Friday, September 28, 2018

Ledakan Dahsyat dalam Aruna dan Lidahnya



Aruna dan Lidahnya adalah ledakan dahsyat di sinema Indonesia. Dia adalah teori big bang yang sempat disebut oleh Farish (Oka Antara) dalam satu adegan ketika keempat pemerannya makan bareng. Kenapa saya menyebut Aruna dan Lidahnya sebagai ledakan dahsyat? Ketika Nad berkata bahwa sains dan agama tidak bisa menyatu, dan ia menantang adakah satu teori sains yang sesuai dengan agama. Farish menjawab dengan lantang bahwa Teori Big Bang sesuai dengan Surat Az-Zumar.

Saya sudah sangat jarang menulis pembahasan sebuah film di dalam blog ini, karena hampir tidak ada film Indonesia yang pantas saya tulis di sini. Karena saya memasang standard tinggi, alasannya jelas, banyak film Indonesia dibuat bagaikan air dan minyak, tak dapat menyatu sama sekali alias selalu saja ada yang kurang, entah directing, acting, atau cara dia bercerita. Aruna dan Lidahnya meledakkan sekat itu, ia tetap menjadi film yang asik dinikmati meski datang dari Sutradara yang film-filmnya sulit dinikmati orang-orang “normal.” Aruna dan Lidahnya meleburkan kekurangan-kekurangan yang sering dikeluhkan banyak penikmat film Indonesia; terlebih para penulis review film Indonesia.

Ledakan dahsyat dalam Aruna dan Lidahnya adalah milik keempat aktornya; Aruna, Bono, Nad, dan Farish. Akting mereka sempurna! Mereka benar-benar menjadi senjata ampuh untuk menyajikan peran yang natural dan lezat—seperti makanan yang ada di filmnya. Dian Sastro sebagai Aruna adalah aktor gila, bahkan hanya dengan gesture tubuhnya, gerak mata dan gerik bibir juga mimik—tanpa harus bicara kita tahu apa yang disampaikannya. Ini semacam kita sudah menemukan siapa Aktris terbaik FFI tahun ini.

Oka Antara sebagai Farish adalah kandidat terkuat dalam nominasi aktor pendukung terbaik FFI. Bahkan katakan saja kita telah menemukan pemenangnya. Oka Antara sangat, sangat, sangat, membantu Aruna untuk mencapai puncak aktingnya di film ini. Oka Antara memperjelas perasaan, motif, motivasi, dan pikiran Aruna di dalam film. Oka Antara tak sekadar menjadi pendamping Aruna, ia punya kompleksitas yang tidak kita duga—meski Nad memberi kisi-kisi di awal-awal film. Dan jangan lupa, Dian juga membuat peran Oka Antara sebagai Farish menjadi sangat baik. Mereka adalah simbiosis mutualisme.

Jangan Lupakan Nicholas dan Hannah sebagai Bono dan Nad. Ia juga tak sekadar menjadi pelengkap ledakan dahsyat ini, keduanya adalah bagian dari komposisi di dalam ruang yang sama dengan Oka dan Dian. Meski karakter Hannah tidak terlalu dalam digali, tapi saya bisa sangat memaklumi itu, karena film memang mengambil sudut pandang Bono dalam cintanya kepada Nad. Kita menjadi peduli pada karakter Nad saat ia mengobrol dengan Farish. Film ini tepat menempatkan dialog-dialog penting dan sakral yang menjadi loncatan setiap karakternya. Seperti obrolan Nad dengan Faris tentang selingkuh. Sedangkan tugas Bono adalah memperdalam makna kuliner di dalam film ini, karenanya karakternya adalah seorang chef. Kuliner dalam film ini bukanlah menu utama, kisah cinta yang terjadi antara tokoh adalah menu utamanya. Dan melalui Bono kita terjaga bahwa film ini juga menawarkan kuliner; sesuatu yang langka dalam banyak film Indonesia.

