Thursday, October 27, 2016

Bahas #CadoCadoTheMovie




Satu lagi, film drama berbalut komedi menghiasi perfilman Indonesia. Berlatar seputar kedokteran, Cado Cado membuktikan bahwa untuk menciptakan tawa dalam sebuah film tidak perlu repot menggunakan komika yang katanya akan lebih lucu karena pembawaannya memang sudah lucu. Kelucuan dalam film ini timbul dari akting seorang yang bukan berlatar komedian ataupun komika. Kehebatan Sutradara yang berhasil menggambarkan dialog komedi yang ada di skrip menjadi bahasa gambar. Jelas, kita tidak bisa bohong, komedi dalam film Cado Cado sangat efektif mengundang tawa. Tawa timbul hanya dari celetukan dialog setiap pemainnya dan tingkah laku absurd, dengan tidak berusaha untuk menjadi lucu (trying to be funny).

Tentu saja, kita tidak bisa meragukan akting setiap pemainnya. Saya suka penampilan Adipati Dolken di film ini, bagi saya ini film dengan penampilan terbaik Adipati Dolken dalam sebuah film, bahkan melewati aktingnya sebagai Jenderal dalam film Soedirman. Chemistry yang dihadirkannya bersama Tika Bravani benar-benar mencuri perhatian penonton. Tidak diragukan lagi bahwa mereka telah lama saling mengenal dan dekat. Film ini tidak melewatkan kemungkinan yang bisa terjadi pada pemain lain. Terbukti, masing-masing tokoh di buat mempunyai keunikkan. Keunikkan itu langsung dihadirkan melalui suara dari Riva, diawal film. Lagi-lagi film ini efektif menciptakan tokoh yang benar-benar mendukung unsur komedinya. Apalagi Adi Kurdi, sangat pantas jika dia masuk dalam Nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik FFI 2016. Aktingnya natural, seperti diberi kebebasan dialog oleh Ifa Ifansyah selaku sutradara.

Membangun kepercayaan penonton dalam sebuah film memang gampang-gampang susah. Cado Cado, pun sebenarnya mengalaminya. Pesan dalam judul tidak tersampaikan dengan baik. Kata “dodol” dalam film ini tidak benar-benar diketahui maknanya secara utuh. Apakah “dodol” yang dimaksud berupa bentuk kelakuan atau pencerahan dari setiap scene juga dialog-dialog. Ini menjadi sedikit kelemahan, bahkan kata “dodol” hanya muncul sekali dalam dialog antar Riva dan Evi di perpustakaan saat Evi mengeluh tentang betapa menyebalkannya Vena.

Awal saya mengetahui film ini adalah dari seorang teman yang sekolah di Jogja Film Academy. Sebagai seorang yang menyukai gaya penyutradaraan Ifa Ifansyah sejak Sang Penari, saya langsung dibuat penasaran akan film ini. Awalnya hanya nama Ifa yang membuat saya tertarik. Namun, kepercayaan saya terhadap film ini bertambah ketika nama Tika Bravani, Adipati Dolken dan Adi Kurdi menjadi salah satu yang menghiasi Cado Cado. Film ini benar-benar memfokuskan diri pada kehidupan seorang dokter dan Koass, bagaimana kesehariannya dan bagaimana ketika seorang Koass menghadapi seorang pasien. Bahkan kisah cinta satu arah antar Riva dan Evi hanya menjadi pemanis bukan inti cerita. Saya bilang satu arah, karena kecemburuan Evi terhadap Riva hanya digambarkan sebagai kecemburuan antar seorang sahabat saja. Bagi saya ini menarik, fokus penonton tidak hanya pada satu inti cerita, penonton bisa menikmati cerita masing-masing tokoh. Meskipun dalam jumlah porsi sedikit untuk tokoh selain Vena, Riva dan Evi.

Film ini memenuhi tujuannya sebagai suguhan tontonan yang berlatar dunia kedokteran. Satu hal yang pasti dan tidak bertele-tele. Mungkin hal itu menjadi penyebab terpilihnya Cado Cado sebagai salah satu Official Selection Tokyo International Film Festival. Film ini memang pantas mendapatkan gelar itu, sama halnya pantas mendapatkan Nominasi Skenario Adaptasi Terbaik FFI 2016. Detail-detail penulisan skrip juga tersampaikan dengan baik melalui bahasa gambar. Gimana jahitan dikening benar-benar ada secara utuh, ketika operasi mata dan ketika jarum suntik menembus kulit punggung pasien. Tanpa detail-detail itu, Cado Cado akan terasa hambar dan kita justru akan bertanya-tanya juga kehilangan kepercayaan karena film ini bercerita tentang dunia kedokteran.

Hal yang menarik bagi saya, film ini memenuhi tugasnya sebagai pembawai pesan. Ada dialog-dialog sarkasme yang memperlihatkan keadaan Indonesia pada saat ini. Bagaimana diawal film adegan sinetron dihadirkan secara sarkas atau terang-terangan. Contoh ketika Riva mengeluh tentang berita negatif yang terus ada di TV pada ayahnya dalam satu adegan. Celetukkan tentang dunia kedokteran yang muncul dari setiap bibir para tokohnya. Saat Riva beralasan menjadi dokter karena ingin menyembuhkan orang dan Prof. Burhan hanya tertawa meremehkan alasan Riva. Hal-hal lain yang nyata terjadi di jurusan kedokteran. Ada yang sekedar ikut-ikutan teman, ada yang karena hidup seorang dokter bisa terjamin apalagi dokter spesialis.

