Aruna dan Lidahnya adalah ledakan dahsyat di sinema
Indonesia. Dia adalah teori big bang yang sempat disebut oleh Farish (Oka
Antara) dalam satu adegan ketika keempat pemerannya makan bareng. Kenapa saya
menyebut Aruna dan Lidahnya sebagai ledakan dahsyat? Ketika Nad berkata bahwa
sains dan agama tidak bisa menyatu, dan ia menantang adakah satu teori sains
yang sesuai dengan agama. Farish menjawab dengan lantang bahwa Teori Big Bang
sesuai dengan Surat Az-Zumar.
Saya sudah sangat jarang menulis pembahasan sebuah
film di dalam blog ini, karena hampir tidak ada film Indonesia yang pantas saya
tulis di sini. Karena saya memasang standard tinggi, alasannya jelas, banyak
film Indonesia dibuat bagaikan air dan minyak, tak dapat menyatu sama sekali
alias selalu saja ada yang kurang, entah directing, acting, atau cara dia
bercerita. Aruna dan Lidahnya meledakkan sekat itu, ia tetap menjadi film yang
asik dinikmati meski datang dari Sutradara yang film-filmnya sulit dinikmati
orang-orang “normal.” Aruna dan Lidahnya meleburkan kekurangan-kekurangan yang
sering dikeluhkan banyak penikmat film Indonesia; terlebih para penulis review
film Indonesia.
Ledakan dahsyat dalam Aruna dan Lidahnya adalah milik
keempat aktornya; Aruna, Bono, Nad, dan Farish. Akting mereka sempurna! Mereka
benar-benar menjadi senjata ampuh untuk menyajikan peran yang natural dan lezat—seperti
makanan yang ada di filmnya. Dian Sastro sebagai Aruna adalah aktor gila,
bahkan hanya dengan gesture tubuhnya, gerak mata dan gerik bibir juga mimik—tanpa
harus bicara kita tahu apa yang disampaikannya. Ini semacam kita sudah
menemukan siapa Aktris terbaik FFI tahun ini.
Oka Antara sebagai Farish adalah kandidat terkuat dalam
nominasi aktor pendukung terbaik FFI. Bahkan katakan saja kita telah menemukan
pemenangnya. Oka Antara sangat, sangat, sangat, membantu Aruna untuk mencapai
puncak aktingnya di film ini. Oka Antara memperjelas perasaan, motif, motivasi,
dan pikiran Aruna di dalam film. Oka Antara tak sekadar menjadi pendamping
Aruna, ia punya kompleksitas yang tidak kita duga—meski Nad memberi kisi-kisi
di awal-awal film. Dan jangan lupa, Dian juga membuat peran Oka Antara sebagai
Farish menjadi sangat baik. Mereka adalah simbiosis mutualisme.
Jangan Lupakan Nicholas dan Hannah sebagai Bono dan
Nad. Ia juga tak sekadar menjadi pelengkap ledakan dahsyat ini, keduanya adalah
bagian dari komposisi di dalam ruang yang sama dengan Oka dan Dian. Meski
karakter Hannah tidak terlalu dalam digali, tapi saya bisa sangat memaklumi
itu, karena film memang mengambil sudut pandang Bono dalam cintanya kepada Nad.
Kita menjadi peduli pada karakter Nad saat ia mengobrol dengan Farish. Film ini
tepat menempatkan dialog-dialog penting dan sakral yang menjadi loncatan setiap
karakternya. Seperti obrolan Nad dengan Faris tentang selingkuh. Sedangkan tugas
Bono adalah memperdalam makna kuliner di dalam film ini, karenanya karakternya
adalah seorang chef. Kuliner dalam film ini bukanlah menu utama, kisah cinta
yang terjadi antara tokoh adalah menu utamanya. Dan melalui Bono kita terjaga
bahwa film ini juga menawarkan kuliner; sesuatu yang langka dalam banyak film
Indonesia.
Lepas dari Teori Big bang, ada satu teori lagi yang
asik untuk kita bahas. Tentang semiotika dalam film yang sangat cerdas
dihadirkan oleh Edwin, sebagai sutradara. Menurut Ferdinand de Saussure, sebagai
sebuah ilmu, semiologi selalu dihubungkan dengan kata semiosis untuk merancang
produksi dan interpretasi sebuah tanda. Produksi tanda dan rancangan
interpretasi untuk Aruna dan Lidahnya dibuat sangat dalam dan menyatu dengan
karakternya, terkhusus bagi Aruna dan Faris. Semiotika ini khas sekali dengan
Edwin, seolah telah menjadi satu tubuh utuh tanpa bisa dilepas. Lagi dan lagi, seolah kita sudah menemukan siapa sutradara terbaik FFI tahun ini.
Kita ambil contoh, saat Aruna berani menanyakan
tentang kekasih Farish dua tahun yang lalu saat ia masih kerja bareng. Di mana
adegan itu dibuat? Di sebuah bekas gedung bioskop yang terbengkalai dan tidak
digunakan lagi, gedung teater tua yang sudah sangat lama. Pendekatan lokasi ini
dibuat untuk memperdalam dan mendukung dialog yang terjadi di antara keduanya,
jualan film ini yang menekankan pada dialog bukanlah isapan jempol belaka.
Dialog dalam film ini bukan sekadar verbal antara dua manusia, tapi juga non
verbal melalui sesuatu yang tidak keluar dari mulut karakternya.
Lalu Saat Mbaa Pria tiba-tiba datang dan mengambil
alih pekerjaan Aruna dan Farish. Kamera mengambil shoot Aruna yang berjalan
dengan raut muka marah dengan dukungan gambaran perasaan dari sebuah naga
barongsai. Edwin berusaha menunjukkan gejolak perasaan yang ada di dalam diri Aruna
dengan simbol naga yang berwarna merah. Dalam setting itu pun, keduanya
menjalin sebuah dialog yang intens, dengan musik barongsai yang merasuki dialog
itu sendiri. Adegan itu adalah salah satu adegan terbaik dalam film ini. Ia
menyatukan dua faktor yang sulit disatukan; antara gejolak yang terjadi di
dalam dan apa yang terlihat di luar.
Dalam Aruna dan Lidahnya Edwin melihatkan “fetish-fetish”
atau “keanehan” yang biasa ada di filmnya yang tidak medioker. Edwin
menggambarkannya lewat dua mimpi yang dialami Aruna, pertama saat Aruna mimpi
membuka lemari es dan memeras jeruk nipis, lalu mengarahkannya ke lidah hingga
belepotan ke pipi, Aruna mengatakan bahwa itu “Asin.” Kedua saat Aruna minum
air sungai dan mengatakan bahwa itu “tawar” di dalam mimpi itu ada satu instrumen
yang sama, yang menguatkan dugaan saya, bahwa mimpi-mimpi itu adalah “fetish
liar” Aruna dalam kehidupan seksualnya. Terlebih lagi obrolannya dengan Nad
soal kondom dan gambar menunjukkan Aruna yang sedang mengganti pembalut.
Ingat satu adegan saat Farish mengajak Aruna untuk
makan rujak soto? Mereka sedang berdiri memakan semacam ronde dengan cakue? Yang
sudah menonton filmnya pasti ingat, bagaimana camera movement menggambarkan
loncatan Faris yang awalnya menganggap makanan “biasa saja” menjadi sesuatu
yang harus “dikejar”. It’s crazy, dude! Sepanjang menonton film Indonesia saya
baru menemukan bentuk seperti itu dalam film ini. Ditambah dengan ekspreksi,
gestur, dan gerak-gerik Oka yang natural dan sempurna. Harus diakui menunjukkan
loncatan karakter hanya dari dua instrument yaitu camera movement dan mimik
muka adalah sesuatu yang luar biasa, apalagi dalam sekali waktu. Bravo Edwin!
Adaptasi bebas ini membuat filmnya bercerita dengan
baik dan asik untuk diikuti, sesuatu yang menarik ditawarkan sejak awal film.
Aruna yang punya “ruang” atau “semestanya” sendiri untuk bebas merdeka
berbicara pada kita sebagai pentonton, ia bebas mengekspresikan perasaannya.
Ini dibuat sengaja untuk menghadirkan sensasi yang sama, yang dirasakan keempat
karakter dalam film, yaitu makan dan ngobrol. Dalam hal ini, Aruna khusus
menjadi teman ngobrol kita saat nonton dengan ditemani popcorn, atau menu
khusus untuk film ini. Persis seperti ngobrol di meja makan, hanya berdua
dengan Aruna—dan kita mendengar ceritanya yang sangat menarik bagi kita.
Lepas dari Teori Semiotika dan Teori Big Bang. Saya
Ingat Teori Hierarki kebutuhan oleh Abraham Marslow. Yaitu kebutuhan fisiologi
(makan, minum, dan seks.) Menonton Aruna dan Lidahnya membuat kebutuhan
fisiologimu (makan, minum, dan seks) terpenuhi dalam sekali waktu. Meski yang
terakhir tidak begitu jelas digambarkan dalam film. Dia diinterpretasikan
melalui karakter Aruna dan didukung oleh Nad.
Babak ketiga film Aruna dan Lidahnya dimulai dengan
masuknya lagu “Antara Kita” versi Monita Tahalea yang menjadi pengiring
perasaan dan gejolak yang dirasakan Aruna dan Farish, juga Bono dan Nad. Dengan
konsklusi yang memeluk hangat dan perlahan film ini memberikan pengertian bahwa
benar bahwa menu utama dalam film ini adalah cinta antar manusia. Dan kuliner
dalam film ini menjadi pendamping yang menarik. Seperti jualan para tokohnya
bahwa dialog dalam film ini sangat menarik. Harus kita akui, itu benar adanya.
Dan kita tetap tidak menemukan jawaban apakah Fajar,
anak berusia 12 tahun benar-benar terjangkit flu burung? Sebetulnya kita
menemukan jawaban. Bahwa orang yang mengangap penyakit sebagai penyerahan diri
kepada tuhan, memang akan sulit dimengerti. Jadi biarkan saja.
Mari kita simpati empati, lalu jatuh hati pada Aruna
dan Lidahnya! #BanggaFilmIndonesia
------