Sunday, December 27, 2015

Hari Kelahiran Cinta


Kenyangku lahir dari sisa nasimu, saat 
kau masih memakan lauk di piringmu
Kau bercerita tentang anjing, yang bercinta
dengan kucing di ujung gang
Hanya ada bulan tanpa bintang malam ini
Juga sepiring puisi dengan sepasang cincin, 
yang menghuni jari keempat

Telingaku menggema mendengar mulut yang mengunyah
Sepiring nasi habis menyisakan rendang dari padang
Kau bilang rendang ini enak, tapi kau
memakannya sendiri sampai tersisa ludah di piringmu
Puisiku lahir dari piring sisa rendangmu
Puisi tentang persetubuhan anjing dan kucing

Pipiku merah melihat kau mengunyah
Bibir merahmu jadi candu buatku, menjelma
Nafsu yang memperkosa bibirku
tubuhku berkeringat merasakan
kau menyentuh kelaminku, jari-jarimu
membuat nyala lampu jadi padam

Malam ini jadi candu yang merebahkan tubuh
otakku kram melihat bibirmu menyentuh kelaminku
bibir ala Monalisa dengan gincu tebal, yang
Membekas di tubuh penuh nafsu.
Mungkinkah ini hari kelahiran cinta.
Mengambil hati di antara payudaramu
Menanam cinta di lubang vaginamu

Semarang, 28 Desember 2015
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, December 25, 2015

Paper Plane


Sore ini, kekasihku menyuruhku pergi ke tempat biasa kita mengadu. Taman kota adalah tempat kita menghabiskan waktu bersama hingga larut malam. Tempat kita mengadu dan teriak sekencang-kencangnya. Tempat pertama kita bertemu, tempat dimana kita menuliskan semua perasaan di selembar kertas. Membentuknya menjadi pesawat kertas lalu menerbangkannya bersama...
---------
Seorang kakek dengan payung hitam duduk di bangku taman kota yang berdecit. Di telinga kanannya sebatang rokok kretek terselip. Sudah dua jam,  kini langit berubah mendung. Kakek itu meraba kantung bajunya, mengambil pesawat kertas, membuka lalu membacanya.

Kakek itu meneteskan air mata ketika selesai membaca. Kertas itu jatuh, jari-jarinya bergetar, air matanya melewati pipi yang kriput, lalu jatuh bersama gerimis yang turun. Kakek itu membuka payung yang dia bawa. Gerimis mulai membasahi taman kota.

Kakek itu bangkit, meninggalkan taman kota, membiarkan surat yang dia baca semakin basah karena gerimis. Aku mengambil surat itu, lalu membacanya...
---------
“Aku ingin menikmati malam bersamamu, melepaskan rindu yang tak terbalas, menikmati peluk yang datang tepat waku. Jika kau membaca suratku, ini adalah pertanda kepergian. Jangan kau rasakan. Aku tak ingin melihatmu dirundung kesedihan. Menyadari bahwa kehilangan adalah hal yang menyakitkan. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak benar-benar pergi, aku selalu ada di ranjang kamar kita, menemanimu tidur dan menyelami setiap mimpimu. Kita sama-sama tahu melupakan adalah hal yang paling mudah dilakukan oleh orang-orang tua seperti kita. Tapi, melupakanmu adalah hal yang paling sulit kulakukan sepanjang hidupku. Ambil payungmu, lindungi tubuhmu dari gerimis ini, pergi ke tempat kita biasa mengadu. Tinggalkan surat ini, Biarkan orang lain membacanya...”


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, December 20, 2015

HUJAN PAGI INI


Hujan pagi ini, menembus selimut lusuh

Hujan pagi ini, menembus kulit cokelat

Hujan pagi ini, menusuk tulang putih

Hujan pagi ini, melaraskan dingin…

Jadi serpihan rindu yang mengakar keras tak bersuara

Hujan pagi ini, bagai frasa dalam nirmakna yang berkenan

Hujan pagi ini, telah ku ingat jadi pandangan yang bertemu

Hujan pagi ini, menggugurkan cinta yang tumbuh di tanah tetangga

Hujan pagi ini, bikin hati mati rasa

Dimana kamu sayang, aku resah…

Menunggu pelukan yang hadir untukku

Mengusir dingin yang menyetubuhiku sejak tadi

Dingin punya arti

Dingin punya makna

Dingin punya maksud

Dingin menginginkanku memelukmu

Dingin lelah menyetubuhi kita

Mari, saling menyetubuhi dingin



Semarang, 21 Desember 2015

Diciptakan selepas tidur.. 
Dikirimkan pada seorang gadis yang mencintai puisi
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, December 15, 2015

After The Rain


Sudah dua jam aku menatap hujan dari balik jendela kamarku yang mengembun. Aku leluasa menuliskan satu nama di antara embun yang menyelimuti jendela kamarku. Jari-jariku tak pernah menuliskan nama yang lain, selain namamu. Aku merindukanmu, bukan karena hujan pagi ini. Aku rindu percakapan kita diantara bait yang mengganti rima. Batas antara kenangan dan rasa rindu telah terlalu lama kamu pegang. Kamu tak pernah membagi batas itu padaku. Aku masih ingat percakapan kita sore itu, di antara orang-orang yang mengais rindu kau bertanya.

“Menurut kamu, arti cinta buatmu itu apa?”

“Pertanyaanmu berat sekali.”

“Yah...” Dia menatapku dengan wajah memohon.

“Are you okay?

“I’m fine.”

“So, kenapa kamu tanya soal ini?”

“Aku butuh jawaban dari kamu.”

“Well, cinta.” Aku menghela nafas.

Sampai detik ini kau tak pernah setuju arti cinta menurutku. Kamu tak pernah mengiyakan apa kataku bahwa cinta ibarat pesulap yang tampil di atas panggung megah. Semuanya hanya trik untuk membuat penonton terhibur, menghasilkan senyum, kekaguman dan kegembiraan lalu para penonton menjadi kecanduan akan pertunjukan yang dihadirkan pesulap itu. Penonton itu meminta lagi, terus meminta—sampai si pesulap kehabisan trik, lalu para penonton meninggalkannya dan mencari pesulap lain.

“Kamu salah, kamu bilang gitu karena kamu belum pernah merasakan nikmatnya dicintai.”

“Mungkin.”

“Coba kalau kamu udah merasakan nikmatnya dicintai, kamu bakal merubah perspektifmu soal cinta.”

Yang bisa merubah perspektifku tentang cinta hanya kamu. Sialnya, kamu tak pernah menyadari ketertarikanku padamu. Aku bingung, banyak orang yang saling jatuh cinta, saling menyayangi, saling mencintai. Tapi, kenapa mereka masih sempat sakit hati? Bukankah hatinya sudah dipelihara dengan baik oleh orang yang mereka pilih sendiri? Lalu kenapa terkadang mereka merasa sendirian? Padahal mereka punya cinta—cinta yang mereka pilih sendiri.

“Kamu jatuh cinta sama seseorang?”

“Yap.”

“Harusnya kamu enggak tanya apa arti cinta ke orang lain.”

“Kenapa enggak?”

“Kalau kamu masih tanya sama orang lain, berarti kamu belum benar-benar tahu apa itu cinta.”

“Aku tahu, aku merasakan.”

“Merasakan bukan berarti tahu, kan? Kamu memaksa hatimu untuk merasakan cinta tanpa memahaminya dulu.”

“Tapi, buat apa memahami cinta kalau kita udah bisa merasakannya?”

“Buat apa kamu tanya apa arti cinta, kalau kamu udah bisa merasakannya?”

Kamu tidak benar-benar menemukan cinta, kalau kamu masih belum tahu apa artinya. Kamu hanya memaksakan hal yang fana untuk dirasakan hati tanpa diartikan. Kemunafikan terhadap hati bermula darimu, kamu tidak tahu arti cinta, tapi kamu nekat mempertanyakan arti cinta pada orang lain. Sebenarnya... Apa yang kamu rasakan selama ini?

Hujan masih belum berhenti, kenangan yang mengalir deras masih menatap dari langit-langit kamar. Sepi merayap di dinding kamarku. Rindu ini mengeras bak bunga es di ruang pendingin. Aku tak bisa mencairkannya sebelum lemari es dimatikan. Sebelum ada seseorang yang mengambilnya... Rindu ini akan tetap mengeras.

Namamu belum hilang di jendela kamarku yang mengembun. Bait dalam puisi itu berubah tanpa makna, puisiku kehilangan rima. Kamu menciptakan perasaan yang liar—kamu menanaamkanya di hatiku lalu kau tinggalkan. Dengan segenap pucuk pengharapanku aku bertanya, kapan kamu memetik semua yang telah kamu tanam dalam-dalam di hati ini. Aku masih menunggumu memetiknya sebelum aku membiarkan orang lain mencabutnya.

“Kenapa kamu menerimanya? Kamu tahu dia bukan orang yang baik untukmu.”

“Tapi, dia rela berubah untukku.”

“Apakah kamu rela berubah untuknya?”

Aku sulit percaya pada seseorang yang rela berubah demi mendapatkan orang yang dia cinta. Karena ketika itu terjadi, kamu akan mendapatkan tugas yang sangat berat. Kamu harus benar-benar menjaganya untuk tidak berubah menjadi sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak pernah kamu harapkan. Karena ketika kamu meninggalkannya—kamu justru akan merubahnya menjadi monster yang sangat berbahaya untuk dilepas. Kamu terjebak dalam hubungan yang kamu bangun sendiri.”

“Kita berdua punya banyak kesamaan. Bukankah itu sebuah kelebihan?”

“Tapi, Itu enggak menjamin keberhasilan hubunganmu di kehidupan. Hidup ini lebih rumit dari apa yang kamu kira. Kamu enggak bisa merancang hidupmu sendirian.”

Hujan pagi ini membuat selimut jadi teman melawan dingin. Dingin pagi ini menusuk tulangku, merebahkan sepi yang mencari rindu. Aku mencoba melawan bayang-bayangmu di pikiranku. Tapi, ketika aku mencobanya, aku selalu menemukan tembok tinggi yang menghalangi. Dan sialnya kamu ada di balik tembok itu. Aku tak mungkin menghancurkannya, karena tembok itu mungkin saja menimpamu. Aku bisa saja mencoba memanjatnya. Tapi, aku takut kau menghilang ketika aku sampai di balik tembok. Jadi apa yang harus aku lakukan?

Hujan berhenti, embun di jendela kamarku perlahan menghilang bersama sepi yang merayap di dinding kamarku.  Aku melihatmu di balik jendela—tersenyum menatapku. Tanganmu menyentuh jendela yang menyentuh tangankuku. Kita menghapus embun itu seirama.
Aku membuka jendela, jeda antara kesunyian dan rasa sepi menghalangiku untuk berbicara. Lidahku kelu. Aku tak pernah bisa menjadi orang normal ketika berhadapan dengamu. Bersama angin yang berhembus kamu berkata.

“Aku hanya ingin pergi, jangan cari aku. Aku tidak ingin ditemukan.”

“Tapi, kenapa?”


“Because, if you look with your heart. You will know... I always be with you.”
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, December 10, 2015

SELEPAS SENJA


Selepas senja aku masih menatapmu di balik jendela yang tertutup embun hasil hujan sore tadi. Malam tadi aku memimpikanmu lagi, entah sudah berapa malam yang kuhabiskan untuk memimpikanmu. Aku melihatmu menyeka air mata yang terlampau deras membasahi pipi, matamu tak sekalipun menatap mataku, seakan aku tak pernah ada di depanmu. Di mimpi itu kau mengenakan gaun putih, rambutmu kau ikat dengan karet gelang pemberianku setahun yang lalu.

“Are you oke?”

“I’m Fine.”

Aku terbangun dari mimpi, setelah kamu pergi bersama seorang pria yang tak tampak jelas raut mukanya. Sudah sepuluh jam aku duduk di balik jendela ini. Menatapmu yang berbahagia menerima tamu yang datang di pernikahanmu. Aku tak sekuat yang kau kira, melihatmu bersanding bersama orang lain, mengucapkan janji sehidup—semati. Tidakkah kau lihat gelisah hati ini? Yang meminta kau kasihani meski hanya sedetik tersenyum dan menatapku manis. Aku bukan lautan yang berjarak dengan ombak, aku hanyalah hujan yang meneteskan air dari kesedihannya yang sudah tak bisa ia tahan sendiri.

Selepas senja, aku selalu bisa melihat wajahmu di buku-buku yang ku baca, melihatmu menjelma senja yang terbit di setiap halamannya. Asaku terpuruk ketika tahu itu hanyalah imajinasi yang tanpa ujung. Aku lelah membiarkan hujan memakan semua air mataku, mengingatkan diri pada perjuangan yang akhirnya mati hanya karena gengsi.

“Tak ada pertemuan tanpa perpisahan, sayang.”

“Aku tak ingin ada pertemuan.”

“Apa yang kamu mau?”

“Aku ingin perpisahan yang mengharap pertemuan.”

“Itu mustahil.”

“Aku tahu, aku terlalu lelah mengatakan aku kuat karena berpisah denganmu, padahal aku sangat mengharapkan pertemuan itu lagi.”

“Sayang, aku tak benar-benar berpisah darimu, aku hanya memberi jarak diantara kita.”

“Jarak menghasilkan ruang, kamu harus bertanggung jawab karena ada ruang yang kosong—tak terisi.”

“Biarkan ruang itu kosong, ada saat yang tepat untuk diisi oleh orang yang tepat. Kamu hanya perlu menantinya dan menunggu.”

“No!! cinta bukan soal menanti apalagi menunggu. Cinta soal menemukan dan ditemukan.”

“Kalau begitu, temukanlah.”

“Aku sudah menemukanmu.”

“Kau tahu, ini semua tidak mungkin. Aku sudah ditemukan oleh orang lain.”

“Tapi, aku yang menemukanmu dulu.”

“Tidak, kamu salah. Kamu menemukanku bukan disaat yang tepat. Tapi dia, menemukanku  disaat yang tepat.”

Selepas senja, aku menyadari kenangan tak pernah berubah menjadi apa-apa, kenangan akan tetap sama seperti semula. Aku yang terlalu berharap kenangan berubah menjadi apa yang aku mau.

Selepas senja, aku butuh hujan untuk menyamarkan air mata. Kenanganmu hanya membuatku merasa ada bukan memiliki. Ini menyakitkan, sekeras apapun aku mencoba melupakanmu, hatiku selalu mudah menemukanmu lagi.

Selepas senja, aku menyadari. Aku tak pernah bisa memberikan apa yang kau mau dan kamu selalu memberikanku apa yang aku mau, Aku sadar, kau lebih mencintaiku karena kau menerima apa yang tak ada di antara kita.

Selepas senja, aku tahu ini tak semudah yang aku bayangkan. Aku masih rajin menatap ponsel, berharap ada pesan masuk darimu. Senja tak pernah sama, selalu ada garis yang berbeda warna, selalu ada awan yang berbeda bentuk. Yang sama hanya satu, kesetianku dalam menatapmu. Menanti dan menunggu dalam ketidakmungkinan yang sengaja kau ciptakan untuk menyakitiku.

Selepas senja aku bertanya, apakah aku akan berhenti jika penantianku ditumbuhi sepi. Aku selalu takut malam. Aku tak ingin mengulangi kejadian malam itu, aku memilih menghindari malam dengan memimpikanmu selepas senja.

Selepas senja, tidakkah kau melihat lumpur-lumpur yang menyelimuti rindu, aku belum siap untuk tidak merinduimu.

Selepas senja, aku memutuskan membiarkan hatiku tersesat, memilih ditemukan tidak lagi menemukan. Aku memaksa merawat hatiku yang luka untuk menjaga kenanganmu yang terlanjur berakar di pikiran.

“Kamu salah, melepaskan bukan sebuah kesalahan.”

“Aku tak pernah punya niat untuk melepaskanmu.”

“Kamu justru akan menyakiti hatimu sendiri.”

“Hatiku sudah terbiasa dengan luka yang kamu beri.”

“Tapi hatiku tak terbiasa melihat luka di hatimu.”

“Aku cemburu melihatmu bersanding pada seseorang yang tak pernah berusaha keras mendapatkanmu, tapi  bisa mendapatkan perhatianmu.”

“Kamu butuh waktu yang tepat, sayang.”

“Waktu tak pernah memihakku, waktu selalu menahanku maju, waktu memaksaku menggadaikan rasa.”

Selepas senja, kau mendatangiku mengobati seduh yang teramat pedih, aku terpaksa merebahkan cemas. Aku tak pernah ingin pergi dan menjadi orang asing, kau perempuanku yang lahir dari sajak-sajak pengganti rindu. Kisah kita belum usai, aku butuh pemeran utama untuk membuat ending. Karena kisah tanpa ending bukanlah sebuah kisah.

“Aku kembali, kini menjadi istrimu. ”

“Aku tahu kau bosan. Tapi bosan tidak bisa kau jadikan alasan untuk berpisah.”

“Aku tak bosan, sayang. Aku hanya butuh kita kembali, mengulang semua dari awal, lalu saling mengenal lagi, lewat pernikahan kita.”

“Aku berhak atas tubuhmu, aku suamimu.”

“Tenang, sayang. Kau tak pernah benar-benar kehilanganku.”

Selepas senja, kau membiarkanku merebahkan tubuhmu. Aku rindu bibir yang pernah melumatku. Kau memberikannya malam ini. Hujan menyembunyikan sunyi. Malam ini jadi malam pertamaku melihat perubahanmu, dan jadi malam pertamamu melihat aku yang kau mau. Aku berubah jadi sosok yang selalu kau inginkan—tak seperti dulu. Kau berubah jadi sosok yang selalu ku tunggu.

“Aku ingin merubah kebencianmu terhadap malam. Lupakan kejadian malam itu—ada aku di sini.”

Selepas senja, aku menyetubuhimu—melupakan semua yang sempat menghalangi kita untuk saling mencinta, merobohkan dinding yang terlampau tinggi untuk dipanjat. Menghapuskan jarak yang terlalu lama tercipta. Kau tertidur setelah dua jam kau membiarkanku menikmati tubuhmu. Ponselku berdering melihat satu pesan yang tak asing.

“Lihat keluar jendela, sayang. Aku rindu kamu.”

Aku menatap ke luar jendela, perempuan yang membuatku memandanginya sepuluh jam dari balik jendela selepas senja melambaikan tangan ke arahku, aku tersnyum.


“Aku tak pernah mengenal angka, dalam mencinta.”


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, December 9, 2015

Tunggu?


Pukul sembilan
Di keramaian yang menggema, aku menunggu
Kamu janji menemuiku pukul tujuh
Dahiku mengerut, menahan kramnya perut.

Jarak menggores waktu yang dilukai
Sialan! Berapa lama lagi aku harus menanti
Aku lepas kendali, menantimu yang tak kembali
Haruskah aku menunggu lebih lama lagi?

Semarang, 10 Desember 2015
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, November 29, 2015

Menyentuh Masa Lalu




Aku menyadari, keputusanku melepas Laura adalah keputusan terburuk yang pernah ku hadapi selama hidupku. Kesadaran yang datang terlambat telah membuatku merasa jadi manusia paling bodoh. Aku masih duduk kaku, bingung, salah tingkah. Laura duduk di depanku dengan senyum yang terasa neurotik bagiku. Perpaduan tatapan dan senyumnya berhasil meluluhkanku, mematahkan amarah yang batal tersampaikan. 

Menyadari kesalahan terbesar yang telah ku perbuat sendiri justru membuatku semakin tersakiti, bukan karena perbuatan orang lain. Tapi, karena perbuatanku sendiri. Aku tak pernah bisa berpikir jernih setelah kejadian itu, aku selalu teringat kenangan bersama Laura, dan itu menyakitkan. Meskipun kenangan kita jauh dari rasa menyakitkan. 

Malam ini kita tak semeja berdua, Laura mengajak sahabatku, Alva.

“Nat?”

“Nathan!?”

“Eh iya, sorry-sorry. Kenapa, Laura?”

“Kok bengong?”

“Enggak kok, Cuma mikirin bisnis aja.” Aku benci berbohong.

“Oh iya, Nat. Gimana bisnis kontraktor barumu?” Tanya Alva.

“Lancar, ada beberapa pekerjaan baru tahun depan.” Aku tersenyum. Senyum seorang sahabat.

“Wauw, tambah sukses dong kamu, Nat” Laura menambahi.

“Ya... bisa dibilang gitu. Kalo kamu gimana Laura?”

“Kami sudah resmi berpacaran, Nat” Jawab Alva, Laura tersenyum menatapku.

Apa yang barusan terjadi? Aku seperti ditimpa beban yang paling berat. Kalimat itu mengacaukanku, membuat isi otak berputar-putar entah kemana. Ini terlalu cepat, aku baru dua bulan berpisah dengan Laura, itupun bukan karena kita sudah tak saling mencintai. Kami sepakat untuk berhenti saling menyakiti, status membuat semuanya jadi tidak mudah. Ada batas yang tak boleh kita lewati. Ada jarak yang tak boleh terlampau jauh. Ada dua perasaan yang juga tak mudah untuk dijaga. 

“Oh wauw, selamat ya. Alva—Laura.”

“Terimakasih, Nathan” Jawab Laura.

Makanan yang kami pesan datang, Laura dan Alva memesan makanan yang sama. Makanan yang sering aku dan Laura makan saat masih bersama dulu. Dan kini Laura menikmatnya bersama orang lain, tepat di depanku dan Ini menyakitkan, sangat.

“Nat?” Tanya Alva.

“Ya?”

“Kamu tidak marah?”

“Marah? Untuk apa?”

“Kita berpacaran?”

“Kamu lucu, Va. Aku bahagia kalau sahabatku bahagia, apalagi kalau Laura bahagia” Aku tersenyum, Laura membalas senyumku.

Percakapan ini hanya membuang waktuku saja. Tapi, aku juga tidak mungkin pergi meninggalkan mereka. Laura bisa menganggapku cemburu. Kalau itu terjadi Laura akan menang, membuatku menyesal telah meninggalkannya.

“Nat?” 

“Iya Laura?”

“Aku tahu ini susah untukmu, aku tidak bermaksud mentyakitimu.”

“Tenang aja, Laura. Kita memang harus bisa menerima satu sama lain, bukan untuk kita 
 yang dulu. Tapi, untuk kita yang sekarang.”
 
“You’re my bro. Nat” Balas Alva.

“Kita berteman sejak kecil, rasanya munafik pertemanan kita hancur hanya karena salah satu dari kita mencoba membuka hati untuk orang lain” Alva dan Laura menatapku.

“Aku selalu suka setiap jawabanmu. Nat”  Laura tersenyum.

