Tuesday, August 30, 2016

Kisah Kedua


Aroma tubuh Alfa masih tercium bahkan saat Alfa telah berada di dalam kereta. Sekali lagi Ratih harus menerima kenyataan yang tak pernah di harapkan. Kesalahan dia perbuat lagi, menunggu seseorang yang pada akhirnya telah bersama pasangan hidupnya dan seorang anak. Hal yang tak pasti memang lebih menakutkan sehingga kita melupakan hal-hal pasti yang pada akhirnya bukan milik kita.

Jeans biru muda dan blus putih serta sepatu kets yang membuat Ratih tampak cantik berubah jadi badai haru karena muka yang berubah layu. Rambut pirang yang dikuncir terlihat melemas seiring tubrukan rasa dalam hatinya. Kereta yang dinaiki Alfa telah berangkat menuju Malang setengah jam yang lalu. Ratih masih duduk di  ruang tunggu Stasiun. Mendapati kenyataan yang berlalu tak seperti kehendak diri. Sepuluh tahun menunggu hilang pupus, sekali lagi Ratih harus menerima hatinya untuk tertutup lagi.

Kecantikan Ratih memang tak bisa dibohongi, meskipun dalam keadaan terpuruk sekalipun, auranya tetap menyita para porter yang sesekali meliriknya, para calon penumpang dan petugas stasiun yang sengaja mondar-mandir hanya untuk menatapnya. Sepasang matanya tetap terlihat indah meski air mata telah jatuh hingga membasahi pipi.

Lebih dari setengah jam Ratih tertahan di stasiun, setelah menghapus semua air mata yang jatuh di pipi, dengan langkah pasti Ratih menuju Honda Jazz Silvernya, mencoba terus tersenyum dan menyibukkan otak dengan memikirkan hal-hal lain selain kenangannya bersama Alfa. Tepat saat Ratih menutup pintu mobil, ponselnya berdering, ada satu pesan masuk. Tanpa basa-basi Ratih membacanya.

“Kamu dimana, Tih?? Aku dirumahmu nih,”  Satu pesan dari Rama mengubah mood Ratih seketika.

“Di Stasiun nih, tunggu ya aku otw,” (SENT)

Honda Jazz Siver yang dikendarai Ratih langsung meninggalkan Stasiun. Senyum Ratih menghiasi mobilnya, lalu Ratih menyalakan Radio tempat pelariannya selain Rama. Sahabatnya masa kuliah, partner in crime. Ratih selalu bingung, kenapa setiap dia mengalami keterpurkkan Rama selalu ada, saat dia sedih Rama selalu ada, saat dia terpukul juga Rama selalu ada. Tuhan seperti memberikan Rama sebagai teman Ratih untuk menceritakan banyak hal.

Rama adalah seorang penulis artikel disalah satu koran terkenal, sikapnya yang tenang membuat banyak perempuan mendekatinya. Rama pria yang sederhana, gaya berpakaian sehari-hari sangat sederhana. Kaos polos, celana chino, arloji yang dipakai di tangan kanan adalah ciri khas Rama. Rama hanya memakai sepatu saat celana yang dia pakai panjang dan memakai sandal hanya saat dia memakai celana pendek, sederhana tapi berkelas.

Rambut cepak selaras dengan bentuk wajahnya, warna kulitnya mirip warna kulit Ratih, lesung pipit di pipi kanannya menjadi daya tarik sendiri, apalagi saat Rama memakai kacamata, aksesoris favoritnya. Keluarga Rama dan Ratih sudah saling mengenal bahkan terlihat seperti keluarga. Tetap saja Ratih tak pernah memusingkan perkataan teman-temannya yang menyarankan untuk menjalin hubungan dengan Rama. Baginya Rama adalah bagian dari keluarga, yang mengerti Ratih luar-dalam.

Mobil Ratih berhenti—menutupi setengah pagar rumah. Terlihat mobil Rama yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Rama menunggu di teras rumah Ratih. Hal yang biasa dilakukan Rama saat menunggu Ratih mandi atau make up yang memakan waktu lama. Kursi kayu itu bahkan beraroma tubuh Rama, spray cologne bold, aroma cool yang menenangkan.
“Kok nggak masuk, Ma??” Ratih menutup pagar rumahnya.

“Kayanya nggak ada orang deh, makanya aku sms kamu.”

“Ah masa??” Ratih menuju pintu rumahnya. Lalu mendorong gagang pintu. Pintu terkunci—Rama benar, tak ada orang di rumah. Tak biasanya orang tua dan kedua adik Ratih pergi tanpa mengajaknya, apalagi saat hari Sabtu. Ratih meraba bagian bawah salah satu pot yang ada di teras rumahnya. Tempat biasa kunci rumahnya disembunyikan. Setelah pintu terbuka Ratih menyuruh Rama masuk.

“Duduk, Ma. Aku ke belakang dulu,”

“Siap bos!!” Senyum Rama.

Dirumah Ratih, Rama merasa berada di tempat paling nyaman. Suasana rumah Ratih yang bersahabat membuat dirinya merasa berada di rumah sendiri. Foto keluarga yang dipasang di ruang tamu itu terasa meneduhkan, senyuman dari satu keluarga yang bahagia. Tak pernah bosan Rama menatap foto itu, senyum-senyum sendiri membuat Ratih selalu bertanya saat Rama ketahuan.

“Kenapa lagi nih anak?? Senyum-senyum sendiri,” Ratih membawa satu air mineral dingin untuk Rama. Air dingin adalah minuman kesukaan Rama, dimana-mana saat Ratih dan Rama pergi makan, Rama selalu memesan air mineral dingin.

“Aha!!” Sontak Rama menanggapi.

“Aha-aha apa??” Senyum Ratih meletakkan air mineral dingin tepat di depan meja.

“Duduk sini, Tih. Aku mau cerita,” Rama menepuk sofa ruang tamu Ratih.

“Cerita apa nih?? Serius looh jangan bercanda lagi.”

“Iya ini serius, dengerin yaa.” Kata Rama antusias.

“Iya nih didengerin,” Senyum Ratih melihat tingkah laku Rama.

“Aku cinta kamu, Tih,” Kata Rama dengan suara pelan, mengubah senyum Ratih.

“Ha??” Tanya Ratih, kaget. Jantungnya berdegup kencang mendengar kalimat Rama.

“Bercanda, Tih,” Rama mengangkat alisnya, membuat Ratih sebal dan memukul pundak Rama.

“Kamu yaaa… Sumpah nyebelin,” Ratih memalingkan muka, melipat tangannya di dada.
Mendengar candaan Rama, Ratih merasakan keanehan di pikirannya. Seperti ada yang menghalangi, seperti tembok yang menutup sesuatu—entah apa. Hatinya seperti tertusuk jarum yang berlangsung sesaat. Rama bercerita tentang seorang wanita yang telah lama dekat denganya. Rama mencintai wanita itu sejak lama. Dia merahasiakannya pada setiap orang termasuk Ratih.

Seperti cerita kebanyakan orang. Soal cinta, manusia hanya terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang mencintai diam-diam—menyimpan seorang di dalam hati dan kubu yang menunggu kepastian padahal belum tentu seorang itu yang akan mengisi hati dan pikiran mereka. Manusia memang lemah urusan cinta, ada yang menggenggam sangat kuat, membuatnya kehilangan rasa nyaman dan akhirnya pergi perlahan. Ada yang memilih untuk saling percaya sampai akhirnya salah satu dari mereka melanggar kepercayaan yang telah dibuat.

Ratih dan Rama adalah dua orang yang punya cerita serupa. Ratih pernah menjalin kasih selama lima tahun dengan orang yang salah. Rama merasakan tiga tahun lamanya menyendiri setelah terkahir seorang wanita menyelingkuhinya bahkan saat cincin pertunangan sudah menghiasi jari manis. Rama kehilangan kepercayaan atas cinta.

