Tuesday, February 28, 2023

Bagian 4: Uh.


 

Semua percakapan barangkali punya maksud khusus. Tak ada satupun percakapan yang sia-sia, bahkan sia-sia buatku adalah kata yang terlalu besar, tak terjangkau, bahkan tak sekalipun kuketahui maknanya. Karena dari setiap kejadian aku selalu melihat gambaran yang lebih luas tentang mengapa sesuatu harus dan perlu terjadi, perlu kita lalui, perlu kita pahami. Dan ya hari ini, dua minggu setelah percakapan menegangkan. Ema, Sarah, dan Romy melakukannya—ketiganya serius pada ucapan masing-masing. Makin dalam rasa penasaran ini hadir, ada gejolak dari dalam yang memaksaku mengetahui lebih jauh lagi. Apakah kau sudah paham apa yang aku maksud dua minggu lalu?

Mereka melakukannya di rumah Romy, aku akan sebisa mungkin tidak menceritakan sedetail mungkin, meski aku ingin. Romy dari kesaksian Ema yang sangat menggebu-gebu saat menceritakannya, memutar Anything You Want by Reality Club. Seperti sebuah perjamuan lengkap makan malam, ketiganya memulai di sofa kecokelatan yang menurut Ema bisa menenggelamkan pantat siapapun karena saking empuknya. Romy duduk, nyaris bersantai meski Ema tahu Romy berdebar begitu dahsyatnya.

Sarah? Kau menanyakan Sarah? Hmm, Sarah bertindak sebagai seorang ibu, dan Romy anak yang paling harus ia manjakan, dari cerita ini aku tahu Sarah mungkin punya banyak koleksi di laptopnya, dan menjadi karkater dengan superioritas adalah kegemarannya. Saat punya kesempatan, ia menjelma jadi aktor paling gahar. Paling tak sadar kamera. Ya, ketiganya merekam aktifitas itu. Dengan sadar. Gila? Belum. Ada yang lebih gila dari itu. Akan kuceritakan nanti.

Aku lebih ke bertanya-tanya apa maksud Romy memutar lagu Reality Club yang satu itu. Untuk sebuah appetizer atau hidangan pembuka, lagu itu terlalu mudah menggiring ketiganya untuk sampai di puncak, lagipula, untuk hidangan pembuka ini Romy lebih banyak diam dan menikmati setiap sequence yang ada. Bagi Ema dan Sarah tubuh Romy malam itu bagai canvas kosong yang siap dibasahi oleh jenis tinta apapun. Sebuah canvas kosong yang kotor dan terus kotor. Dan tampilan kotor itu justru yang dicari, dilelang, dibeli. Mahal. Pada puncak yang dicari.

“It’s big,” Ema terus bercerita, tak ada rem, tak ada jeda.

“Bignya orang indo ya tapi, jangan dibayangin yang big—big gitu,” Sarah menambahi. Ema mengangguk, menyadari dalam hal ini Sarah lebih punya pengalaman daripada dirinya.

“Terus?” tanyaku.

“Main course,” ucap keduanya bersamaan—seolah kini Sarah dan Ema ada dalam satu tubuh.

Pertunjukkan di dapur itu dimulai dengan satu lagu yang sebenarnya bisa kita perdebatkan apakah lagu Honne, No Song Without You cocok untuk permainan tiga orang, bahkan apakah lagu itu cocok untuk permainan dua orang? Aku pun tak sama sekali kaget saat Ema menceritakan mereka berpindah dari sofa ke dapur. Ya tampaknya ketiganya terlalu sering menonton film-film porno dan pelan-pelan merusak otak mereka. Imajinasi mereka muda ditebak.

“Ema sih yang kayaknya keenakan sampe segitunya,” Sarah bersantai dengan rokok yang baru menyala di antara jari-jemarinya.

“Emang kamu engga?” tanya Ema.

“Lumayan, tapi aku pernah ngerasain yang lebih dari ini…”

“He is good.”

“Aku ga bilang dia bad, I really enjoyed.”

“Mungkin karena kalian saling kenal?” tanyaku.

Keduanya terdiam. Ya aku bisa melihat, menebak, dan membaca, tak ada scene keduanya. Ema dan Sarah bahkan tak saling menyentuh. Aku bisa melihat kejadian itu, sangat intens ketika ketiganya menyatu, namun sehebat-hebatnya Ema dan Sarah, seseringnya mereka menonton adegan itu dalam film, mereka tetap merasa canggung. Lagipula mereka dipertemukan dalam satu situasi itu berkat Romy. Mereka tak mengira bahwa akan jadi aneh jika memainkannya bersama seseorang yang benar-benar mereka kenal—dekat.