Hadirnya tokoh Vena juga sebenarnya menipu penonton, persis yang dikatakan bahwa dirinya manipulatif. Penonton akan mengira bahwa hadirnya tokoh ini untuk membuktikan bahwa Evi punya perasaan terhadap Riva. Kemungkinan itu ada, tapi film sebagai bahasa gambar tidak menunjukkan hal itu. Evi yang menolak stetoskop pemberian Riva jadi salah satu contoh perasaan tokoh yang lagi-lagi dengan baik digambarkan. Bagaimana tiba-tiba film ini mengalami loncatan cerita, pada akhir film masing-masing Koass seperti menemukan jodohnya. Saya suka adegan ketika Vena mencium bibir Riva, “Masih ragu jadian sama aku??” dialog menggoda yang mengubah haluan perasaan Riva. Adegan itu benar-benar membuat saya sebagai penonton cemburu, natural, apa adanya. Awalnya saya kira kok aneh, tapi pada akhirnya saya mendapatakan  jawaban keefektifan adegan itu ketika dialog Vena di dalam kamar mandi bersama Evi, yang bilang bahwa “Cowo  baper kalo dicium”. Semacam propaganda, menciptakan pesan berantai kepada penonton.

Saya tidak sama sekali terganggu oleh gambar yang ditangkap mata kamera. Meskipun awalnya saya merasa aneh ketika rak-rak buku di perpustakaan justru minim buku. Itu telihat saat adegan Riva dan Evi di perpustakaan. Tim artistik dan Sutradara jelas punya maksud juga tujuan tersendiri. Saya membayangkan akan terganggu ketika rak-rak buku itu justru dipenuhi buku. Padahal dalam waktu yang sama, adegan itu termasuk menjadi salah satu adegan penting perihal chemistry antara Riva dan Evi.

Terakhir! Saya suka Cado-Cado, chemistry antar tokoh terutama Riva dan Evi, skrip yang efektif, tidak bertele-tele dan jelas. Juga Soundtrack yang easy listening.
Sekian, Terimakasih.
#BanggaFilmIndonesia
#CadoCadoTheMovie


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, October 21, 2016

Lupa.


Seorang anak cari ayah
seorang ayah hilang nama
ada yang salah sebut mamah
jadi lupa siapa kata


Semarang, 21 Oktober 2016

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Diam.


Sebah ganas di buritan
kapal tenggelam dalam panas
lekuk lembut buta aksara
ada siput cepat berkata

Ringan kaki ada siapa
berat tangan untuk apa
dini hari jadi lupa
mencari si tua yang bersua

Pecah rengek antar nada
mimbar jemaah saling sapa
ada yang diam menyimpan luka
hanya bergerak lewat mata

Singkir keringat jatuh basah
celana robek mendesah lemah
baju basah terengah-engah
mengunci nafas dalam noktah


Semarang, 20 Oktober 2016


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, October 14, 2016

Bahas #WonderfulLifeMovie


            Saya mengenal Mas Agus, Sutradara Wonderful Life Movie melalui Instagram. Beliau lebih dulu follow saya di Instagram sebelum akhirnya saya follback. Awalnya saya mengomentari salah satu postingan Mas Angga tentang film ini. Mas Angga memberitahu saya bahwa Mas Agus yang memegang kursi Sutradara. Saya tidak pernah mempertanyakan kualitas Visinema dalam pembuatan film. Saya suka Idealisme mereka, tidak sekedar mengikuti selera pasar. Mereka membuat film berangkat dari hati dan punya tujuan tersendiri. Kita tidak lupa, selama tiga tahun berturut-turut Visinema mampu menempatkan film-filmnya di Festival Film Indonesia.



            Cahaya Dari Timur, Filosofi Kopi, Surat Dari Praha. Bahkan Wonderful Life Movie yang menjadi debut pertama film panjang Mas Agus, bisa masuk dalam ajang #FFI2016. Atiqah Hasiholan, Nominasi Pemeran Wanita Terbaik. Sinyo, Nominasi Pemeran Anak Terbaik, dan Nominasi Penata Efek Visual Terbaik. Ini jelas menjadi prestasi yang tidak terduga bagi Mas Agus, sebagai Sutradara.

Wonderful Life Movie sangat punya kekuatan dalam dua main aktornya. Aqil dan Amalia. Sinyo dan Atiqah benar-benar menjadi sesuatu yang membuat Wonderful Life Movie sangat hidup dan emosional. Saya tidak sedetikpun merasa terganggu dengan akting keduanya. Di beberapa part mereka justru bisa menguras emosi saya. Saat mereka bertengkar selepas medatangi Datuk lalu kabur. Mereka benar-benar membuat saya gemas. Merasakan kebodohan dari tokoh Amalia. Memaklumi Disleksia yang di derita Aqil. Scene ketika Aqil mencium ibunya berkali-kali setelah meminta maaf adalah scene favorit saya. Hangat, Manis dan menyentuh.

Film yang manis dan begitu hangat. Saya tipe penonton yang memerhatikan detail-detail kecil. Shot-shot Wonderful Life Movie juga sangat indah dan memanjakan mata. Sinematografer yang pandai mengambil perpsektif gambar dengan amat baik. Film ini tidak jor-joran mengeksplore keindahan alam, meskipun sebenarnya mereka bisa saja melakukannya. Transisi dan stock shot yang diambil pun bikin saya kagum. Sangat efektif!

Saya sangat menikmati film ini. Pertama, membuat saya terenyuh karena tokoh Aqil. Kedua, membuat saya jengkel karena watak dari Amalia. Ketiga, film ini seperti memberikan selimut pada penontonnya. Hangat dan dekat. Juga dengan sindiran-sindiran kelas yang juga membuat saya tertawa, kagum! Keempat, Wonderful Life Movie adalah salah satu Film Indonesia terbaik yang saya tonton tahun ini. Dan terakhir, Film ini memberikan pembelajaran dan tamparan keras pada orang-orang seperti Amalia. Di film ini justru Amalia yang banyak belajar dari tokoh Aqil yang menderita Disleksia. Belajar untuk mengenal diri sendiri dan care pada orang-orang terdekat. 

"Aqil nggak sakit, Pah. Kita yang sakit".
Wonderful Live Movie, emosional, manis, hangat!

            Sekian, terimakasih.
#BanggaFilmIndonesia
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Bahas #PinkyPromise


Pinky Promise adalah conton film yang efektif. Efektif dalam menceritakan kisah para tokohnya. Bahkan film ini tidak kehilangan nyawa saat ditinggalkan Tante Anin (Ira Maya Sopha). Fokus film berpindah pada Tika (Agni Pratistha). Pinky Promise jelas punya tujuan tersendiri kenapa film ini harus dibuat. Tidak semata-mata untuk memenuhi selera pasar ataupun meraup keuntungan. Film ini dibuat sebagai bentuk kampanye Kanker Payudara.

Selain Ken (Dhea Seto) empat main aktor film ini bermain sangat baik, didukung pembawaan peran yang tidak terkesan dipaksakan. Tokoh Baby yang menjadi Model sengaja dibuat medok dan berasal dari Surabaya. Ini adalah bentuk kecerdasan, dilema. Seksi namun medok, lucu. Saya senang dengan satu tokoh ini, menunggu celetukan-celetukan yang keluar dari mulutnya. Akting singkat Maudy Koenadi berhasil juga mencuri perhatian saya. Benar-benar dimanfaatkan dengan amat baik. Film ini juga punya unsur komedi yang dibalut lebih ke ironi dari para tokohnya. Dialog soal “tetek” bisa dengan mudah menggelitik, terdengar lucu dan tidak sama sekali kotor.

Setiap tokoh punya masalah dan motivasi yang membawa mereka pada satu garis besar cerita. Soal persahabatan, soal perjuangan melawan Kanker Payudara. Meskipun tetap, saya mempertanyakan kejelasan tokoh Chelsea Islan yang hanya menjadi pengantar melalui suara. Chelsea tidak terlalu mendukung peran Vina, Tika, Ken dan Baby. Seperti hanya menjadi pemanis.

Saya suka artistik film ini, apapun yang berada di dalam rumah pink, saya benar-benar suka. Dari cara menata buku dalam rak-rak. Kursi, lukisan, kenapa harus memakai bata-bata. Saya mencintai kedetailan dalam sebuah film. Bagaimana detail-detail kecil bisa membuat film terlihat hidup dan nyata. Pinky Promise mendapatkan hal itu, detail-detail yang digarap dengan serius.

Pinky Promise membuat beberapa tokohnya dipotong botak sebagai bentuk keseriusan dalam berakting. Film ini sadar, mereka tidak bisa sekedar memberi air mata pada para penontonnya. Komedi dalam film ini juga sangat efektif. Saat tika memotong rambutnya lalu listrik padam adalah scene yang saya suka. Bagaimana awalnya membawa emosi penontonnya, lalu seketika dibuat ketawa dengan sangat mudah.

"Lo bilang lo feminis. Tapi, pukul rata semua cowo".
Pinky Promise, So Pink!!

Sekian, terimaksih.

#BanggaFilmIndonesia


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, October 5, 2016

Ge.


            Ponsel Ananta berdering. Satu pesan masuk. Ananta menolak membacanya. Apa yang dialaminya hari ini adalah keinginan dari banyak pria. Menikmati tubuh seorang wanita tanpa ikatan, tanpa takut ketahuan atau diganggu manusia lain. Rambut panjang Inneke yang tergurai menyentuh lembut kulitnya, gairah itu yang tidak dia dapatkan pada Amanda. Persetubuhan itu dihalangi oleh rambut Amanda yang terkuncir. Rasanya memang agak aneh, bersetubuh tanpa merasakan rambut yang tergurai, rasanya kurang untuk tidak menjambak ditengah-tengah permainan, tidak bisa mendengar suara kesakitan yang bercampur suara kenikmatan duniawi. Ananta masih berbaring telanjang di atas kasur hotel, melihat Inneke dengan jari-jari yang menyusuri perut sixpacknya. Persetubuhan diantaranya memang telah usai sejam yang lalu, tapi getaran dan rangsangannya masih bertahan. Persetubuhan yang lebih lama dari yang bisa diberikan Amanda.

            Ponsel Ananta terus berdering, dia meraih ponselnya diatas Nakas—meja kecil disamping kasur. Sembari merasakan sentuhan lembut Inneke pada kelaminnya, Ananta membaca dua belas pesan dari Niko, seorang teman masa SMA yang sedang menyelesaikan Studi S2nya di Jerman. Pesan pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima mengkonfirmasi kebenaran keberadaan Ananta di Amsterdam. Niko melihat status check in pada akun path Ananta. Pesan keenam, ketujuh, kedelapan dan kesembilan, Niko mengajak Ananta untuk berlibur di Jerman. Sekaligus bertemu setelah sekian lama tak berjumpa. Pesan kesepuluh, sebelas dan terakhir memohon pada Ananta untuk meluangkan waktu ke Jerman, menemaninya yang sedang menghabiskan liburan pasca ujian akhir.

            Ananta tersenyum, keluguan Niko masih terasa bahkan hanya melalui pesan singkat, Ananta membalas pesan Niko saat Inneke mulai melakukan oral pada kelaminnya. Ada kelegaan dalam dirinya, matanya sempat terpejam singkat saat bibir Inneke mulai menyentuh, Ananta menarik nafas sebelum mengirim pesan balasannya pada Niko, lalu melempar ponselnya, mengibas rambut Inneke yang menutupi wajah cantiknya. Ananta menopang kepalanya pada dua tangan yang terlipat ke belakang. Merasakan kenikmatan yang mungkin tak bisa dia rasakan lagi setelah ini. Waktu benar-benar berpihak padanya. Waktu benar-benar memberikannya keuntungan. Waktu tidak pernah berbohong, waktu menghargai siapapun yang menghargainya.

            Ananta mengecek jam pada ponselnya, sudah lewat tengah malam. Dia membuka jadwal penerbangan ke Jerman.  Mencari beberapa pesawat yang berangkat lebih awal. Satu maskapai penerbangan asal Belanda akan terbang ke Jerman dalam enam jam. Ananta langsung membooking satu tiket, membayarnya lalu meletakkan ponsel diatas Nakas. Ada waktu lima jam untuk tidur. Ananta menarik Inneke, menyudahi permainan malam itu, menarik selimut, tidur dengan lengan menopang kepala Inneke dan dada yang merasakan lembut tangan Inneke. Sesekali tangan Inneke menyeruak masuk dibalik selimut, menyentuh rambut kemaluan Ananta. Seperti seorang Ibu yang menampar tangan anaknya, Ananta melakukannya pada Inneke. Mereka tersenyum, lalu bersama-sama menutup mata.

