Sunday, January 24, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 5


Semalam aku bermimpi, langit yang berbintang memanjakan mataku membentuk siluet wajah Ranum. Bintang-bintang berubah bak aktor di panggung teater, bergerak acak dari bentuk lain ke bentuk yang lainnya. Menghadirkan pertunjukan yang menjadikan Ranum sebagai pemeran utama. Itu mimpi pertamaku pada malam itu, aku terbangun—sosok Ranum tampak nyata. Tengah malam di Belanda sangat dingin, selimut ikut merasakan kebekuan akibat angin, lama aku tersenyum sendiri mengingat mimpi yang tidak sepenuhnya menjadi ingatan. Ponsel di samping bantal seakan berteriak—ku ambil ponselku, kubuka file foto yang dikirimkan Sean tempo hari. Foto Sean dan Ranum yang tersenyum lebar. Lagi-lagi aku senyum sendiri. Membelai rambutnya dari layar ponsel. Ranum memang bagai bintang sirius—membutakan mata, bintang yang terletak di rasi canis major. Friedrich Wilhelm Bessel pernah menyimpulkan bahwa bintang sirius memiliki pasangan, lalu hampir dua dekade berjalan Alvan Graham Clark menemukan pasangan sirius yang redup—sirius b. Jika Ranum bagaikan sirius aku ingin menjadi bumi untuknya, yang dekat dalam sitem bintang.

Limabelas menit setelah tebangun, aku memberanikan diri—mengirimkan pesan untuk Ranum. Beberapakali menghapus pesan lalu mengetiknya lagi, mengganti pesan yang lebih tidak mengagetkan Ranum ketika dia membacanya.

Ada bintang di mimpiku malam ini.”

“Aku aku melihatmu menjadi siluet bintang di mimpiku.”

“Ranum aku sayang kamu.”

“Ranum malam ini dingin ya.” SENT

Bodoh! Pesan macam apa itu.

Aku melanjuktan tidurku, menutup selimut cepat-cepat, membuat dingin berubah hangat. Langit-langit kamar jadi kanvas, membayangkan melukis wajah Ranum—beberapa detik setelahnya mataku mulai gelap sebelum dikacaukan oleh dering ponsel. Satu pesan masuk—ini dari Ranum. Dia belum tidur, atau mungkin sama denganku terbangun—memimpikanku.

“Aneh”

Seperti dugaanku, pesan bodoh yang kukirim ditanggapinya aneh. Berkali-kali aku mencoba membalas pesannya.

“Sorry, salah kirim.”

“Hahaha, belum tidur Ranum?”

“Iya ya aneh, pagi gini udah pasti dingin lah.”

Aku memutuskan tidak membalas pesannya. Aku melanjutkan tidurku.

Belum lama aku mataku tertutup, ponselku berdering lagi. Aku mecoba membiarkannya di dering pertama ponselku lalu menutup mata. Ponselku berdering lagi—aku melihat ponselku. Dua pesan dari Ranum.

“Kamu mimpi buruk ya?”

“Sama aku juga niih.”

Bulu tengkukku berdiri, jantungku bedebar. Ranum membalas pesanku lagi, kali ini dua kali, aku memutuskan melupakan rasa kantukku, mencoba terjaga. Dua menit berlalu aku masih menatap pesan dari Ranum. Aku harus berhati-hati membalas pesannya, untuk menjaga percakapan.

“Aneh”

Niat balas dendam, tapi ini bukan saatnya. Aku percaya dalam keadaan seperti ini—setiap orang pasti berubah dari sifat yang dibawanya setiap hari. Keadan tengah malam seperti ini membuat orang-orang jadi lebih jujur. Jadi kita bebas bertanya apapun dan pasti dijawab dengan jujur. Karena alam bawah sadar kita menguasai tubuh yang setengah mengantuk.

“Ranum mimpi apa?”

Sambil menunggu Ranum membalas pesanku, aku bangkit dari kasurku menuju dapur untuk membuat kopi. Aku membuat Colombian Milds yang tersisa di Coffee Makerku salah satu varian kopi arabica dari Kolombia, Kenya dan Tanzania. Jenis kopi arabica yang telah dicuci. Sebagai penikmat kopi yang punya banyak gerai kopi di seluruh Belanda—aku memang terbiasa membuat kopi untukku sendiri.