Ya kau mungkin membayangkan permainan ketiganya sama persis seperti di film-film porn yang kau suka dan sering tonton. Namun saat kulihat lebih dalam pada kedua pasang mata mereka, Romy lebih menjadi karakter yang inferior. Dia kewalahan merespon kegilaan Ema dan Sarah.

“Apa yang kamu lihat?” Sarah mengkonfrontasi.

“Engga…”

“Bohong,” ucap Ema.

“Kamu penasaran?” Sarah menyesap rokok dan membuang asapnya tepat di depanku.

“Everything. Aku lihat semuanya. Jelas.”

“What do u think?”

“Not bad.”

Ema tertawa “not bad, katanya…”

Sarah menatapku dengan rokok yang ia capit di antara kedua jarinya. Seolah ia ingin aku melihat kejadian itu lebih dalam dan lebih lama lagi. Makin aku ingin menghindari tatapan itu, aku justru makin melihat Sarah dalam gambaran itu, Sarah yang memegang kendali dari situasi intens ketiganya. Jantungku berdebar lebih cepat dan Sarah menyadari itu. Ia memajukan kursinya—mendekatiku. Pandangan kami bertabrakkan. Ema melihat itu dan menikmatinya. Menikmati siksaan yang Sarah berikan. Tapi setelah melihat lebih lama aku mulai meragukan bahwa ini adalah siksaan. Seperti melihat tape dengan wajah yang kita kenal. Wajah-wajah yang kita fantasikan.

Kau barangkali pernah membayangkan berfantasi ria bersama temanmu sendiri, atau orang-orang yang kau kenal, dan rasa penasaranmu membumbung hingga ke langit, membayangkan bagaimana mereka memuaskanmu dalam cara-cara aneh yang tak bisa diterima banyak orang. Tak masalah. Kita semua sama, saat bertemu yang sejenis, dan yang sama-sama memikirkannya kita seperti seorang monster yang keluar dari kandangnya. Hal-hal yang hanya bisa kita pendam. Namun begitu sangat meggairahkan. Entah dalam segala posisi yang kita inginkan atau yang belum kita rasakan. Kita membayangkan dan tak ada seorang pun tahu.

Main course yang dimaksud Ema dan Sarah berlangsung lebih lama dari adegan pembuka yang keduanya lebih bermain dan mencoba memanaskan mesin Romy. Namun mereka gagal menyadari bahwa Romy sebenarnya tak sejago itu. Romy mencapai puncak lebih cepat dari yang akan mereka kira. Tahap itu lebih lama karena Romy harus berkali-kali menyetop Ema dan Sarah untuk memberinya ruang. Ema menyebut Romy istirahat.

Aku berusaha menyelesaikan apa yang aku lihat saat adegan itu. Namun Sarah memaksaku melihat lebih dalam. Ema yang tadi duduk berjarak denganku, kini berpindah tepat di sampingku. Seolah keduanya ingin hadir di sana, seperti seorang yang perlu ditemani melewati trauma. Ya, singkat cerita, ketiganya melanjutkan setelah sepuluh menit. Kali ini berpindah di kamar tidur Romy, lantai dua, dengan pintu balkon yang dibuka, sehingga angin malam masuk dengan bebas—berselancar pada tubuh ketiganya.

Kau mungkin akan menebak Ema adalah orang kedua yang mencapai puncak? Benar. Bahkan dengan teriakan akhir itu Ema menyelesaikannya, tubuhnya bergelinjang di atas ranjang. Melihat Sarah menyelesaikan fase akhir, Romy bahkan terlihat mulai Lelah—lemas. Sarah? Kupikir dia justru baru menyentuh fase awal. Ia tampak tak menikmati.

“I really enjoyed,” ucap Sarah.

Sarah berhasil membuat Romy mencapai puncak untuk kedua kalinya—sendirian, tanpa Ema. Ah kau mungkin bertanya bagaimana dengan hidangan penutup? Dessert? Ya imajinasi biasa yang sering kau lihat di banyak film-film sejenis. Air hangat, di bawah shower—bersama. Mudah ditebak—nyaris membosankan.

“How?” tanya Ema.

“Not bad.”

Not bad…”

“Mau nyobain?” tanya Sarah, menawari. Dari matanya ia tak sedikit pun bercanda. Bahkan Ema menatap Sarah, mungkin dalam hatinya berkata what the fuck. Ya, What the fuck, Sarah dengan tatap yang intimidatif itu melempar pandang padaku dan Ema.

“I’m here,” Sarah bersandar pada sofa, merilekskan tubuhnya. Membuka lebar kakinya.

Ema tampak masih shock, namun ia terlihat menginginkannya. Sarah? Memulai dengan permainan solonya. Ema? Memulai dengan melepas kancing bajuku satu per satu.

Aku? Kau bertanya tentang aku?

Aku sedang sibuk.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, February 21, 2023

Bagian 3: Ruh.


 

Para pembohong tak akan pernah punya kesempatan untuk mati. Mereka akan hidup seratus bahkan seribu tahun lagi. Apa yang lebih menyiksa dari hidup tanpa punya ujung? Kebohongan adalah satu sifat yang akan mengekspose seluruh sifat buruk seseorang.

Kau mungkin setuju, melihat cara hidup mereka yang sembrono, hanya mementingkan yang ada dalam dirinya, mereka barangkali tak pernah sadar bahwa satu sifatnya itu bisa menghancurkan orang lain—berkeping-keping dari yang bahkan bisa mereka kira—bisa mereka pikir, itu pun kalo mereka punya pikiran.

Aku seratus persen bingung, mengapa mereka merasa nyaman ketika seluruh sifat buruknya terekspose, itu yang terjadi pada Romy. Seluruh hidupnya adalah kebohongan, dan sayangnya Ema dan Sarah terlalu naif, sungkan mengakui itu. Romy sudah terlalu banyak mengekspose keburukannya, bahkan ia menarik keluar seluruh sifat yang seharusnya privat pada diri Ema dan Sarah. Pada awalnya Ema selalu merasa tak enak jika harus menolak—padahal ia selalu punya hak untuk mengatakan tidak.

Ini sifat yang tak aku suka dari kebanyakan perempuan yang kutemui termasuk Ema dan Sarah; Mereka tak cukup berani untuk bilang tidak, tak cukup sanggup untuk menolak. Mungkin sepanjang hidupnya mereka terlalu mementingkan perasaan orang lain, tak merasa enak ketika harus menolak dan bilang tidak. Mereka selalu punya banyak alasan untuk mengubah iya menjadi tidak, selalu banyak alasan menggagalkan janji, padahal dengan satu kata sederhana yaitu “tidak,” bisa membuat mereka terbebas dari konfrontasi. Sehingga sepanjang sisa hidupnya mereka tak perlu terus menghindar.

Bukankah itu ruh menjadi manusia? Harus tahu apa yang perlu dan tak perlu, apa yang dibutuhkan dan yang tidak. Peran Romy di circle kami adalah merusak ruh hidup Ema, pada awalnya. Lalu belakang kuketahui ia juga mendekati Sarah, dan entah apa yang ia incar. Sarah tak pernah detail menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya dan Romy.

Ema mungkin lepas dari hubungannya dengan Romy. Namun setelah satu kejadian aneh yang membingungkan pada tahun baru lalu, kami kembali ke tahun 2020, dan semua orang yang tak ada di coffeeshop itu menganggap semuanya normal. Tampaknya hanya kami yang mengalami turbulensi ini. Malam itu, hanya orang-orang di coffeeshop yang mengalami garis waktu antara 2022 ke 2023, mereka yang di luar merasakan bahwa itu pergantian tahun biasa dari 2019 ke 2020.

Coffeeshop itu jadi pusat tubulensi. Seperti sebuah kubah isolasi, yang tak tersentuh dari luar. Dan sialnya Ema harus pura-pura kembali pada hubungan awalnya bersama Romy, karena Romy termasuk orang-orang di luar coffeeshop malam itu, Romy menganggap ini adalah 2020, awal pertemuannya dengan Ema, dan Ema meski ia mengetahui bahwa selama hampir tiga tahun Romy terlah menghancurkannya lebih dari yang bisa Ema tahan. Dan seharusnya Ema sudah terbebas. Namun Ema percaya pada kesempatan kedua, dan akan memberikannya pada Romy—meski Romy tak tahu apa yang sedang terjadi. Kami yang mengalami ini masih bungkam apa yang terjadi malam tahun itu.

Singkatnya, Ema kembali menjalani hubungan dengan Romy—dari awal, tanpa kesadaran yang adil di antara keduanya tentang apa yang terjadi, tanpa tahu apakah perjalanan sebelumnya akan terulang, atau apakah kita semua yang mengalami hal aneh malam itu akan hidup dalam sebuah lingkaran yang sama—kejadian yang pernah kita lewati. Sebuah garis waktu yang sama—dan diulang.

Kini Ema dengan kesadaran penuh hidup dalam sebuah kebohongan, masuk ke goa yang gelap dan pengap, entah apa yang ia rencanakan, namun bagiku ia mengambil ulang kesempatan yang sebetulnya sudah usang. Tapi ini sebenarnya lebih rumit dari itu. Karena kabar tentang Romy dan Sarah yang kudengar dari Ema sebelum tahun baru adalah benar. Sarah dan Romy terlibat dalm satu intrik penuh adrenalin yang sepenuhnya hanya tentang nafsu.

Dan setelah kejadian itu, Romy tak ingat apa yang terjadi antara dirinya dan Sarah, seolah itu tak pernah terjadi. Namun Sarah jelas mengingatnya lantang, dan begitu dalamnya. Ia tak terima bahwa setelah malam itu, Romy dan Ema kembali, dan dirinya merencanakan sesuatu yang gila.

Aku tahu, aku telah menjanjikan sebuah cerita tentang apa yang terjadi antara aku, Ema, dan Sarah, namun aku justru berpikir apakah itu jadi relevan. Sudah satu bulan sejak kejadian malam tahun baru. Kami menyebut diri penyintas, dan masih sering mengunjungi coffeeshop untuk sekadar bertukar informasi, cerita, dan sebagainya. Seperti seorang yang mengalami trauma akut dan butuh psikolog.

Romy punya jalan pintas, ia langsung ada di circle kami, dan sungguh menggelikan melihat Ema dengan kepura-puraannya berusaha memperbaiki sekaligus berusaha menggagalkan apa yang akan terjadi di hubungan sebelumnya.

Lalu Sarah yang berusaha menggoda Romy—Sarah jelas merindukan dan menginginkan situasi sebelumnya kembali. Sarah belum cerita apa yang terjadi antara dirinya dan Romy. Namun dari semua fakta itu, aku belum menceritakan apa efek samping yang aku alami dari kejadian tahun baru itu. Ema dan Sarah apalagi Romy tak mengetahui sama sekali.

Sudah satu bulan tidurku tak tenang, diganggu oleh mimpi-mimpi buruk yang terus berlanjut. Dalam mimpi-mimpi itu aku seperti menjalani hidup di tahun 2023. Bukan hanya terasa nyata, namun aku benar-benar melihat, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi di tahun itu—meski hanya melalui mimpi. Sederhananya, seperti ada dua diriku yang menjalani hidup bersamaan. Aku kehilangan akal, mana yang nyata dan mana yang maya. Seperti berpisah pada roh di tubuhku.

Selepas satu malam di bulan kedua aku mendapati diri berada pada sebuah mimpi yang asing, bukan mimpiku. Aku hidup di mimpi malam Sarah yang begitu penuh adrenalin, aku mengakses isi kepala Sarah, dan lambat laut kemampuan itu menempel pada diriku, pelan-pelan makin jelas setelah tiga bulan kejadian aneh itu. Sarah adalah orang pertama yang mengetahui kemampuanku. Antusiasmenya bahkan agak mengkhawatirkan.

“Jadi kamu bisa tahu apa yang dipikirin orang?”

“Bukan cuma pikirannya sekarang.”

“Terus?”

“Aku bisa lihat apa yang terjadi nanti.”

“Caranya?”

“Cuma perlu lihat mata aja.”

“Coba lihat aku..” Sarah tak tahu apa yang sedang ia hadapi. Aku bukan hanya bisa mengakses isi kepalanya, namun juga melihat apa yang akan terjadi pada dirinya hingga lima tahu kedepan. Aku hanya perlu lima detik untuk melihat apa yang sedang Sarah pikirkan, dan sepuluh detik untuk melihat seluruh gambaran lima tahun kedepan nasibnya.

“Romy…” dari banyaknya informasi yang kuketahui dari isi kepalanya, aku hanya menyebutkan nama Romy, dan Sarah langsung berubah ekspresi. Ia seolah menghindar, dan setengah marah karena aku mengakses bagian itu.

Hanya dengan menyebutkan satu nama itu antusiasme Sarah berubah, namun Sarah tetaplah Sarah, hidupnya penuh adrenalin. Kau mungkin penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Malam sebelum tahun baru, Romy dan Sarah ada dalam satu mobil yang terparkir di coffeeshop itu, namun Romy memilih tak turun, keduanya berada di dalam lebih dari satu jam. Apa yang terjadi di dalam adalah keahlian Sarah. Aku tak peduli sentuhan yang terjadi malam itu atau teriakan yang menggema ke dinding-dinding mobil. Aku justru merasa jijik tentang apa yang keduanya bicarakan, yang keduanya rencanakan.

“Kamu belum bilang Ema?”

“Udah… Tapi Romy ga inget memorinya.”

“Respon Ema?” tanyaku penasaran.

“Dia mau.”

“Serius?”

Sarah mengangguk, mengigit bibirnya. Menatap mataku. Meski hanya empat detik, aku justru makin dalam melihat apa yang Sarah dan Ema rencanakan. Seolah Sarah langsung memberitahuku dengan gambar yang jelas di pikirannya. Awalnya Sarah dan Romy yang merencanakan hal gila ini. Namun karena kejadian malam itu, Romy yang berada di luar coffeeshop tak memiliki memori kolektif seperti kami yang ada di dalam. Romy benar-benar menjadi asing, tak mengenal kami semua. Lalu Sarah justru berbalik merencanakan dan mengajak Ema.

Itu adalah alasan mengapa Ema memberi kesempatan kedua pada Romy. Meski bagi Romy itu adalah kesempatan pertamanya mengenal Ema. Kata orang makin lama kita mengenal seseorang kita akan makin memahami mereka sebagai manusia. Namun yang kulihat aku justru jadi sama sekali tak mengenal keduanya, ada lapisan baru dalam sifat mereka yang baru kuketahui.

“Terus udah bilang Romy?”

“Udah.”

“Terus?”

Sarah sekali lagi tak menjawab, ia menatapku, dan dari caranya itu, aku tahu, Romy setuju. Sarah mengizinkanku mengakses apa yang sedang ia pikirkan. Sebuah momen ketika Romy, Ema, dan Sarah duduk bersama, dan merencanakan sebuah malam yang akan terjadi dua minggu lagi.

Aku hanya terdiam.

Tak sepatah katapun keluar.

Pelan-pelan, semakin aku memaksa untuk tak mengakses masa depan itu, justru makin jelas gambaran yang terjadi lewat di kepalaku. Sebuah malam yang dingin, dengan Ema, Sarah dan Romy.

Kau mungkin tahu maksudku.

 

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, February 14, 2023

Bagian 2: Luruh.


 

Ema tampak kesal membaca sebuah instruksi pada sebuah kertas. Wajahnya menampilkan seluruh kecantikan di ruangan itu, iya, perempuan ini makin terlihat cantik saat semua kerut di wajahnya beradu.

Ia baru saja membeli laptop pertamanya, laptop baru, hasil keringatnya sendiri. Kami berada di sebuah coffeshop tempat biasa kami berkumpul. Aku, Ema, Sarah, dan Romy. Ema seperti biasa, jadi yang paling tepat waktu di antara kami. Malam ini Ema tampil casual dan santai, blus putih bergaris dengan dua kancing teratas yang dibuka, jeans ketat hitam, dan rambut yang dicepol.

“Laptop baru!” seruku dari kasir.

“Laptop, laptop… Mac nih!” ucap Ema tetap terpaku pada layar.

Malam tahun baru dan kami masih harus menyelesaikan deadline masing-masing, Ema dengan autocad yang sama sekali tak kupahami. Aku dengan naskah medioker yang harus diedit untuk penerbit. Lebih membosankan membaca naskah medioker karena naskah-naskah itu bisa membuatmu pusing karena saking jeleknya. Aku ulang, karena saking mediokernya.

Aku duduk di samping Ema, memeluknya—membuka laptop.

“Romy ke sini?”

“Please deh…” Ema masih fokus pada Mac barunya.

Romy? Akan kuceritakan sedikit-sedikit. Romy orang terakhir yang masuk circle kami, perkumpulan kecil ini. Romy pacar Ema. Tapi rumit. Lebih rumit dari apa yang terjadi di antara kami dan Sarah.

Kami bertiga… untuk yang satu itu, akan kuceritakan nanti.

Aku dan Ema berteman baik karena kami menangis bersama saat pertama kali nonton konser Yura Yunita. Ingatan itu masih tertanam di pikiranku, aku merangkul Ema pada lagu keempat, dua lagu sejak air mataku meluap, tak ada ponsel, kami benar-benar menikmati tangis itu.

“Aku udah nangis dari tadi,” ucapku malu menunjukkan pipi yang basah.

“Sama…” Ema  balik merangkulku. Ia membiarkan tangis, tak diusap. Banjir.

Sejak satu kejadian itu, Ema menyebutku teman menangis bersama. Sebutan yang menggelikan, namun aku menikmatinya.

“Penulis mana lagi?” tanya Ema.

“Kamu ga kenal.”

“Look…” Ema memamerkan Mac barunya seperti seorang spg di depan etalase.

Aku hanya mengangguk—memanyunkan bibir.

“Sarah mana? Gak bareng?”

“Nyusul, ga tahu tiba-tiba.”

“Cowok?”

Aku hanya mengangkat kedua bahu—fokus di depan laptopku.

“Cowok mana lagi…”

Dua jam pertama, kami tak banyak bicara, menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Ema memutar playlist favoritnya dalam volume yang sangat minim—namun masih bisa kudengar, coffeeshop itu hening, mereka tak memutarkan musik apapun. Mungkin karena di tempat ini, lebih banyak orang mencari ketenangan, mengerjar deadline kerjaan atau sekadar tugas kuliah yang sebenarnya bisa diselesaikan sekali duduk dalam sepuluh menit.

Satu jam lagi tahun baru. 2023. Ema sudah lebih dulu menyelesaikan deadline, sudah setengah jam ia meracau di sampingku, aku yang masih fokus di depan layar laptop tidak begitu jelas menangkap racauan Ema. Tapi dia paham, aku masih mendengar, sesekali menanggapi. Coffeeshop ini biasanya makin malam makin ramai, ia buka 24 jam. Namun hari ini, hanya terlihat beberapa orang saja. Kami duduk di ruang non smoking yang tidak lebih luas dari smoking area.

“Aku mau ngomong serius,” tiba-tiba Ema mengecilkan volume suaranya.

Aku sontak menoleh, ada tatapan geming beberapa detik—saling tatap. Ema melirik naskah yang kukerjakan, menyadari itu, aku menutup laptop—mulai memfokuskan diri sepenuhnya pada apapun yang akan keluar dari bibir tipis itu.

“Seberapa serius?”

“Romy…” ada getar di suara Ema, “Aku udah putus sama dia.”

“Akhirnyaaaa.”

Ema menampar pundakku.

“Iyalah, toxic brooohhh. Aku aja heran, aku mau temenan sama dia karena kamu, kalo engga ya boro-boro.”

“Mau fakta yang heboh ga?” Ema gossip mode

“Kayaknya dia deket sama Sarah.”

“Wtf… Ga mungkin lah. Sarah emang anaknya agak miring, tapi masa temen sendiri dia gitu.”

“Justru Sarah saved me. Firasatku ya dia datang telat nih karena lagi sama Romy.”

Tiba-tiba Sarah datang dengan senyum lebar, lebih lebar dari jidatku. Kami berdua menatapnya, Sarah mulai bingung—senyumnya berubah tanda tanya besar. “Kenapa?”

“Romy mana?” tanyaku.

Ema menampar lenganku sekali lagi.

“Maksudnya kamu bareng Romy ga?”

“Dari mana, Sar?” tanya Ema.

“Ada urusan,” jawab Ema menuju kasir—memesan minuman.

“Bego lo yaaa,” Ema berbisik.

Tak ada lagi konfrontasi, setelah Sarah duduk dan memesan minuman kesukaannya. Tak ada lagi yang membahas. Romy tak ada di sini karena satu alasan, aku dan Ema tak ada yang tahu. Mungkin Sarah jelas mengetahuinya.  

Tentang Sarah? Dia adalah fashion designer, paling keren di circle kami. Mungkin di kota ini tak ada yang tak tahu Sarah. Auranya bisa mengintimidasi semua orang yang berada di ruangan bersamanya. Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang ia pakai malam ini. Intinya matamu bukan hanya akan terpaku pada manis wajahnya, atau bibir tebalnya, namun juga apa yang ia pakai.

Kami menghabiskan malam tanpa perasaan canggung, meski pernah terjadi sesuatu di antara kami bertiga, untuk yang satu itu akan aku ceritakan nanti. Lima menit lagi tahun baru, dan perutku mules, panggilan alam tak tepat pada waktunya.

“Aku berak dulu ya,” ucapku cepat berlalu.

“Anjirrr, tahun baru dilewatkan demi berak!” Ema setengah teriak.

“Bacot!”

Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi di antara Ema dan Sarah saat aku pergi ke kamar mandi. Tapi sungguh aku penasaran. Iya, aku melewatkan lima menit pertama di tahun 2023 dengan berada di kamar mandi, merilis semua kenikmatan bumbu-bumbu ramen, nasi rames, semangka, indomie rebus telor, teh poci, kopi susu. Semuanya.

“Mau langsung balik?” tanya Ema setelah aku selesai—nada bicaranya tampak buru-buru, ada sesuatu terjadi saat aku di dalam kamar mandi. Aku curiga.

“Langsung?” tanyaku menatap Ema—singkat melihat Sarah.

“Ga mau ke mana-mana lagi, kan?”

“Engga sih, kamu Sar?” tanyaku pada Sarah.

“Iya, kayaknya pulang aja deh.”

Entah obrolan apa yang terjadi di antara mereka dua, yang aku tahu pasti; ada yang tak biasa. Situasinya terasa sangat mencekam, mengintimidasi. Ema sudah membereskan laptopnya. Saat hendak kumatikan laptop, aku melihat tanggal dan tahun yang salah di layar.

“Jangan ngerjain dong…” celetukku santai.

“Apaan?” tanya Sarah.

“Ini tanggal tahunnya beda.”

“Ha? Kita gak ada yang nyentuh laptopmu.”

