Aroma tubuh Alfa masih tercium bahkan
saat Alfa telah berada di dalam kereta. Sekali lagi Ratih harus menerima
kenyataan yang tak pernah di harapkan. Kesalahan dia perbuat lagi, menunggu
seseorang yang pada akhirnya telah bersama pasangan hidupnya dan seorang anak. Hal
yang tak pasti memang lebih menakutkan sehingga kita melupakan hal-hal pasti yang
pada akhirnya bukan milik kita.
Jeans biru muda dan blus putih serta
sepatu kets yang membuat Ratih tampak cantik berubah jadi badai haru karena
muka yang berubah layu. Rambut pirang yang dikuncir terlihat melemas seiring
tubrukan rasa dalam hatinya. Kereta yang dinaiki Alfa telah berangkat menuju Malang
setengah jam yang lalu. Ratih masih duduk di
ruang tunggu Stasiun. Mendapati kenyataan yang berlalu tak seperti
kehendak diri. Sepuluh tahun menunggu hilang pupus, sekali lagi Ratih harus
menerima hatinya untuk tertutup lagi.
Kecantikan Ratih memang tak bisa
dibohongi, meskipun dalam keadaan terpuruk sekalipun, auranya tetap menyita
para porter yang sesekali meliriknya, para calon penumpang dan petugas stasiun
yang sengaja mondar-mandir hanya untuk menatapnya. Sepasang matanya tetap
terlihat indah meski air mata telah jatuh hingga membasahi pipi.
Lebih dari setengah jam Ratih tertahan
di stasiun, setelah menghapus semua air mata yang jatuh di pipi, dengan langkah
pasti Ratih menuju Honda Jazz Silvernya, mencoba terus tersenyum dan
menyibukkan otak dengan memikirkan hal-hal lain selain kenangannya bersama
Alfa. Tepat saat Ratih menutup pintu mobil, ponselnya berdering, ada satu pesan
masuk. Tanpa basa-basi Ratih membacanya.
“Kamu
dimana, Tih?? Aku dirumahmu nih,” Satu pesan dari Rama mengubah mood Ratih
seketika.
“Di
Stasiun nih, tunggu ya aku otw,” (SENT)
Honda Jazz Siver yang dikendarai Ratih
langsung meninggalkan Stasiun. Senyum Ratih menghiasi mobilnya, lalu Ratih
menyalakan Radio tempat pelariannya selain Rama. Sahabatnya masa kuliah,
partner in crime. Ratih selalu bingung, kenapa setiap dia mengalami
keterpurkkan Rama selalu ada, saat dia sedih Rama selalu ada, saat dia terpukul
juga Rama selalu ada. Tuhan seperti memberikan Rama sebagai teman Ratih untuk
menceritakan banyak hal.
Rama adalah seorang penulis artikel
disalah satu koran terkenal, sikapnya yang tenang membuat banyak perempuan
mendekatinya. Rama pria yang sederhana, gaya berpakaian sehari-hari sangat sederhana.
Kaos polos, celana chino, arloji yang dipakai di tangan kanan adalah ciri khas
Rama. Rama hanya memakai sepatu saat celana yang dia pakai panjang dan memakai sandal
hanya saat dia memakai celana pendek, sederhana tapi berkelas.
Rambut cepak selaras dengan bentuk
wajahnya, warna kulitnya mirip warna kulit Ratih, lesung pipit di pipi kanannya
menjadi daya tarik sendiri, apalagi saat Rama memakai kacamata, aksesoris
favoritnya. Keluarga Rama dan Ratih sudah saling mengenal bahkan terlihat
seperti keluarga. Tetap saja Ratih tak pernah memusingkan perkataan
teman-temannya yang menyarankan untuk menjalin hubungan dengan Rama. Baginya
Rama adalah bagian dari keluarga, yang mengerti Ratih luar-dalam.
Mobil Ratih berhenti—menutupi setengah
pagar rumah. Terlihat mobil Rama yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Rama
menunggu di teras rumah Ratih. Hal yang biasa dilakukan Rama saat menunggu
Ratih mandi atau make up yang memakan waktu lama. Kursi kayu itu bahkan
beraroma tubuh Rama, spray cologne bold, aroma cool yang menenangkan.
“Kok nggak masuk, Ma??” Ratih menutup
pagar rumahnya.
“Kayanya nggak ada orang deh, makanya
aku sms kamu.”
“Ah masa??” Ratih menuju pintu rumahnya.
Lalu mendorong gagang pintu. Pintu terkunci—Rama benar, tak ada orang di rumah.
Tak biasanya orang tua dan kedua adik Ratih pergi tanpa mengajaknya, apalagi
saat hari Sabtu. Ratih meraba bagian bawah salah satu pot yang ada di teras
rumahnya. Tempat biasa kunci rumahnya disembunyikan. Setelah pintu terbuka Ratih
menyuruh Rama masuk.
“Duduk, Ma. Aku ke belakang dulu,”
“Siap bos!!” Senyum Rama.
Dirumah Ratih, Rama merasa berada di
tempat paling nyaman. Suasana rumah Ratih yang bersahabat membuat dirinya
merasa berada di rumah sendiri. Foto keluarga yang dipasang di ruang tamu itu
terasa meneduhkan, senyuman dari satu keluarga yang bahagia. Tak pernah bosan
Rama menatap foto itu, senyum-senyum sendiri membuat Ratih selalu bertanya saat
Rama ketahuan.