Lepas dari Teori Big bang, ada satu teori lagi yang asik untuk kita bahas. Tentang semiotika dalam film yang sangat cerdas dihadirkan oleh Edwin, sebagai sutradara. Menurut Ferdinand de Saussure, sebagai sebuah ilmu, semiologi selalu dihubungkan dengan kata semiosis untuk merancang produksi dan interpretasi sebuah tanda. Produksi tanda dan rancangan interpretasi untuk Aruna dan Lidahnya dibuat sangat dalam dan menyatu dengan karakternya, terkhusus bagi Aruna dan Faris. Semiotika ini khas sekali dengan Edwin, seolah telah menjadi satu tubuh utuh tanpa bisa dilepas. Lagi dan lagi, seolah kita sudah menemukan siapa sutradara terbaik FFI tahun ini.

Kita ambil contoh, saat Aruna berani menanyakan tentang kekasih Farish dua tahun yang lalu saat ia masih kerja bareng. Di mana adegan itu dibuat? Di sebuah bekas gedung bioskop yang terbengkalai dan tidak digunakan lagi, gedung teater tua yang sudah sangat lama. Pendekatan lokasi ini dibuat untuk memperdalam dan mendukung dialog yang terjadi di antara keduanya, jualan film ini yang menekankan pada dialog bukanlah isapan jempol belaka. Dialog dalam film ini bukan sekadar verbal antara dua manusia, tapi juga non verbal melalui sesuatu yang tidak keluar dari mulut karakternya.

Lalu Saat Mbaa Pria tiba-tiba datang dan mengambil alih pekerjaan Aruna dan Farish. Kamera mengambil shoot Aruna yang berjalan dengan raut muka marah dengan dukungan gambaran perasaan dari sebuah naga barongsai. Edwin berusaha menunjukkan gejolak perasaan yang ada di dalam diri Aruna dengan simbol naga yang berwarna merah. Dalam setting itu pun, keduanya menjalin sebuah dialog yang intens, dengan musik barongsai yang merasuki dialog itu sendiri. Adegan itu adalah salah satu adegan terbaik dalam film ini. Ia menyatukan dua faktor yang sulit disatukan; antara gejolak yang terjadi di dalam dan apa yang terlihat di luar.

Dalam Aruna dan Lidahnya Edwin melihatkan “fetish-fetish” atau “keanehan” yang biasa ada di filmnya yang tidak medioker. Edwin menggambarkannya lewat dua mimpi yang dialami Aruna, pertama saat Aruna mimpi membuka lemari es dan memeras jeruk nipis, lalu mengarahkannya ke lidah hingga belepotan ke pipi, Aruna mengatakan bahwa itu “Asin.” Kedua saat Aruna minum air sungai dan mengatakan bahwa itu “tawar” di dalam mimpi itu ada satu instrumen yang sama, yang menguatkan dugaan saya, bahwa mimpi-mimpi itu adalah “fetish liar” Aruna dalam kehidupan seksualnya. Terlebih lagi obrolannya dengan Nad soal kondom dan gambar menunjukkan Aruna yang sedang mengganti pembalut.

Ingat satu adegan saat Farish mengajak Aruna untuk makan rujak soto? Mereka sedang berdiri memakan semacam ronde dengan cakue? Yang sudah menonton filmnya pasti ingat, bagaimana camera movement menggambarkan loncatan Faris yang awalnya menganggap makanan “biasa saja” menjadi sesuatu yang harus “dikejar”. It’s crazy, dude! Sepanjang menonton film Indonesia saya baru menemukan bentuk seperti itu dalam film ini. Ditambah dengan ekspreksi, gestur, dan gerak-gerik Oka yang natural dan sempurna. Harus diakui menunjukkan loncatan karakter hanya dari dua instrument yaitu camera movement dan mimik muka adalah sesuatu yang luar biasa, apalagi dalam sekali waktu. Bravo Edwin!

Adaptasi bebas ini membuat filmnya bercerita dengan baik dan asik untuk diikuti, sesuatu yang menarik ditawarkan sejak awal film. Aruna yang punya “ruang” atau “semestanya” sendiri untuk bebas merdeka berbicara pada kita sebagai pentonton, ia bebas mengekspresikan perasaannya. Ini dibuat sengaja untuk menghadirkan sensasi yang sama, yang dirasakan keempat karakter dalam film, yaitu makan dan ngobrol. Dalam hal ini, Aruna khusus menjadi teman ngobrol kita saat nonton dengan ditemani popcorn, atau menu khusus untuk film ini. Persis seperti ngobrol di meja makan, hanya berdua dengan Aruna—dan kita mendengar ceritanya yang sangat menarik bagi kita.

Lepas dari Teori Semiotika dan Teori Big Bang. Saya Ingat Teori Hierarki kebutuhan oleh Abraham Marslow. Yaitu kebutuhan fisiologi (makan, minum, dan seks.) Menonton Aruna dan Lidahnya membuat kebutuhan fisiologimu (makan, minum, dan seks) terpenuhi dalam sekali waktu. Meski yang terakhir tidak begitu jelas digambarkan dalam film. Dia diinterpretasikan melalui karakter Aruna dan didukung oleh Nad.

Babak ketiga film Aruna dan Lidahnya dimulai dengan masuknya lagu “Antara Kita” versi Monita Tahalea yang menjadi pengiring perasaan dan gejolak yang dirasakan Aruna dan Farish, juga Bono dan Nad. Dengan konsklusi yang memeluk hangat dan perlahan film ini memberikan pengertian bahwa benar bahwa menu utama dalam film ini adalah cinta antar manusia. Dan kuliner dalam film ini menjadi pendamping yang menarik. Seperti jualan para tokohnya bahwa dialog dalam film ini sangat menarik. Harus kita akui, itu benar adanya.

Dan kita tetap tidak menemukan jawaban apakah Fajar, anak berusia 12 tahun benar-benar terjangkit flu burung? Sebetulnya kita menemukan jawaban. Bahwa orang yang mengangap penyakit sebagai penyerahan diri kepada tuhan, memang akan sulit dimengerti. Jadi biarkan saja.

Mari kita simpati empati, lalu jatuh hati pada Aruna dan Lidahnya! #BanggaFilmIndonesia


------



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, September 5, 2018

3 Menit Sebelum Patah Hati (Cinta yang Merah)



Bisakah kamu membayangkan menjadi seseorang yang telah melalui semuanya sendirian selama hampir empat tahun setelah patah hatimu yang paling hebat, paling karam, dan paling kelam. Coba bayangkan, kamu tak punya gairah untuk mengenal orang baru, membuka obrolan, apalagi ada di sebuah hubungan baru setelah semua yang terjadi padamu. Kamu memilih menarik diri, menjadikan dirimu sendiri sebagai korban yang tak diketahui siapa-siapa, rasa sakit yang terus-menerus ada, lebih kamu pilih untuk dipelihara.

Kamu terbiasa melakukannya sendiri, terbiasa hidup tanpa rasa kasih atau sayang, kamu terbiasa untuk tidak meminta bantuan pada siapa pun, karena kamu tak lagi percaya pada siapa-siapa. Coba bayangkan ketika seseorang mencoba masuk ke duniamu, mengenalmu. Kamu tetap tak tertarik, tetap tak bergairah, karena bagimu orang itu sama saja—tak ada beda dengan yang terakhir. Atau kamu bahkan berpikir untuk tidak punya hubungan pada siapa pun, tidak ingin menikah—mengutuk dirimu sendiri.

Lalu lama-kelamaan kamu berpikir sendiri bahwa mungkin kamu terlalu mengekang dirimu sendiri, sudah kelewat batas menilai bahwa semua orang sama saja, terlalu sering membandingkan orang-orang pada satu manusia yang telah dengan kesadaran penuh membuatmu jatuh hingga dasar jurang. Kamu berpikir untuk membuka hati namun rasanya sulit, semesta tak lagi memihakmu, perasaan itu terus coba kamu bangun—memang benar membangun optimisme butuh tenaga apalagi di antara orang-orang yang sengaja melemahkan diri—tak optimistik.

Kamu mencoba membaur, berteman pada siapa pun, mengenal semua orang, membuka obrolan dengan orang-orang di sekitarmu, kamu menguji dirimu sendiri. Seberapa banyak kamu membuang waktu untuk menghakimi diri sendiri, seberapa meruginya kamu karena telah terlalu keras kepala, dan tak lagi percaya bahwa cinta adalah kekuatan besar, dan karena itu, ia perlu dikendalikan. Kamu menceritakan kisahmu pada orang-orang yang akhirnya kamu beri kepercayaan, kamu merasa tenang dan nyaman untuk memuntahkan semua kisah yang lama menjadi bebanmu.