Tepat pukul enam, alarm ponsel Ananta berdering, Inneke mematikannya pada dering pertama. Enam lebih sepuluh, dering kedua alarm terdengar , Inneke mematikannya sekali lagi. Ananta masih tidur nyenyak. Enam lebih duapuluh menit dering ketiga alarm membangunkan Ananta. Pesawat KLM 1791 menuju Munchen berangkat pukul 07.15. Kurang dari satu jam untuk Ananta bersiap-siap. Ananta bangkit mematikan Alarm, lalu mandi, meninggalkan Inneke yang masih berbaring. Setengah sadar, Inneke meraih ponsel Ananta, mengambil foto dirinya dalam keadaan setengah telanjang dengan dada yang membusung—menggoda, lalu menjadikannya sebagai wallpaper. Inneke mengumpulkan tenaga untuk bangkit, persetubuhannya semalam benar-benar menguras energinya. Setelah merasa kuat, Inneke bangkit, memakai Dress Towel putih yang disediakan Hotel, membuka tirai jendela dan menguncir rambut.

Tak memakan waktu lama, Ananta hanya menghabiskan waktu sepuluh menit di dalam Kamar Mandi, Dia keluar dengan muka sumringah dan segar, memakai Dress Towel putih, mengelus cepat rambutnya.

“Kamu mau kemana??”
“Germany,” Ananta tersenyum, mengambil sisir yang tergeletak diatas Nakas.
“Mau ngapain??” Inneke memeluk Ananta dari belakang.
“Ketemu temen,” Ananta menyisir rambut.
“Cewek??” Inneke menyenderkan kepalanya pada punggung Ananta.
“Cowok… Temen SMA dulu.”
“Jangan pergi…” Inneke menarik tali Dress Towel Ananta.
“Pesawatku sebentar lagi berangkat,” Ananta menahan tangan Inneke.

Ananta Mengambil setelan jas, lalu memakainya. Inneke duduk di pinggir kasur, menggoda Ananta untuk bermain sekali lagi. Inneke masih punya waktu tiga jam sebelum penerbangannya. Ananta diam, sibuk merapikan dasi dan setelan jasnya. Selesai memakai sepatu, Ananta meraih ponselnya, tersenyum melihat foto Inneke di wallpapernya. Inneke ikut tersenyum, dalam tatapan penuh goda, Ananta mencium bibir Inneke, cukup lama, membuat Inneke terpejam—menikmati. Ananta melepas ciumannya, berpamitan lalu keluar dari kamar 119. Sekali lagi Inneke tersenyum, menatap pintu yang pelan-pelan tertutup.

            Ananta berjalan kaki menuju bandara, sembari mencari kontak Niko untuk menelponnya.

            “Hallo, Nik. Gue otw ke Munchen yaa. Pesawat gue berangkat jam tujuh.”
            “Munchen?? Kenapa nggak Berlin aja?? Lebih deket ke Nordhausen.”
            “Terlanjur! Pesawat paling pagi ke Munchen sih.”
            “Lo perlu gue jemput apa gimana??”
            “Jemput gue aja deh di bandara.”
            “Tapi lo harus nunggu. Kereta dari tempat gue sekitar lima jam-an.”
            “Gampang, cuma nunggu empat jam doang, kan?? Gue bisa!!”
            “Asiik... Okedeh.”
            “Siip! Thankyou, ya!”
            “Oke.”

            Ananta menutup teleponnya tepat ketika langkah kakinya menginjak lobby bandara. Ananta langsung melakukan Boarding setelah check in. Duduk di Nomor kursi yang tertera. Perjalanan memakan waktu satu setengah jam. Cukup bag Ananta untuk tidur sejenak.

            Gerimis turun di Munchen, setelah mengurus perihal imigrasi, Ananta membeli kartu perdana lalu sarapan di satu toko franchise terkenal. Ananta sengaja menghabiskan waktu sekitar satu jam di toko itu. Caranya membunuh waktu. Setelah satu jam berlalu, Ananta pergi ke gerai kopi memesan satu americano, duduk di kursi paling luar gerai itu, membeli koran dan mengganti kartu perdananya. Koran dalam bahasa jerman itu tidak dia baca, koran adalah bentuk manipulasi pertahanan diri, dengan membeli dan membaca koran Jerman, tidak akan ada orang yang mengira dirinya traveler atau orang dari luar Jerman. Trik yang unik.

            Beberapa Jam menunggu, gerimis mulai reda. Suasana berubah menjadi sejuk. Seketika kenangan menarik Ananta ke malam itu. Malam saat Inneke menyetubuhinya, seperti sepasang suami-istri. Kenangan juga menariknya pada persetubuhannya bersama Amanda di sofa ruang tamu Amanda. Matanya terpejam, senyumnya mengambang, bayangan itu tidak akan pernah keluar dari kepalanya.

Ananta merasa aneh dengan perlakuan Amanda padanya waktu itu. Dia masih tidak mengerti apa maksud Amanda. Ananta memikirkan dua hal. Pertama, Amanda memberikan itu karena dia sudah menikah dan meminta Ananta untuk tidak lagi menunggu dan memikirkannya. Kedua, Amanda ingin memberikan pesan bahwa dia tidak bahagia bersama suaminya dan meminta Ananta untuk masuk lagi ke dunianya, menghancurkan hubungannya dengan Marco, lalu hidup bersama. Ananta lebih yakin pada jawaban pertama. Amanda memang tipe wanita yang berani dan lugas, meski harus menggunakan tubuhnya untuk mengusir seseorang dari hidupnya. Meskipun akan menjadi dilema ketika Ananta justru menanggapinya santai dan justru semakin nyaman mengejar Amanda.