“Kenapa lagi nih anak?? Senyum-senyum
sendiri,” Ratih membawa satu air mineral dingin untuk Rama. Air dingin adalah minuman
kesukaan Rama, dimana-mana saat Ratih dan Rama pergi makan, Rama selalu memesan
air mineral dingin.
“Aha!!” Sontak Rama menanggapi.
“Aha-aha apa??” Senyum Ratih meletakkan
air mineral dingin tepat di depan meja.
“Duduk sini, Tih. Aku mau cerita,” Rama
menepuk sofa ruang tamu Ratih.
“Cerita apa nih?? Serius looh jangan
bercanda lagi.”
“Iya ini serius, dengerin yaa.” Kata
Rama antusias.
“Iya nih didengerin,” Senyum Ratih
melihat tingkah laku Rama.
“Aku cinta kamu, Tih,” Kata Rama dengan
suara pelan, mengubah senyum Ratih.
“Ha??” Tanya Ratih, kaget. Jantungnya
berdegup kencang mendengar kalimat Rama.
“Bercanda, Tih,” Rama mengangkat
alisnya, membuat Ratih sebal dan memukul pundak Rama.
“Kamu yaaa… Sumpah nyebelin,” Ratih
memalingkan muka, melipat tangannya di dada.
Mendengar candaan Rama, Ratih merasakan
keanehan di pikirannya. Seperti ada yang menghalangi, seperti tembok yang
menutup sesuatu—entah apa. Hatinya seperti tertusuk jarum yang berlangsung
sesaat. Rama bercerita tentang seorang wanita yang telah lama dekat denganya.
Rama mencintai wanita itu sejak lama. Dia merahasiakannya pada setiap orang
termasuk Ratih.
Seperti cerita kebanyakan orang. Soal
cinta, manusia hanya terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang mencintai diam-diam—menyimpan
seorang di dalam hati dan kubu yang menunggu kepastian padahal belum tentu
seorang itu yang akan mengisi hati dan pikiran mereka. Manusia memang lemah
urusan cinta, ada yang menggenggam sangat kuat, membuatnya kehilangan rasa
nyaman dan akhirnya pergi perlahan. Ada yang memilih untuk saling percaya
sampai akhirnya salah satu dari mereka melanggar kepercayaan yang telah dibuat.
Ratih dan Rama adalah dua orang yang
punya cerita serupa. Ratih pernah menjalin kasih selama lima tahun dengan orang
yang salah. Rama merasakan tiga tahun lamanya menyendiri setelah terkahir
seorang wanita menyelingkuhinya bahkan saat cincin pertunangan sudah menghiasi
jari manis. Rama kehilangan kepercayaan atas cinta.
Satu jam Rama bercerita, Ratih
merasakan hal yang aneh dari cerita Rama. Ratih merasa mengenali wanita yang
diceritakan Rama. Sosok itu terasa begitu dekat dengan dirinya. Ratih mengenali
sosok yang Rama maksud.
“Kamu ngomongin aku yaa??” Tanya Ratih,
memotong pembicaraan. Rama berhenti bicara, bibirnya terkatup, Rama merunduk
pelan. Bibir Ratih melengkung manis, raut mukanya berubah—terasa teduh dan
meneduhkan, melihat sahabatnya mati kutu atas kejujuran dari perasaan yang
telah lama dipendam.
“Hey… It’s okee,” Ratih memegang pundak
Rama—menatap muka Rama yang merunduk.
“Enggak… Nggapapa,” Rama mengangkat
kepalanya—tersenyum menatap Ratih.
“Aku ngerti,” Ratih mengangguk.
Mata mereka saling menatap, Rama dan
Ratih saling memberi senyum. Seperti dua orang yang saling menemukan mereka
berada dalam satu tatap yang sama, satu degup jantung yang seirama. Dan seperti
buku, Ratih dan Rama menemukan kisah keduanya hari itu. Membuka halaman baru,
menemukan kertas kosong tanpa noda yang siap dituliskan.
“Tapi aku nggak bisa, Ma… Sorry,” Kata
Ratih.
“It’s okee… Aku paham,” Rama tesenyum.
Kisah kedua adalah halaman yang
tersembunyi dalam satu buku, dibutuhkan dua orang untuk menemukannya.
Dibutuhkan keyakinan dan kepercayaan, saat halaman tersembunyi itu ditemukan,
kisah kedua bersiap untuk dituliskan. Tanda bahwa dua orang telah saling
menemukan.
Dalam beberapa detik, kecanggungan
mulai merajai tubuh mereka, sekali lagi selepas mata mereka saling menatap,
lengkungan indah dalam pikirannya saling mengenang. Kenangan yang mengukir
senyum di bibir. Perlahan Ratih menyentuh lembut tangan Rama yang dingin, Ratih
mendekat, tangan mereka saling menggenggam. Ibu Jari Rama menegelus lembut
punggung tangan Ratih. Rama tersenyum sekali lagi, mata Ratih berkedip pelan,
mata dan lengkungan bibir yang meneduhkan hati Rama. Jantung yang berdegup
seirama menandakan sesuatu.
Nafas mereka saling bertabrakan, hingga
kening dan hidung bersentuhan. Satu tangan Rama yang lain menyentuh pinggang
Ratih. Ruangan yang tak sedikitpun panas itu justru menimbulkan keringat di
leher. Ratih dan Rama tersenyum, bibir mereka bertemu dalam detak jantung yang
melepas keraguan.
[END]