Aku tak perlu panik, apalagi khawatir. Mereka berdua hanya berpacaran. Laura bukan perempuan yang bisa diajak serius ke jenjang yang lebih luas, seperti pernikahan. Dia menolak ketika aku melamarnya ketika kami berlibur di Bali. Handphone Alva berdering, dia meminta izin untuk menerima panggilan itu. Laura menyentuh tanganku ketika Alva sudah cukup jauh dari meja kami.

“I’m Sorry, Nathan” Tangan Laura memegang tanganku.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Laura. Kamu tidak salah.”

“Kamu bohong.”

“Kamu sok tahu, Laura.”

“Aku kenal betul sama kamu, Nat. Kita udah sama-sama hampir tiga tahun.”

“Oke, oke, Fine!!” aku melepaskan gengaman tangan Laura. “Ini yang mau kamu kasih ke aku, setelah tiga tahun kita berpacaran? Perempuan macam apa kamu ini?”

“I’m Sorry, Nathan. Aku dan Alva akan bertunangan. Alva sudah melamarku.”

“What? Tapi, dulu.....”

“Aku minta maaf, Nathan.”

“Kamu membunuh kepercayaanku terhadapmu kurang dari satu menit, Laura. Lidahmu sungguh tajam. Perempuan macam apa kamu ini?? Aku bisa terima kalau kamu menikah dengan orang lain. Tapi ini..... Alva, sahabatku sendiri, teman kita sejak kecil.”

“Memang apa masalahnya?” tanya Laura.

“Apa masalahnya? Kamu masih tanya? Kamu menyakitiku bertubi-tubi detik ini. Aku tidak mungkin meluapkan emosiku di depan Alva. Kamu justu memancingku, bahkan di saat Alva tidak ada di sini.”

“Maafin aku, Nathan.”

“Perempuan macam apa kamu ini, Laura.”

“Ikhlaskan, Nat.” Laura menggenggam tanganku. Aku melepaskannya.

“Aku tidak bisa, Ikhlas pelajaran paling susah di dunia, Laura. Kamu tahu itu.”

“Nat.” Mata Laura berkaca-kaca.

“Aku selalu berharap bisa menjadi seseorang yang sedang bersamamu, Laura. Tapi waktu nggak pernah mengijinkanku, waktu nggak pernah berpihak, waktu selalu menahanku maju.”

“Terus, kenapa kamu tinggalin aku, Nat. Justru disaat aku mulai percaya?”

“Aku ingin membunuh waktuku, Laura.”

“Buat apa? Kamu kan tahu, nggak bakal ada yang bisa memutar waktu apalagi membunuhnya.”

“Bisa, Laura.”

“Dengan cara apa?”

“Membunuh waktuku, bersamamu... Laura” Alva kembali sebelum Laura sempat membalasku.

“Sorry, biasa urusan pekerjaan.” Alva duduk dengan senyum yang mengarah ke Laura.

“Sorry, Alva—Laura aku harus pergi. Permisi.” Nathan meninggalkan Laura dan Alva dengan perasaan yang kabut. Alva dan Laura menatapnya hingga Nathan menghilang dari pandangannya.

“Gimana, Laura? Nathan Cemburu?” Tanya Alva.

“Kita berhasil.”

“Apa aku bilang, Nathan bakal sulit melupakanmu apalagi mengikhlaskanmu.” Jawab Alva.

“Apa yang harus aku lakukan, Alva?”

"Sentuh hatinya lagi. Laura.” 

“Tapi....”

“Kamu nggak perlu jauh-jauh cari orang baru buat memperbaiki perasaanmu kalau masa lalumu bisa melakukannya.”

“Tapi, aku sama saja baca cerita di buku yang sama, endingnya sama jalan ceritanya sama.”

“Kenapa harus baca cerita di buku yang sama, kalau kamu dan Nathan bisa menulis cerita kalian sendiri, bersama-sama?”
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.