Aku berdiri di depan meja dapur dengan dua tanganku yang menyentuh ujungnya. Ponselku tepat di samping kopiku. Ponselku berdering setelah aku meminum kopiku. Satu pesan dari Ranum.

“Dokter melarangku minum—minuman beralkohol, padahal aku bukan pecandu alkohol. Mimpiku jadi aneh, besoknya dokter itu meninggal ditusuk prajurit berkuda, anehnya prajurit berkuda ini patung—bukan real prajurit berkuda yang bawa pedang.”

Aku membacanya pelan, sembari sesekali meminum kopiku. Tertawa sedikit diakhir pesannya.

“Ha? Serius?”

Aku meninggalkan dapur membawa kopi dan ponselku menuju ruang tengah, lalu meletakkannya di meja kopi yang berada di samping sofa putih. Menyalakan TV lalu duduk di sofa putih yang berada di samping meja kopi. Ponselku berdering berbarengan dengan nyala TV.

“Serius, kira-kira maksud mimpinya apa ya?”

Aku tidak mempedulikan siaran TV, pesan dari Ranum menyita pikiranku untuk membalas pesannya.

“Mungkin kamu harus ganti profesi jadi prajurit berkuda, hahaha.”

“Eh, apaan aneh banget. Kalo kamu mimpi apa, Rain?”

“Mimpi jadi prajurit berkuda yang nusuk dokter.”

“Rain!! Seriusan ah.”

“Mimpiin kamu nih, Ranum.”

“Rain!! Udah dibilangin, yang serius ah.”

“Eh, ini serius Ranum. Nggak bohong.”

Sudah setengah jam sejak aku mengirimkan pesan terakhirku, Ranum belum juga membalasnya, kopi di cangkirku sudah habis. Siaran TV berubah jadi kumpulan semut hitam dan putih dengan suara yang memekikan telinga.

Aku membuka mata, Langit sudah terang, cahaya matahari menembus jendela kaca dengan tirai putih bermotif kincir angin. Aku tertidur di sofa putih dengan TV yang masih menyala, aku melihat ponsel di meja kopi samping sofa putih. Ranum belum juga membalasnya. Seketika tubuhku melemah, tergeletak tanpa daya...



(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, January 22, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 4


Kedua matamu bertemu pada satu titik dimana orang-orang melihat keindahan bukan dari estetik sebuah seni melainkan dari cara orang lain mengungkapkan opininya. Setiap malam banyak orang selalu berfikir bahwa bagaimana caranya membuat malam jadi nyaman dan tentram. Meskipun jawabannya, sebenarnya hanya satu—orang-orang akan merasa nyaman dan tentram pada malam hari jika mereka pergi tidur tanpa membawa beban dalam sehari. Kenangan harusnya tidak pernah menang, karena kenangan selalu berada di belakang. Sayangnya, banyak orang yang membawa kenangannya tepat di depan kening, membuat mereka jadi lupa esensi dari melupakan. Orang-orang bilang bahwa kenangan tidak perlu dilupakan, karena dari kenangan kita bisa memperbaiki hidup kita kedepan.

Kenangan baik mungkin jangan dilupakan, tapi kenangan buruk? Agaknya orang-orang lupa bahwa sebenarnya mereka lebih sering mengingat kenangan-kenangan buruk setiap orang tanpa menyadari kenangan baik yang ada. Karena kenangan buruk lebih asik untuk dibahas, Kenangan baik hanya membuat orang-orang lupa sementara akan keburukan seseorang. Ada yang mengaku, kenangan bisa melambatkan ingatan. Bukankah harusnya sebaliknya? Bahwa ingatan melambatkan kenangan, sayangnya ketika ingatan melambatkan kenangan, orang-orang justru memilih memungut kenangan-kenangan buruk di keramik-keramik otak tanpa menyadari ada banyak kenangan baik yang menggantung di langit-langitnya.

Malam itu Sean dan Ranum duduk berdua di depan toko setelah membersihkan pekerjaan masing-masing, tidak seperti biasanya Ranum duduk di depan toko. Sean mendatangi Ranum yang duduk sendirian dengan celemek yang sama-sama belum dilepas. Sean melihat Ranum menangis—Ranum menghapus air matanya ketika Sean duduk tepat di sebelahnya.

“Ranum? Kamu nangis? Kenapa?” Pertanyaan Sean bertubi-tubi membuat Ranum salah tingkah mencoba menyeka air matanya. Sean menatap Ranum yang tertunduk.

“Sean?—enggak kok, biasa… Ngantuk, kurang tidur nih” Ranum tersenyum menatap Sean.

“Jangan bohong, kamu kenapa? Cerita dong.”

“Nggakpapa Sean, aku baik-baik aja.”

“Ayolah Ranum, kamu nggak pinter bohong” Sean semakin dalam menatap Ranum.

“Nggakpapa, Se-an.” Ranum menyeka air matanya.

“Ranum” Sean tersenyum menatap Ranum yang matanya mulai sembab.

“Ibu” Ranum tertunduk, jari-jarinya saling beradu di atas celemeknya.

“Ibu?? Ibu kenapa??” Sean kaget memegang kedua pundak Ranum dan menatapnya.

“Penyakit ibu makin parah, Sean.” Ranum menangis.

“Ranum…” Sean membaringkan kepala Ranum di pundaknya.”

“Ibu harus pulang ke Indonesia, keluarga di sana minta ibu pulang” Ranum melingkarkan tangannya, memeluk Sean.

“Karena apa?” Sean mengelus pundak Ranum.

“Keluarga di Indonesia bakal ngerawat ibu, kamu kan tahu, di sini Ibu cuma sama aku, itupun sering aku tinggal kerja.”

“Bagus dong kalau niatnya gitu, berarti keluarga di sana memang perhatian sama ibu. Kamu jangan nangis” Sean mengelus rambut Ranum hingga ujung.

“Aku sedih Sean” Ranum menatap Sean.

“Sedih kenapa?” Sean tersenyum membalas tatapan Sean.

“Kalau ibu pergi, aku sendiri dong.”

“Eh kata siapa? Kan ada aku” Ranum melepas pelukannya, mengangkat kepalanya dari pundak Sean.

“Ah Sean, kamu memang paling ngerti deh, aku tambah sayang sama kamu” Ranum dan Sean saling berpelukan.

“Iyadong, Sean gitu. Harus tambah sayang. Gak boleh sedih lagi ya, kan ada aku” Kata Sean sambil mengelus punggung Ranum.

“Aduh jangan keras-keras meluknya” Kata Ranum, melepas pelukan Sean.
“Eh maaf Ranum, terlalu semangat” Sean tertawa.

“Sssttt, udah malam, jangan keras-keras ketawanya” Ranum mengacungkan telunjuk di depan bibirnya.”

“Sssttt” Tiru Sean. “Gimana kalo besok kita sepedaan?” Bisik Sean.

“Ha besok? Kan besok kerja.”

“Yaelah Ranum, santai aja kali, liburin aja. Sekali-kali” Sean memohon.

“Hmm, okedeh besok kita sepedaan.”

Belanda memang surganya sepeda, bahkan jumlah sepeda di Belanda melebihi jumlah penduduknya. Rata-rata orang Belanda bersepeda sejauh 2.5 km perhari atau 900 km pertahun. Negeri para filsuf ini, punya kurang lebih 16 juta penduduk dan 18 juta jumlah sepeda. Penduduk Belanda adalah orang-orang yang mencintai kopi. Penduduk Belanda adalah pengimpor kopi pertama dengan skala besar-besaran ke Eropa pada tahun 1600an hingga 1700an. satu orang di Belanda bisa menghabiskan 140 liter kopi dalam setahun atau 3,2 cangkir setiap hari, tidak heran Rain Coffee bisa sangat terkenal dan disukai banyak orang. Belanda menjadi salah satu pendiri Uni Eropa, organisasi antar-pemerintahan dan supra-nasional, yang beranggotakan negara-negara Eropa. Belanda adalah negara pertama yang melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2001.

“Eh Sean, lusa anterin aku ke bandara ya, nganter ibu pulang. Ibu bareng adiknya yang kebetulan ada di Belanda, jadi sekalian pulang bareng.”

“Oke boss!! Siap.”


