Thursday, June 11, 2015

RAN FLEURISTE (Episode 8)


Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya, tapi dia sudah berani mengajakku pergi atau mungkin berkencan. Aku merasa seperti berada di stasiun yang penuh sesak. Penumpang yang naik—turun dari kereta dan aku tidak tahu jelas sedang apa aku di stasiun itu, aku bingung. Aku seperti digoda oleh lelaki cabul yang memesan wanita malam setelah capek sepulang kerja. Meninggalkan istrinya untuk bermain-main bersama wanita malam. Seperti kuda yang digiring masuk ke kandang. Dia mengajakku dengan cara yang tidak biasa. Belum pernah aku melihat seorang pria yang mengajak wanita yang disukainya dengan cara ini. Biasanya hanya diajak ngobrol dengan sedikit canggung karena takut ajakannya ditolak ataupun mengajak melalui pesan singkat. Dia cerdik, mau tidak mau aku harus mengabarinya lagi lewat pesan singkat. Untuk mengabari bersedia atau tidak aku dengan ajakannya untuk bertemu.

Aku Bingung masih mematung di meja kasir sejak pria itu memberikanku secarik kertas yang bertuliskan “Set a meet, Ranum?”, Aku belum pernah mengalami situasi seperti ini, aku bingung. aku harus meminta saran dari Sean, orang yang bisa memberikanku jalan keluar atas rasa bingung yang menderaku. Meskipun Sean hanya membuat pipiku merah merona setiap membicarakan seorang pria. Tapi, dia adalah satu-satunya orang yang mengerti aku luar—dalam. Yang aku pikirkan hanya satu: aku takut Rain Galvin seperti pria brengsek yang membuatku antipati terhadap pria bertahun-tahun, pria yang membuatku membenci Italia dan Tropea Beach. Apalagi Rain Galvin berasal dari keluarga terpandang di Amsterdam, ada sekitar 70 cabang Rain Coffee di seluruh Belanda. Itu yang membuat ketakutanku hilang. Kiranya tidak mungkin seorang Rain Galvin berperilaku brengsek seperti pria dari Tropea Beach itu. Aku akan meminta saran Sean malam nanti. Setelah toko tutup, waktu dimana kami bisa menghabiskannya bersama.

“Sean, lihat ini” aku melihatkan secarik kertas yang diberikan Rain Galvin pada Sean.

“Set a meet, Ranum?..... Dia mengajakmu kencan?..... Wow, sudah bertahun-tahun sejak pria brengsek itu, nggak ada yang mengajakmu kencan… Terus kamu mau apa?”.

“Nah itu, aku bingung. Tiba-tiba dia kasih kertas itu ke aku, mungkin kamu ada saran?”.

“Yaelah, kamu minta saran ke aku? Kalau aku pasti iya—iya aja. Asal kamu bahagia aku bakal ikut bahagia. Udah jalanin dulu aja, toh kamu juga belum tahu, dia itu orangnya kaya gimana. Mungkin dia suka sama kamu?”.

“Ah, nggak mungkin lah, Sean”.

“Loh, kenapa nggak mungkin?”.

“Terlalu cepat, Sean”.

“Kamu lupa? Berapa lama pria dari Tropea Beach itu dekat sama kamu terus baru kalian memutuskan untuk saling berhubungan?.... Dua tahun Ranum!! Terus apa yang kamu rasain? Kamu justru lihat dia cabul sama perempuan lain kan? Cinta nggak memandang waktu, Ranum. Juga nggak memandang tempat apalagi keadaan. Cinta bisa datang kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun”.

“Terus? Aku harus apa, Sean?”.

“Ih kamu ya, bener-bener deh, kamu nggak boleh bingung sama yang namanya cinta. Sekali lewat kamu nggak bisa ngejar apa lagi berharap cinta bisa kembali lagi... Hubungi dia, bilang kalau kamu mau”.

“Ah nggak mau, Masa harus aku duluan yang  bilang”.

“Aduh, Ranum. Terus apa masalahnya kalau kamu duluan yang bilang?”.

“Aku kan perempuan, sudah seharusnya aku yang nunggu dia bilang duluan”.

“Mau siapa duluan yang bilang, nggak ada pengaruhnya, Ranum. Pada akhirnya kalian juga bakal saling berhubungan. Ibarat domino kalau belum ada satu domino yang jatuh duluan, domino yang lain juga nggak akan jatuh berurutan. Cinta itu bukan untuk orang yang bodoh menunggu tanpa pikir dua kali. Cinta itu berpihak sama orang yang berani memulai”.

“Jodoh pasti bertemu, Sean. Aku percaya itu”.

“Iya benar, terus kamu mau pasrah gitu? Menunggu tuhan menggerakkan takdirmu? Kamu kalau nggak berusaha mana mungkin tuhan kasih apa yang kamu mau” Sean meninggalkanku sebelum aku menjawab pertanyaanya.

Sean langsung pulang tanpa pamit. Malam ini aku duduk sendirian di kebun Ran Fleuriste, tidak ada Sean yang biasanya menemani, tidak ada teh dan roti yang biasanya menemani aku dan Sean. Tidak ada bintang, seperti pertanda bahwa alam tidak memihakku. Aku masih trauma dengan kejadian di Tropea Beach. Hanya itu. Beberpa menit aku terdiam. Tiba-tiba Sean datang lagi.

“Kalau kamu trauma sama masa lalu kamu, Jangan harap ada cinta yang berpihak sama kamu”. Lalu Sean pergi tanpa berpamitan lagi.

Aku terdiam, merasakan ada pergulatan batin dan perang antara ego dan hati di dalam diri. Seperti ada yang menggerakkan tanganku untuk mengambil handphone yang ada di saku celana. Aku merasakan ada yang memaksa jari-jariku untuk mengirimkan pesan. Pesan yang ditujukan untuk Rain Galvin. Aku melihat badan pesan masih kosong. Ibu jariku tepat berada di depan layar handphone.

“Kapan kamu akan mengajakku pergi?”. Diluar batas sadarku aku sudah mengirimkan pesan untuk Rain Galvin.

“Sabtu aku akan mengajakmu ke Keukenhof, aku akan menjemputmu di Ran Fleuriste sesuai jam buka tokomu”

Rain Galvin memang bukan pria yang suka basa-basi. Hanya sekali dia membalas pesanku, semuanya tersampaikan dengan baik. Selalu ada rasa penasaran yang datang darinya. Rasa penasaran yang menggantung di otakku, seperti jeruk yang siap dipetik.

“oke. Ik zal voor u klarr” Aku akan menunggumu. Membuktikan perkataan Sean tentangmu, tentang cinta.
 

(Bersmabung)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar