Sunday, June 24, 2018

Kabut Pagi


Kubaca rindumu
di kabut pagi yang buta
di dingin yang tak lagi bersuara

Basah tubuhmu mengalir di tubuhku
kita rayakan malam berdua
di antara lekuk udara
dan langit yang mendung

Hujan menggugurkan daun-daun
juga sedih di matamu
atau panas di keningku


---
Semarang, 25 Juni 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, June 22, 2018

Connecting


Aku duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang terlihat seumuran denganku di dalam pesawat yang menuju ke Bali. Aku tersenyum ketika dia menemukan nomor tempat duduknya setelah bingung mencari dan berkali-kali melihat boarding pass di tangannya. Setelah beberapa detik dia meletakkan barang bawaannya di bagasi atas, dia duduk dengan senyum antusias yang mendarat di mataku. Gincu merah muda di bibirnya terlihat cocok dengan bentuk bibir dan kulit putihnya. Warna matanya terlihat terang tanpa garis merah yang biasanya ada di pinggir bola mata.

“Hai” tangannya antusias menjabat tanganku.

“Oh, hai” aku tersenyum menyambut jabat tangannya.

“Mau liburan?” perempuan itu melepaskan jabat tangannya.

“Iya, Ubud.”

“Ubud? Sama dong, aku juga mau ke sana.”

“Liburan juga?”

“Iya, sekalian jenguk nenek. Sendirian aja?”

“Iya nih, sendiri. Kamu juga?”

“Tadinya sendiri, sekarang udah duduk berdua sama laki-laki yang sama-sama mau ke Ubud,” dia tertawa kecil.

“Haha, ohiya aku Leo” aku menjabat tangannya.

“Aku Carina” dia tersenyum.

Carina memakai T-Shirt bermotif garis horizontal berwarna putih—biru yang ditekuk di ujung lengan T-Shirt. Memakai celana jeans yang juga ditekuk di ujungnya. Celana jeans yang berlubang di beberapa bagian itu sedikit menggangguku, paha putihnya tidak bisa kupungkiri terlihat oleh mataku. Carina memakai sepatu dr. Martens warna merah maroon dengan tiga lubang tali, tanpa kaos kaki. Membawa tas hitam kecil, jam tangan cassio warna cokelat dan beberapa gelang menghiasi tangan kirinya. Setelah beberapa menit dalam keheningan dan saling diam, Carina mengambil ipod dan earphone hitam dari tasnya.

“Suka musik apa?” tanya Carina.

“Relatif, tapi paling suka musik jazz sih.”

“Louis Amstrong?” Carina memakai earphone hitamnya.

“Iya, tapi aku paling suka Jimy Rushing.”

“Really? Jimy Rushing? Nenek aku suka banget sama Jimy Rushing” Carina melepas earphone hitamnya.

“Ohiya?”

“Iya, gara-gara nenek, aku juga jadi suka Jimmy Rushing.”

“Aku masih sering lihat perfomancenya di youtube, waktu dia duet sama Dizzie Gillespie Quintet.”

“Aku tahu! Blues After Dark kan?” Carina antusias.

“Iya, Perancis 1959” aku tersenyum menatapnya.

“Gendut, botak, hitam manis, suaranya bagus gemesin kalo lihat dia jalan di video-videonya” Carina tertawa lepas.

“Haha, sssstttt. Jangan ketawa keras-keras,” telunjukku mengacung di depan bibir.

“Ohiyaya, ssstttt,” telunjuk Carina ikut mengacung di depan bibir.

“Mau dengerin lagi?”

“Boleh” Jawab Carina.

Aku mengambil Ipad di tasku, lalu membuka file video yang sudah kudownload. Memakai earphone di telinga kiri lalu memakaikan earphone di telinga kanan Carina.

“Terima kasih” Carina membuka rambut yang menutup telinganya, menggiringnya ke belakang telinga.

“Sama-sama, Carina.”

Aku baru mau menekan tombol play, Carina sudah mendahuluiku. Menekan tombol play lalu mencubit jariku. Aku hanya tersenyum, Carina juga. Aku dan Carina melihat video itu bersama, hanya berdua. Sesekali Carina berkomentar lucu soal tubuh Jimmy Rushing yang gendut. Tangan kiriku yang menopang punggung Ipad mulai goyah, “Capek, Leo?” Tanya Carina. Tangan kanan Carina ikut menopang punggung Ipad tepat di bawah tanganku. Tangan kami bersentuhan, beberapa detik setelahnya jari-jari Carina mulai bergerak di punggung jari-jariku. Aku meliriknya yang tersenyum dengan matanya yang masih terpaku pada video. Jari-jari Carina masih bergerak mengelus jari-jariku. Aku membiarkannya.

“Nah, selesai juga videonya,” kataku, Carina menarik tangannya.

“Yah, kok udah selesai” keluh Carina.

“Haha, emang cuma segitu,” aku memasukan Ipad ke dalam tas.

“Sekarang, kita dengerin lagu-lagu yang ada di Ipodku ini ya” Carina menunjukkan Ipodnya padaku.

“Boleh, kita lihat seberapa bagus musikalitasmu.”

“Haha, oke. Kita lihat bareng, Le—O” balas Carina.

Carina memakaikan earphone di telinga kiriku, lalu aku memegang tangannya membantu memakaikan earphone, aku sengaja melakukannya, agar Carina merasakan apa yang aku rasakan ketika ia menyentuh tanganku tadi.

“Udah?” tanya Carina.
“Play,” jawabku.

“Lagu pertama nih, Leo,” Carina tersenyum menatapku.

“Asiik, Billie Holiday.”

“Gloomy Sunday, Leo. Lagu wajib sebelum aku tidur.”

“Jadi, sekarang kamu mau tidur?” tanyaku bingung.

Belum Carina menjawab pertanyaanku, matanya sudah terpejam. Aku masih terus mendengarkan lagu dari Ipodnya. Sudah lagu keenam setelah Gloomy Sunday milik Billie Holiday berhasil membuat Carina tertidur. Pundakku berubah hangat, melihat kepala Carina tersandar halus. Aku melihat Carina nyenyak dalam tidurnya. Lima belas menit lagi pesawat akan mendarat. Aku masih membiarkan pundakku dikuasai Carina. Jari-jariku menyentuh rambutnya, keningnya, pipinya, bibirnya. Carina terbangun, membuatku cepat-cepat menarik tangan.

“Aku ketiduran ya?” tanya Carina.

“Iya, Carina. Billie Holiday berhasil bikin kamu tidur.”

“Haha kamu, iih. Berapa lama aku tidur?”

“Setengah jam, mungkin,” aku tak yakin.

“Lama juga ya.”

“Kita udah mau mendarat, Carina. Jangan lupa safety belt.”

“Thank you, Leo.”

Pesawat sudah mendarat, Aku dan Carina turun dari pesawat bersama. Sebelum mengambil barang aku meminta nomor handphone Carina. Carina memberikannya dengan senang hati.

“Kamu dijemput siapa, Leo?” tanya Carina.

“Sepupuku. . . Kamu Carina?”

“Itu” Carina menunjuk sesorang yang melambaikan tangan ke arahnya, “Suamiku. Aku duluan ya, Leo.”

-----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, June 11, 2018

Tentang Mimpi-Mimpi yang Beku


Aku terbangun, sekali lagi. Pada sebuah perjalanan waktu yang gagal total. Kali ini, setelah berkedip berulang kali, aku menyadari ada di sebuah perkantoran. Aku berdiri di antara meja dan kursi kayu cokelat yang ditata rapi. Di sekelilingnya dinding kaca menghalangi warna senja yang agak muram karena mendung sore itu. Aku duduk di satu meja dengan peralatan komputer terbaru, awalnya, kupikir aku sendirian. Tapi setelah mengedarkan pandang ke seluruh ruangan, aku menyadari ada seorang perempuan duduk di belakangku, tak jauh dari situ.