Satu jam Rama bercerita, Ratih merasakan hal yang aneh dari cerita Rama. Ratih merasa mengenali wanita yang diceritakan Rama. Sosok itu terasa begitu dekat dengan dirinya. Ratih mengenali sosok yang Rama maksud.

“Kamu ngomongin aku yaa??” Tanya Ratih, memotong pembicaraan. Rama berhenti bicara, bibirnya terkatup, Rama merunduk pelan. Bibir Ratih melengkung manis, raut mukanya berubah—terasa teduh dan meneduhkan, melihat sahabatnya mati kutu atas kejujuran dari perasaan yang telah lama dipendam.

“Hey… It’s okee,” Ratih memegang pundak Rama—menatap muka Rama yang merunduk.

“Enggak… Nggapapa,” Rama mengangkat kepalanya—tersenyum menatap Ratih.

“Aku ngerti,” Ratih mengangguk.

Mata mereka saling menatap, Rama dan Ratih saling memberi senyum. Seperti dua orang yang saling menemukan mereka berada dalam satu tatap yang sama, satu degup jantung yang seirama. Dan seperti buku, Ratih dan Rama menemukan kisah keduanya hari itu. Membuka halaman baru, menemukan kertas kosong tanpa noda yang siap dituliskan.

“Tapi aku nggak bisa, Ma… Sorry,” Kata Ratih.

“It’s okee… Aku paham,” Rama tesenyum.

Kisah kedua adalah halaman yang tersembunyi dalam satu buku, dibutuhkan dua orang untuk menemukannya. Dibutuhkan keyakinan dan kepercayaan, saat halaman tersembunyi itu ditemukan, kisah kedua bersiap untuk dituliskan. Tanda bahwa dua orang telah saling menemukan.

Dalam beberapa detik, kecanggungan mulai merajai tubuh mereka, sekali lagi selepas mata mereka saling menatap, lengkungan indah dalam pikirannya saling mengenang. Kenangan yang mengukir senyum di bibir. Perlahan Ratih menyentuh lembut tangan Rama yang dingin, Ratih mendekat, tangan mereka saling menggenggam. Ibu Jari Rama menegelus lembut punggung tangan Ratih. Rama tersenyum sekali lagi, mata Ratih berkedip pelan, mata dan lengkungan bibir yang meneduhkan hati Rama. Jantung yang berdegup seirama menandakan sesuatu.

Nafas mereka saling bertabrakan, hingga kening dan hidung bersentuhan. Satu tangan Rama yang lain menyentuh pinggang Ratih. Ruangan yang tak sedikitpun panas itu justru menimbulkan keringat di leher. Ratih dan Rama tersenyum, bibir mereka bertemu dalam detak jantung yang melepas keraguan.



[END]


                                                           
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, August 18, 2016

RINDU DALAM SECANGKIR KOPI


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

-----

Sudah setahun aku tak bertemu kamu. Rasanya memang tak ada bedanya.  Kesadaran datang terlambat. Aku memilih untuk tetap menaruh kamu di kedalamanku. Menolak semua yang datang. Mengusir semua yang memilih menetap. Aku bukan pelari yang kuat mengejarmu hingga tetes keringat menjelma banjir di tubuh. Aku hanya perlu menjadi bagian dari waktu, yang bisa kapanpun menyelami setiap menit dan detik, kembali ke masa itu. Saat percakapan mempertemukan kita dalam secangkir kopi dengan kesadaran penuh bahagia.

Kopi menjadi medium bagi orang-orang yang mencari pelarian. Juga menjadi bagian sejarah dalam Revolusi Perancis di tahun 1789 dan Perang Aceh saat dipimpin Cut Nyak Dhien. Kopi menjadi medium bagi prajurit membicarakan strategi dan taktik perang. Warung-warung kopi disulap menjadi tempat rapat dan berdiskusi. Tidak ada satupun penjajah yang mengetahui taktik ini. Para Prajurit akan menyamar menjadi pengunjung saat musuh mampir untuk menikmati secangkir kopi. Kopi juga menjadi alasan dimana aku dan kamu dipertemukan.

