Dulu,
kupikir mencintai gak akan serumit dan sesusah ini. Ada hal-hal buruk yang
selalu harus dapat ditoleransi, karena kalo enggak barangkali seseorang atau
sesuatu yang kita cinta, bisa menguap dan hilang. Lantas memangnya siapa yang
bisa mengendalikan nasib? Apalagi nasib-nasib buruk yang hadirnya seringkali
justru saat kita dalam situasi yang stabil. Aman. Nyaman.
Gak semua
orang layak dapat kesempatan kedua, tapi bukan berarti mereka gak bisa
dimaafkan. Ini adalah cerita tentang gimana seharusnya kita bersikap pada nasib
buruk, pada situasi yang gak kita duga, dan pada perasaan yang bikin kita bisa
disebut sebagai manusia; tidak stabil, penuh goncangan emosi, lelah pikir,
lelah fisik. Iya, manusia. Kita semua sedang belajar dan menuju bentuk evolusi
terbaik kita. Entah sampai kapan, entah seperti apa.
Gak ada
orang yang akan sepenuhnya mengerti bagaimana kamu menghadapi trauma,
mensiasati respon terhadap trauma, atau bagaimana caramu keluar dari perasaan
buruk tentang kenangan traumanya. Bahkan mungkin diri kita sendiri. Trauma
datang karena kita cenderung gak siap, dan gak terbekali cara merseponnya,
seringkali karena situasi yang kita hadapi saat itu gak sepenuhnya bisa kita
mengerti.
Ya tapi
kita manusia, kita akan bisa survive, dan belajar dari itu. Sekalilagi, gak akan
ada yang sepenuhnya bisa mengerti. So, biarin aja. Shit happens, kita gak bisa
apa-apalagi selain berusaha berkomunikasi dengan jujur dan apa-adanya. Ketika
semua yang kamu rasakan dan pikirkan sudah diutarakan, itu cukup. Gak perlu
fokus pada respon orang, karena itu gak lebih penting dari apa yang selama ini
kita pendam, yang akhirnya bisa kita muntahkan semuanya.
Apa yang
lebih penting dari diri kita sendiri? Barangkali hanya satu, hubungan kita pada
manusia lain. Real human interaction. Still, kita masih manusia, we need each
other. Untuk apapun alasannya, hidup sendiri adalah momok yang menakutkan,
kesepian adalah musuh terbesar di dunia yang sekarang serba ramai dan
kasak-kusuk. Kesepian menjelma dalam berbagai bentuk, bahkan pada keramaian
sekalipun. Umumnya itu muncul karena trauma di masa lalu, lalu muncul trust
issues, yang kita pikir kita bisa handle diri kita sendiri. Kita selalu
berpikir; aku cukup. Padahal? Gak sepenuhnya tepat.
We need a
healthy ecosystem, alam semesta punya mekanisme ekosistemnya sendiri, bahkan
pada bencana alam sekalipun adalah bentuk mekanisme ekosistem mereka. Tubuh kita punya
ekosistem, yang bergerak sesuai aturan-aturan, yang perlu kita lakukan adalah
merespon reaksi ekosistem itu dengan baik, harus ideal, supaya ekosistem yang
sudah ada, atau yang sedang rusak dan gak baik-baik aja, gak melebar ke
mana-mana, gak seperti tumor. Kita bisa menghentikannya sebelum itu jadi lebih
parah. Balik lagi, manusia belum selesai berevolusi, kita lebih sering
dikendalikan oleh pikiran dan perasaan sendiri, bukan sebaliknya. Sehingga
merusak ekosistem. Ini termasuk pada ekosistem universal relationship, atau
romantic relationship.
Sometimes
we need space, oke, tapi mau sampai kapan? Tiap manusia butuh penjelasan,
karena gak adil, ketika ekosistem yang sudah terbentuk dengan baik, harus
hancur karena situasi gak terduga, dan kita tinggalkan tanpa penjelasan. Kunci
dari ini semua adalah komunikasi dua arah yang jujur dan apa-adanya. Kita
cenderung tidak pernah sengaja menyakiti orang, dan menjadi jujur akan
memudahkan penyelesaian masalah itu. Apakah kita bisa legowo bahwa itu sudah
terjadi, dan kita harus seperti apa setelahnya?
Menjaga
ekosistem adalah tentang mencintai apa yang kita punya, apa yang bisa kita jangkau,
ekosistem tubuh yang bisa kita kelola dan hanya kita yang bisa, ekosistem
pertemanan yang harus dijaga oleh dua orang atau lebih, keluarga, romantic
relationship. Apa yang perlu kita lakukan untuk tetap membuat mereka merasa
dicintai, merasa bahwa kita ada? Ekosistem adalah hubungan timbal balik, kita
adalah komponen biotik, komponen abiotik adalah sesuatu yang hidup di antara
kita. Dan keduanya harus timbal balik, terikat. Kalau salah satunya gak
berjalan seperti sebelumnya, cinta mungkin gak akan lebih dari cukup untuk
memulihkan semuanya.
Lalu pertanyaan
besarnya adalah; “Adakah yang mencintaimu hari ini?” atau bahkan adakah
ekosistem itu? Pikirin lagi. Barangkali kita tidak merasa dicintai karena kita
gak punya ekosistemnya. Kita hidup namun tidak terikat satu sama lain. Kalau
kamu punya ekosistemnya, tugasmu adalah menjaganya seumur hidupmu, jangan
biarkan situasi buruk merusaknya, jangan biarkan nasib buruk menggantinya.
Selama masih bisa control, lakukan dengan baik. Mampu mencintai adalah
konsekuensi dari terbentuknya ekosistem dan itu adalah pekerjaan seumur hidup,
tentu tetap ada risikonya.
Tapi selama
kita punya mekanisme untuk belajar dari situasi serba bapuk dan nasib buruk,
kupikir gak akan ada yang bisa meruntuhkan ekosistem yang sudah dibentuk.
Karena gak ada yang lebih besar dan lebih penting dari menjaga ekosistem itu
tetap berjalan baik. Seharusnya kita bisa melewati semua yang buruk dengan
baik. Karena dengan ekosistem itu selama ini kita bisa jadi lebih hidup.
Bahagia. Stabil. Sesekali kita memang bisa saja melakukan kesalahan, tapi
umumnya kesalahan itu tidak pernah kita sengaja. Seringnya karena situasi dan
nasib yang buruk.
Aku
mencintaimu hari ini, karena kamu adalah bagian dari ekosistem yang selama ini
aku jaga. Dan aku mencintaimu sepenuhnya, seterusnya, sekalipun kau memilih
merusak ekosistemnya. Gak ada yang bisa mengubah kecintaanku pada ekosistem
ini. Aku mencintaimu hari ini, hari besok, dan selamanya.
@zahidpaningrome
Semarang, 1 September 2022