Aku mengenalnya, ia dengan rambut menyentuh pundak tersenyum sebelum aku sempat mengirim senyumku. Bibirnya merah merona, matanya gelap sempurna, ia cantik dengan blus longgar berwarna putih dengan jam mungil di tangan kanannya.

“Hai,” ia menyapaku, melambaikan tangan seolah kami berjauh-jauhan.

“Loh kamu kok di sini?” kataku setelah mengolah informasi di otakku tentang keberadaannya yang tiba-tiba.

“Aku kerja paruh waktu di sini.”

“Serius?” tanyaku sedikit menarik tubuh—tak percaya.

“Iya, jadi aku dulu di sini, sebelum kamu,” ia masih dengan senyum di balik bibir meronanya. Mengabaikan layar komputer yang tak kuketahui menampilkan apa.

Aku bangkit dari tempatku, menghampirinya. Aku melihat matanya yang membesar indah, seperti seorang yang akhirnya bertemu sang kekasih setelah sekian lama tak bertemu. Aku mengulurkan tangan, ia menyambutnya dengan senang hati. Sedetik saat tangan kami bersentuhan, ruangan tiba-tiba luruh, kami tak lagi berada di perkantoran dengan dinding-dinding kaca. Aku bingung menatap sekitar, perempuan itu tetap diam—tenang, ia memelukku di antara hiruk-pikuk pesta dansa.

Satu tangannya menyentuh lembut pundakku, ia berbisik di telingaku;

“Nikmati malam ini, sayang. Bawa aku pergi dari ruang mimpimu,” aku menatapnya, mata itu menghindar. Masih dengan sentuhan lembut itu, ia menempelkan hidungnya pada pundak lainnya. Alunan musik klasik pelan-pelan terdengar sporadik di telingaku. Aku melingkarkan tangan pada pinggangnya, kami sempurna seperti penari dansa profesional di tengah hiruk pikuk kebisingan orang-orang.


Kupejamkan mata, ia masih bisa kurasakan di sekujur tubuh, gerak-geriknya yang pelan-mempesona, hingga deru napasnya yang menyentuh leherku. Aku merasa berada di rumah; tempat segala rasa nyaman ditemukan. Lalu saat aku membuka mata, ruangan itu sepi, tak ada lagi perempuan itu. Hanya aku sendiri.

Kupejamkan mata sekali lagi, berharap semuanya kembali. Namun tak lagi terjadi apa-apa, aku berkedip cepat, hingga menemukan diriku berada di jalanan malam, aku melihat perempuan itu menggandeng tanganku, ia ada di depan--mengajakku berlari. Jalanan itu sepi, lampu lalu lintas hanya berkedip kuning setiap kali. Ia makin kencang membawaku berlari, makin kencang hingga rasanya aku memasuki sebuah portal infinite, seketika ia hilang. Sebelum aku menyadari, aku masih dalam kecepatan lari yang konstan, hingga benar-benar berhenti. Aku terbangun dalam mimpi pagi di ranjang tidurku yang berantakkan, dengan kebingungan membekukan tubuhku. 

----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, June 5, 2018

Radikalisme dan Intoleransi Kita.



Apakah radikalisme adalah “gen” manusia? Radikalisme adalah reaksi yang timbul karena kebencian terhadap suatu ideologi. Reaksi ideologis ini memengaruhi apa yang kita sebut kemanusiaan. Radikalisme memunculkan produk-produk yang lebih banyak akan merusak lingkungan publik dan kondisi sosio-politik di suatu negara, seperti munculnya terorisme.