Aku ingat pertemuan pertama kita di kafe itu. Saat seorang pelayan meneriakkan Kopi Menoreh yang sama-sama kita pesan. Basa-basi menggiring kita dalam meja yang sama. Satu jam berjalan, kita bicara banyak soal selera musik.

“Suka musik apa?” Tanyaku serius.

“Relatif, tapi aku paling suka musik jazz,” Jawabmu, menghirup aroma Kopi Menoreh.

“Louis Amstrong?”

“Iyaaa, tapi aku paling suka Jimy Rushing,” Katamu, menambahi.

“Really? Jimy Rushing? Kita sama berarti.

“Aku masih sering lihat perfomancenya di youtube, waktu dia duet sama Dizzie Gillespie Quintet,” Katamu, setelah meminum kopi.

“Aku tahu! Blues After Dark kan?”

“Iyaaa! Perancis 1959.”

“Kalo, Billie Holiday?” Tanyaku.

“Gloomy Sunday!!” Seru kita berdua, membuat pengunjung lain merasa terganggu.

“Lagu pengiring tidur,” Bisikku.

Dua jam dalam meja yang sama, kita mulai berani mengenal satu sama lain, saling memuji. Kamu memujiku sebagai contoh pria yang asik diajak ngobrol. Kita juga bicara soal buku, film, pandangan politik dan kecintaanmu terhadap kopi.

“Udah berapa Kopi yang kamu coba disini??” Tanyamu.

“Aku baru pertama kali kesini.”

“Ohgitu... Tahu tempat ini dari??” Katamu, mengecap sendok sisa kopi.

“Ada... satu teman. Dia juga suka banget ngopi.”

Aku sering banget kesini... Ya, bisa seminggu tiga kali lah.”

“Ohiya?? Penikmat kopi sejati dong. Paling suka kopi apa??” Tanyaku.

“Waduh, itu pertanyaan susah,” Senyummu diakhir kalimat.

“Loh, kenapa emang??”

“Nggak ada Kopi Indonesia yang nggak enak. Semuanya enak,” Katamu antusias.

“Kalau yang sering kamu minum?”

“Mandailing, Yellow Caturra, sama ini,” Katamu sembari meminum Kopi Menoreh

“Apa spesialnya tiga kopi itu??” Tanyaku serius.

“Mandailling itu creamy, Yellow Caturra bikin rileks.”

“Kalau Menoreh??”

“Aku suka aromanya... Kalau mau, aku bisa ajak kamu ke perkebunan Menoreh di Kulon Progo,” Katamu menawari.

Obrolan kita hari itu, membuat kita lupa waktu. Sudah enam jam berjalan, hari sudah gelap. Kamu memutuskan untuk pulang. Kita keluar dari kafe itu berdua. Saat sampai di depan tempat mobilmu parkir. Kamu memberikan ponselmu, memintaku mengisi nomor handphoneku. Setelahnya kamu mengecup pipiku, lalu pergi meninggalkanku yang senyum-senyum sendiri.

-----

Sembilan Juli. Hari ulang tahunmu. Tiga bulan setelah kita bertemu. Lewat tengah malam, kamu mengajakku pergi menikmati kopi yang dijual di pinggir jalan dekat rumahmu. Warung kopi langganan selain kafe tempat kita bertemu dulu. Warung kopi dengan tenda terpal warna biru, tempat kita menepi dari hiruk-pikuk Ibu Kota. Tak cukup satu cangkir, obrolan kita tak pernah berhenti pada satu cangkir kopi tubruk buatan mas-mas warung kopi. Aku suka melihat tawamu yang pecah membentur kayu-kayu gerobak warung itu. Saat kamu membicarakan lelucon yang tak sama sekali lucu.

“Kenapa Superman celana dalamnya merah??” Tanyamu, menirukan preman-preman kampung yang sering mabuk di pos kamling dekat rumahmu.

“Kenapa tuh??” Tanyaku, sembari menyeruput kopi.

“Karena nggak pake pembalut,” Tawamu diikuti tawa mas-mas warung kopi yang terdengar aneh.

Setelah empat cangkir habis, kamu mengajakku ke rumahmu. Aku suka ketika manjamu kambuh. Aku melihat dirimu apa adanya. Saat kamu tak sungkan menggandeng tanganku. Saat kamu menghiraukan godaan mas-mas warung kopi dan genk-genk motor yang nongkrong di ujung gang rumahmu. Aku suka kamu. Bahkan saat kamu tak memikirkan soal itu. Aku juga suka saat sisi romantismu muncul.

“Aku suka saat kamu mengelus rambutku,” Katamu, dalam perjalanan ke rumahmu.

“Aku suka saat kamu menggandeng tanganku,” Balasku.

“Aku suka saat kamu mengelus punggung tanganku dengan ibu jarimu,” Katamu, menatapku.

“Aku suka saat kamu menciumku,” Jawabku, membalas tatapanmu.

“Mau??” Katamu, menantangku. Senyum kita bertemu. Senyum malu tapi mau.

Rumahmu juga rumahku, katamu. Meskipun kamu tinggal sendiri, kamu tak pernah lupa mengabari keluargamu yang menolak hubungan kita. Kamu adalah manusia paling kuat yang pernah kutemui. Aku bahagia memilikimu. Tidak pernah ada kebohongan diantara kita. Idealisme kita sama, mencintai dengan sadar tanpa curiga dan kecemburuan. Kita sama-sama tak mau kedua hal itu jadi racun hubungan kita. Rasa cemburu bukanlah tanda kecintaan. Rasa cemburu adalah tanda ketidakpercayaan.

Hari itu, tepat pukul tiga kamu menarik tanganku, membawaku ke dalam kamarmu. Kamu menggodaku sebelum pintu terbuka. Kamu membawaku masuk bersama imaji dalam kepala. Saat itu, kita tidak bisa bohong, dunia benar-benar milik kita berdua. Kamu melepas bajuku tepat ketika pintu kamar tertutup, bersama ciuman yang terburu, kamu membantuku membuka jeansku. Dalam sekejap kita sudah telanjang. Kita saling menatap, mengagumi masing-masing, lalu bersama merebahkan tubuh di kasur kamarmu.

“Aku mencintaimu, sayang. Kamu satu-satunya pria yang aku cintai di hidupku,” Nafasmu memburu diantara keringat yang membasahi tubuh.

“Kado ulang tahunmu,” Kataku.
-----
            Setahun mengenal, aku semakin mencintaimu, meskipun keluarga menentang hubungan kita. Tanpamu, aku seperti menyelami lautan tua tanpa nelayan, seperti menatap awan yang mengambang. Malam itu  kamu mengajakku ke Taman Kota, tempat biasa kita melepas rindu selain di warung kopi langgananmu dan kafe tempat pertama kita bertemu.  Dibawah lampu taman dan romantisnya udara malam itu kamu berkata:

“Aku ingin hidup tua di pikiran dan hatimu,” Lalu kita duduk di bangku taman yang berdecit,

“Bisakah secangkir kopi mengobati rindumu?? Katamu, membaringkan kepala dipundakku.

“Rindu tak pernah sampai tepat waktu. Tapi kopi... Kopi selalu ada di waktu yang tepat.
Menghangatkan tubuh yaang lelah, melepas rindu yang merebah,” Jawabku, mencium keningmu.

“Berapa lama lagi kita harus menunggu??” Tanyamu.

“Menunggu adalah situasi paling ambigu.”

“Lalu??” Tanyamu, melingkarkan tangan di perutku.

“Rinduku tak mengenal kata menunggu. Rinduku adalah kamu,” Jawabku.

Kamu bangkit dari pundakku. Menatapku diujung kata itu. Senyumanmu adalah surga kecil bagiku. Aku bisa merasakan nafasmu yang menyentuh bibirku. Jantung kita berdegup seirama. Keringat dingin mulai jatuh dari keningmu. Tatapan itu berlangsung lama. Kamu seperti memberi pesan untukku.

