Ponsel Ananta berdering. Satu pesan masuk. Ananta menolak
membacanya. Apa yang dialaminya hari ini adalah keinginan dari banyak pria.
Menikmati tubuh seorang wanita tanpa ikatan, tanpa takut ketahuan atau diganggu
manusia lain. Rambut panjang Inneke yang tergurai menyentuh lembut kulitnya,
gairah itu yang tidak dia dapatkan pada Amanda. Persetubuhan itu dihalangi oleh
rambut Amanda yang terkuncir. Rasanya memang agak aneh, bersetubuh tanpa
merasakan rambut yang tergurai, rasanya kurang untuk tidak menjambak
ditengah-tengah permainan, tidak bisa mendengar suara kesakitan yang bercampur
suara kenikmatan duniawi. Ananta masih berbaring telanjang di atas kasur hotel,
melihat Inneke dengan jari-jari yang menyusuri perut sixpacknya. Persetubuhan
diantaranya memang telah usai sejam yang lalu, tapi getaran dan rangsangannya
masih bertahan. Persetubuhan yang lebih lama dari yang bisa diberikan Amanda.
Ponsel Ananta terus berdering, dia meraih ponselnya diatas Nakas—meja kecil
disamping kasur. Sembari merasakan sentuhan lembut Inneke pada kelaminnya,
Ananta membaca dua belas pesan dari Niko, seorang teman masa SMA yang sedang
menyelesaikan Studi S2nya di Jerman. Pesan pertama, kedua, ketiga, keempat dan
kelima mengkonfirmasi kebenaran keberadaan Ananta di Amsterdam. Niko melihat
status check in pada akun path Ananta. Pesan keenam, ketujuh, kedelapan dan
kesembilan, Niko mengajak Ananta untuk berlibur di Jerman. Sekaligus bertemu
setelah sekian lama tak berjumpa. Pesan kesepuluh, sebelas dan terakhir memohon
pada Ananta untuk meluangkan waktu ke Jerman, menemaninya yang sedang
menghabiskan liburan pasca ujian akhir.
Ananta tersenyum, keluguan Niko masih terasa bahkan hanya melalui pesan
singkat, Ananta membalas pesan Niko saat Inneke mulai melakukan oral pada
kelaminnya. Ada kelegaan dalam dirinya, matanya sempat terpejam singkat saat
bibir Inneke mulai menyentuh, Ananta menarik nafas sebelum mengirim pesan
balasannya pada Niko, lalu melempar ponselnya, mengibas rambut Inneke yang
menutupi wajah cantiknya. Ananta menopang kepalanya pada dua tangan yang
terlipat ke belakang. Merasakan kenikmatan yang mungkin tak bisa dia rasakan
lagi setelah ini. Waktu benar-benar berpihak padanya. Waktu benar-benar
memberikannya keuntungan. Waktu tidak pernah berbohong, waktu menghargai
siapapun yang menghargainya.
Ananta mengecek jam pada ponselnya, sudah lewat tengah malam. Dia membuka
jadwal penerbangan ke Jerman. Mencari beberapa pesawat yang berangkat
lebih awal. Satu maskapai penerbangan asal Belanda akan terbang ke Jerman dalam
enam jam. Ananta langsung membooking satu tiket, membayarnya lalu meletakkan
ponsel diatas Nakas. Ada waktu lima jam untuk tidur. Ananta menarik Inneke,
menyudahi permainan malam itu, menarik selimut, tidur dengan lengan menopang
kepala Inneke dan dada yang merasakan lembut tangan Inneke. Sesekali tangan
Inneke menyeruak masuk dibalik selimut, menyentuh rambut kemaluan Ananta.
Seperti seorang Ibu yang menampar tangan anaknya, Ananta melakukannya pada
Inneke. Mereka tersenyum, lalu bersama-sama menutup mata.
Tepat
pukul enam, alarm ponsel Ananta berdering, Inneke mematikannya pada dering
pertama. Enam lebih sepuluh, dering kedua alarm terdengar , Inneke mematikannya
sekali lagi. Ananta masih tidur nyenyak. Enam lebih duapuluh menit dering
ketiga alarm membangunkan Ananta. Pesawat KLM 1791 menuju Munchen berangkat
pukul 07.15. Kurang dari satu jam untuk Ananta bersiap-siap. Ananta bangkit
mematikan Alarm, lalu mandi, meninggalkan Inneke yang masih berbaring. Setengah
sadar, Inneke meraih ponsel Ananta, mengambil foto dirinya dalam keadaan
setengah telanjang dengan dada yang membusung—menggoda, lalu menjadikannya
sebagai wallpaper. Inneke mengumpulkan tenaga untuk bangkit, persetubuhannya
semalam benar-benar menguras energinya. Setelah merasa kuat, Inneke bangkit,
memakai Dress Towel putih yang disediakan Hotel, membuka tirai jendela dan
menguncir rambut.
Tak
memakan waktu lama, Ananta hanya menghabiskan waktu sepuluh menit di dalam
Kamar Mandi, Dia keluar dengan muka sumringah dan segar, memakai Dress Towel
putih, mengelus cepat rambutnya.
“Kamu
mau kemana??”
“Germany,”
Ananta tersenyum, mengambil sisir yang tergeletak diatas Nakas.
“Mau
ngapain??” Inneke memeluk Ananta dari belakang.
“Ketemu
temen,” Ananta menyisir rambut.
“Cewek??”
Inneke menyenderkan kepalanya pada punggung Ananta.
“Cowok…
Temen SMA dulu.”
“Jangan
pergi…” Inneke menarik tali Dress Towel Ananta.
“Pesawatku
sebentar lagi berangkat,” Ananta menahan tangan Inneke.
Ananta
Mengambil setelan jas, lalu memakainya. Inneke duduk di pinggir kasur, menggoda
Ananta untuk bermain sekali lagi. Inneke masih punya waktu tiga jam sebelum
penerbangannya. Ananta diam, sibuk merapikan dasi dan setelan jasnya. Selesai
memakai sepatu, Ananta meraih ponselnya, tersenyum melihat foto Inneke di
wallpapernya. Inneke ikut tersenyum, dalam tatapan penuh goda, Ananta mencium
bibir Inneke, cukup lama, membuat Inneke terpejam—menikmati. Ananta melepas
ciumannya, berpamitan lalu keluar dari kamar 119. Sekali lagi Inneke tersenyum,
menatap pintu yang pelan-pelan tertutup.
Ananta berjalan kaki menuju bandara, sembari mencari kontak Niko untuk
menelponnya.
“Hallo, Nik. Gue otw ke Munchen yaa. Pesawat gue berangkat jam tujuh.”
“Munchen?? Kenapa nggak Berlin aja?? Lebih deket ke Nordhausen.”
“Terlanjur! Pesawat paling pagi ke Munchen sih.”
“Lo perlu gue jemput apa gimana??”
“Jemput gue aja deh di bandara.”
“Tapi lo harus nunggu. Kereta dari tempat gue sekitar lima jam-an.”
“Gampang, cuma nunggu empat jam doang, kan?? Gue bisa!!”
“Asiik... Okedeh.”
“Siip! Thankyou, ya!”
“Oke.”
Ananta menutup teleponnya tepat ketika langkah kakinya menginjak lobby bandara.
Ananta langsung melakukan Boarding setelah check in. Duduk di Nomor kursi yang
tertera. Perjalanan memakan waktu satu setengah jam. Cukup bag Ananta untuk
tidur sejenak.
Gerimis turun di Munchen, setelah mengurus perihal imigrasi, Ananta membeli
kartu perdana lalu sarapan di satu toko franchise terkenal. Ananta sengaja
menghabiskan waktu sekitar satu jam di toko itu. Caranya membunuh waktu.
Setelah satu jam berlalu, Ananta pergi ke gerai kopi memesan satu americano,
duduk di kursi paling luar gerai itu, membeli koran dan mengganti kartu
perdananya. Koran dalam bahasa jerman itu tidak dia baca, koran adalah bentuk
manipulasi pertahanan diri, dengan membeli dan membaca koran Jerman, tidak akan
ada orang yang mengira dirinya traveler atau orang dari luar Jerman. Trik yang
unik.
Beberapa Jam menunggu, gerimis mulai reda. Suasana berubah menjadi sejuk.
Seketika kenangan menarik Ananta ke malam itu. Malam saat Inneke
menyetubuhinya, seperti sepasang suami-istri. Kenangan juga menariknya pada
persetubuhannya bersama Amanda di sofa ruang tamu Amanda. Matanya terpejam,
senyumnya mengambang, bayangan itu tidak akan pernah keluar dari kepalanya.