Pendidikan kita menciptakan manusia-manusia yang reaktif bukan responsif. Orang-orang kita akan bereaksi terhadap sesuatu yang sudah benar-benar terjadi. Padahal menjadi responsif dalam hal penangkalan radikalisme adalah hal yang penting untuk dilakukan. Dari sana dengan dukungan pemerintah mulai dari Undang-Undang yang dibuat bukan karena perilaku reaktif, juga dukungan terhadap apparat keamanan, kita bisa pelan-pelan menanggulangi radikalisme, untuk kemudian dilakukan deradikalisasi.

Saya punya pengalaman. Tahun 2015, sekitar bulan April. Saya “disidang” di sebuah ruangan oleh beberapa pengajar yang bahkan jumlahnya tidak lagi bisa dihitung dengan jari-jari tangan. Ada bapak & ibu saya di ruangan itu. Saya disidang karena menulis tweet yang memojokkan institusi pendidikan tempat saya belajar. Saya tidak memasalahkan agenda “sidang” tersebut yang tampaknya membuat beberapa pejabat institusi pendidikan itu marah sekaligus takut jika kedoknya tercium; Ini soal kasus korupsi.

Yang masih saya ingat dan selalu membekas di benak saya, ketika dua pengajar mengatakan bahwa saya akan mudah direkrut oleh ISIS karena saya dinilai radikal dan berani untuk bersuara. Sialnya, pengajar lain yang ada di sana hanya diam, seolah setuju dengan kata-kata itu. Ini jelas pengalaman menyakitkan yang sekaligus selalu coba saya lupakan namun terus gagal. Kalimat itu telah jauh menyakiti saya melebihi hinaan verbal yang pernah saya terima. Diucapkan oleh pengajar yang saya hormati. Apakah saya marah dan memberontak? Tidak. Saya hanya bisa menangis tiap mengingat momen itu.

Hera Diani dalam artikelnya di Magdalene berjudul “Konservatisme Agama di Sekolah dan Kampus Negeri Picu Intoleransi.” Menulis tentang radikalisme yang merebak masuk ke sekolah dan kampus negeri. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) di Universitas Islam Negeri Jakarta mengadakan survei nasional yang diikuti 2.181 responden. Hasilnya mengkhawatirkan; Dari 58,5 % pelajar atau mahasiswa muslim menganut paham radikal dan 34,4% di antaranya intoleran terhadap non-muslim.

Dalam kasus ini, seharusnya Pancasila bisa menanggulangi problem tersebut dengan penguatan ideologi Pancasila di bangku-bangku sekolah. Pada kenyataannya, Pancasila benar-benar hanya menjadi simbol dan hapalan semata. Tidak ada yang benar-benar melakukan amanat itu di kehidupan sehari-hari, apalagi dengan tidak membaca sejarah tentang Pancasila itu sendiri. Kita hanya mengingat Pancasila setiap tanggal 1 Juni saja, gembar-gembor tanpa paham betul maknanya. Sehingga ideologi ini menjadi dilemahkan oleh masyarakatnya sendiri. Yang tidak mampu memahami Pancasila sebagai subjek yang kontekstual.

Satu contoh tentang pelemahan ini yang secara tidak sadar dilakukan adalah Pembubaran HTI. Membubarkan HTI dengan dalih melindungi Pancasila dari ideologi radikal justru bisa memperjelas bahwa Pancasila dalam implementasinya sehari-hari tidak kokoh, tidak mampu merasuki setiap benak warganya. Ibarat dua petinju yang bertarung, salah satu petinju langsung menyerang bagian ulu hati lawannya, yang di mana itu jelas dilarang dalam aturan olahraga tinju.

Mengutip kata-kata Benjamin Prado; “Yang berbahaya bukanlah ideologi, tapi kurangnya ide.” Ideologi harusnya dilawan juga dengan ideologi. Pemerintah kekurangan ide, sehingga memutuskan mencari jalan cepat—jalan pintas yaitu membubarkannya. Dan lagi ini ikut mencederai UUD 1945 Pasal 28; “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan oleh undang-undang.”

