Semua percakapan barangkali punya
maksud khusus. Tak ada satupun percakapan yang sia-sia, bahkan sia-sia
buatku adalah kata yang terlalu besar, tak terjangkau, bahkan tak sekalipun
kuketahui maknanya. Karena dari setiap kejadian aku selalu melihat gambaran
yang lebih luas tentang mengapa sesuatu harus dan perlu terjadi, perlu kita
lalui, perlu kita pahami. Dan ya hari ini, dua minggu setelah percakapan
menegangkan. Ema, Sarah, dan Romy melakukannya—ketiganya serius pada ucapan
masing-masing. Makin dalam rasa penasaran ini hadir, ada gejolak dari dalam
yang memaksaku mengetahui lebih jauh lagi. Apakah kau sudah paham apa yang aku
maksud dua minggu lalu?
Mereka melakukannya di rumah Romy,
aku akan sebisa mungkin tidak menceritakan sedetail mungkin, meski aku ingin. Romy
dari kesaksian Ema yang sangat menggebu-gebu saat menceritakannya, memutar
Anything You Want by Reality Club. Seperti sebuah perjamuan lengkap makan
malam, ketiganya memulai di sofa kecokelatan yang menurut Ema bisa
menenggelamkan pantat siapapun karena saking empuknya. Romy duduk, nyaris
bersantai meski Ema tahu Romy berdebar begitu dahsyatnya.
Sarah? Kau menanyakan Sarah? Hmm,
Sarah bertindak sebagai seorang ibu, dan Romy anak yang paling harus ia
manjakan, dari cerita ini aku tahu Sarah mungkin punya banyak koleksi di
laptopnya, dan menjadi karkater dengan superioritas adalah kegemarannya. Saat punya
kesempatan, ia menjelma jadi aktor paling gahar. Paling tak sadar kamera. Ya,
ketiganya merekam aktifitas itu. Dengan sadar. Gila? Belum. Ada yang lebih gila
dari itu. Akan kuceritakan nanti.
Aku lebih ke bertanya-tanya apa
maksud Romy memutar lagu Reality Club yang satu itu. Untuk sebuah appetizer
atau hidangan pembuka, lagu itu terlalu mudah menggiring ketiganya untuk sampai
di puncak, lagipula, untuk hidangan pembuka ini Romy lebih banyak diam dan
menikmati setiap sequence yang ada. Bagi Ema dan Sarah tubuh Romy malam itu
bagai canvas kosong yang siap dibasahi oleh jenis tinta apapun. Sebuah canvas
kosong yang kotor dan terus kotor. Dan tampilan kotor itu justru yang dicari,
dilelang, dibeli. Mahal. Pada puncak yang dicari.
“It’s big,” Ema terus bercerita, tak
ada rem, tak ada jeda.
“Bignya orang indo ya tapi, jangan
dibayangin yang big—big gitu,” Sarah menambahi. Ema mengangguk, menyadari dalam
hal ini Sarah lebih punya pengalaman daripada dirinya.
“Terus?” tanyaku.
“Main course,” ucap keduanya
bersamaan—seolah kini Sarah dan Ema ada dalam satu tubuh.
Pertunjukkan di dapur itu dimulai
dengan satu lagu yang sebenarnya bisa kita perdebatkan apakah lagu Honne, No
Song Without You cocok untuk permainan tiga orang, bahkan apakah lagu itu cocok
untuk permainan dua orang? Aku pun tak sama sekali kaget saat Ema menceritakan
mereka berpindah dari sofa ke dapur. Ya tampaknya ketiganya terlalu sering
menonton film-film porno dan pelan-pelan merusak otak mereka. Imajinasi mereka
muda ditebak.
“Ema sih yang kayaknya keenakan sampe
segitunya,” Sarah bersantai dengan rokok yang baru menyala di antara
jari-jemarinya.
“Emang kamu engga?” tanya Ema.
“Lumayan, tapi aku pernah ngerasain
yang lebih dari ini…”
“He is good.”
“Aku ga bilang dia bad, I really enjoyed.”
“Mungkin karena kalian saling kenal?”
tanyaku.
Keduanya terdiam. Ya aku bisa
melihat, menebak, dan membaca, tak ada scene keduanya. Ema dan Sarah bahkan tak
saling menyentuh. Aku bisa melihat kejadian itu, sangat intens ketika ketiganya
menyatu, namun sehebat-hebatnya Ema dan Sarah, seseringnya mereka menonton
adegan itu dalam film, mereka tetap merasa canggung. Lagipula mereka
dipertemukan dalam satu situasi itu berkat Romy. Mereka tak mengira bahwa akan
jadi aneh jika memainkannya bersama seseorang yang benar-benar mereka
kenal—dekat.
Ya kau mungkin membayangkan permainan
ketiganya sama persis seperti di film-film porn yang kau suka dan sering
tonton. Namun saat kulihat lebih dalam pada kedua pasang mata mereka, Romy
lebih menjadi karakter yang inferior. Dia kewalahan merespon kegilaan Ema dan
Sarah.
“Apa yang kamu lihat?” Sarah
mengkonfrontasi.
“Engga…”
“Bohong,” ucap Ema.
“Kamu penasaran?” Sarah menyesap
rokok dan membuang asapnya tepat di depanku.
“Everything. Aku lihat semuanya.
Jelas.”
“What do u think?”
“Not bad.”
Ema tertawa “not bad,
katanya…”
Sarah menatapku dengan rokok yang ia
capit di antara kedua jarinya. Seolah ia ingin aku melihat kejadian itu lebih
dalam dan lebih lama lagi. Makin aku ingin menghindari tatapan itu, aku justru
makin melihat Sarah dalam gambaran itu, Sarah yang memegang kendali dari
situasi intens ketiganya. Jantungku berdebar lebih cepat dan Sarah menyadari
itu. Ia memajukan kursinya—mendekatiku. Pandangan kami bertabrakkan. Ema
melihat itu dan menikmatinya. Menikmati siksaan yang Sarah berikan. Tapi
setelah melihat lebih lama aku mulai meragukan bahwa ini adalah siksaan. Seperti
melihat tape dengan wajah yang kita kenal. Wajah-wajah yang kita fantasikan.
Kau barangkali pernah membayangkan
berfantasi ria bersama temanmu sendiri, atau orang-orang yang kau kenal, dan
rasa penasaranmu membumbung hingga ke langit, membayangkan bagaimana mereka
memuaskanmu dalam cara-cara aneh yang tak bisa diterima banyak orang. Tak
masalah. Kita semua sama, saat bertemu yang sejenis, dan yang sama-sama
memikirkannya kita seperti seorang monster yang keluar dari kandangnya. Hal-hal
yang hanya bisa kita pendam. Namun begitu sangat meggairahkan. Entah dalam
segala posisi yang kita inginkan atau yang belum kita rasakan. Kita
membayangkan dan tak ada seorang pun tahu.
Main course yang dimaksud Ema dan
Sarah berlangsung lebih lama dari adegan pembuka yang keduanya lebih bermain
dan mencoba memanaskan mesin Romy. Namun mereka gagal menyadari bahwa Romy
sebenarnya tak sejago itu. Romy mencapai puncak lebih cepat dari yang akan
mereka kira. Tahap itu lebih lama karena Romy harus berkali-kali menyetop Ema
dan Sarah untuk memberinya ruang. Ema menyebut Romy istirahat.
Aku berusaha menyelesaikan apa yang aku
lihat saat adegan itu. Namun Sarah memaksaku melihat lebih dalam. Ema yang tadi
duduk berjarak denganku, kini berpindah tepat di sampingku. Seolah keduanya
ingin hadir di sana, seperti seorang yang perlu ditemani melewati trauma. Ya,
singkat cerita, ketiganya melanjutkan setelah sepuluh menit. Kali ini berpindah
di kamar tidur Romy, lantai dua, dengan pintu balkon yang dibuka, sehingga
angin malam masuk dengan bebas—berselancar pada tubuh ketiganya.
Kau mungkin akan menebak Ema adalah
orang kedua yang mencapai puncak? Benar. Bahkan dengan teriakan akhir itu Ema
menyelesaikannya, tubuhnya bergelinjang di atas ranjang. Melihat Sarah
menyelesaikan fase akhir, Romy bahkan terlihat mulai Lelah—lemas. Sarah?
Kupikir dia justru baru menyentuh fase awal. Ia tampak tak menikmati.
“I really enjoyed,” ucap Sarah.
Sarah berhasil membuat Romy mencapai
puncak untuk kedua kalinya—sendirian, tanpa Ema. Ah kau mungkin bertanya
bagaimana dengan hidangan penutup? Dessert? Ya imajinasi biasa yang sering kau
lihat di banyak film-film sejenis. Air hangat, di bawah shower—bersama. Mudah
ditebak—nyaris membosankan.
“How?” tanya Ema.
“Not bad.”
“Not bad…”
“Mau nyobain?” tanya Sarah, menawari.
Dari matanya ia tak sedikit pun bercanda. Bahkan Ema menatap Sarah, mungkin
dalam hatinya berkata what the fuck. Ya, What the fuck, Sarah dengan
tatap yang intimidatif itu melempar pandang padaku dan Ema.
“I’m here,” Sarah bersandar pada
sofa, merilekskan tubuhnya. Membuka lebar kakinya.
Ema tampak masih shock, namun
ia terlihat menginginkannya. Sarah? Memulai dengan permainan solonya. Ema?
Memulai dengan melepas kancing bajuku satu per satu.
Aku? Kau bertanya tentang aku?
Aku sedang sibuk.