Sunday, November 29, 2015

Menyentuh Masa Lalu




Aku menyadari, keputusanku melepas Laura adalah keputusan terburuk yang pernah ku hadapi selama hidupku. Kesadaran yang datang terlambat telah membuatku merasa jadi manusia paling bodoh. Aku masih duduk kaku, bingung, salah tingkah. Laura duduk di depanku dengan senyum yang terasa neurotik bagiku. Perpaduan tatapan dan senyumnya berhasil meluluhkanku, mematahkan amarah yang batal tersampaikan. 

Menyadari kesalahan terbesar yang telah ku perbuat sendiri justru membuatku semakin tersakiti, bukan karena perbuatan orang lain. Tapi, karena perbuatanku sendiri. Aku tak pernah bisa berpikir jernih setelah kejadian itu, aku selalu teringat kenangan bersama Laura, dan itu menyakitkan. Meskipun kenangan kita jauh dari rasa menyakitkan. 

Malam ini kita tak semeja berdua, Laura mengajak sahabatku, Alva.

“Nat?”

“Nathan!?”

“Eh iya, sorry-sorry. Kenapa, Laura?”

“Kok bengong?”

“Enggak kok, Cuma mikirin bisnis aja.” Aku benci berbohong.

“Oh iya, Nat. Gimana bisnis kontraktor barumu?” Tanya Alva.

“Lancar, ada beberapa pekerjaan baru tahun depan.” Aku tersenyum. Senyum seorang sahabat.

“Wauw, tambah sukses dong kamu, Nat” Laura menambahi.

“Ya... bisa dibilang gitu. Kalo kamu gimana Laura?”

“Kami sudah resmi berpacaran, Nat” Jawab Alva, Laura tersenyum menatapku.

Apa yang barusan terjadi? Aku seperti ditimpa beban yang paling berat. Kalimat itu mengacaukanku, membuat isi otak berputar-putar entah kemana. Ini terlalu cepat, aku baru dua bulan berpisah dengan Laura, itupun bukan karena kita sudah tak saling mencintai. Kami sepakat untuk berhenti saling menyakiti, status membuat semuanya jadi tidak mudah. Ada batas yang tak boleh kita lewati. Ada jarak yang tak boleh terlampau jauh. Ada dua perasaan yang juga tak mudah untuk dijaga. 

“Oh wauw, selamat ya. Alva—Laura.”

“Terimakasih, Nathan” Jawab Laura.

Makanan yang kami pesan datang, Laura dan Alva memesan makanan yang sama. Makanan yang sering aku dan Laura makan saat masih bersama dulu. Dan kini Laura menikmatnya bersama orang lain, tepat di depanku dan Ini menyakitkan, sangat.

“Nat?” Tanya Alva.

“Ya?”

“Kamu tidak marah?”

“Marah? Untuk apa?”

“Kita berpacaran?”

“Kamu lucu, Va. Aku bahagia kalau sahabatku bahagia, apalagi kalau Laura bahagia” Aku tersenyum, Laura membalas senyumku.

Percakapan ini hanya membuang waktuku saja. Tapi, aku juga tidak mungkin pergi meninggalkan mereka. Laura bisa menganggapku cemburu. Kalau itu terjadi Laura akan menang, membuatku menyesal telah meninggalkannya.

“Nat?” 

“Iya Laura?”

“Aku tahu ini susah untukmu, aku tidak bermaksud mentyakitimu.”

“Tenang aja, Laura. Kita memang harus bisa menerima satu sama lain, bukan untuk kita 
 yang dulu. Tapi, untuk kita yang sekarang.”
 
“You’re my bro. Nat” Balas Alva.

“Kita berteman sejak kecil, rasanya munafik pertemanan kita hancur hanya karena salah satu dari kita mencoba membuka hati untuk orang lain” Alva dan Laura menatapku.

“Aku selalu suka setiap jawabanmu. Nat”  Laura tersenyum.

Aku tak perlu panik, apalagi khawatir. Mereka berdua hanya berpacaran. Laura bukan perempuan yang bisa diajak serius ke jenjang yang lebih luas, seperti pernikahan. Dia menolak ketika aku melamarnya ketika kami berlibur di Bali. Handphone Alva berdering, dia meminta izin untuk menerima panggilan itu. Laura menyentuh tanganku ketika Alva sudah cukup jauh dari meja kami.

“I’m Sorry, Nathan” Tangan Laura memegang tanganku.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Laura. Kamu tidak salah.”

“Kamu bohong.”

“Kamu sok tahu, Laura.”

“Aku kenal betul sama kamu, Nat. Kita udah sama-sama hampir tiga tahun.”

“Oke, oke, Fine!!” aku melepaskan gengaman tangan Laura. “Ini yang mau kamu kasih ke aku, setelah tiga tahun kita berpacaran? Perempuan macam apa kamu ini?”

“I’m Sorry, Nathan. Aku dan Alva akan bertunangan. Alva sudah melamarku.”

“What? Tapi, dulu.....”

“Aku minta maaf, Nathan.”

“Kamu membunuh kepercayaanku terhadapmu kurang dari satu menit, Laura. Lidahmu sungguh tajam. Perempuan macam apa kamu ini?? Aku bisa terima kalau kamu menikah dengan orang lain. Tapi ini..... Alva, sahabatku sendiri, teman kita sejak kecil.”

“Memang apa masalahnya?” tanya Laura.

“Apa masalahnya? Kamu masih tanya? Kamu menyakitiku bertubi-tubi detik ini. Aku tidak mungkin meluapkan emosiku di depan Alva. Kamu justu memancingku, bahkan di saat Alva tidak ada di sini.”

“Maafin aku, Nathan.”

“Perempuan macam apa kamu ini, Laura.”

“Ikhlaskan, Nat.” Laura menggenggam tanganku. Aku melepaskannya.

“Aku tidak bisa, Ikhlas pelajaran paling susah di dunia, Laura. Kamu tahu itu.”

“Nat.” Mata Laura berkaca-kaca.

“Aku selalu berharap bisa menjadi seseorang yang sedang bersamamu, Laura. Tapi waktu nggak pernah mengijinkanku, waktu nggak pernah berpihak, waktu selalu menahanku maju.”

“Terus, kenapa kamu tinggalin aku, Nat. Justru disaat aku mulai percaya?”

“Aku ingin membunuh waktuku, Laura.”

“Buat apa? Kamu kan tahu, nggak bakal ada yang bisa memutar waktu apalagi membunuhnya.”

“Bisa, Laura.”

“Dengan cara apa?”

“Membunuh waktuku, bersamamu... Laura” Alva kembali sebelum Laura sempat membalasku.

“Sorry, biasa urusan pekerjaan.” Alva duduk dengan senyum yang mengarah ke Laura.

“Sorry, Alva—Laura aku harus pergi. Permisi.” Nathan meninggalkan Laura dan Alva dengan perasaan yang kabut. Alva dan Laura menatapnya hingga Nathan menghilang dari pandangannya.

“Gimana, Laura? Nathan Cemburu?” Tanya Alva.

“Kita berhasil.”

“Apa aku bilang, Nathan bakal sulit melupakanmu apalagi mengikhlaskanmu.” Jawab Alva.

“Apa yang harus aku lakukan, Alva?”

"Sentuh hatinya lagi. Laura.” 

“Tapi....”

“Kamu nggak perlu jauh-jauh cari orang baru buat memperbaiki perasaanmu kalau masa lalumu bisa melakukannya.”

“Tapi, aku sama saja baca cerita di buku yang sama, endingnya sama jalan ceritanya sama.”

“Kenapa harus baca cerita di buku yang sama, kalau kamu dan Nathan bisa menulis cerita kalian sendiri, bersama-sama?”
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, November 22, 2015

Connecting


Aku duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang terlihat seumuran denganku di dalam pesawat yang menuju ke Bali. Aku tersenyum ketika dia menemukan nomor tempat duduknya setelah bingung mencari dan berkali-kali melihat boarding pass ditangannya. Setelah beberapa detik dia meletakkan barang bawaannya di bagasi atas, dia duduk dengan senyum antusias yang mendarat di mataku. Gincu merah muda di bibirnya terlihat cocok dengan bentuk bibir dan kulit putihnya. Warna matanya terlihat terang tanpa garis merah yang biasanya ada di pinggir bola mata.

“Hai” tangannya antusias menjabat tanganku.

“Oh, hai” aku tersenyum menyambut jabat tangannya.

“Mau liburan?” perempuan itu melepaskan jabat tangannya.

“Iya, Ubud.”

“Ubud? Sama dong, aku juga mau ke sana.”

“Liburan juga?”

“Iya, sekalian jenguk nenek. Sendirian aja?”

“Iya nih, sendiri. Kamu juga?”

“Tadinya sendiri, sekarang udah duduk berdua sama laki-laki yang sama-sama mau ke Ubud.” Dia tertawa kecil.

“Haha, ohiya aku Leo” aku menjabat tangannya.

“Aku Carina” dia tersenyum.

Carina memakai T-Shirt bermotif garis horizontal berwarna putih—biru yang ditekuk di ujung lengan T-Shirt. Memakai celana jeans yang juga ditekuk di ujungnya. Celana jeans yang berlubang di beberapa bagian itu sedikit menggangguku, paha putihnya tidak bisa ku pungkiri terlihat oleh mataku. Carina memakai sepatu dr. Martens warna merah maroon dengan tiga lubang tali, tanpa kaos kaki. Membawa tas hitam kecil, jam tangan cassio warna cokelat dan beberapa gelang menghiasi tangan kirinya. Setelah beberapa menit dalam keheningan dan saling diam, Carina mengambil ipod dan earphone hitam dari tasnya.

“Suka musik apa?” tanya Carina.

“Relatif, tapi paling suka musik jazz sih.”

“Louis Amstrong?” Carina memakai earphone hitamnya.

“Iya, tapi aku paling suka Jimy Rushing.”

“Really? Jimy Rushing? Nenek aku suka banget sama Jimy Rushing” Carina melepas earphone hitamnya.

“Ohiya?”

“Iya, gara-gara nenek, aku juga jadi suka Jimmy Rushing.”

“Aku masih sering lihat perfomancenya di youtube, waktu dia duet sama Dizzie Gillespie Quintet.”

“Aku tahu! Blues After Dark kan?” Carina antusias.

“Iya, Perancis 1959” aku tersenyum menatapnya.

“Gendut, botak, hitam manis, suaranya bagus gemesin kalo lihat dia jalan di video-videonya” Carina tertawa lepas.

“Haha, sssstttt. Jangan ketawa keras-keras.” Jari telunjukku mengacung di depan bibir.

“Ohiyaya, ssstttt” Jari telunjuk Carina ikut mengacung di depan bibir.

“Mau dengerin lagi?”

“Boleh” Jawab Carina.

Aku mengambil Ipad di tasku, lalu membuka file video yang sudah ku download. Memakai earphone di telinga kiri lalu memakaikan earphone di telinga kanan Carina.

“Terimaksih” Carina membuka rambut yang menutup telinganya, menggiringnya ke belakang telinga.

“Sama-sama, Carina”.

Aku baru mau menekan tombol play, Carina sudah mendahuluiku. Menekan tombol play lalu mencubit jariku. Aku hanya tersenyum, Carina juga. Aku dan Carina melihat video itu bersama, hanya berdua. Sesekali Carina berkomentar lucu soal tubuh Jimmy Rushing yang gendut. Tangan kiriku yang menopang punggung Ipad mulai goyah, “Capek, Leo?” Tanya Carina. Tangan kanan Carina ikut menopang punggung Ipad tepat di bawah tangan kiriku. Tangan kami bersentuhan, beberapa detik setelahnya jari-jari Carina mulai bergerak di punggung jari-jariku. Aku meliriknya yang tersenyum dengan matanya yang masih terpaku pada video. Jari-jari Carina masih bergerak mengelus jari-jariku. Aku membiarkannya.

“Nah, selesai juga videonya.” Carina menarik tangannya.

“Yah, kok udah selesai” keluh Carina.

“Haha, emang cuma segitu, Carina.” Aku memasukan Ipad ke dalam tasku.

“Sekarang, kita dengerin lagu-lagu yang ada di Ipod ku ini ya” Carina menunjukkan Ipodnya padaku.

“Boleh, kita lihat seberapa bagus musikalitasmu.”

“Haha, oke. Kita lihat bareng, Le—O” balas Carina.

Carina memakaikan earphone di telinga kiriku, lalu aku memegang tangannya membantu memakaikan earphone, aku sengaja melakukannya, agar Carina merasakan apa yang aku rasakan ketika dia menyentuh tanganku tadi. Lalu Carina memakai earphone di telinga kanannya.

“Udah?” Tanya Carina.

“Play” Jawabku.

“Lagu pertama nih, Leo.” Carina tersenyum menatapku.

“Asiik, Billie Holiday.”

“Gloomy Sunday, Leo. Lagu wajib sebelum aku tidur.”

“Jadi, sekarang kamu mau tidur?” tanyaku bingung.

Belum Carina menjawab pertanyaanku, matanya sudah terpejam. Aku masih terus mendengarkan lagu dari Ipodnya. Sudah lagu ke enam setelah Gloomy Sunday milik Billie Holiday berhasil membuat Carina tertidur. Pundakku berubah hangat, melihat kepala Carina tersandar halus dipundakku. Aku melihat Carina masih nyenyak dalam tidurnya. Limabelas menit lagi pesawat akan mendarat. Aku masih membiarkan pundakku dikuasai Carina. Jari-jariku menyentuh rambutnya, keningnya, pipinya, bibirnya. Carina terbangun, membuatku cepat-cepat menarik tanganku.

“Aku ketiduran ya?” tanya Carina.

“Iya, Carina. Billie Holiday berhasil lagi bikin kamu tidur.”

“Haha kamu, iih. Berapa lama aku tidur?”

“Setengah jam, mungkin.”

“Lama juga ya.”

“Kita udah mau mendarat, Carina. Jangan lupa safety belt.”

“Thankyou, Leo.”

Pesawat sudah mendarat, Aku dan Carina turun dari pesawat bersama. Sebelum mengambil barang aku meminta nomor handphone Carina. Carina memberikannya dengan senang hati.

“Kamu dijemput siapa, Leo?” tanya Carina.

“Sepupuku, Kamu Carina?”

“Itu” Carina menunjuk sesorang yang melambaikan tangan ke arahnya, “Suamiku. Aku duluan ya, Leo.”
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, November 16, 2015

Logika Rasa


Kamu datang dari mana?
Kini menjadi aurora di malamku
Kamu datang dari planet apa?
Kini menjadi pelangi di tengah hari

Kemarin aku melihatmu
Seperti dimensi tanpa kontur
Kemarin aku melihatmu
Memberi batas jarak dan ruang pandang

Ini sajakku yang ketigabelas
Sebuah sajak yang mencari napak tilas
Mencarimu yang memberi batas
Mencarimu dalam bingkai berselimut kapas

Aku masih bersembunyi
Bersama lentera yang kehilangan kata
Aku masih bersembunyi
Bersama rasa yang kehilangan makna

Aku membuka ruang untuk kita
Untuk semua yang harus dikenang
Kau menutup ruang yang kubuka
Logika rasa yang membingungkan


Semarang, 17 November 2015
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, November 8, 2015

Antares


Antares. Malam ini aku masih menatapmu. Sebagian dari mereka tidak mengenalmu. Tapi, tidak denganku, aku kenal betul bintang apa yang ada di jantung scorpius. Alpha Scorpii, terlihat besar, merah. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya kamu lebih dingin dari matahari, aku tahu kamu yang paling menonjol di konstelasi scorpius.

Antares, tuntun aku ke cahaya yang membuatnya kembali lagi seperti dulu. Aku tahu kamu ada diantara Aldebaran, Spica, dan Regulus, sebagai bintang paling terang di dekat ekliptika. Tapi, apa pentingnya itu jika kamu masih belum bisa membuatnya kembali lagi di dekatku.

Tidak akan ada yang peduli dengan pengakuan bintang paling terang ke enambelas yang tersemat di tubuhmu. Juga tidak akan ada yang peduli bahwa abjad ke enambelas adalah P. Mereka tidak membutuhkan itu semua, bahkan mereka tidak tahu bahwa kamu lebih besar dari matahari.

Ya, mereka tidak tahu, mereka tidak peduli bahwa Antares adalah bintang sesungguhnya. Bintang paling terang dari segala bintang yang pernah ku miliki, bintang alpha. Pemimpin sesungguhnya dari bintang-bintang yang ada, bintang yang pernah ku miliki. Antares mulai dilupakan, aku mulai ditinggalkan, butuh perjuangan keluar dari keadaan ini. Terlupakan adalah hal yang paling ambigu. Berharap untuk diingat lagi juga akan jadi aneh. Bukankah kita tidak boleh memaksa orang lain untuk menjadi sesuai dengan keinginan kita?

Antares, apakah kamu mendengarku? Apakah kamu membaca ini? Antares? Antares!! Bawa aku bersamamu, aku tidak bisa lagi memanjat dinding yang terbentang jauh dan tinggi yang kamu bangun untuk menyekat ruang di antara kita. Aku seperti layangan yang terombang-ambing di tengah badai. Tidak tahu arah, berantakan. Semua jadi tidak terselesaikan dengan baik.

Antares, apa lagi yang ingin kamu lakukan padaku, dari semua perlakuanmu terhadapku, kamu selalu berhasil membuatku menjadi berkeping-keping. Patah, hancur, lenyap. Masih adakah sedikit rasamu untukku?

Menjauhkan raga dan jiwamu dariku justru akan membuatku semakin menginginkanmu. Tidakkah kau ingat dengan semua janji-janji yang terlampau kau sebutkan, mimpi-mimpi yang terlanjur kau katakan padaku. Aku tahu, aku mengingatnya. Aku tidak ingin kisahku menjadi roman yang berujung tragis. Aku ingin keadaan ini tanpa ujung, tanpa akhir. Karena cintaku adalah lingkaran yang tak berujung terus bergerak dan terus bertemu. Meskipun kamu tidak pernah ada di dalam lingkaranku. Tapi, kamu berhasil membawaku ke lingkaranmu. Dan itu menyakitkan, sangat.

Antares, aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah terlalu dalam menggali lubangku sendiri. Bukankah semua orang punya sisi gelap? meski secara normal kita tidak mampu melihatnya. Entah, sampai kapan kamu akan melakukan ini. Membuatku mati suri. Membuatku menyesali kematianku sendiri. Apa susahnya menghargai seseorang yang mencintaimu. Apa susahnya menolak jika kamu memang tidak suka. Antares, sampai kapan ini semua? Aku butuh jawabanmu. Butuh bibrimu berbicara menanggapi ini semua.

Antares, apa yang membuatmu bungkam? Apakah karena aku terlalu dini mencintaimu? Tapi, bukankah sesuatu yang dimulai lebih awal akan membuat keuntungan yang setimpal dari perjuangan yang telah dilakukan. Antares, apakah kamu mendengarku? Aku butuh sinarmu, butuh cahayamu. Mereka yang datang tidak pernah benar-benar mau mendengarku.

Aku peduli denganmu, Antares. Aku peduli bahwa kamu jauh lebih besar dari matahari, kamu bintang paling terang ke enambelas dalam galaksi bimasakti, kamu lebih dingin dari matahari, kamu ada di jantung scorpius. Aku peduli itu semua, bahkan aku sangat peduli bahwa abjad ke enambelas adalah P. Meskipun ada yang menganggap kamu adalah bintang paling terang ke limabelas dalam galaksi bimasakti, aku bahkan peduli bahwa abjad ke limabelas adalah O. Bahkan kata peduli pun diawali huruf P. Pentingkah aku dalam hidupmu? Kita sama-sama tahu bahwa kata petingkah diawali huruf P juga.


Antares, beritahu bintang-bintang lain bahwa aku sedang mengirimimu pesan yang tak mudah dibaca atau bahkan hanya sekedar kau dengarkan. Tolong aku, Antares. Hentikan ini semua. Ingat, aku bahkan peduli bahwa kata Coldplay diakhiri dengan huruf Y. Aku sedang mengirimkanmu pesan, Antares. Orang-orang dan bintang-bintang lain boleh memecahkan pesan yang ku kirimkan untukmu. Antares, kamu tahu aku selalu bodoh dalam mengawali sesuatu. Lalu, kalau begitu buat apa aku mengakhiri jika aku tidak bisa mengawalinya dengan baik. Antares, kita masih ada di dalam permainan. Entah di permainan yang aku buat atau yang sedang kau mainkan.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, November 2, 2015

Terlalu


Aku masih ingat ketika pertama kali kamu mengajakku pergi. Semua terjadi sekelebat, begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa kamu adalah orang itu. Orang yang membuatku menanti di gerbang pergantian. Dalam bias aku mencoba tenang, tidak gegabah menghadapi penantian yang telah habis. Aku tidak ingin hal yang sebelumnya terjadi terulang lagi ketika bersamamu. Aku tidak bisa menahan diriku untuk sabar dan bermain aman, seperti pria yang lain. Kamu selalu jadi hantu yang tidak bisa hilang dari setiap mimpiku. Bahkan jauh sebelum pertemuan itu. Aku selalu kalah oleh tatapanmu, selalu mabuk oleh senyumanmu. Bahkan aku mengerti bahwa sebenarnya aku hanyalah pelarian ketika raga dan jiwamu dipertanyakan oleh sang empunya hatimu.

“Sudah pukul tujuh, mau kemana lagi kita?”

“Kenapa kamu terus menanyakan hal yang sama?”

“Maaf.”

“Aku cuma mau disini, duduk bersamamu, memeluk tubuhmu sambil melihat deretan kapal yang terparkir rapih.”  

“Kita sudah hampir tiga jam disini.”

“Oh, ayolah terus kenapa kalau kita sudah tiga jam di sini?”

“Aku belum menciummu.”

“Aku tahu. So, let me kiss you.”

Ciumannya malam itu membuatku menginginkannya lagi, meski aku hanya dijadikannya pelarian sesaat, dia terlalu neurotik untukku, bibirnya selalu basah setiap bibirku melumatnya. Matanya terpejam, tapi selalu terhenti ketika dia teringat kekasihnya. Rasanya aku Ingin bunuh diri ketika itu terjadi, Aku ada untuknya tapi dia tidak benar-benar ada untukku. Aku bosan mendengar ceritanya tentang pria itu. Aku bosan selalu berpura-pura tertarik dengan ceritanya.

“Berhenti menceritakan pria itu.”

“Kenapa?”

“Karena kamu tidak benar-benar mencintainya.”

“Aku mencintainya!”

“Kalau kamu cinta sama pria itu, harusnya kamu nggak ada disini. Harusnya bukan aku yang duduk di depanmu, sekarang.”

“Jangan buatku menangis, aku nggak sekuat kamu.”

“I’m Sorry. Please, jangan menangis disini.”

“Aku ingin menangis, antarkan aku ke tempat, dimana aku bisa bebas menangis.”

“Nggak perlu jauh-jauh.”

“Di mana?”

“Aku punya dua pundak, dua-duanya rela basah menampung air matamu.”

Kesadaranku hilang malam itu, dua jam dia menangis di pundakku. Pundakku berubah hangat karena air matanya. Aku tidak tega melihatmu menatapku dengan liangan air mata yang tersisa di matamu, membasahi hingga pipi dan bibirmu. Aku selalu ingin memelukmu, menciummu, menghangatkanmu, tapi untuk hal itu kesadaranku masih terjaga. Aku tidak mungkin melakukan itu untukmu, tidak mungkin. Kamu milik orang lain, sampai hubunganmu membaik, aku hanya akan menerima tangisanmu dan ceritamu yang tidak pernah berguna untukku.

“Dia kembali. Aku bisa merasakan kasih sayangnya lagi.”

“Aku turut bahagia, mendengarnya.”

“Terimakasih sudah bersedia mendengarkan ceritaku.”

“Sama-sama, terimakasih juga sudah membasahi pundakku.”

“Terimaksih juga karena kamu bersedia menemaniku dan menampung tangisanku.”

“Sama-sama”

Sungguh? Itukah akhir? Dia pergi, kembali bersama sang empunya hati. Tidak berbalik lagi? Menganggapku sekedar pelarian. Aku pernah menciumnya, kita pernah berciuman, ini terasa aneh, Aneh. Aku ingin dia kembali, aku rindu mendengar suaranya, pundakku rindu dibasahi oleh air matanya. Aku mengharap terlalu dini, mengira semua yang aku lakukan sudah membuat perhatiannya teralihkan untukku. Sekarang, aku sendiri, berdiri diantara buaian bintang. Aku menatapmu dari pinggir dermaga. Menyesali, harusnya, malam ini milik kita berdua. Aku terlalu buru-buru jatuh cinta padamu. Terlalu bodoh untuk berharap bahwa kamu juga mencintaiku. Cintaku sudah lewat dan bayangan harapan yang penuh kegembiraan sudah tidak ada lagi.


Kamu meninggalkanku, aku sadar kamu tidak akan kembali. Sekedar berbicarapun agaknya juga tidak mungkin, melihat matamu dan senyummu adalah hal yang mustahil. Aku sadar, aku terlalu cepat jatuh cinta. Terlalu bodoh untuk mencintaimu dan terlalu berharap kamu mencintaiku. Semuanya serba terlalu. Aku berjanji akan selalu menantimu di gerbang pergantian, meski kamu tidak akan datang. Izinkan aku mendengar suaramu, aku ingin berbisik di telingamu dan berkata, bahwa aku menikmati keterlaluanku dalam mencintaimu.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.