ranum. Gratis selama kamu hidup” kata Sean.

Aku sudah biasa sarapan dibawah meja kasir agar tak terlihat orang-orang. Belum selesai aku menghabiskan sarapanku, Tiba-tiba pintu toko terbuka, lonceng pintu berbunyi. Aku menoleh, hatiku berdebar dalam rongga dada yang sempit.


(Bersambung)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar