Wednesday, June 24, 2015

V


Suasana masih sunyi—sepi, mencekam—gelap, tak ada cahaya yang masuk diruangannya. Suara detik jam beradu dengan tangisannya yang tak kunjung berhenti sejak satu jam yang lalu. Terbaring remuk di kasur masa kecilnya, mengenang ratusan kenangan yang dia lewatkan begitu saja, hanya karena egonya yang menguasai dirinya, dia harus kehilangan orang yang paling dia kasihi.

Kakinya menggantung, kasurnya sudah tak cukup muat untuk tubuhnya. Dinding-dinding kamarnya masih sama, puluhan gambar dari crayon warna-warni masih menempel di sana. Dia tersenyum sembari membayangkan melihat masa kecilnya berdiri, menggambar sebuah roket di dinding kamarnya. Ibunya memarahinya. Ayahnya mendukung, kakaknya hanya tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.

Aku akan menceritakan kisahnya. Tapi, aku mohon jangan menganggap bahwa kisah ini adalah kejadian nyata yang pernah atau baru saja aku alami.


Raganya terhempas melihat ayah dan ibunya tidak dalam satu ikatan lagi. Dia menangis meski senyumnya selalu mengembang kemanapun dia pergi. Dia wanita yang kuat lebih kuat dari batu-batu karang. Aku? Tentu aku bukan siapa-siapanya. Aku tak pernah ada dalam catatan indah hidupnya. Dia tak melirikku. Tapi, aku meliriknya. Bukan karena cinta. Tapi, karena aku peduli. Entah berapa bahasa lagi yang harus aku pakai untuk membuatnya melirikku, menganggapku atau untuk sekedar membalas senyumku. Sudah tak ada kata maaf yang mampu dia terima dengan baik. Aku pasrah, ini untuknya bukan untukku. Mari selesaikan puzzle terakhir dari kisahnya.

Kasur masa kecilnya membuatnya enggan bangkit. Langit-langit kamar membuat matanya terpejam manis penuh luka. Dinding-dinding menjadi masif, cahaya lampu menua. Perlahan mati—gelap. Matanya terpejam. Dia melihat sosok dalam kegelapan, mengajaknya berbicara dalam bait yang dia buat sendiri. Tidak dalam satu ikatan lagi bukan berarti mereka berpisah. Orangtuanya masih mesra bersama seperti muda dulu. Jangan bingung, ini bukan Science Fiction ataupun makalah penelitian. Buka matamu, telingamu juga pikiranmu. Aku akan membahasanya lagi. Satu per satu.

Sosok itu membuatnya tenang. Dia tak takut gelap, seperti biasanya. Sosok dalam gelap itu mengajaknya berbicara. Menyanyikan lagu masa kecilnya. Aku mengenalnya sejak dia datang ketempatku, tatapan matanya pertama kali tertangkap olehku. Meskipun dia tak menangkap tatapanku. Aku yakin, dia orang yang jujur, tak mungkin berbohong dengan orang yang baru dia kenal. Sejak awal aku sudah tahu akan ada bahaya yang menghadangnya. Namun dia diam tak peduli dengan semua apa kataku. Aku merasa bersalah telah mencampuri urusannya. Tenang, ini belum selesai masih ada lagi yang akan aku ceritakan tentangnya. Dia, perempuan tenang yang malang. Tubuhnya tersakiti. Aku tahu, ada sesuatu yang membuat tubuhnya melemah. Aku melihatnya. Tunggu!! Jangan buru-buru ingin tahu. Sebentar, akan aku kupas satu per satu.

Dia masih berbicara panjang dengan sosok dalam kegelapan di kamarnya. Tertawa sembari memegang lembut bayangan itu. Tidak terlalu jelas apa yang mereka bicarakan. Seperti aktor pantomim, tanpa suara. Tapi, gerak-geriknya membuat kejelasan yang nyata dan ada. Sekarang tanganya memeluk bayangan itu, sosok yang sedari tadi dia ajak mengarungi kegelapan kamar. Oke, tunggu dulu jangan berhenti sampai di sini. Aku masih belum menemukkan gairahmu dalam membaca kisah ini. Tegakkan tubuhmu, kembangkan senyummu, letakkan semua kenangan masa lalu di pundak kananmu dan masa depan di pundak kirimu. Mulailah berpikir siapa yang aku maksud, kamu mengenalnya. Dia adalah orang dekatmu. Aku akan membantumu lagi. Perlahan-lahan. Pejamkan matamu, dua detik saja.


Oke, sudah? Matanya mulai terbuka, sosok itu hilang. Cahaya lampu perlahan menyala terang. Dia terbangun, memandangi sekitar sampai matanya tertuju pada satu gambar dengan crayon berwarna biru. Gambar apa itu? Apakah kamu tahu? Apakah kamu melihatnya? Tidak? Mungkin belum, mari pejamkan matamu lagi. Satu kali lagi dan bayangkan gambar apa yang muncul. Siap? Dalam hitungan ketiga ikuti nalurimu pejamkan matamu pelan-pelan lalu buka matamu ketika kamu sudah menemukan gambar apa yang dia maksud. Satu, dua, tiga.


Sudah? Jangan berbohong. Akan aku ulangi kalau kamu belum memejamkan matamu. Sekali lagi dalam hitungan ke tiga. Oke? Siap?. Satu, dua, tiga.


Apa yang kamu temukan? Gambar hewan? Tumbuhan? Gambar Hati? Bukan!! Kita semua salah. Itu adalah gambar sosoknya, bukan dia yang menggambar tapi kita. Tanpa sadar kita yang sudah menggambar sosoknya. Kamu, aku, dia, Kita. Sekarang gambar yang kita buat sedang dia pandang dengan teliti. Dia kagum dengan gambar sosoknya yang kita buat. Lihatlah, dia tersenyum, aku selalu bahagia melihat senyumnya apalagi matanya ketika tersenyum. Kamu tahu? Belum? Oke, akan aku bantu untuk mengetahuinya. Tapi, tunggu dulu. Tunggu aku selesai menatap senyum dan matanya. Empat detik saja. Oke? Tunggu!!


Oke, sudahkah kamu menemukan siapa dia? Aku sudah. Dia yang ingin memulai semuanya dari awal lagi. Dia yang ingin memulai dengan orang yang baru bukan kenangan masa lalu. Dia yang tak ingin lagi tertipu dengan satu aspek yang menentu dan paling penting, agama. Dia yang sangat bahagia dengan kesendiriannya, mungkin. Dia yang kadang enggan membalas pesan dari seorang laki-laki karena tak ada satupun yang mewakilinya. Dia yang terkadang tidak siap akan perubahan yang datang menghampirinya. Dia tak pernah butuh pembenaran ataupun pembelaan. Dia yang tubuhnya tersakiti yang membuatku peduli namun tak dianggap. Dia ingin dimanja ketika kedua bahunya terangkat sembari menarik nafas.


Paham? Ingat ini bukan kisah nyata, ini Fiction. Tapi, perlu dicatat bahwa perempuan itu ada. Siapa perempuan itu? Perempuan yang diam-diam justru membantuku mencari kekuranganku, lalu aku memperbaikkinya. Meskipun kini dia tak peduli, meskipun aku meminta maaf dengan ratusan bahasa yang ada di dunia. Mungkin akan jadi sia-sia. Tapi aku masih peduli, aku tak bisa diam jika ada satu temanku yang masih membenciku, karena itu sungguh menyiksaku. Kamu tahu? Tidak? Coba pejamkan matamu sekali lagi, lima detik saja. Bayangkan sekali lagi dalam hitungan ketiga. Dia perempuan baik yang siap dan tanpa sungkan memberitahu kelemahan dan kekuranganmu itu yang membuatku masih terus peduli denganya karena semakin banyak dia memberitahu kelemahanku lalu aku memperbaikinya. Maka, aku tak akan punya kelemahan lagi. 

Itu clue untukmu sebelum kita mulai.

Oke? Siap? Satu, dua, tiga.. I See You, V.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar