Wednesday, August 29, 2018

3 Menit Sebelum Patah Hati. (Dialog yang Ganjil)


“Ada menu selain kopi gak yah?”

“Hmm, bentar. . . Kayaknya ada deh, susu, susu kopi gitu. Kenapa? Gak minum kopi?”

“Bukan. Cuma sebisa mungkin menghindari kopi sih.”

“Kenapa?”

“Lambung. Kembaranku tuh gak minum kopi karena lambung. Aku pikir aku enggak kan, ternyata iyaa. Aku pernah mencret karena minum kopi Wamena, jadi tidur gitu kebangun beberapa kali cuma buat mencret. Apalagi arabika kan.”

“Serius? Waaah… Eh gimana dua hari di Jakarta?”

“Selalu menyenangkan kalo Jakarta. Aku dari ketemu temen-temen film ini, terus langsung ke sini, tiba-tiba akhirnya kamu line aku, padahal aku udah sejak kapan ngajak ketemuan, eh baru dibales.”

“Hahaha, sorry yaah, aku tadi pulang kerja langsung inget. Akhirnya ke sini. Agak-agak galau aku.”

“Lah, why?”

“Gak tahu kenapa, akhir-akhir ini berasa banyak pikiran aja.”

“Bentar aku pesen dulu yaah,”

“Oke.”


“Terus gimana?”

“Yagitu.”

“Eh kamu tuh Scorpio yah?”

“Iyaa, kenapa?”

“Gapapa, tanya aja.”

“Percaya sama yang gituan?”

“Cukup percaya. Kamu”

“Percaya sih, kadang emang bener. Harus diakui.”

“Aku lihat kamu tuh orangnya dark yaa? Kayak sering merenung gitu.”

“Kok gitu?”

“Kelihatan aja.”

“. . .”

“. . .”

“. . .”

“. . .”

. . .

“Hujannya udah reda, balik yuk.”

“Eh iya, ini buat kamu.”

“Wah apa nih, pake dikadoin gini.”

“Jangan dibuka sekarang nanti aja.”
“. . .”

“. . .”

“. . .”

“. . .”

“. . .”

. . .

-----

“Kamu minum bir?”

“Kenapa?”

“Ah enggak, nggak nyangka ternyata kamu minum juga.”

“Kalo lagi pengen aja. Gak pernah mabuk.”

“ I see. . .”

“Jadi gimana?”

“Apa?”

“Bulan lalu dia sempat ke Jakarta kan ketemu kamu. Kamu mah gak perlu pura-pura gak tahu”

“Yaaa, main bareng, gak tahu kenapa rasanya lega aja gitu. Setelah sekian lama cuma bisa chat. Dia tuh gimana yaa, jujur dia gak ganteng, tapi aku merasa suka banget sama dia, literally banget, buta gitu aku. Sampe kakak aku marahin aku, katanya banyak orang yang suka sama aku, tapi aku masih kekeh sama dia yang notabene jauh dan beda pulau.”

“Kamu tuh aneh, buta tapi sadar. Terus sekarang gimana? Masih putus… Kenapa sih kalian harus putus nyambung terus, gak selesai-selesai. Putusnya beneran cuman karena itu? Yang kamu kaish tahu di chat?”

“Iyaa, dia lebih milih nonton final piala dunia. Padahal aku cuman minta setiap malem jam sembilan sampe dua belas waktu dia buat aku aja, dengerin cerita aku.”

“Ya lagian, piala dunia kan cuma empat tahun sekali.”

“Iya sih, dia juga bilang gitu, ya tapi gimana yaa, aku tuh pengen diperhatiin. Aku cuma minta waktu dia buat aku aja jam segitu. Eh tapi dia gak bales chat aku, karena nonton itu.”

“Terus kamu putusin?”

“Iya…”

“Terus kamu nyesel? Pengen balikan lagi?”

“Enggak sih.”

“Kok pake sih?”

“Bingung Za, sumpah bingung. Aku sebel banget lah sama dia.”

“Terus kamu sekarang? Masih sama pacar cewekmu itu? Siapa namanya? Olivia?”

“Iyaa, dia nenangin aku gitu. Ini sekarang aku masih chat sama dia… Don’t judging me yaaah, aku masih gak tahu lesbi apa enggak, nyatanya aku masih mikirin dia. Sebel sumpah aku.

“Dia tuh yang bertahan yaa dari twitter itu kan?”

“Iyaa yang bertahan sampe sekarang ya dia sama kamu. Kamu masih blockir semua sosial medianya dia kan? Aku gak mau dia sakit hati kalo aku masih chat-chat an sama kamu, kadang dia protektif juga. Masih kan Za?”

“Masih kok, masih. Aku juga bingung, kenapa aku dikorbankan di hubungan kalian. Dulu karena hastag di twitter itu dia kenalan sama kamu kayak aku, line terus ke Instagram, whatsapp, aku bertanya-tanya kenapa dia yang lebih beruntung. Padahal notabene kamu selalu ceritanya ke aku, apalagi tentang dia. Aku kangen kamu cerewet, tiba-tiba ngirim voice note atau nelpon.”

“Yaa gimana ya Za, sorry yah. Aku cinta banget sama dia.”

“Oke kita bikin taruhan aja. Kalo dua minggu lagi kamu gak balikan. Kamu harus lupain dia. Deal?”
“Jangan dua minggu dong. Sebulan?”

“Oke deal. Kalo kamu kalah kamu harus blokir dia dari hidupmu, dan fokus ke aku. Kalo kamu yang menang, aku bakal stop berusaha untuk deket sama kamu.”

“Zaaa? Kalo gitu kayaknya aku gak bisa, aku cinta banget sama dia. Tapi aku gak ada perasaan ke kamu. Gak bisa dipaksa. Sorry.”

“Iyaudah fokus ke taruhannya aja dulu.”

“Oke. Maafin yaah.”

“Iya gapapa.” J
-----

“Hey, sorry yah nunggu lama.”

“Gapapa kok, kan janjiannya jam dua belas, ini masih setengah jam lagi.”

“Duduk sana yuk, sambil nunggu tempatnya buka.”

“Yuk,”

“Aku belum mandi waktu kamu chat otw, aku langsung buru-buru mandi.”

“Hahaha sorry yaah, kupikir bakal makan waktu banget.”

“No big deal kok. . . Eh kira-kira di situ ada bir gak yaa?”

“Wah enggak ada. Kamu minum bir kah?”

“Iyaa, kalo lagi pengen aja. Gak pernah mabuk tapi. Kenapa?”

“Gapapa. Banyak orang yang gak suka sama peminum.”

“Iya, dua hari yang lalu aku pesen bir, ketemu sama orang kan, langsung ditanyain gitu, wajahnya berubah… Sebetulnya aku minum bir itu bagian dari strategi.”

“Strategi? Kok gitu?”

“Ya penilaian orang itu ke aku bakal berubah atau enggak kalo aku minum bir.”

“Ah! I See… Terus maksudnya tadi nanyain bir mau tahu penilaianku tentang kamu berubah atau enggak?”

“Yaaa, some kind.”

“Gak ngaruh, aku enggak lihat orang dari apa yang dia minum.”


“Udah buka tuh, yuk.”


“Kamu mau pesen apa? Aku makan nasi gapapa kan? Aku belum makan pagi.”

“Iya gapapa, aku bingung, kayaknya bakal makan mie lagi nih.”

“Mie banget nih? Kalo aku punya ritual makan mie tuh minggu pagi. Mie goreng biasanya.”

“Ohiya? Kenapa gitu?”

“Aku juga gak tahu. Suka aja gitu.”

“Aku hampir tiap hari makan mie, sering makan tapi tetep aja gak kenyang. Pengen rasanya buka warteg di dalam perut.”

“Hahaha kamu mah. . . Makan dulu yak.”


“Kok bawang gorengnya disingkirin?”

“Iya gak suka.”

“Sini buat aku aja.”


“Udah selesai. Kenyang.”

“Sorry aku kalo makan lama.”

“Aku tunggu, aku bisa tambah kenyang kalo lihat orang makan.”


“Eh nonton yuk, pejanten deket sini kan?”

“Yuk, iya deket, naik go car aja.”

“Iya, ini aku pesen yaa.”

“…”

“…”

“…”

“…”

-----

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, August 24, 2018

Pria Terakhir yang Merindu di Bumi


Jika besok dunia berakhir
Aku ingin menulis puisi bersamamu
Sesekali mengecup bibir merahmu 
yang manis dan lucu.

Memeluk tubuh kecilmu, 
mengusap lembut rambut-rambutmu, 
menghirup aroma pipimu, 
atau hidungmu. 

Menggigit pelan bibirmu, 
tanpa tergesa.
dan kita telanjang
Tegang di atas ranjang
terang di dalam petang

Menatap masa-masa 
dan waktu yang perlahan hilang, 
menjadi abu. 
Jangan buat aku rindu.


Semarang, 24 Agustus 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, August 21, 2018

3 Menit Sebelum Patah Hati. (Semesta yang Telanjang)



“Aku udah di lobby.”

“Kamar 1206 yaa, Lantai 12.”

Membaca dan membalas pesan itu jantungku berdebar, ada luput yang terlanjur menghitam pekat tak paham arah. Senja hampir tiba, aku sudah satu jam menunggunya. Ada kerinduan yang membuncah hingga ubun-ubun rasanya hampir pecah. Aku membayangkan apakah di dalam kapsul perak itu ia ikut berdebar, atau apakah ia merapikan pakaiannya juga make-upnya. Kami sepakat membuat semuanya jadi punya arti sebelum lagi-lagi ia pergi.

“Aku udah di depan pintu,” aku membaca pesannya setelah cukup lama mataku terus terpaku pada ruang obrolan itu. Aku beranjak, sedetik kemudian—sebelum aku menggenggam gagang pintu, suara ketukan lembut terdengar. Jantungku mulai tak karuan, aku merapikan rambut sebelum membuka pintu.

Senyum itu, dengan gincu merah muda dan make-up tipis juga rambut pendeknya yang menutup hingga leher, ia definisi sempurna sore itu. Ia bediri di depan pintu, menatapku beberapa detik, lantas masuk—masih dengan senyum itu, aku menutup pintu—memutar kunci dua kali.

Ia memakai rok hitam longgar selutut dan kaos tanpa lengan warna hitam yang tak sepenuhnya menutup perut. Ia mengambil remot TV, membesarkan volume, TV menyiarkan chart lagu terkini—mataku mengikuti gerak-geriknya sampai ia berhenti dan pandanganku tertumbuk pada matanya. Ia tersenyum sekali lagi, aku membalasnya hangat.

“Di luar masih kerasa panas,” ia membuka kaosnya, kulihat bra hitamnya menampung semesta kaumnya yang rasanya hampir tumpah. Ia melemparkan kaosnya ke arahku—menutup pandanganku sejenak, aku mencium aroma lavender, harum semerbak. Otakku merasa tenang seperti seorang anak yang diceritakan sebuah dongeng malam oleh ibunya. Lalu ia mengikat rambut yang tak panjang itu.

Ia menyusuri tubuhnya sendiri, tangan itu lembut menyentuh kulit—sengaja menggodaku. Ia sesekali melirikku yang mulai tak bersuara, mulai tak tahu harus berbuat apa. Ada surga di depanku, ada pertunjukkan teater terbaik yang tak mampu ditolak pria mana pun di dunia. Aku perlahan mendekat, duduk di sampingnya, senyumnya menggoda, ia hanya memberiku punggungnya. Aroma lavender itu makin kuat, aku terpejam sesekali—menghirup aroma yang mulai kukenali dan akrab dengan hidungku.

Ia memegang kedua tanganku, ia arahakan tanganku yang gemetar itu pada pinggulnya, ia jatuhkan di sana, lalu ia tinggalkan, seperti anak kecil tanpa orang tua di dingin malam Ibu Kota, aku terdiam, ia mulai menggeliat. Aku tak kuasa menahan rindu yang detik itu pecah, aku menyusuri lekuk tubuhnya, menciumi jenjang lehernya yang langsat. Menghirup aroma rambutnya, aku terhempas pada ruangan serba gelap, dengan hanya ditemani suara-suara yang membuat roma tubuhku hidup setelah lemah sendiri.

Aku malu-malu, ini kali pertama aku menyerahkan seluruh tubuh dan jiwaku pasa seorang wanita, ia yang kucinta dan tak terjemahkan apa pun. Ia yang menjadikanku sederhana, ia yang berhasil membuatku keluar dari gelap yang meronta lama, ia yang menarikku dari sendiri yang mencekam, ia wanita yang membunuhku pada tatapan pertama. Seolah wanita itu tahu, ia menuntun satu tanganku meremas gumpalan takdir bagi tiap wanita itu, ia merintih saat untuk pertama kalinya remasan itu juga menggetarkanku, ia sengaja—berusaha menarikku pada permainan itu.

Saat irama mulai merona membentuk nada yang utuh dan indah, aku mulai lupa semuanya, lupa pada segala hal yang membuatku berpikir seratus kali atas ajakannya kali ini. Aku lupa kebingungan dan rasa khawatirku. Aku telah jatuh terlalu dalam, meremas terus, makin keras dan cepat, suara-suara itu menggema, mebentur dinding-dinding, dengan alunan musik instrumental yang kebetulan diputar TV di kamar hotel itu.

Ia berusaha membuka kait branya, hingga benar-benar lepas dan kini semesta itu benar-benar telanjang, ia berpaling menatapku, melingkarkan tangannya pada leherku dan aku masih bemain-main di alam itu. Ia menjambak lagi, keras hingga aku kesakitan, namun rasanya sakit itu tak seberapa. Ia mencium basah bibirku, bermain-main hingga lidah kami bertemu di persimpangan saat keringat mulai mengucur pelan-pelan, saat tubuh kami mulai basah berdua. Saat tanganku mulai nakal membuka roknya dan berusaha menangkap apa yang ada di sana. Ia melepas cepat kaos yang kupakai tanpa ingin melepas ciuman yang makin basah itu.

Sebelum aku berhasil menerka dunia apa yang ada di balik rok hitamnya, ia sudah menyentuh semestaku, semesta yang lama diam dan dipendam, semesta yang disukai wanita namun tak berani diungkap cuma-cuma, semesta yang menyatukan kita semua. Ia mengelusnya lembut seperti penyayang kucing pada peliharaannya. Ia melepaskan bungkus luar semesta itu, hingga seluruh luar angkasa tampak bersinar terang dan ia tersenyum menggodaku. Ia bagai melihat rasi bintang orion, si pemburu dunia lainnya, ia bermain-main pada semestaku dan menggigit bibirku yang basah. Ia masih senang dengan itu hingga rok dan penutup dunianya yang lain tanggas—lepas. Aku tak buru-buru seperti apa yang ia lakukan, mulai cepat dan keras dengan tangan-tangannya yang seolah tanpa lelah.

Aku makin menggigil, aku melihat ia makin panas, makin keras dan ganas. Sampai pada hening ruangan itu, TV berhenti memutarkan lagu-lagu dan berganti acara lain. Ia melepaskan ikatan kami, ia berbaring pada ranjang dengan sprai putih yang berkilau. Di depan mataku ia membuka lebar-lebar dunianya, hingga semesta kami saling tatap dan saling tunggu. Muncul dipikiranku tentang lubang hitam pada konsep semesta yang berbahaya dan sulit diterjemahkan, aku berulang kali menatapnya yang dengan tangan-tangannya masih memainkan dunianya yang sempit itu.

“Sorry,” tubuhku melemah.

“Kenapa?” ia bangkit.

“Kita setuju gak sampe sana,” aku duduk di tepi ranjang.

“Kupikir kamu gak serius,” ia memelukku dari belakang, kembali memainkan semestaku yang mulai tidur.

“Aku gak bisa.”

“Kenapa?” tanyanya masih bermain-main.

“Pacarmu,” kata itu menghentikannya—ia menjauhiku, aku menatapnya, melihat rasa kecewa yang menyelimuti wajah cantiknya.

“Aku gak mau jadi yang kedua, aku inget kamu pernah juga melakukan ini sama pacarmu, kamu terbuka sama aku soal itu,” ia diam. Menatapku lalu turun dari ranjang, mengambil satu-satu pakaian yang jatuh di lantai dan memakainya. Ia masih diam, aku memohon padanya untuk duduk sebentar dan membicarakan resah yang masuk tanpa ketuk ke tubuhku.

Aku memaksanya, ia menjauh—menolakku. Tiga menit sejak semesta kami saling sapa dan tinggal bertemu, hingga ia keluar membanting keras pintu. Aku membuatnya marah, membuatnya sakit, membuatnya patah hati.

----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, August 16, 2018

3 Menit Sebelum Patah Hati



Pagi yang dingin menyisakan mimpi yang berat sebelah, aku ingin terus mengingat keindahan di dalamnya, namun semesta memaksaku untuk lupa. Semalam ada yang bilang bahwa ia ingin bunuh diri, dan aku kaget setengah mati. Pertama aku bingung harus berbuat apa, kedua ia bukan teman dekatku. Bisa dibilang kami hanya saling kenal. Aku gagap, tak paham harus berkata apa. Itu yang membuatku masih ingat hingga pagi ini. Tubuhku seolah kram, aku butuh tenang dan nyaman, aku butuh segala sesuatu yang mampu membantuku. Aku butuh pikiran ini untuk istirahat sejenak, aku butuh bingung untuk merenung.

Ia bercerita tentang keinginannya untuk bunuh diri, aku yang hitam dan alpa soal ini sebenarnya takut ketika harus merespon perasaannya, aku belajar dari banyak hal, orang-orang atau tulisan-tulisan, aku berusaha jujur bahwa aku bingung harus apa. Ia dengan perasaan yang tenang dan nyaris tanpa ekspresi mengatakan bahwa ia hanya butuh untuk didengar. Tapi kita selalu tahu, tidak ada yang benar-benar hanya butuh didengar, sejatinya saat kita ada di masa-masa terpuruk kita butuh merasa tenang, merasa baik-baik saja, dan kita memercayakan itu pada seseorang yang bagi kita mungkin bisa membantu.

Aku berusaha untuk membantunya sedikit melupakan kesakitan yang ia rasakan, aku berusaha untuk tetap intim berkomunikasi. Untuk terus menggali apa yang ia butuhkan, aku sudah terjun, setengah badan sudah penuh lumpur, aku tak mungkin mundur, aku hanya ingin dia baik-baik saja, tanpa harus sering memikirkan hal itu. Bahwa sesungguhnya wanita itu punya kecerdasan yang membuatku terpesona, caranya melihat dunia dan memahami manusia lain membuatku jatuh, membuatku nyaman saat membicarakan banyak hal.

Awalnya cara-caraku berhasil, ia bergembira saat kami bercerita, setidaknya itu yang aku rasakan. Aku merasa ia menjadi wanita paling bahagia, paling menikmati hidup, kami seolah menjadi dua manusia yang lupa segalanya, lupa bagaimana ini awalnya terjadi, bahkan aku lupa bahwa aku tidak menyimpan rasa apa-apa. Aku hanya berharap ia baik-baik saja. Bahkan ia sempat mengajakku untuk pergi jauh, menikmati dunia, memahami makna sunyi dan sepi berdua. Aku senang mendengar ajakkanya, aku senang ia bahagia.

“Kita belum pernah ketemu tapi ngobrolnya udah dalem gini,” katanya ketika kami berbicara tentang bagaimana dunia bersikap pada manusia-manusia yang memahami tindakan di luar kendali.

“Set a met?” kataku menawari.

“Boleh.”

“Kamu ada acara Minggu ini?”

“Ah, aku gak bisa kalo Minggu, harus ke gereja.”

“I See, Sabtu malam minggu gimana?”

“Boleh. Tapi yakin kamu mau ketemu aku?” katanya, setelah lama membalas pesanku.

“Loh kenapa?”

“I’m so dark. . .”

“It’s fine, I’m so dark too.”

“Okey. . .”

“Jam tujuh malem yaa,” kataku mengakhiri pesan, dan benar ia tak membalasnya lagi—hari sudah larut.

Duniaku, adalah dunia kata-kata, dunia obrolan. Dunia suara yang langsung keluar dari bibir penuh cerita. Dari situ, aku suka menyelami keunikan manusia, aku suka mendengar berbagai hal yang coba ditawarkan orang-orang, aku bahagia dengan situasi ini, meski segalanya mungkin tak ada arti bagi orang lain. Sejujurnya hanya dengan berdua berbincang, aku bahagia setengah mati, aku tak perlu sulit menerjemahkan bagaimana perasaan orang itu, karena ia ada di depanku, aku bisa membaca kegelisahan setiap orang jika mereka dekat dan tak jauh dari pandanganku.

Tapi Sabtu berubah kelam. Pertemuan itu tak pernah terjadi. Aku duduk di tempat yang seharusnya menjadi awal pertemuan kami, aku berniat untuk memahami segala motifnya, segala rasa sedih dan rasa takutnya, aku berniat memahami seorang wanita yang merasa dirinya tak lagi punya arti di dunia ini. Aku duduk menunggu, hampir dua jam, lalu aku mengirim teks.

“Kita jadi ketemu kah?” tanyaku, setelah berulang kali menghapus pesan yang hendak kukirim. Menyesuaikan kata yang tepat dan pas. Aku sangat menjaga perasaannya.

“Eh, Astaga. Sorry, sorry, aku lupa,” ia langsung membalas.

“Ohyaudah, it’s fine, aku cuma memastikan, soalnya aku harus nganterin ibuku dulu,” kataku berbohong.

“Aku gak yakin kamu mau ketemu aku. . . I’m so dark, seriously.”

“I don’t care,” kataku singkat—pergi dari tempat itu.

“Kok kamu gitu ngomongnya? Jahat banget,” aku membacanya ketika berada di atas kendaraanku, aku bingung, merenung. Seharusnya bukan itu, amarah meredam, aku salah, aku menyakitinya.

“Sorry, maksudku I don’t care, aku bukan orang yang lihat fisik, aku gak peduli itu. Kita sudah janji ketemu dan ngobrol. Aku cuma butuh itu,” aku menunggu tiga menit, duduk di kendaraanku, tanpa menyalakan mesinnya. Ia belum membalas—hingga tulisan ini kamu baca.

-----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, August 10, 2018

Bandung, 8 Agustus.


- Bandung -

Musim dingin lalu,
kita merenung di indah malam
kota Bandung.

Bicara tentang peluk 
yang menghangatkan jantung.
di kedalaman matamu

Saat itu, kupikir bertemu itu harus, 
ternyata hanya jadi dengung.
Sungguh aku bingung.


Semarang, 8 Agustus 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Jakarta, 7 Agustus.


- Jakarta -

Tempat udara
mencari suaka

Tempat aku
menyelami duka

Tempat kita
membagi rasa


Semarang, 7 Agustus 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.