Wednesday, June 3, 2015

RAN FLEURISTE (Episode 4)


Pria itu merapikan setelan jas Phillipe Carrol yang dia pakai setelah turun dari mobilnya, Savage Rivale warna hitam. Mobil pabrikan Belanda. Aku berdiri di balik meja kasir, sisa roti yang ada di rongga mulutku masih aku kunyah. Setelahnya aku tersenyum, lalu menyapanya: “Welkom, Sir”. Pria itu membalas sapaanku dengan senyuman lalu menuju kearah kumpulan bunga mawar yang berdekatan dengan lukisan tulip karya ibu. Lamat-lamat, telingaku menangkap beberapa kata yang diucapkan oleh pria itu “Kenapa mawar selalu merah, bukankah merah itu melambangkan keberanian dan itu sangat tidak cocok untuk bunga yang akan diberikan kepada seseorang yang kita cinta.” Aku terpana, belum pernah aku mendengarkan orang berbicara seperti itu. Yang aku tahu mawar merah melambangkan cinta dan keromantisan. Mawar merah adalah lambang dari cinta sejati.

Kedua tanganya tersimpan di saku celana warna hitamnya. Aku mendekatinya mengikuti tepat dibelakangnya. Rambut pria itu cokelat dan sedikit bergelombang. Pria itu memakai jam Rolex jenis Oyster Perpetual Datejust II, cangkang jam buatan Swiss ini berukuran 41 mm, jam dengan gaya klasik modern. Tapi aneh, jam yang dia pakai tidak menunjukan waktu yang sesuai dengan jam tangan yang aku pakai ataupun jam dinding yang ada di Ran Fleuriste.

Pria itu masih melihat-lihat bunga yang ada di Ran Fleuriste, dia berjalan melewatiku dengan langkah yang pasti, tegak, sesekali memegang bunga dan mencium aromanya.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.

“Kamu yang punya tempat ini?”

“Iya benar, saya Ranum. Pemilik Ran Fleuriste.”

“Kira-kira Bunga apa yang cocok untuk di berikan pada orang yang sangat kita cinta?” cara bicaranya sangat teratur, seperti sudah terlatih atau seperti seorang presiden yang berpidato menggunakan teks yang sudah dipersiapkan oleh sekretaris presiden.

“Mawar merah sangat cocok untuk di berikan pada seseorang yang kita cintai, melambangkan cinta dan keromantisan,” jawabku sambil menunjuk mawar merah yang berdekatan dengan tempat kami berdiri.

“Mawar merah? Saya tidak suka mawar merah. Merah itu warna keberanian, seperti seorang prajurit yang akan berangkat berperang. Tidak cocok untuk orang yang kita cinta.”

“Maaf, Tapi mawar merah adalah bunga yang sangat umum untuk diberikan pada orang yang kita cinta. Dalam hal ini merah berarti warna hati bukan keberanian,” aku mencoba menjelaskan dari sudut pandangku dan pengalamanku selama menjadi seorang Florist.

“Kamu yakin sekali kalau hati itu berwarna merah seperti warna mawar-mawar ini, atau kamu memang sudah pernah melihatnya langsung?” pria itu menunjuk kumpulan mawar merah yang ada di dekatnya.

“Warna hati memang merah, tepatnya merah tua. Kenapa merujuk pada hati kita, karena untuk mencintai memang harus dari hati,” aku mencoba menjelaskan, pria itu masih tersenyum sembari berjalan kecil melihat-lihat bunga yang lain. Aku mengikutinya.

“Kamu sangat lucu, Ranum.” dia mencibir.

“Maaf, maksudnya?” tanyaku.

“Selama saya bersekolah, tidak pernah ada satupun dari guru saya yang menjelaskan bahwa salah satu fungsi hati adalah untuk mencintai, Ranum. Yang saya pelajari selama ini, diantaranya hati sebagai alat sekresi dan ekskresi bukan untuk mencintai,” wajahnya meremehkanku, menganggap aku seperti pelamar kerja yang sedang melakukan interview kerja.

Aku diam, sengaja tidak membalas argumennya barusan. Aku harus menghormati setiap orang yang membeli bunga di Ran Fleuriste. Aku juga tidak bisa menyalahkannya  karena semua yang dia jelaskan memang benar sesuai dengan keilmuan yang ada. Dia tertawa kecil, menertawakanku yang diam dan tidak membalas argumennya. Aku bertanya dalam hati: lalu dengan apa dia mencintai kalau bukan dengan hati.

“Saya hanya bercanda, Ranum.”

“Sialan,” desisku.

“Sebagai seorang Florist apa bunga kesukaanmu, Ranum?” Tanya pria itu.

“Tulip. Tulip Warna putih,” jawabku. Langkahnya terhenti, berbalik badan dan berhadapan tepat di depanku.

“Tulip? Kenapa tulip?” tanyanya bingung.

“Bagi saya tulip adalah kelembutan yang sanggup membuat saya merasa tenang dan nyaman. Saya seperti merasakan ada di sebuah dimensi yang langka, dimensi dimana saya bisa menjadi diri saya sendiri. Saya sangat bahagia ketika saya merawat bunga tulip dari bibit hingga siap dipetik. Hanya tulip yang mampu membuat jantung saya berdebar tak karuan” Senyum pria itu mengembang, kepalanya mengangguk pelan.

“Dalam sekali pemahamanmu tentang tulip?..... Oke, Ranum. Saya sudah memutuskan untuk membeli tulip putih untuk orang yang saya cintai.”

“Tulip putih? Oke, akan saya siapkan satu buket tulip putih,” aku meninggalkan pria itu untuk menyiapkan satu buket tulip yang dipesan olehnya….. Tiba-tiba pria itu memanggilku.

“Hey, Ranum. Satu buket ada berapa tangkai?”

“Tujuh, tujuh tangkai bunga tulip.”

“Tambahkan dua tangkai,” jari pria itu membentuk huruf V menandakan angka dua. “Berikan saya Sembilan tangkai dalam satu buket,”

“Oke.” Aku tersenyum menempelkan ujung jempol dan telunjuk, membentuk lingkaran kecil yang berarti aku siap dan bersedia melakukannya. Sembari aku menyiapkan pesanannya, sesekali aku memandanginya yang sedang menerima telefon. Seperti memberi kabar pada seorang wanita yang dia cinta bahwa dia sudah mendapatkan bunga untuknya. Pria itu kembali ke Savage Rivale miliknya yang terparkir tepat di depan Ran Fleuriste. Aku bisa melihatnya kembali dengan membawa dompet Louis Vuitton berwarna cokelat di tangan kanannya.

Aku sudah selesai menyiapkan pesanannya tepat ketika langkah terakhirnya habis mendekatiku. Aku memberikan satu buket yang berisi sembilan tangkai tulip warna putih pada pria itu lalu menuju meja kasir untuk menghitung harganya. Setelahnya, pria itu memberikan uang dan kartu namanya padaku, lalu pergi. Mengucapkan terimakasih tanpa basa-basi. Aku meletakkan kartu namanya di laci meja kasirku. Lalu melanjutkan sarapan pagiku yang tertunda karena kedatangannya.


(Bersambung)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar