Wednesday, May 30, 2018

Tentang Mimpi-Mimpi yang Dingin



Aku terbangun dari sebuah perjalanan waktu yang gagal total. Petang itu aku hanya memakai celana pendek selutut dan tubuhku terasa sakit karena baru jatuh dari langit. Aku jatuh persis di pinggir jalan, ada pembatas besi yang memisahkan antara jalan beraspal dan lautan luas. Saat aku membuka mata dari terbaring miring dan mencium air hujan, aku melihat seorang wanita menangis bersandar pada pembatas besi jalan itu. Wanita itu menatapku nanar, ada air mata yang kulihat hingga membasahi rona pipinya.

Tiba-tiba wanita itu memelukku, aku tak mampu mendengar kata apa yang keluar dari bibirnya sesaat sebelum pelukan hangat itu menubruk tubuhku. Dalam peluk itu aku melihat senja yang sedikit lagi menghilang—melihat pantulan sinar itu di air laut yang tenang. Wanita itu sangat erat memelukku, dia berkata;

“Jangan pergi, aku takut di sini.”

“Aku gak paham, kenapa?” kataku membalas. Ia melepas pelukannya, kali ini menatapku dengan senyum yang tenang.

“Jangan jawab, cukup rasakan. Aku takut sendiri,” aku hanya menatapnya—semakin bingung. Tiba-tiba ia menciumku—pelan, tak kurasakan nafsu di sana. Bibir kami yang basah bertemu di sebuah lanskap tepat ketika senja benar-benar hilang. Aku membalas penuh ciuman itu. Ia semakin erat mencekram punggungku, sampai ia berhenti—lalu menatapku lagi, dan kembali menciumku. Yang kali ini lebih kacau, tidak tenang sama sekali. Aku mendorong tubuhnya, sampai punggung wanita itu menyentuh dinginnya pembatas besi jalanan.

“Aku di mana?” tanyaku dalam pelukannya sesaat ciuman itu usai.

“Ha?” suaranya lirih, melepas pelukan—tersenyum menatapku.

“Ini di mana?”

“Home. . .” ia berbisik di telingaku, ia menunjukkan keindahan lautan dengan gerik tubuhnya, seolah mempersembahkan keindahan eksklusif itu padaku.

“Aku gak paham.”

“Cukup aku, kamu jatuh di duniaku. Aku telah lama menunggu,” ia berdiri sejajar di sampingku, ada yang aneh—aku tak lagi merasakan angin yang menabrak tubuhku yang telanjang. Saat kulihat, ada setelan rapi yang terpasang di tubuhku, reflek aku melihat wanita itu, dan ia hanya tersenyum.

Sampai cahaya senja benar-benar hilang, dan langit diselimuti gelap yang murung tanpa bintang, ia menggenggam tanganku—mengajakku pergi dari sana. Aku mengejar langkahnya yang sedikit cepat. Terus bertanya sepanjang jalan ke mana kita akan pergi, ia tak menjawab, hanya sesekali menoleh—senyum itu menghiasi bibirnya, lagi dan lagi.

Sepanjang jalan itu rambutku terus tersapu angin yang sekaligus mengelus pipiku dengan lembut, wanita di depanku ini memakai gaun putih susu yang elok menyentuh lutut. Ada perasaan yang menggema mengganggu pikiran tiap aku berkedip, makin lama, goncangan itu menggangguku. Aku penasaran, kugunakkan mataku untuk terus berkedip untuk tahu jawabannya. Wanita itu mempercepat langkahnya, saat aku berkedip sekali lagi, wanita itu telah hilang, aku berlari, masih menyongsongkan tangan ke depan, sebelum sepenuhnya sadar—aku berlari sendirian.

Aku melihat sekelilingku, mencari wanita itu dan tak kutemukan di mana-mana, saat aku menoleh dalam sekejap aku berada di sebuah lorong putih dengan banyak pintu cokelat di kanan dan kirinya. Di ujung lorong itu ada cahaya putih yang berusaha menembus kaca tebal. Lorong itu sepi, ada gema saat suara tercipta. Aku berjalan menyusuri lorong dengan karpet berpola planet-planet, sampai di depan pintu nomor 19 aku dikagetkan oleh suara langkah kaki yang berat dari belakang, sebelum aku sempat menoleh, tubuhku terdorong masuk menembus pintu 19.

“Kamu harus segera pulang,” pria itu mengambil sebuah arloji dari saku celananya. Aku yang bingung terus melihat gerak-geriknya. Lalu ia melemparkan arloji itu ke lantai, secercah cahaya diagonal keluar dari arloji itu, cahaya putih yang perlahan menjelma portal yang penuh bintang-bintang dan benda langit. Ia mendorongku dengan keras, bahkan tak bisa kulawan. Aku tak ingat apa rasanya memasuki portal itu.

Ada gelap yang singkat, aku membuka mata, sedikit menebak sedang berada di mana. Aku terbangun dari ranjang tidurku. Mimpi apa lagi barusan? Tanyaku dalam hati, sepasang mataku seperti dibebani batu besar. Lalu aku buru-buru membasuh muka, cermin di depanku sekilas memantulkan sosok wanita itu. Aku mengenalnya. Sial! Tak biasanya aku mampu mengingat setiap wajah di mimpiku. Sungguh mimpi yang dingin, yang membawaku pada titik ini: Dan membawamu ikut.    

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, May 18, 2018

Pulang dari Mimpimu


Aku telah lama diguncang, sendiri dalam bait-bait ruang yang saat itu memaksaku untuk menolak semua yang datang, hanya karena satu wanita yang begitu kucintai. Saat-saat itu adalah hal yang tidak mampu terkatakan namun rasanya indah. 

Ada bagian dari dalam dirimu yang  kosong, tapi kamu merasakan kenikmatan untuk mengingatnya. Entah apa kata yang tepat bagiku untuk menerjemahkan saat-saat ini, mimpi itu telah habis, dan bayangan tentang keberadaanmu pelan-pelan menjadi debu. Aku sudah berada pada jalan kebuntuan, tak lagi mampu mendengar, tak mampu lagi melihat. 

Aku benar-benar tidak mampu memahami situasi ini. Aku telah seringkali mencoba mencintai orang lain; aku percaya bahwa cinta itu bertumbuh. Namun kenyataannya adalah sesuatu yang tak mampu kuterima, cinta selalu pergi justru di saat aku membutuhkannya.


Semarang, 18 Mei 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, May 14, 2018

Kamus Kata


Kecewa itu kamusmu
Sedih baru kamusku
Marah itu katamu
Sabar baru kataku

Kata-kataku bukan marah katamu
Katamu bukan sabar kata-kataku
Sedihku bukan kata kecewamu
Kamusmu barangkali kata-kataku


Semarang, 15 Mei 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, May 11, 2018

Mengunjungi Mimpimu



Sebelum kamu membaca inti dari kisah ini, aku ingin memberi tahu; ini adalah sebuah cerita pendek tentang cerita yang sangat pendek. Apa yang ada dibenakmu saat aku bilang, aku sedang tertarik pada seorang perempuan yang akhir-akhir ini sejak dua bulan lalu, menghantuiku. Iya, aku bahkan tak mampu meyakini bahwa ini adalah bagian dari perasaan jatuh cinta. Kenapa? Karena aku percaya sebelum kita berpijak pada satu konsep yang kita kenal dengan cinta, kita selalu harus melewati tiga fase.

Fase pertama; mengenal. Karena seperti seorang penulis yang melakukan riset sebelum memulai menulis, aku, kamu, kita semua agaknya selalu perlu untuk mengenal siapa dia yang membuat pikiran kita jauh tersita, membuat kita jatuh pada pandangan pertama, tertarik di awal. Fase ini sudah aku lewati, dan tulisan yang sedang kamu baca adalah pentup fase pertama. Aku tidak betul-betul mengenalnya, hanya beberapa omongan dari teman sekelas atau sosial medianya, dan untuk itu aku butuh fase kedua.

Fase kedua: pekenalan, perkenalan adalah fase di mana obrolan di antara dua manusia mulai terjalin. Pria percaya pada jatuh cinta pada pandangan pertama. Wanita? Kukira tidak, mereka adalah nyawa yang spesifik perlu dirumuskan. Tapi, aku percaya, pada obrolan pertama wanita bisa saja mulai tertarik atau bahkan jatuh cinta. Aku belum memulai fase ini, dan mungkin kamu bisa menebak bahwa tulisan ini adalah pembuka fase keduaku, sebelum aku berani untuk masuk pada fase selanjutnya, fase ketiga.

Fase ketiga; fase ketika kita sama-sama harus memutuskan, menerjemahkan arah relasi, arah hubungan pada seorang yang membuat kita tertarik. Apakah hanya akn menjadi sebatas teman, rekan kerja, atau mungkin bisa menjadi sepasang kekasih. Fase ketiga memang sedikit rumit, karena keduanya harus sama-sama yakin untuk merumuskan mau dibawa ke mana arah hubungan. Tidak akan sama-sama bertemu, jika keduanya berbeda dalam menerjemahkan.

Lalu, ada di mana kamu sekarang? Apakah kamu sudah berani memulai? Aku sendiri sudah selalu hampir ingin memulai, ketika aku melihat wanita ini ada di sudut-sudut kampus, aku bahkan pernah sekali menyapanya. Uniknya aku tak pernah melihat langsung wajahnya. Di hari pertama aku melihatnya, aku hanya melihat dia duduk merunduk menggunakan celana panjang putih dan baju berbunga merah muda. Instingku saat itu berbicara, “That’s my love.” Aku mengejarnya, karena ketika mengejar kita tahu kapan harus berhenti, dan kenapa harus tetap mengejar. Aku tidak ingin dikejar, karena aku tak pernah tahu kapan harus berhenti.

Aku perlu menunggu seminggu lamanya untuk bisa melihatnya lagi, kita seringkali berpapasan, namun tetap saja, aku belum berani memulai obrolan, karena aku belum mengenal betul wanita ini. Sampai suatu ketika, aku benar-benar melihatnya duduk sendirian, aku hanya mampu melihatnya dari kejauhan, seolah detik itu juga perasaan ragu membuat tubuhku beku. Aku selalu berpikir, apakah orang sepertiku layak dicintai, atau layak mencintai?

Pernahkah kau melihat seseorang dan berpikir seketika untuk bisa hidup dan menjaling hubungan dengannya? Ini sedikit rumit untuk dijelaskan, namun tuhan menciptakan manusia dengan pikiran juga insting. Aku memutuskan menulis ini, setelah sekian lama berpikir matang-matang, semoga ia membacanya, semoga ia tergerak membalas ini. Paling tidak aku telah melakukan sesuatu yang berarti buatku. Bukankah itu makna cinta? Ketika kita bergerak untuk sesuatu.

Lalu aku selalu yakin, pada seseorang yang membuatku jatuh hati, ketika orang itu masuk ke dalam mimpiku. Aku percaya, mimpi adalah ruang yang netral. Di sana, semua kemungkinan bisa terjadi, yang kita inginkan atau bahkan tidak kita inginkan. Artinya, aku ingin mengunjungi mimpimu, Ev. Izinkan aku berada di sana meski hanya sedetik. Biarlah aku menunjukkan perasaan yang entah tentang apa ini. Aku pun bingung menerjemahkannya, maka bantu aku.

Kalau kamu berpikir, lagi-lagi aku menulis sebuah cerita nyata, kali ini harus kubilang kau 100% benar. Kalau kau bilang ini adalah pilihan yang berisiko, itu juga benar. Karena bisa saja tulisan ini akan terabaikan, atau bahkan tidak dibaca. Tapi, apa salahnya mengambil risiko?

Namanya Eva, perempuan yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya, belum pernah kudengar suaranya, belum pernah kuselami cara berpikirnya, belum pernah bertanya tentang apa makna hidup baginya. Dan segala ketidak-pernahan lainnya. Kali ini aku sangat yakin dengan gejolak yang muncul dari dalam. Lalu ketika gejolak itu muncul, adakah yang bisa menggantikan gejolak itu?

Aku belum ingin memulai fase kedua, sebelum Eva mengenalku. Ada baiknya perkenalan dimulai ketika keduanya paling tidak tahu sama tahu. Dan sama-sama percaya bahwa semua kemungkinan itu pasti ada, kemungkinan yang membawa kita dari A sampai ke Z. Kemungkinan yang meruntuhkan sekat-sekat yang menghalangi, bahwa cinta selayaknya perlu dicaritahu, diterjemahkan, lalu diperjuangkan. Aku ingin istirahat, Eva. Bangunkan aku ketika kamu menyadarinya.

-----

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, May 5, 2018

Salam untuk Ibu


Aku dilahirkan dari suara toa masjid 
yang membangunkan ibu 
dari mimpi buruk.

Di ranjang sempit itu 
seorang wanita mengadu pada selimut putih 
yang lebih hangat dari tatap matamu.

Katanya dingin subuh 
seperti mata lampu yang mengendap 
riang di kamar tidurku.

Aku yang baru bangun, 
melihat kumpulan semut yang bercinta 
dengan seekor kecoa di lantai.

Suara toa yang berisik masih besenggama 
di langit-langit dengan awan kelabu 
yang menutup bulan pagi itu.

Tak ada sarapan pagi ini, 
kematian telah membawa yang kau cintai 
pada tanah basah penuh lumpur akibat hujan malam tadi.

Aku yang masih meringkuk 
tak sadar telah disetubuhi laron-laron 
penuh nafsu di bawah pijar lampu neon

Kesakitan mengartikan makna kata, 
saat aku menyetubuhi wanita lain, 
tapi di pikiranku masih tergambar paras wajahmu.

Aku ingin tidur saja, 
bangunkan aku satu menit sebelum kematian menjemputku, 
aku ingin mengucapkan salam pada ibu.


Semarang, 5 Mei 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.