Segalanya telah berubah, tinggal menunggu waktu bagi Ananta untuk mati dilupakan. Mungkin Ananta salah, kenyamanan justru merenggut apa yang dia mau dari Amanda. Ananta sadar, orang-orang seperti dirinya yang terlalu sering terluka justru menjadi satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan. Ananta terlalu buru-buru mengusir seseorang yang masuk ke dunianya dan fokus pada apa yang dia kejar. Sehingga dia tidak sadar, mungkin saat itu tuhan sedang iseng memberitahu siapa jodoh Ananta yang sebenarnya.

Ananta yang melamun, tersentak dengan suara dering telepon dari Niko.

“Halo... Lo dimana. Gue udah sampe nih.”
“Lo dimana?? Gue di Starbucks,” Ananta menoleh mencari keberadaan Niko.
“Ohitu, gue lihat, gue lihat,” Niko melambaikan tangan.
“Nik!!” Ananta menutup teleponnya, ikut melambikan tangan—membalas Niko.

Niko membawa seorang wanita yang mengikuti di belakangnya. Wanita itu memakai Capelet Coat dan celana panjang hitam.

“Hallo, Nan. Apa kabar lo??” Niko berjabat tangan dan memeluk Ananta.
“Baik-Baik. Lo gimana??” Ananta menatap Niko, sesekali melirik wanita di belakang Niko.
“Yaa, gini-gini aja, lah.”

Wanita itu mengingatkan Ananta pada Amanda karena sama-sama memakai sepatu Oxford warna cokelat kulit yang mengkilap. Rambutnya yang terkuncir membuat aura kecantikannya keluar secara natural, bibir tipisnya memakai gincu merah yang tidak terlalu tebal, warna matanya kecokelatan seperti menggunankan contact lens.

“Eh, kenalin nih... Geraldine, pacar gue,” Niko merangkul Geraldine
“Ananta,” Ananta tersenyum, mengenalkan diri.

Getaran dari tangan Geraldine membuat Ananta menjabat tangannya lumayan lama. Tatapannya meneduhkan, senyumnya menghangatkan, membuat Ananta terenyuh. Jantungnya berdebar kencang sesaat setelah Geraldine mengedipkan mata ke arahnya.

“Orang Indo juga,” Niko tersenyum.
“Really?? Oh... Hai Geraldine.”
“Hai, Ananta,” Geraldine tersenyum, melambaikan tangan.
“Panggil aja, Ge,” Kata Niko.
“Okee.. Kalian satu kampus??” Tanya Ananta.
“Yap,” Niko mengangguk mantap.
“So, mau keman kita??” Ananta bertanya pada Niko, matanya melirik Ge yang curi-curi pandang menatapnya.

Mereka bertiga pergi ke Kota Bonn, salah satu kota bersejarah bagi Jerman Barat. Kota ini pernah menjadi Ibu Kota Jerman Barat Sejak 1949-1990. Pada tahun 1990-1999 Kota Bonn pernah menjadi pusat pemerintahan Jerman. Bonn terletak di tepi Sungai Rhein, Negara bagian Nordrhein-Westfalen. Kota Bonn adalah Kota kelahiran, Ludwig van Beethoven, musisi yang sangat dikagumi Ge. Di Kota Bonn juga berdiri Monumen Beethoven untuk mengenang musisi yang melegenda itu. Salah satu keunikan kota ini adalah banyaknya bilik telepon umum khas eropa yang berwarna merah dirubah menjadi perpustakaan kecil yang tersebar di penjuru kota.

Sebelum balik ke Nordhausen mereka bertiga pergi ke Berlin. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kereta. Ananta dan Ge terus curi pandang, sesekali kaki mereka saling bersentuhan, mengelus lembut sembari masih melanjutkan pembicaraan bersama Niko. Membicarakan pengalaman masa SMA. Di Berlin mereka mengunjungi Brandenburger Tor yang merupakan bekas gerbang kota dan salah satu simbol utama Berlin,  Mereka juga betkunjung ke Tembok Berlin yang menjadi fakta sejarah dipisahnya wilayah Berlin Barat dan Berlin Timur dengan sebuah tembok beton yang didirikan pada 13 Agustus 1961

Tidak banyak tempat yang mereka kunjungi di Berlin, karena hari mulai malam. Mereka memutuskan untuk pulang sebelum jadwal kereta terakhir. Ananta menginap di Apartemen Niko yang masih satu gedung dengan Apartemen Ge. Sebelumnya Niko mengantarkan Ge sampai ke depan pintu Apartemennya. Mengucapkan selamat malam dalam bahasa Jerman. Sekali lagi, Ge mengedipkan mata ke arah Ananta. Niko tak mengetahuinya.

Di apartemennya. Niko membuka obrolan sebelum dia tidur.

“Flight, Gue besok jam sembilan pagi.”
“Ha?? Mau kemana lo??” Ananta melepas sepatunya.
“Pulanglah ke Indo... Liburan panjang gini.”
“Nah Si Ge, gimana??” Ananta melepas dasinya.
“Dia nggak ikut, kalo liburan gini dia kerja, ngumpulin duit buat balik.”
“Oh gitu,” Ananta mengangguk pelan.
“Lo ikut ya. Masih banyak sisa tiket kok terakhir gue lihat.”
“Hmm...” Ananta berpikir sejenak, muncul siluet wajah Geraldine dalam kepalanya.
“Ayolah,” Niko memohon.
“Ah enggak deh. Gue masih ada urusan lain disini,” Senyum Ananta menolak ajakan Niko.
“Asikk, pengusaha muda boy!!” Kata Niko dengan nada tinggi, membuat mereka tertawa bersama, menggetarkan dinding Apartemen.

Paginya, Niko berangkat menuju Bandara seorang diri, berpamitan pada Ananta yang setengah sadar, masih tertidur. Niko mempersilahkan Ananta untuk menggunakan Apartemennya selama dia di Jerman. Niko juga berpamitan pada Ge, memberitahunya bahwa Ananta masih tertidur dan akan mengurusi hal lain setelahnya. Geraldine tampak senang mendengar hal itu, dia mengantar Niko ke Bandara. Sebelum Niko masuk pesawat Ge memberikan kecupan singkat pada bibir dan kening Niko.

Dua jam setelah Niko pergi. Ananta masih tertidur pulas. Raut muka lelah tampak pada garis matanya. Ge yang baru sampai dari bandara langsung menuju Apartemen Niko. Meski apartemen Niko terkunci. Ge tetap bisa membukanya. Niko memang memberikan satu kunci apartemennya pada Ge. Setelah masuk dan mengunci pintu, Ge melihat Ananta yang masih tertidur, Ge bisa melihat wajah Ananta yang lesu dan tampak lelah dari pintu apartemen. Ge mengendap-endap, berjalan pelan, menghindari timbulnya suara yang bisa membangunkan Ananta. Ge menyelinap masuk selimut, berbaring tepat di samping Ananta, tubuhnya miring menghadap Ananta. Senyum mengembang di bibirnya. Beberapa menit Ge masih memandangi muka Ananta, kedua tangannya berada diatas bantal menopang kepalanya.

Mata Ge terpejam, dia mendekatkan wajahnya pada wajah Ananta, sampai Ge bisa merasakan nafas Ananta yang menyentuh Fitrum—lekukkan pada bagian bawah hidung. Ge menggigit bibirnya sendiri, lidahnya menyapu bibirnya yang kering. Feromonnya naik, dalam waktu singkat, Ge memajukan bibirnya hingga menyentuh lembut bibir Ananta. Ge melihat tubuh Ananta yang menggeliat, Ge menjauhkan bibirnya. Jantungnya berdebar kencang, kedua matanya terus berkedip cepat. Sampai pada kedipan terakhir, Ge melihat Ananta yang membuka mata—menatapnya.

“Ge??” Raut muka Ananta berubah, lelah di mukanya tiba-tiba hilang. Jantung Ge seperti berhenti berdetak. Rasa canggung mulai datang, Ge hendak bangkit. Tapi Ananta mehanannya.

-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, October 4, 2016

Amsterdam 13°Celcius


Siang itu suhu Amsterdam mencapai 13°Celcius. Ananta tak sengaja terbang ke Amsterdam. Sebelumnya dia menerima satu surel yang masuk. Surel itu datang dari seorang wanita di Amsterdam. Tidak lain, surel itu datang dari wanita yang telah lama mengendap di kepalanya. Seorang wanita yang pintar menciptakan luka tanpa memberi obat penawar. Inneke bukanlah wanita yang mengirim Surel itu. Inneke hanya sebagian dari beberapa wanita yang mengharapkan Ananta.

Surel itu membuat jantungnya berdebar kencang. Sesuatu yang dia tunggu setelah setahun lebih akhirnya datang. Tuhan menjawab doanya. Namanya Amanda, lembut matanya benar-benar meluluhkan Ananta. Tatapannya selalu membuat Ananta merasa penting, merasa menjadi satu-satunya pria yang pantas memiliki Amanda. Tatapannya benar-benar meneduhkan hati. Manifesto wanita sempurna.

Inneke menginap di YOTELAIR Amsterdam Schiphol. Hotel yang memang disediakan untuk para pramugari beristirahat sembari menunggu penerbangan selanjutnya. Tapi, bukan YOTELAIR yang akan didatangi Ananta. Anne Frank Huis menjadi destinasi yang akan Ananta datangi. Anne Frank Huis adalah tempat persembunyian Anne Frank dan keluarganya. Anne Frank adalah remaja kelahiran tahun 1929 yang memiliki darah Jerman-Yahudi. Dia dan keluarganya bersembunyi dari  Rezim Nazi yang berusaha membunuh entis yahudi pada perang dunia kedua. Anne Frank Huis kini menjadi musem dan salah satu destinasi wisata turis yang terkenal di Amsterdam.

Amanda sedang berlibur di Amsterdam. Sudah tiga hari dia disana. Amanda mengirimkan surel pada Ananta untuk menemaninya sehari sebelum dia pulang, kembali ke Indonesia. Amanda adalah wanita yang sejak lama membawa Ananta pada mimpi-mimpi indah tidurnya. Tak ada yang mengetahui bahwa sebenarnya Ananta mencintai Amanda, bahkan Inneke hanya dijadikan Ananta sebagai pelarian saat Amanda tak memfokuskan diri padanya. Bukan hanya Inneke, Ananta membuat teman-teman wanitanya berharap berlebihan padanya. Mengharapkan cinta dan kasih sayang darinya. Inneke hanya satu dari banyaknya wanita yang terlihat dicintai Ananta. Padahal, hanya Amanda yang menghuni hatinya, pikiran dan jiwanya. Ananta terpaksa memperalat orang-orang seperti Inneke untuk merebut hati Amanda.

Terdengar jahat, memang. Tapi, bukankah kita menjadi gila untuk orang yang kita cinta? Melakukan apapun untuk membuatnya nyaman dan berada di pelukan. Cinta memang jahat, cinta bisa mengubah manusia menjadi kesetanan. Ananta adalah contoh dari orang-orang yang merasa terluka, padahal dialah yang telah melukai hati banyak orang. Kita tahu, selalu ada konsekuensi bagi orang-orang yang bermain-main dengan cinta.

Ananta menunggu di depan Anne Frank Huis, diantara keramaian dan antrean turis-turis. Menunggu adalah bagian dari hidupnya, soal ini dia tak pernah mengeluh. Baginya, menunggu adalah seni mencintai. Orang-orang yang menunggu tahu betul untuk apa mereka melakukan itu, untuk siapa dan mengapa mereka harus menunggu. Bagi Ananta, Amanda adalah alasan besar baginya untuk menunggu bahkan sejak setahun yang lalu.

Tak lama Ananta menunggu. Kurang dari satu jam, matanya tertumbuk pada seorang wanita dengan blus putih dan jeans biru muda yang sobek di bagian lutut. Sepatu Oxford berwarna cokelat muda membuat senyum Ananta mengembang setelah melihatnya.

“Ayo,” Amanda tersenyum, menarik tangan Ananta.
“Looh, mau kemana?? Kita kesini, kan??” Ananta menunjuk Anne Frank Huis.
“Udah ikut aja,” Amanda menggandeng tangan Ananta.

