Wednesday, December 7, 2022

Mimpi Buruk


 ada mimpi buruk yang kembali

bertubi-tubi merusak ekor mataku

sebuah rahasia gelap mengejar telingaku

bagai badai berisik menangis di ujung jemari


kau pada tiang dingin dengan hujan,

rambut pendek kau gunting sekali lagi

lalu aku kembali pada lekuk tubuhmu

tubuh yang luruh di segala subuh


temani aku menamai kucing-kucing kecil

yang kau temukan di pasar pagi itu

atau anjing-anjing liar kelaparan yang

mendekat ke kaki-kakimu


sudah tak ada lagi pesan, hanya ada sungkan

meluruskan enggan di kotak masuk

yang berdebu, berderit sunyi

sungguh aku rindu ceritamu.


Tapi bisakah kau tetap mendengarkan aku?

saat jarum pipih menusuk inti jantungku

kau hanya peduli pada isi kepalamu

kau muntahkan, kau lupakan


kau luput dalam satu hal

aku hidup dalam dua mimpi buruk;

mimpi dalam tidurku

dan mimpi burukmu

.


Semarang, 7 Desember 2022

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, October 11, 2022

Tuhan Ibu.


 

Gerimis membaca habis pikiranku

malam penuh sesak oleh klakson

kupandang deretan lampu kuning

dan para perokok di dalam mobil.

 

Ada ingatan jauh di kepalanya

tentang pulang dan rumah

tentang ibu dan bapak

tentang tanaman yang belum disiram.

 

Ada cerita yang hilang

sebelum sempat sampai tujuan

mengapa kau usik aku

dengan pertanyaan asing di kepala.

 

Tuhan sedang apa?

apakah ia libur hari ini?

menemui kekasihnya?

atau merebahkan tubuh?

 

Seorang pengembara baru lahir di tubuhku,

tidak ada kamus yang ia tahu

ia menemukan jalan lurus

saat aku menaruh kata di telingamu.

 

Kupandang lampu kota di matamu,

hutan rimba di alismu,

lautan basah di bibirmu,

dan kasih ibu di tanganmu.

 

Temani aku menemukan pertanyaan baru,

apakah perjalanan ini akan sia-sia?

atau berakhir di tempat tidurmu,

tempat segala kecamuk di kepalaku

luruh di balik bantal dan pundakmu.

 

 

 

Semarang, 12 Oktober 2022

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Bahasa Ibu.



Aku lahir dari bahasa ibuku,

saat ia sibuk di dapur

menyiapkan makan malam

dan meja yang panjang.

 

Garam, merica, dan selada

beradu dalam kaldu sapi

yang aromanya menguar

keluar rumah.

 

Tak ada yang beda;

masakan ibu atau kado terakhirmu,

novel Sapardi yang kau pilih acak

dari toko online langgananmu.

 

Aku mencium wangi tubuhmu

saat kubuka tiap halamannya

membacanya habis,

dan membayangkan matamu.

 

Tiap kali kupandang

seolah-olah ada bahasa baru yang lahir,

bahasa yang ganjil dan rumit

tapi begitu melegakan.

 

Masih kusimpan kadomu,

juga kertas kado yang membungkusnya,

atau kartu ucapan kecil

dari tulisan tanganmu.

 

Kutemukan bahasa baru,

setelah bahasa ibuku

bahasa yang membuatku

menemukan kata-kata baru.

 

 

 

Semarang, 12 Oktober 2022

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Pembalut Ibu.


Aku dibutakan oleh

masa kecil yang asing

dihina tak lulus mengaji

tak akan jadi apa-apa

 

ayat-ayat suci terbakar

bagai rokok dji sam soe

pada asbak warna tosca

milik bapakku

 

ibu sedang makan lele

sambil memandang lemari kosong

bapak melukis biduan

dengan kerokan merah gosong

 

kubaca kitab-kitab injil

mengais kekalahan lama

yang kini kekal

membuatku hilang akal

 

tuhan yesus, sembuhkan aku

dari prasangka buruk soal waktu

tentang mengapa jejak-jejak buruk

basahnya bagai darah di pembalut ibu

 

 

 

Semarang, 12 Oktober 2022


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, August 31, 2022

Adakah yang Mencintaimu Hari Ini?


 

Dulu, kupikir mencintai gak akan serumit dan sesusah ini. Ada hal-hal buruk yang selalu harus dapat ditoleransi, karena kalo enggak barangkali seseorang atau sesuatu yang kita cinta, bisa menguap dan hilang. Lantas memangnya siapa yang bisa mengendalikan nasib? Apalagi nasib-nasib buruk yang hadirnya seringkali justru saat kita dalam situasi yang stabil. Aman. Nyaman.