Ananta
merasa aneh dengan perlakuan Amanda padanya waktu itu. Dia masih tidak mengerti
apa maksud Amanda. Ananta memikirkan dua hal. Pertama, Amanda memberikan itu
karena dia sudah menikah dan meminta Ananta untuk tidak lagi menunggu dan
memikirkannya. Kedua, Amanda ingin memberikan pesan bahwa dia tidak bahagia
bersama suaminya dan meminta Ananta untuk masuk lagi ke dunianya, menghancurkan
hubungannya dengan Marco, lalu hidup bersama. Ananta lebih yakin pada jawaban
pertama. Amanda memang tipe wanita yang berani dan lugas, meski harus
menggunakan tubuhnya untuk mengusir seseorang dari hidupnya. Meskipun akan
menjadi dilema ketika Ananta justru menanggapinya santai dan justru semakin
nyaman mengejar Amanda.
Segalanya
telah berubah, tinggal menunggu waktu bagi Ananta untuk mati dilupakan. Mungkin
Ananta salah, kenyamanan justru merenggut apa yang dia mau dari Amanda. Ananta
sadar, orang-orang seperti dirinya yang terlalu sering terluka justru menjadi
satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan. Ananta terlalu
buru-buru mengusir seseorang yang masuk ke dunianya dan fokus pada apa yang dia
kejar. Sehingga dia tidak sadar, mungkin saat itu tuhan sedang iseng
memberitahu siapa jodoh Ananta yang sebenarnya.
Ananta
yang melamun, tersentak dengan suara dering telepon dari Niko.
“Halo...
Lo dimana. Gue udah sampe nih.”
“Lo
dimana?? Gue di Starbucks,” Ananta menoleh mencari keberadaan Niko.
“Ohitu,
gue lihat, gue lihat,” Niko melambaikan tangan.
“Nik!!”
Ananta menutup teleponnya, ikut melambikan tangan—membalas Niko.
Niko
membawa seorang wanita yang mengikuti di belakangnya. Wanita itu memakai
Capelet Coat dan celana panjang hitam.
“Hallo,
Nan. Apa kabar lo??” Niko berjabat tangan dan memeluk Ananta.
“Baik-Baik.
Lo gimana??” Ananta menatap Niko, sesekali melirik wanita di belakang Niko.
“Yaa,
gini-gini aja, lah.”
Wanita
itu mengingatkan Ananta pada Amanda karena sama-sama memakai sepatu Oxford
warna cokelat kulit yang mengkilap. Rambutnya yang terkuncir membuat aura
kecantikannya keluar secara natural, bibir tipisnya memakai gincu merah yang
tidak terlalu tebal, warna matanya kecokelatan seperti menggunankan contact
lens.
“Eh,
kenalin nih... Geraldine, pacar gue,” Niko merangkul Geraldine
“Ananta,”
Ananta tersenyum, mengenalkan diri.
Getaran
dari tangan Geraldine membuat Ananta menjabat tangannya lumayan lama.
Tatapannya meneduhkan, senyumnya menghangatkan, membuat Ananta terenyuh.
Jantungnya berdebar kencang sesaat setelah Geraldine mengedipkan mata ke
arahnya.
“Orang
Indo juga,” Niko tersenyum.
“Really??
Oh... Hai Geraldine.”
“Hai,
Ananta,” Geraldine tersenyum, melambaikan tangan.
“Panggil
aja, Ge,” Kata Niko.
“Okee..
Kalian satu kampus??” Tanya Ananta.
“Yap,”
Niko mengangguk mantap.
“So,
mau keman kita??” Ananta bertanya pada Niko, matanya melirik Ge yang curi-curi
pandang menatapnya.
Mereka
bertiga pergi ke Kota Bonn, salah satu kota bersejarah bagi Jerman Barat. Kota
ini pernah menjadi Ibu Kota Jerman Barat Sejak 1949-1990. Pada tahun 1990-1999
Kota Bonn pernah menjadi pusat pemerintahan Jerman. Bonn terletak di tepi
Sungai Rhein, Negara bagian Nordrhein-Westfalen. Kota Bonn adalah Kota
kelahiran, Ludwig van Beethoven, musisi yang sangat dikagumi Ge. Di Kota Bonn
juga berdiri Monumen Beethoven untuk mengenang musisi yang melegenda itu. Salah
satu keunikan kota ini adalah banyaknya bilik telepon umum khas eropa yang
berwarna merah dirubah menjadi perpustakaan kecil yang tersebar di penjuru kota.
Sebelum
balik ke Nordhausen mereka bertiga pergi ke Berlin. Mereka lebih banyak
menghabiskan waktu di dalam kereta. Ananta dan Ge terus curi pandang, sesekali
kaki mereka saling bersentuhan, mengelus lembut sembari masih melanjutkan pembicaraan
bersama Niko. Membicarakan pengalaman masa SMA. Di Berlin mereka mengunjungi
Brandenburger Tor yang merupakan bekas gerbang kota dan salah satu simbol
utama Berlin, Mereka juga betkunjung ke Tembok Berlin yang
menjadi fakta sejarah dipisahnya wilayah Berlin Barat dan Berlin Timur dengan
sebuah tembok beton yang didirikan pada 13 Agustus 1961
Tidak banyak tempat yang mereka kunjungi di Berlin, karena
hari mulai malam. Mereka memutuskan untuk pulang sebelum jadwal kereta
terakhir. Ananta menginap di Apartemen Niko yang masih satu gedung dengan
Apartemen Ge. Sebelumnya Niko mengantarkan Ge sampai ke depan pintu
Apartemennya. Mengucapkan selamat malam dalam bahasa Jerman. Sekali lagi, Ge
mengedipkan mata ke arah Ananta. Niko tak mengetahuinya.
Di apartemennya. Niko membuka obrolan sebelum dia tidur.
“Flight, Gue besok jam sembilan pagi.”
“Ha?? Mau kemana lo??” Ananta melepas sepatunya.
“Pulanglah ke Indo... Liburan panjang gini.”
“Nah Si Ge, gimana??” Ananta melepas dasinya.
“Dia nggak ikut, kalo liburan gini dia kerja, ngumpulin duit
buat balik.”
“Oh gitu,” Ananta mengangguk pelan.
“Lo ikut ya. Masih banyak sisa tiket kok terakhir gue lihat.”
“Hmm...” Ananta berpikir sejenak, muncul siluet wajah
Geraldine dalam kepalanya.
“Ayolah,” Niko memohon.
“Ah enggak deh. Gue masih ada urusan lain disini,” Senyum
Ananta menolak ajakan Niko.
“Asikk, pengusaha muda boy!!” Kata Niko dengan nada tinggi,
membuat mereka tertawa bersama, menggetarkan dinding Apartemen.
Paginya, Niko berangkat menuju Bandara seorang diri,
berpamitan pada Ananta yang setengah sadar, masih tertidur. Niko mempersilahkan
Ananta untuk menggunakan Apartemennya selama dia di Jerman. Niko juga
berpamitan pada Ge, memberitahunya bahwa Ananta masih tertidur dan akan
mengurusi hal lain setelahnya. Geraldine tampak senang mendengar hal itu, dia
mengantar Niko ke Bandara. Sebelum Niko masuk pesawat Ge memberikan kecupan
singkat pada bibir dan kening Niko.
Dua jam setelah Niko pergi. Ananta masih tertidur pulas. Raut
muka lelah tampak pada garis matanya. Ge yang baru sampai dari bandara langsung
menuju Apartemen Niko. Meski apartemen Niko terkunci. Ge tetap bisa membukanya.
Niko memang memberikan satu kunci apartemennya pada Ge. Setelah masuk dan
mengunci pintu, Ge melihat Ananta yang masih tertidur, Ge bisa melihat wajah
Ananta yang lesu dan tampak lelah dari pintu apartemen. Ge mengendap-endap,
berjalan pelan, menghindari timbulnya suara yang bisa membangunkan Ananta. Ge
menyelinap masuk selimut, berbaring tepat di samping Ananta, tubuhnya miring
menghadap Ananta. Senyum mengembang di bibirnya. Beberapa menit Ge masih
memandangi muka Ananta, kedua tangannya berada diatas bantal menopang kepalanya.
Mata Ge terpejam, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Ananta,
sampai Ge bisa merasakan nafas Ananta yang menyentuh Fitrum—lekukkan pada
bagian bawah hidung. Ge menggigit bibirnya sendiri, lidahnya menyapu bibirnya
yang kering. Feromonnya naik, dalam waktu singkat, Ge memajukan bibirnya hingga
menyentuh lembut bibir Ananta. Ge melihat tubuh Ananta yang menggeliat, Ge
menjauhkan bibirnya. Jantungnya berdebar kencang, kedua matanya terus berkedip cepat.
Sampai pada kedipan terakhir, Ge melihat Ananta yang membuka mata—menatapnya.
“Ge??” Raut muka Ananta berubah, lelah di mukanya tiba-tiba
hilang. Jantung Ge seperti berhenti berdetak. Rasa canggung mulai datang, Ge
hendak bangkit. Tapi Ananta mehanannya.
-----