Kita semua tidak bisa menjadi toleran ketika tanpa sadar kita mentoleransi ketidak-toleransian. Contoh ketika pemerintah masih saja toleran pada sejarah masa lalu yang belum selesai dan tidak punya niat untuk meluruskan. Kita harus sadar instrument toleransi adalah tentang manusia. Jika masalah kemanusiaan saja kita belum selesai, ada baiknya kita perlu belajar lagi sebelum jauh membicarakan persoalan toleransi.

Contoh kasus ketika PKI dibubarkan tahun 65 dengan dalih kudetanya, sehingga militer punya alasan kuat untuk turun tangan. Sejarah itu sampai saat ini belum selesai. Dalam kasus itu kita sejenak melupakan sila kelima Pancasila; “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Keadilan juga harus diberikan pada mereka yang dituduh PKI dan divonis bersalah tanpa proses hukum yang sah. Bahkan ada yang dihilangkan dan dibunuh. Sebelum membicarakan toleransi dan kebhinekaan. Kita harus lebih dulu berdamai dengan masalah ini.

Belum lagi kasus Mei 98 yang sampai saat ini belum selesai sehingga Kamis demi Kamis dalam aksi Kamisan masih terus ada karena tidak adanya kejelasan dari kasus ini. Keadilan harus tegak sebelum reaksi ideologis mengisi ruang-ruang masyarakat yang akhirnya akan bisa mengguncang kondisi sosial-budaya kita. Kita buntu untuk memahami konteks toleransi dan kebhinekaan karena kita masih terus membicarakannya sebatas ucapan belum sampai sebagai pencerah perilaku dan dalam pikiran sebagai ideologi.

Pengalaman saya sebagai mahasiswa. Apakah kita boleh mentoleransi ketika ada teman kita yang dengan kesadaran penuh tanpa pertimbangan matang, meminta tolong orang lain untuk mengabsenkan dirinya alias titip absen. Apakah kita akan tetap diam melihat praktek ini yang terus saja terjadi, seolah telah menjadi akar kita yang pada akhirnya menciptakan mental-mental korup dan tidak mencerminkan nilai Pancasila, artinya kita tidak bisa banyak berharap pada mereka yang melakukan praktek ini tanpa rasa bersalah. Apalagi untuk percaya bahwa mereka toleran dan memahami nilai Pancasila. Pendidikan kita menjadi gagal karena mental subjek pendidikan itu sendiri.

Pancasila adalah cita-cita. Seharusnya kita sedang mengarah ke tujuan cita-cita tersebut. Ideologi ini harus menjadi kuat dan menjadi roda penggerak masyarakat kita yang lokusnya memang sudah plural. Menjadi toleran adalah tentang untuk setuju pada yang tidak setuju. Setuju mengapa perbedaan sangat kentara dan kasat oleh mata. Radikalisme adalah musuh bersama. Kita adalah tatanan masyarakat yang seharusnya damai sejak dalam pikiran.

Para pemberani akan sukacita menerima keberagaman karena bagi para pemberani beragam adalah aset. Bagi para pengecut mereka jelas akan menolaknya, karena baginya ideologi terbaik adalah ideologi yang mereka anut. Ideologi seharusnya menambah banyak kemungkinan ide, bukan menghentikannya dan menjadikannya berpikiran sempit dan pendek.

Pada akhirnya kita harus menyadari, bahwa tidak semua orang mampu memahami segala sesuatu dengan baik, tidak semua orang mampu memahami lebih dama sampai ke akarnya. Apalagi untuk konsep toleransi dan kebhinekaan yang begitu kompleksnya. Pada akhirnya tetap aka nada Si Bodoh dan Si Pintar. Tapi dari semua itu, yang paling berbahaya adalah ketika si bodoh tidak ingin dan tidak berniat untuk belajar.

-----

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.