Gak semua orang layak dapat kesempatan kedua, tapi bukan berarti mereka gak bisa dimaafkan. Ini adalah cerita tentang gimana seharusnya kita bersikap pada nasib buruk, pada situasi yang gak kita duga, dan pada perasaan yang bikin kita bisa disebut sebagai manusia; tidak stabil, penuh goncangan emosi, lelah pikir, lelah fisik. Iya, manusia. Kita semua sedang belajar dan menuju bentuk evolusi terbaik kita. Entah sampai kapan, entah seperti apa.

Gak ada orang yang akan sepenuhnya mengerti bagaimana kamu menghadapi trauma, mensiasati respon terhadap trauma, atau bagaimana caramu keluar dari perasaan buruk tentang kenangan traumanya. Bahkan mungkin diri kita sendiri. Trauma datang karena kita cenderung gak siap, dan gak terbekali cara merseponnya, seringkali karena situasi yang kita hadapi saat itu gak sepenuhnya bisa kita mengerti.

Ya tapi kita manusia, kita akan bisa survive, dan belajar dari itu. Sekalilagi, gak akan ada yang sepenuhnya bisa mengerti. So, biarin aja. Shit happens, kita gak bisa apa-apalagi selain berusaha berkomunikasi dengan jujur dan apa-adanya. Ketika semua yang kamu rasakan dan pikirkan sudah diutarakan, itu cukup. Gak perlu fokus pada respon orang, karena itu gak lebih penting dari apa yang selama ini kita pendam, yang akhirnya bisa kita muntahkan semuanya.

Apa yang lebih penting dari diri kita sendiri? Barangkali hanya satu, hubungan kita pada manusia lain. Real human interaction. Still, kita masih manusia, we need each other. Untuk apapun alasannya, hidup sendiri adalah momok yang menakutkan, kesepian adalah musuh terbesar di dunia yang sekarang serba ramai dan kasak-kusuk. Kesepian menjelma dalam berbagai bentuk, bahkan pada keramaian sekalipun. Umumnya itu muncul karena trauma di masa lalu, lalu muncul trust issues, yang kita pikir kita bisa handle diri kita sendiri. Kita selalu berpikir; aku cukup. Padahal? Gak sepenuhnya tepat.

We need a healthy ecosystem, alam semesta punya mekanisme ekosistemnya sendiri, bahkan pada bencana alam sekalipun adalah bentuk mekanisme ekosistem mereka. Tubuh kita punya ekosistem, yang bergerak sesuai aturan-aturan, yang perlu kita lakukan adalah merespon reaksi ekosistem itu dengan baik, harus ideal, supaya ekosistem yang sudah ada, atau yang sedang rusak dan gak baik-baik aja, gak melebar ke mana-mana, gak seperti tumor. Kita bisa menghentikannya sebelum itu jadi lebih parah. Balik lagi, manusia belum selesai berevolusi, kita lebih sering dikendalikan oleh pikiran dan perasaan sendiri, bukan sebaliknya. Sehingga merusak ekosistem. Ini termasuk pada ekosistem universal relationship, atau romantic relationship.

Sometimes we need space, oke, tapi mau sampai kapan? Tiap manusia butuh penjelasan, karena gak adil, ketika ekosistem yang sudah terbentuk dengan baik, harus hancur karena situasi gak terduga, dan kita tinggalkan tanpa penjelasan. Kunci dari ini semua adalah komunikasi dua arah yang jujur dan apa-adanya. Kita cenderung tidak pernah sengaja menyakiti orang, dan menjadi jujur akan memudahkan penyelesaian masalah itu. Apakah kita bisa legowo bahwa itu sudah terjadi, dan kita harus seperti apa setelahnya?

Menjaga ekosistem adalah tentang mencintai apa yang kita punya, apa yang bisa kita jangkau, ekosistem tubuh yang bisa kita kelola dan hanya kita yang bisa, ekosistem pertemanan yang harus dijaga oleh dua orang atau lebih, keluarga, romantic relationship. Apa yang perlu kita lakukan untuk tetap membuat mereka merasa dicintai, merasa bahwa kita ada? Ekosistem adalah hubungan timbal balik, kita adalah komponen biotik, komponen abiotik adalah sesuatu yang hidup di antara kita. Dan keduanya harus timbal balik, terikat. Kalau salah satunya gak berjalan seperti sebelumnya, cinta mungkin gak akan lebih dari cukup untuk memulihkan semuanya.

Lalu pertanyaan besarnya adalah; “Adakah yang mencintaimu hari ini?” atau bahkan adakah ekosistem itu? Pikirin lagi. Barangkali kita tidak merasa dicintai karena kita gak punya ekosistemnya. Kita hidup namun tidak terikat satu sama lain. Kalau kamu punya ekosistemnya, tugasmu adalah menjaganya seumur hidupmu, jangan biarkan situasi buruk merusaknya, jangan biarkan nasib buruk menggantinya. Selama masih bisa control, lakukan dengan baik. Mampu mencintai adalah konsekuensi dari terbentuknya ekosistem dan itu adalah pekerjaan seumur hidup, tentu tetap ada risikonya.

Tapi selama kita punya mekanisme untuk belajar dari situasi serba bapuk dan nasib buruk, kupikir gak akan ada yang bisa meruntuhkan ekosistem yang sudah dibentuk. Karena gak ada yang lebih besar dan lebih penting dari menjaga ekosistem itu tetap berjalan baik. Seharusnya kita bisa melewati semua yang buruk dengan baik. Karena dengan ekosistem itu selama ini kita bisa jadi lebih hidup. Bahagia. Stabil. Sesekali kita memang bisa saja melakukan kesalahan, tapi umumnya kesalahan itu tidak pernah kita sengaja. Seringnya karena situasi dan nasib yang buruk.

Aku mencintaimu hari ini, karena kamu adalah bagian dari ekosistem yang selama ini aku jaga. Dan aku mencintaimu sepenuhnya, seterusnya, sekalipun kau memilih merusak ekosistemnya. Gak ada yang bisa mengubah kecintaanku pada ekosistem ini. Aku mencintaimu hari ini, hari besok, dan selamanya.



@zahidpaningrome

Semarang, 1 September 2022

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, April 9, 2022

C


“Cleopatra memutuskan mati.”

Baru saja kubaca sebuah koran pagi, halaman depan yang intimidatif itu menampilkan foto Cleopatra setengah telanjang, menggendong seorang bayi perempuan berambut pirang di antara kedua tangannya.

Hampir satu juta tahun lalu, aku mendarat di pekarangan rumahnya. Panen baru saja tiba saat Cleopatra dan Anthony sedang menikmati sore yang dingin, secangkir teh madu, juga libur panjang akhir tahun. Keduanya berpandangan saat melihatku berdiri menatap mereka tidak jauh dari sana. Tentu, mereka tidak mengenaliku. Aku masih menggunakan pakaian astronot yang pengap, warna putih mulai tampak kotor oleh debu-debu.

Kubuka helmku, melemparkan senyum, sedikit canggung Anthony melambaikan tangan ke arahku, meski tampak sekali senyumnya aneh. Aku mendatangi mereka, tertatih dengan berat sepatuku, menghindari beberapa anak anjing yang berisik saat pertama kali kedatanganku. Anjing-anjing itu mulai tenang saat Cleopatra menyuruhnya diam dalam bahasa yang tidak kuketahui.

“Aku tidak berniat mengganggu waktu santai kalian…” belum selesai aku menjelaskan maksud kedatanganku, Anthony yang lebih tampan dariku itu, menawarkan aku secangkir teh, yang pada mulanya kuabaikan, namun karena wangi bunga yang menyerebak masuk hingga menusuk hidung, membuatku terlena, kuminum teh itu, aku juga haus karena perjalanan Panjang yang melelahkan. Aku pusing, dan menaham muntah, perutku mual.

“… ada yang harus kukabarkan padamu,” kutatap Cleopatra yang benar-benar memerhatikan apa yang hendak aku ucapkan. Sore itu ia tidak memakai riasan apapun, dengan baju putih canvas terusan tanpa lengan yang menutupi tubuhnya hingga ke lutut.

“apa yang ingin kau sampaikan?” sekali tarikan napas, tampak tenang dan santai Cleopatra makin dalam menatapku, meski seharusnya ia khawatir karena keberadaanku di pekarangan rumahnya adalah untuk memberitahu sebuah kabar buruk.

“Kau akan mati…” aku sengaja menahan kata-kataku, bermaksud melihat responnya, namun Cleopatra, sekali lagi, tetap terlihat tenang.

“Okay.”

Aku terdiam, melihat Anthony lalu Cleopatra, mataku bergerak seperti setrika, berulang kali. Keduanya hampir tidak merespon, tetap menikmati sore, selonjor, menghadap lahan luas yang hijau.

“Anthony yang membunuhmu.”

Cleopatra menatapku—tajam.

Anthony mentap Cleopatra.

Aku mematung

Keringat muncul di keningku,

Mual makin mengaduk perut.

Tak tertahankan lagi,

Seolah darahku membeku.

Aku tidak lagi mampu melihat sekitar, mataku kabur, mengabu, lalu pelan-pelan gelap, hitam, kelam. Masih bias kudengar Anthony melempar kata-kata rayuan, dan Cleopatra bangkit dari tempatnya. Bisa kudengar suara kakinya yang telanjang beradu pada kerikil-kerikil, yang makin lama masuk ke dalam sungai di samping rumahnya. Anthony masih di tempatnya. Lalu tidak lagi kudengar apa-apa.

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.