(BERSAMBUNG)



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, January 15, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 3


Sejak kejadian di Keukenhof aku sedikit memberi jarak dengan Rain. Bukan karena aku tidak suka dengannya. Tapi, karena ini perlu. Memberi pelajaran bagi pria yang mengatasnamakan cinta untuk mendapatkan orang yang dicintai. Aku tahu Rain terpesona denganku, awalnya aku juga. Tapi, Rain membuat kesalahan, dia terlalu cepat mengungkapkan perasaannya padaku. Membuatku hilang perhatian. Rain pria yang tidak suka basa-basi, padahal aku suka dengan pria yang basa-basi. Basa-basi membuat tingkah para pria bisa ditertawai. Aku suka itu. Aku mendengar kabar bahwa Rain membuka cabang baru Rain Coffee tepat di sebelah Queen Of Sean. Aku mendengarnya dari Sean.

Aku berangkat kerja untuk pertamakali sejak satu bulan yang lalu, Meskipun baru tadi malam aku bertemu Sean di Ran Fleuriste untuk mengobrol tentang bintang-bintang. Aku melihat Rain Coffee dipenuhi para mahasiswa. Tentu saja, Rain Coffee memang selalu ramai, tapi aku belum pernah sekalipun merasakan kopi buatan Rain Coffee. Setelah aku memakirkan sepedaku, aku melihat cctv di Rain Coffee yang dipasang menghadap tokoku. Aku tahu, Rain sengaja memasangnya di situ untuk mengawasiku. Dua hal yang sangat berbeda, jika kedai teh Kakek Winskel dipenuhi orang-orang tua, Rain Coffee dipenuhi anak-anak muda. Kedai teh Kakek Winskel selalu sunyi meski banyak pengunjung, berbeda dengan Rain Coffee yang berisik—memekakkan telinga.

Hari ini langit Belanda sangat cerah, musim panas sudah datang dengan sejuta kenangan yang mengapung di kanal-kanal. Di atas perahu mereka mentautkan hatinya pada seorang kekasih yang melamarnya dengan romantis, membawa tulip yang dibeli dari Ran Fleuriste dan cincin berlian yang dibelinya di pusat kota. Kanal-kanal Belanda memang selalu jadi tempat yang banyak dikunjungi, termasuk wisatawan dari luar negeri. Amsterdam punya lebih dari seratus kilometer kanal. Tiga kanal utama yang terkenal di seantero Belanda. Herengracht, Prinsengracht, dan Keizersgracht, dibangun pada abad ke-17 pada zaman keemasan Belanda. Di sekitar kanal utama ada lebih dari 1500 bangunan monumental yang banyak dikunjungi turis.

Herengracht adalah kanal pertama dari ketiga kanal utama yang berada di tengah kota Amsterdam. Kanal kedua adalah Keizersgracht terletak di tengah kota Amsterdam, di antara Herengracht dan Prinsengracht. Keizersgracht dinamai sesuai dengan nama Maximilian I, Kaisar Romawi Suci. Dan Prinsengracht adalah kanal utama keempat dan terpanjang di Amsterdam. Kanal tersebut dinamai sesuai dengan nama Pangeran Orange.  Kebanyakan rumah-rumah di sekitar Prinsengracht dibangun pada Zaman Keemasan Belanda. Jembatan-jembatan yang berada di kanal Prinsengracht terhubung dengan jalanan Jordaan.

Sudah hampir satu jam aku merapikan tokoku, hal yang memang biasa aku lakukan setiap pagi, mengelap kaca toko, merapikan vas-vas bunga, memberi vitamin dan pupuk untuk mempercepat pertumbuhan bunga. Aku menyukai kegiatan ini, membuatku merasa tenang dan nyaman. Apalagi tokoku persis bersebelahan dengan Queen Of Sean—toko kue milik Sean, toko kue paling enak yang pernah aku temui dalam hidupku. Seperti biasanya aku memberikan satu tangkai tulip putih untuk Kakek Winskel, meskipun Kakek Winskel belum datang aku menaruhnya di vas bunga yang ada di meja kasir. Vas bunga yang khusus digunakan untuk menampung tulip-tulip pemberianku.

Ini hari terburukku, aku mendengar lonceng pintu toko berbunyi. Aku melihat seorang pria bercelana pendek dan memakai kacamata hitam memasuki toko. Aku mulai menyadari pria itu ketika dia melepaskan kaca mata hitamnya. Otakku beku, perdebatan di rongga kecil itu memasuki babak baru, antara kaget dan gelisah bercampur jadi satu. Aku sudah tidak mau lagi menemui pria ini, aku benar-benar sudah melupakannya dan membangun dinding tinggi yang tidak bisa dia lewati. Dinding itu hancur dalam hitungan detik. Sialan, pria dari Tropea Beach itu mendatangiku, tersenyum dan menyapaku.

“Hey, Ranum. Apa kabar?” Dia menjulurkan tangannya, mengajakku bersalaman, aku menolak.

“Kamu?!”

“Iya ini aku, kenapa? Kamu kaget, Ranum?” Dia menarik tangannya.

“Kenapa kamu kesini!”

“Ayolah Ranum aku sudah lama tidak mendengarmu memanggil namaku.”

“Berhenti basa-basi” Untuk pria ini aku tidak suka caranya berbasa-basi, aku muak.

“Ini toko bunga Ranum, apalagi yang akan aku beli selain bunga?”

“Jangan menggodaku.”

“Oh, kasar sekali kamu, Ranum.”

“Apa maumu?”

“Apalagi? Satu buket tulip, Ra—Num.”

“Warna apa!”

“Merah” Dia menggoda.

Aku menyiapkan pesanannya, setengah niat. Mau tidak mau aku harus melayani setiap orang yang membeli bunga di Ran Fleuriste. Aku meyiapkannya dengan cepat, berharap semuanya berlalu begitu saja, aku sungguh muak dengan pria ini. Aku meliriknya, matanya terus menatapku. Dalam keadaan seperti ini aku butuh Sean—sial itu tidak mungkin.

“Ini, satu buket tulip merah.” Aku menaruhnya di meja kasir, untuk dia aku tidak sudi memberikannya langsung.

“Wow, indah sekali bunga-bungamu, Ranum.” Dia menggodaku lagi.

“Jangan lupa bayar!”

“Ini, ambil kembaliannya” Dia memberi 20 Euro.

“Nggak! Aku akan memberikan kembeliannya” Dia mengabaikanku, lalu pergi menuju pintu toko, sesekali menyium aroma bunga. Aku mengejarnya—menarik tangannya ketika sampai di luar toko, dia berbalik.

“Ini kembalianmu.”

“Aku bilang, ambil kembaliannya, Ranum.”

“Stop, buang-buang waktu.” Aku langsung memasukkan kembaliannya di kantong celananya. Dia tersenyum.

“Kamu keras kepala, Ranum.”

“Aku bilang jangan menggodaku.”

“Pegang bunga ini sebentar.” Dia meminta. Aku memegangnya seperti seorang ibu menggendong bayi.

“Bunga itu untukmu, Ranum.” Katanya, sebelum dia pergi melewatiku. Aku bingung dan kaget, apa maksud dia melakukan ini. Aku melihat bunga yang ada di tanganku lalu berbalik dan berteriak ke arahnya.

“Aku nggak suka tulip merah.” Sambil melambaikan bunga di tangan kananku.


(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, January 8, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 2


Aku sadar bahwa kenangan melambatkan ingatan. Prancis membuat luka yang sudah ada terus meradang. Tapi, Belanda berhasil menyembuhkannya dengan baik. Melupakan kenangan di Le Cordon Bleu dan membawa sisanya ke Belanda bukanlah perkara yang gampang. Aku dan Ranum sudah saling mengenal sejak lama, sejak Ranum belum mengenal dan memahami bunga-bunga, Ranum masih polos, Aku yang selalu  membawanya keluar dari segala penderitaan yang dia alami, terlebih soal pria.

Seorang pria datang lagi di kehidupan Ranum, mencoba menutup luka hati Ranum dengan semua rayuan maut yang dimilikinya. Rain Galvin, pemilik kedai kopi paling terkenal seantero Belanda, Rain Coffee. Aku bersekutu dengannya, aku percaya bahwa dia orang yang baik dan bisa meluruskan dogma Ranum tentang pria. Aku tidak ingin lagi melihat Ranum jatuh di pelukan orang yang salah. Aku kenal betul Ranum. Cinta membuatnya mati gaya, dia selalu malu-malu mengungkapkan perasaannya. Tapi, aku selalu percaya, bahwa dia bisa mencintai dengan baik, matanya selalu mengungkapkan itu.

Rain Galvin membuktikan perasaannya begitu jelas, dengan membuka cabang baru Rain Coffee tepat di samping tokoku. Sayang, Ranum tidak melihatnya sebagai itikad baik. Hanya karena Rain mengungkapkan perasaannya terlalu cepat, Ranum jadi apatis. Aku belum bisa meyakinkan sahabatku itu. Itu pilihannya. Itu prinsip yang selalu dia jaga. Menurutnya prinsip adalah harta manusia yang tidak bisa dibeli. Aku tidak bisa mempengaruhinya terlalu banyak.
Aku mencoba meyakinkan Ranum tentang perasaan Rain. Ranum selalu punya alasan yang tidak bisa aku sanggah, dia wanita kuat seperti pohon kelapa yang tumbuh di sekitar pantai. Dia tidak mudah ditaklukan hanya dengan kalimat-kalimat rayuan para pria. Meskipun aku tahu dia sedikit menyimpan hati untuk Rain, aku melihat dari sorot matanya.

Aku menyayanginya lebih dari yang bisa aku tanggung. Percakapanku dengannya di belakang toko adalah mediaku untuk terus terkoneksi dengannya. Selalu ada hal baru dari setiap percakapan.

“Hey, Sean. Kamu tahu nggak kenapa bintang jumlahnya banyak?”

“Kenapa? Hmm, mungkin karena bintang beranak-pinak? Sekali keluar, ibu bintang bisa melahirkan ratusan bintang…”

“Memangnnya kucing. Ngaco kamu, Sean.”

“Terus karena apa, Ranum?”

“Karena jumla bintang mengikuti jumlah populasi manusia di bumi.”

“Ha? Buat apa? Kenapa bintang menyesuaikan jumlah populasi manusia di bumi?”

“Karena masing-masing dari kita punya satu bintang di langit malam. Dia selalu ada di sana, mengawasi dan menemani kita. Seperti sekarang.”

“Hmm.. Oke. Sekarang aku mau tanya, kenapa nggak semua bintang keluar di malam hari?”

“Kamu salah, Sean. Mereka selalu keluar, kamu nggak bisa lihat, karena kamu nggak menyadari kalau mereka sebenarnya ada.”

“Ha?”

“Sekarang, coba tutup matamu, Sean.”

Aku menutup mataku, mengikut Ranum.

“Rasakan kehadiran bintang-bintang itu, Sean. Rasakan lebih dalam, temukan bintangmu, sentuh dia, Sean. Pegang…”

Aku menggerakkan tanganku, membayangkan persis kata-kata Ranum, aku meraih bintangku. Rasanya begitu nyata, aku menggengamnya erat. Bintang itu bersinar terang—menyilaukan mata. Tanganku terasa hangat, aku bisa berkaca pada bintangku…  Tapi ada yang aneh, aku tidak mendengar suara Ranum lagi setelahnya. Ketika aku membuka mata, Ranum tidak ada di sampingku.

“Ranum!!!”

Aku tidak sadar, sudah hampir satu jam aku menutup mata, mencoba meraih bintangku. Ranum memberitahuku lewat telepon. Dia sudah di rumah ketika aku membuka mata.

Ranum benar, malam itu Ranum mengajarkanku untuk menyadari segala seuatu yang tidak terlihat. Bahwa segala sesuatu selalu ada ditempatnya, Kita bisa memilih untuk menyadarinya atau tidak. 

Musim panas di Belanda mencapai tigapuluh derajat, menandakan akan banyak mahasiswa di Belanda yang memanfaatkan libur musim panas selama dua bulan untuk berkeliling ke tempat-tempat eksotis di Eropa, di bawah guyuran sinar matahari yang hangat. Musim panas juga ditandai dengan Summer Internship. Para mahasiswa dibebaskan untuk bekerja fulltime tanpa rekomendasi dari pihak univeristas. Karena selain internship dari Universitas, para mahasiswa hanya diperbolehkan untuk bekerja part time dengan durasi kerja sepuluh jam selama satu minggu.

De Parade juga sudah dibuka. De Parade adalah festival teater keliling yang menyerupai sirkus. Diselenggarakan sepuluh sampai limabelas hari selama musim panas. Biasanya De Parade singgah di empat kota. Rotterdam, Den Haag, Utrecht dan Amsterdam. Di Amsterdam De Parade singgah di Martin Luther King Park, 15 menit jalan kaki dari stasiun Amstel. Banyak orang yang menggunakan trem 4 dari Amsterdam Centraal Station untuk pergi ke De Parade atau naik bus malam 355 menuju Victoriplein.