“Maaf,” Katamu memelas.

“Kenapa??” Tanyaku lembut.

“Aku nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Aku harus terima lamaran itu. Aku nggak mau orang-orang membicarakan kita lagi. Aku mau hidup tenang, nyaman tanpa beban moral,” Tangismu pecah di taman itu. Keningku beradu mendengar ucapanmu.

 “Maaf... Kita bukan garis yang ditakdirkan bertemu.”

Dalam dinginnya malam, kamu meninggalkanku bersama keheningan yang merajai tubuh. Ketakutanku tiba. Aku telah kehilanganmu.

-----

Dalam secangkir kopi rinduku menjelma tangis yang menderu. Rasa pahit yang mengecap di pinggir cangkir terpaksa kucium. Aku tahu hitamnya kopi tak akan pernah mengembalikanmu. Seperti perasaan yang entah mengarah kemana. Rinduku terbentur pekatnya kopi. Bukan soal latte art, kita tahu kopi tubruk adalah kita,  kesederhanaan. Orang-orang akan terpikat ketika mengenalnya lebih dalam. Kopi tubruk bukan perkara kemudahan, kedahsyatannya ada. Aromanya memikat. Seperti kamu.

Aku rindu secangkir kopi yang kita minum berdua. Rindu senyumanmu sore itu. Rindu setiap kata yang keluar dari bibirmu. Bibir yang pernah merasakan keringat di keningku, juga yang pernah merasakan lembutnya bibirku. Aku tahu perkara ini tidak mudah, melepaskanmu, merelakanmu disaat cinta telah lama menetap. Aku rindu menatapmu, aku rindu larut dalam pelukan hangatmu yang tetap terasa bahkan saat kamu tak ada.

19 Juli. Hari pernikahanmu, juga hari ulang tahunku ke-27, sebuah dilema bagiku. Aku masih percaya kamu terpaksa menerima lamaran itu. Desakan keluargamu tak bisa ditolak. Aku percaya kamu masih mencintaiku. Aku juga tahu, aku tamu yang paling kamu tunggu.

Kamu memang beda, hidangan di pernikahanmu malam ini juga tak biasa, tiga jenis kopi favoritmu berada dalam satu meja yang sama. Mandailing, Yellow  Caturra dan Menoreh. Aku bahkan tak lupa janjimu, mengajakku ke Perkebunan Kopi Menoreh di Kulon Progo.

Aku terus menatapmu yang berdiri di pelaminan dengan dekorasi serba putih, warna kesukaanmu. Senyummu masih begitu hangat saat menatapku. Beberapa menit aku menunggu antrian orang-orang yang memberimu selamat. Kakiku ikut bergerak menuju pelaminan. Jantungku berdegup cepat, keringat dingin mulai membasahi kening. Aku menyalamimu lalu berbisik diantara kebisingan tamu undangan.

“Istrimu cantik sekali.”

Kita tertawa melihat tuxedo yang kita pakai datang dari desainer yang sama. Katamu, pakaian adalah bentuk manipulasi pertahanan diri.

[END]


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, August 1, 2016

Catatan untuk Vissa


Aku berpeluang mengasihimu

Aku yang menjadikanmu
dari apa menjadi siapa

Aku tahu
malam hanya sekedar malam bagimu

Bagiku
malam tempatku megadu padamu

Catatan ini mengacu
pada kebingungan dan intuisimu

Senyum yang pipit lembut
membuatku lupa rumah

Atau mungkin
aku ingin berganti rumah

Melepas yang ada
mengganti yang tiada

Kita tahu
pertemuan adalah tempat dua hati disatukan

Bagiku
kamu bukanlah senja yang pergi begitu saja

Kamulah fajar
yang perlahan datang lalu menghangatkanku

Terimakasih
untuk senyum yang memabukkanku

Untuk percakapan malam
yang entah mengarah kemana

Hangatmu tetap terasa
bahkan saat kamu tak ada


Semarang, 1 Agusus 2016
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.