Ananta tersenyum, melirik genggaman tangan Amanda. Jari-jari mereka saling melengkapi. Raut muka sumringah menghiasi langit-langit Amsterdam siang itu. Bahkan dinginnya yang mencapai 13oC justru terasa hangat. Tak ada percakapan selama perjalanan, Ananta tak pernah sedekat ini sebelumnya, dia tak ingin merusak suasana.

Beberapa menit jalan kaki, mereka berdua sampai pada satu rumah bergaya eropa dengan pintu berwarna hitam dan lonceng natal yang masih menggantung di bagian tengah daun pintu. Amanda melepas genggamannya, mengambil kunci pada saku kanan celananya lalu membuka pintu. Belum selesai Ananta bertanya tentang rumah itu, Amanda menarik tangan Ananta, lalu menutup pintu, menyandarkan tubuh Ananta pada pintu—mencium bibirnya. Tangan Amanda meraih kunci, memutarnya, mengunci pintu setelah dua kali tekanan.

Seperti sepasang kekasih yang sudah lama tak bertemu. Ciuman itu terasa keras sama sekali tak menggoda. Ananta mencoba menguasai suasana, mengubah ritme ciuman Amanda yang terburu-buru. Ananta menciumnya lembut, tidak tergesa-gesa, Amanda melingkarkan tangannya pada leher Ananta. Amanda memainkan bibirnya, menggigit bibir Ananta. Lidah mereka saling memagut, bersentuhan dengan lembut. Amanda melepas sepatunya dan melemparkannya sembarangan. Ananta membuka kancing blus Amanda dengan cepat, tangan Amanda membuka resleting Ananta lalu masuk dan mengelus lembut.

Amanda menarik blus setelah Ananta membuka semua kancingnya. Ananta membuka Jas dan menarik dasinya kasar. Ciuman itu masih berlangsung dan semakin keras. Kedua tangan Ananta berusaha melepas kait bra putih yang dipakai Amanda. Setelah Bra Amanda lepas, Ananta mengangkat tubuh Amanda, membuat kaki Amanda melingkar pada pinggangya. Ananta menopang tubuh Amanda dari bawah, Amanda melingkarkan tangannya pada leher Ananta, sekali lagi.

Ananta membawa tubuh Amanda menuju sofa ruang tamu rumah itu. Membaringkan tubuh Amanda pada sofa cokelat. Ananta melepas ciumannya, lalu mencium leher Amanda lembut dan tak tergesa-gesa. Deru nafas Ananta membuat feromon Amanda naik dan memuncak. Ciumannya terus menyusuri tubuh Amanda yang putih langsat, hingga dada, Ananta menggigit puting Amanda, membuatnya merintih. Ananta bangkit, melepas kemejanya, lalu kembali menyusuri tubuh Amanda, hingga perut dan pusar. Tangannya melepas kancing jeans Amanda, lalu menurunkannya tepat pada lutut Amanda. Mata Amanda terpejam, suaranya merintih saat bibir Ananta mulai menyentuh rambut kemaluannya.

Satu jam setelah kenikmatan itu. Mereka yang berbaring bersama di kagetkan oleh suara ponsel masing-masing. Inneke mengirimkan pesan, berupa foto nomor kamarnya. Ananta menghiraukan pesan itu. Menatap Amanda yang menerima panggilan masuk dalam keadaan telanjang.

“Siapa??” Suara Ananta pelan, menggoda.
“Pakai bajumu,” Amanda melemparkan setelan jas Ananta.
“Aku masih punya banyak waktu, sayang,” Ananta bangkit dari tidurnya, duduk, memandangi Amanda yang mulai mengenakan bajunya.
“Ada yang mau datang.”
“Siapa??”
“Cepat pakai bajumu.”

Ananta memakai setelan jasnya, rapi seperti semula. Lalu duduk santai, menyalakan TV. Amanda membawakan satu gelas champagne untuk Ananta, duduk disampingnya. Seakan teringat sesuatu, Amanda bangkit menuju pintu, membuka kunci lalu kembali duduk disamping Ananta, melipat tangan di dada. Ananta mencoba menggoda Amanda, menciumi lehernya. Tapi, Amanda menghindar.

Suara hentak kaki terdengar, Amanda bangkit dan menuju pintu. Seorang pria bule dengan jenggot yang lebat dengan topi fedora dan mantel cokelat yang menutupi badan hingga ke lutut membuka pintu, memberi salam dalam bahasa Belanda. Pria itu mencium bibir Amanda singkat. Ananta bisa melihatnya dari tempatnya duduk. Ananta bangkit menyapa dalam perasaan bingung. Amanda dan pria itu berbicara dalam bahasa belanda. Amanda memperkenalkan pria itu pada Ananta yang bersiap menjabat tangan.

“Marco,” Suara Pria itu berat dalam logat Belanda.
“Ananta.”
“Ini suamiku, Nan,” Amanda tersenyum.

Tiba-tiba Ananta merasa tuli, pendengarannya terganggu, ada suara-suara seperti siaran TV tanpa antena—mengganggu telinganya. Ananta Tak bisa mendengar percakapan Marco dan Amanda setelahnya. Mereka bertiga duduk dalam sofa yang sama. Ananta melihat kemesraan antara Marco dan Amanda, meskipun matanya berusaha tertuju pada siaran TV. Ananta tak mengerti pembicaraan mereka dalam bahasa Belanda.

Dalam kecanggungan yang merajai tubuh Ananta. Dia memutuskan untuk berpamitan. Amanda dan Marco menyambutnya antusias, tidak banyak bertanya alasan kenapa Ananta buru- buru pergi. Lagi-lagi Ananta merasa bingung. 130C di Amsterdam jadi terasa dingin. Tak ada lagi kehangatan dari Amanda. Suhu benar-benar membuat Ananta membeku—dingin. Ananta berjalan kaki menuju Anne Frank Huis, sesampainya disana Ananta menaiki taksi yang kebetulan lewat, pergi menuju Bandara.

Di ruang tunggu bandara rindu bercecarn jatuh, Tangis Ananta tak terlihat. Tapi, hatinya terpukul. Ananta berulang kali memukul kepalanya, merasa bodoh dan dibodohi. Pikirannya kacau. Berulang kali dia melihat ponselnya, mengecek aplikasi keberangkatan pesawat. Tak ada jadwal pesawat menuju Indonesia hari ini. Ananta semakin kacau-balau. Sekali lagi, Amsterdam memberikan luka yang sama persis satu tahun yang lalu. Ananta ingin cepat pulang. Jiwanya tak benar-benar berada bersamanya.

Sekali lagi dia melihat ponselnya, Ananta teringat sesuatu. Segera dia bergegas menuju YOTELAIR Amsterdam Schiphol. Hotel tempat Inneke menginap. Bertanya nomor kamar 119 pada resepsonis. Ananta menuju lift setelah mendapatkan informasi letak kamar. Jantungnya berdebar mencari nomor kamar. Sampai langkahnya terhenti melihat satu pintu bertuliskan angka 119 dengan lubang intip di bagian bawahnya, pintu berwarna cokelat itu terasa seperti pintu rumahnya. Ananta mengatur nafas sebelum mengetuk pintu. Tangan kanannya mulai menggenggam, hampir menyentuh daun pintu. Belum juga Ananta mengetuk, pintu itu pelan terbuka.   

Inneke menatap Ananta, dalam jeda itu kedua mata mereka bertemu. Nafas Ananta mulai terkendali, Senyum Inneke mengembang, satu matanya berkedip, dengan cepat Inneke menarik tangan Ananta lalu menutup pintu.

-----





Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, October 2, 2016

Pelacur Waktu


Hujan sore ini menciptakan kekhawatiran pada banyak orang. Seorang pria harus mengejar penerbangannya menuju Amsterdam. Ananta namanya, dia masih berada dirumahnya dua jam sebelum pesawat lepas landas. Berulang kali dia memesan taksi online, namun gagal. Tak ada satu driver pun yang merespon pesanannya. Jarak dari rumahnya ke bandara cukup jauh, memakan waktu hampir satu jam dalam keadaan lalu lintas yang lancar.

Lima menit menunggu pesanan taksi online yang tak kunjung memberikan notifikasi pasti. Ananta memutuskan menyetir mobilnya sendiri menuju bandara. SUV Chevrolet hitamnya melaju kencang membelah hujan yang semakin deras. Jalanan cukup lancar, disaat orang-orang mengistirahatkan tubuh, melepas penat selepas bekerja. Ananta harus mengejar sesuatu, belum pernah dia sesemangat ini setelah banyak yang diambil dari dirinya. Amsterdam telah menciptakan kenangan buruk bagi dirinya setahun yang lalu. Tak ada yang mengerti kemana perasaan bermuara. Dia hanya mencoba mengikuti kata hatinya, sekali lagi.

Seorang teman membalas status check in di akun Pathnya. Pramugari maskapai penerbangan yang kebetulan akan ada dalam satu pesawat bersamanya, menuju Belanda. Namanya Inneke. Ananta tersenyum, membalas komentar Inneke yang mengajaknya bertemu. Inneke adalah wanita yang memberikan luka pada Ananta setahun lalu. Yang membuatnya tak pernah lagi berkunjung ke Amsterdam sejak saat itu. Tapi tetap saja, wanita tak pernah mengerti bagaimana seorang pria telah sakit dan patah. Mereka hanya bisa terus menuntut untuk dimengerti, sampai  lupa mereka seharusnya belajar mengerti orang lain

SUV milik Ananta sampai di lahan parkir Bandara, hujan mulai mereda, Ananta berlari menuju terminal tiga.Tak ada barang yang dia bawa. Hanya dompet, ponsel dan satu lembar tiket keberangkatan. Setelan Jas hitam kerjanya masih ia kenakan.

Tidak lupa dia menghubungi sekretarisnya untuk menghandle semua pekerjaan di kantornya. Tak ada kata terlambat bagi Ananta, setengah jam sebelum pesawat lepas landas, dia telah duduk manis di tempat duduknya, Kabin Business Class. Via whatsapp, Ananta menghubungi Inneke bahwa dirinya telah berada di atas pesawat. Tak perlu menunggu lama. Inneke telah sampai di kursinya. Menyapa Ananta mencium pipi kanan dan kiri. Hal yang wajar dilakukan seorang wanita ketika bertemu Ananta. Pria yang macho dan tampan, tak ada wanita yang tak menyukai dirinya. Ananta adalah manifesto pria sempurna dimata para wanita.

“Kamu ke Belanda ada urusan apa??” Tanya Inneke.
“Urusan Bisnis.”
"Oh gitu... Oke, Aku kesana dulu ya. Entar kita ngobrol lagi," Inneke pergi dengan senyum malu yang menggoda. Ananta tidak membalas senyum Inneke. Dia memang begitu, cuek dan tenang. Tatapannya teduh dan meneduhkan.

Empat belas jam perjalanan yang akan ditempuh Ananta. Bukan waktu yang lama baginya asal Champagne tersedia selama perjalanan. Ananta membunuh waktu dengan menonton film. Lampu kabin di padamkan. Ananta masih terjaga, penumpang lain mulai bersiap tidur. Seorang pramugari terlihat mendatangi Ananta. Wajah Inneke terlihat oleh cahaya ponsel Ananta. Mereka berdua tersenyum. Mereka berbincang. Inneke duduk di depan Ananta. Masih dalam satu tempat dengannya. Perbincangan mereka berlangsung sampai satu jam sebelum peswat mendarat. Inneke akan kembali bertugas, seperti pramugari lain. Ananta memelankan suara sebelum Inneke bangkit berdiri.

"Hotelmu masih yang dulu kan?" Tanya Ananta. Inneke menatap Ananta singkat, tersenyum manis, mengangguk pelan lalu berlalu meninggalkannya.

Pesawat mendarat sempurna.  Hotel tempat Inneke menginap tak terlalu jauh dari bandara. Aku ingin meminta maaf. Aku tidak bisa melanjutkan cerita ini. Waktu menungguku. Dia sangat baik hati.

-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.