Saat kamu mulai percaya pada dirimu sendiri, kamu merasa semesta sepenuhnya memihakmu, seperti memelukmu perlahan, mengelus lembut kepalamu, dan menyanyikan lagu penenang dengan pelan di kedua telingamu. Kamu merasa siap untuk membuka diri, meski di dalam hati kecilmu masih ada sedikit perasaan ragu, merasa takut kejadian empat tahun lalu akan datang dan membunuhmu sekali lagi. Kamu malu-malu mengungkap dirimu yang baru.

Kamu ingin memulai hidup biasa, mulai terbiasa pada hal-hal yang memang dilakukan orang lain; mencintai, dicintai, berbahagia, atau sekadar berpelukan dan berciuman. Lalu satu temanmu menceritakan temannya, kamu tertarik pada seseorang di dalam cerita temanmu itu. Tanpa sadar senyum selalu merekah setiap temanmu menyebut nama orang itu, ada percikan di dalam diri yang awalnya masih terlalu kecil. Lalu kamu mencoba berusaha mengenalnya, pertama hanya melalui sosial media karena di dalam dirimu masih ada rasa tak percaya diri. Kamu mulai mengikutinya, mencari semua tentangnya, detail hidupnya, dan itu membuatmu tambah terpesona.

Kamu sangat bersemangat saat kamu tahu orang itu meresponmu dengan baik. Kamu menemukan orang baru yang sanggup membuatmu pelan-pelan membuka diri. Tanpa sadar kamu selalu menceritakan banyak hal padanya, meskipun kamu baru saja mengenalnya. Bagimu ia seperti malaikat yang diturunkan tuhan hanya untuk kamu seorang. Hari-harimu diisi olehnya, kamu bersemangat untuk membuka sebuah hubungan yang membuatmu merasa tenang dan nyaman. Rasanya ia adalah orang itu, yang kamu butuhkan sejak dulu, lalu kamu merasa dia tidak datang terlambat, meskipun keberadaannya secara realistis sangat terlambat.

Kamu berusaha membujuk temanmu agar orang itu bisa bertemu denganmu. Kamu ingin merasakan apakah debar di dadamu dan getar di tubuhmu senyata itu. Kamu ingin merasakan bagaimana perasaanmu diluluhkan seketika, kamu ingin merasakan lagi hati yang hidup setelah empat tahun mati tanpa penghuni, tanpa seseorang yang mampu dan berani memeliharanya. Temanmu mengiyakan, iya tahu dari raut mukamu, kamu sedang berada di dalam sebuah cinta yang menyala merah, meski kamu masih tersesat di dalamnya. Kamu sudah sering mengobrol hanya melalui ponsel, kamu ingin merasakan kenyataan yang tak kabur sama sekali. Dan hari itu tiba.

“Saat aku mencoba menatapnya untuk pertama kali, ia melebarkan senyumnya, memiringkan kepalanya, menatapku tajam namun lembut, ia menahan senyumnya beberapa detik, sampai satu kata muncul dari bibirnya. Mata di balik kaca mata bundar itu menyentuh lekuk pipinya, menambah semesta yang manis. Aku terpesona, ia menyerahkan seluruh tawa dan senyumnya pada detik yang sama. Dengan aku yang lemah dan tak mampu berbuat apa-apa lagi, hanya terus berusaha menyimpan debar di dada.” Kamu menulis pertemuan pertama itu dalam sebuah buku yang biasa kamu bawa ke mana-mana. Sepanjang jalan pulang senyum di bibirmu terus menukik seperti tendangan bebas Tsubasa yang imajinatif dalam serial kartun Jepang. Bedanya ini nyata.

Saat kamu sampai di rumahmu yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya, karena terletak di kota yang berbeda. Hatimu menggerakkan untuk memberi kabar padanya bahwa kamu sudah sampai di rumah dengan aman. Ia senang mendengar itu, waktu itu pukul satu pagi, dan kamu bertanya kenapa ia belum tidur padahal sebelum berpisah kamu melihat ia tampak mengantuk. Ia hanya menjawab bahwa bentuk matanya memang seperti itu, dan menambahkan sebuah kalimat pada ruang obrolanmu “You need to know me so well,” katanya.

Kamu merasa ini waktunya jujur, bahwa teman-temanmu sering menggodamu bahwa mereka mendorongmu untuk bisa memiliki hubungan lagi, teman-temanmu mendorongmu supaya kamu dan dirinya bisa menjadi sepasang kekasih. Betapa senangnya kamu ia menjawabnya dengan sukacita, ia mengamini perkataan teman-temanmu. Jantungmu berdebar di dingin malam yang menusuk lembut kelopak matamu. Kamu memberanikan diri untuk bilang apakah ia mau. Dengan malu-malu ia menjawab, seperti langit abu-abu, ia menunjukkan ketertarikannya juga padamu 

Setelah itu kamu menyadari, ia punya kisah yang hampir sama, lama sendiri karena pernah patah hati hebat hingga membuatnya kelam dan gelap. Kamu merasa punya kesamaan, bahwa ia juga sedang berusaha membuka hati, dan ia membuka hatinya lebar-lebar untukmu. Lagi-lagi kamu hanya mencoba untuk jujur, bahwa masih ada perasaan takut. Ia memahamimu sepenuhnya, ia juga merasakan tapi ia sepenuhnya ingin melawan.

“Because I need someone to love me. Aku lihat ada ketakutan-ketakutan yang berusaha kamu tutupi dan berusaha kamu lupain dan gak mau kamu obrolin waktu kita ketemu… But if, if you need someone to talk about everything. I’m glad to be here for you,” katanya, yang kamu baca dengan pelan, tanpa sadar kamu mengusap air mata yang menetes membasahi pipimu. Dan kamu membenarkan itu, tanpa keraguan. Lalu dia bilang akan menunggumu keluar dari rasa sakit, kamu senang mendengar itu. Ia menunggu untuk perasaanmu. Akhirnya, ia mengatakan “I love you,” sesuatu yang sudah lama tak kamu terima.

Lalu kamu yakin bahwa ia adalah pendamping hidupmu untuk selamanya, kamu ingin serius, meski jujur kamu tak terburu-buru untuk menikah karena banyak target hidup yang belum kamu capai, kamu mecoba jujur padanya. Dan betapa bahagianya kamu bahwa dia setuju dengan apa yang kamu pikirkan, bahwa ia juga memikirkan hal yang sama. Tapi akhirnya kamu tahu, segala sesuatu tak sesempurna yang kita kira. Kamu benar-benar menyadari perbedaan agama menjadi satu pertanyaan yang menggema di pikiranmu. Kita tak mungkin mengabaikan itu.

“Sebenarnya yang jadi pertanyaan itu soal agama, aku pernah kan cerita ke kamu kalau mamaku pengen aku mulai serius sama orang. Tapi mamaku bebasin aku sih, segala risiko aku yang nanggung karena aku yang jalani.” Akhirnya kamu mengirim pesan itu, seketika tubuhmu melemah, kamu tak bersemangat membahas hal ini. Lalu dia mengaku sedih, kamu bertanya kenapa ia sedih. Sejujurnya ia sedih ketika cinta yang sudah terbuka untukmu harus dipertanyakan lagi hanya karena produk manusia yang disebut agama.

Kamu menunggu balasan pesanmu selama tiga menit. Ia tak kunjung merespon, dan sepenuhnya kamu paham. Kamu memutuskan mengirim sebuah pesan sekali lagi, “Sebenarnya bukan masalah agama, sih. Yaa aku gak tahu nanti kita kedepannya gimana. Cuma aku punya niat kalau bisa serius, bisa gak nanti keluargamu terima aku, dan keluargaku terima kamu. Itu yang aku pikir. Kita perlu cari solusinya bareng-bareng.”

“I love you,” balasnya, dan hanya dengan kata itu, ia berhasil membuatmu luluh—bahagia. Ada senyum yang terbit sempurna di bibirmu. Dan kini hidupmu sepenuhnya berbeda. Hanya karena satu orang yang mampu mengguncangmu. Lalu kau memikirkan satu hal, terus dan terus. Bahwa cinta dan kasih sayang adalah nikmat semesta alam, ketika ia jatuh kepadamu; kamu tak perlu mempertanyakan lagi, cukup merasakan sepenuh hati dan menikmatinya.



-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.