Aku melihat jam di layar ponselku. 1 Januari 2020. Bingung. Ema dan Sarah melihat jam di ponselnya masing-masing; 1 Januari 2020. Aku mendatangi kasir, bertanya jam, barista itu sama bingungnya denganku. Lalu kami menanyai setiap orang, semua jam di ponsel dan laptop mereka menunjukkan waktu yang sama; 1 Januari 2020.

Seperti baru saja dipukul dari berbagai sisi oleh petinju paling mengerikan, tubuhku lemas—aku sungguh tak bisa memproses ini, aku, Ema dan Sarah saling bepandangan. Tak bisa mengucapkan apa-apa. Ini baru. Tak kupahami sama sekali.

“kita mundur tiga tahun…” Ema terbata.

“Fuck,” Sarah berserapah.

“Kita harus pulang sekarang, ngecek ini cuma kejadian sama kita atau semua orang.”

Kami bertiga saling pandang, dan seluruh orang di coffeeshop itu bergegas merapikan semua barang bawaannya, dalam hitungan detik tempat itu sepi. Ada kekosongan yang masuk kepalaku. Aku sungguh tak mengerti. Seolah waktu tak lagi relevan, seolah semuanya luruh.

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, February 7, 2023

Bagian 1: Meluruh.


 

Ia menatap lekat ponselnya, kulihat bayangan memantul di kacamata bundar kecokelatan. Ada yang ia takutkan. Ada yang ia tanggung. Seperti sebuah mangga yang siap dipetik, ada banyak pertanyaan menggantung di kepala, namun senyum canggung terlanjur mengakhiri peperangan di jari-jemarinya.

“Entah,” ia memegang gelas kopi yang tinggal setengah, “aku juga ga tahu,” sedotan menempel di bibirnya. Satu seruput lagi.

“Aku tahu apa yang bakal terjadi.”

“Aku ga tertarik. Simpan aja buat kamu.”

“Okay…” ya barangkali satu kesempatan itu tak ia pakai. Kesempatan untuk melihat apa yang akan terjadi di hidupnya dalam lima tahun kedepan. Aku justru jadi penasaran, masalah besar apa yang sedang ia hadapi, sampai membuatnya tak berhasrat pada banyak hal.

Setelah satu kejadian membingungkan satu tahun lalu, aku seperti mendapatkan sebuah kado paling penting sekaligus mematikan. Ya kau tahu, alam semesta bekerja dengan caranya sendiri, aku bisa melihat apa yang terjadi pada seseorang dalam lima tahun ke depan hanya dengan menatap dalam matanya. Dan untuk Sarah, seseorang yang duduk di depanku saat ini, aku bahkan takut untuk mengakuinya.

Pagi tadi, ia sudah berada di depan pintu rumahku, menggedor keras, seperti samsak tinju, atau barangkali ia membayangkan mantan terakhirnya. Dengan setelah running ia bermaksud mengajakku, meski sejak awal aku tahu, niatnya  bukan untuk itu. Sarah tak ingin mengetahui apa yang kulihat. Tapi dia penasaran. Ia memilih untuk mengetahuinya sedikit-demi-sedikit.

Kau mungkin sama denganku, membaca orang adalah keahlianmu. Bahkan hanya dengan satu gestur, kau tahu apa yang sedang terjadi, atau yang akan terjadi nanti. Sarah memahami kemampuanku dengan baik, lantas setiap kali kami bertemu ia menyamarkan perasaannya, ia tak suka aku benar menebak tentang kondisinya. Perasannya. Aku pun tak berusaha mendorongnya untuk terus terang.

Cerita ini dimulai dari akhir yang sudah aku ketahui. Hati Sarah luruh sekali lagi, pada seorang pria yang tahun lalu—sebelum kejadian membingungkan di tahun baru, sudah ia selesaikan. Masalah pelik, benang kusut. Seperti perputaran jarum dalam jam dinding. Sarah hanya mengulang kejadian yang sama, cerita yang sama. Rasanya ingin kuledakkan kepalanya, teriak di depan wajahnya.

Kau akan kembali pada permulaan yang sama. Jadi tidak pernah ada bedanya. Sama sekali.

“So, dia ngasih cincin.”

Langkahku terhenti. Aku belum melihat yang satu itu.

“Ngelamar?”

“Cuma ngasih cincin, bukan cincin lamaran,” Sarah tahu ada yang tak beres, ia melihat wajah datar penuh bingung.

“Aku belum lihat yang satu itu.”

“Serius? Aku pikir kamu udah lihat semuanya?”

“I think so…”

“Coba tatap mataku lagi,” Sarah meminta, ia mendekat. Pelan-pelan kutatap matanya, aku tak pernah suka momen ini. Aku tak pernah tahu apakah hal buruk atau baik yang ada di dalam sana. Apa yang akan aku lihat, namun dengan Sarah, ada getar di tubuhku. Ada debar tak normal.

Sarah adalah penggoda, aku tak perlu dia melebarkan senyumnya seperti itu saat ia menatapku. Sarah tahu itu kelemahanku, dan Sarah tahu aku tak akan melakukan apa-apa, membuatnya lebih leluasa. Aku bisa saja berlagak seperti Jesse Wallace dalam Before Sunrise, spontan, dan melakukan semuanya seperti di film-film—pelan-pelan mendekat ke bibirnya, menciumnya perlahan, menyentuh lehernya. Dan mengakhiri pagi itu dengan basah di bibir. Tapi Sarah tetaplah Sarah, itu tak akan terjadi. Dia hanya suka melihat orang tergoda. Titik.

“Masih sama.”

“Jadi?”

Aku hanya mengangkat bahu, mencoba mencerna semuanya. Kami melanjutkan olahraga kami, Sarah hanya berjalan, duduk menungguku di sebuah bangku yang menghadap langsung ke danau luas di tengah trek lari. Botol airnya sudah habis lebih banyak dari yang kubawa. Dari kejauhan kulihat dirinya fokus pada ponsel, senyum menghiasi bibirnya. Tapi aku tahu itu pria yang berbeda.

“Gaya apa lagi yang kamu eksplore?” tanyaku persis di depannya, ia buru-buru mengunci ponselnya. Kuraih botol minumku, membuka tutup—menatap Sarah. Ia belum menjawab sampai kuminum air lemon dalam botol itu.

“It’s obvious, sar.”

“Dan kamu tahu siapa?”

Sarah terdiam, aku mengangguk.

“Yuk cari makan!” Sarah bangkit dari kursinya, langkahnya cepat—ia malu. Harus balik menggoda untuk melawan penggoda.

“Aku juga udah lihat yang satu itu,” ucapku mengiringi langkahnya.

“Stop it,” pipi Sarah memerah.

“Detail…”

“Ha?” Langkah Sarah terhenti, dia melihat orang-orang sekitar, seperti sedang merangkum informasi paling rahasia, ia setengah berbisik. “Are fucking serious?”

Aku hanya mengangguk, lalu melempar senyum… Sarah? Melanjutkan langkahnya yang buru-buru.

Kadang kupikir, orang-orang yang hanya ingin ditemani adalah manusia paling buruk dan membosankan di dunia ini. Mereka tak punya niat untuk mengenalmu, tak punya niat untuk menjadikanmu teman—apalagi teman dekat. Dia sama sekali tak berhasrat membangun bonding—hal paling penting antar dua manusia.

Hanya kebetulan saja, di antara orang yang selalu pergi dan menemaninya, hanya aku yang tersedia. Dia mencari siapapun di luar pertemanan yang sudah dibentuknya—yang saat itu barangkali sedang sibuk-sibuknya—siapapun, tak penting dia orang dari mana, hanya untuk menemaninya, karena ia tentu tidak bisa dan tidak berani sendirian. Mereka lemah jika harus sendirian.

Sarah tak begitu. Ya meskipun dulu dia adalah salah satu manusia itu. Kami banyak membagi cerita dan pikiran masing-masing, jadi kupikir hidupku akan baik-baik saja saat aku memiliki seseorang yang mau menerima dan menampung hal-hal buruk dariku, hal-hal aneh paling privat, atau hal-hal yang tak biasa dibicarakan.

Meskipun aku tahu, aku tak akan punya kesempatan. Namun untuk saat ini, aku bersyukur. Setiap hari. Sarah ada di sana. Dengan segala sifat buruknya.

“Ada yang harus aku omongin.”

“Apa?”

“Aku gak bisa lihat apa yang bakal terjadi sama aku lima tahun ke depan.”

“Maksudnya?”

“Semalem aku ngaca, aku penasaran aja, aku ngelihat mataku sendiri. Technically sama kayak aku ngebaca kamu, atau yang lain.”

“Tapi di depan cermin?”

“Iya.”

“Terus?”

“Aku cuma bisa lihat kehidupanku tiga tahun lagi.”

“Kiamat?” Sarah dengan satu sifatnya. Lebay.

“Atau mungkin kematianku sendiri.”

“Jangan bilang gitu…”

“I know, tapi aku penasaran, kenapa cuma sampai di tahun ketiga.”

“Emang apa yang kamu lihat?”

Aku memeluk Sarah. Tak menjawab apapun. Ia pun tak memaksaku, hanya membalas pelukan itu. Sesuatu yang selalu kami lakukan.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.