Pagi setelah percakapanku dengan Ranum malam itu. Aku melihat Ranum bertemu seorang pria, aku tidak tahu siapa pria itu, aku hanya bisa melihat punggungnya dari kejauhan. Beberapa detik setelahnya, pria itu pergi. Ranum membawa satu buket tulip merah ditangannya. Raut wajahnya setengah bingung. Aku buru-buru masuk ke tokoku ketika Ranum memalingkan wajah ke arahku. Aku mengambil ponselku di saku celemek, lalu mengirimkan pesan untuk Rain—memberitahu apa yang baru saja aku lihat…

(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, January 1, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 1


Aku berharap semesta bertasbih mendengar doaku. Sejak kejadian di Keukenhof dua bulan lalu, Ranum berubah. Wanita memang selalu membingungkan, sedetik yang lalu kita bisa melihat seorang wanita dengan mood yang bombastis, sedetik kemudian mood bombastis itu bisa hilang seketika, makhluk tuhan yang satu ini memang harus diperlakukan spesial. Kini Ranum menciptakan jarak, dia tak semanis dulu, tak seceria dulu.

Aku paham, ungkapan perasaanku terlalu dini untuk dibilang cinta sejati, wanita macam Ranum butuh lebih dari sekedar cinta untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Para wanita hanya punya dua pilihan ketika seorang pria mengungkapkan perasaannya. Mencoba berpura-pura cinta lalu benar-benar cinta atau berpura-pura lupa bahwa kejadian itu tak pernah terjadi lalu perlahan memberi jarak dan meninggalkan semua yang telah terjadi, aku paham—meski tidak semua wanita punya sifat seperti Ranum.

Aku mencintai Ranum lebih dari yang bisa ku tanggung, aku tak punya alasan, kenapa aku mencintainya. Aku bingung, aku rasa untuk urusan cinta alasan adalah hal yang tabu untuk dibahas. Aku memutuskan membuka cabang baru Rain Coffee tepat di samping Queen Of Sean. Aku dan Sean bersekutu soal Ranum, Sean bersedia membantuku dalam hal apapun soal Ranum. Meskipun awalnya Sean bilang ini gila,

“Ranum itu nggak kaya wanita kebanyakan” Kata Sean.

“Iya aku tahu, Sean. Makanya aku butuh bantuanmu.”

“Kamu mau apa, Rain?”

“Aku cuma butuh kamu meyakinkan Ranum, soal perasaanku.”

“Kamu gila, Rain.”

“Ayolah, Sean.”

Sean berpikir panjang soal hal ini, bagaimanapun juga dia tak ingin melihat sahabatnya menderita lagi karena pria, kejadian di Tropea Beach beberapa tahun lalu cukup jadi pengalaman buruk Ranum untuk terakhir kali. Sean tahu betul Ranum luar-dalam, itu alasan kenapa aku meminta tolong padanya.

“Oke, aku coba. Tapi dengan caraku bukan caramu.” Kata Sean.

“Oke.”

“Rain, kamu ini CEO perusahan besar, kamu kelihatan berwibawa ketika Ranum pertamakali melihatmu, Ranum selalu bilang kalau kamu orang yang paling bijak dan wibawa yang pernah dia temui… Aku nggak melihat itu lagi sekarang. Aku baru tahu kalau cinta bisa merubah sifat manusia.”

“Ayolah Sean, jangan menceramahiku. Ini bukan saatnya.”

“Kenapa kamu mencintai Ranum?”

Pertanyaan Sean bukanlah pertanyaan yang musti djawab. Aku adalah orang yang percaya bahwa cinta tak butuh alasan. Karena ketika cinta beralasan seluruh semesta akan mengingat alasan kita dan mau tidak mau, kita harus bersusah payah memegang janji-janji yang keluar dari mulut kita, memelihara alasan yang kita ucapkan.

“Ranum pasti butuh alasan kenapa kamu mencintainya” Kata Sean.

“Apakah cinta butuh alasan? Apa cinta pernah menagih alasan?”

“Kamu harus membayar cintamu dengan alasan, Rain.”

“Kamu salah. Aku membayar cintaku dengan kesetiaan.”

“Terserahlah, laki-laki memang bikin bingung.”

“Jadi?”

“Beri aku nomor ponselmu, aku akan menghubungimu lagi” Kata Sean.

Sisi lain kota ini, menyisakan luka yang meradang. Malam di Amsterdam terasa mencekam bagi mereka yang terpenjara dalam kesendirian dan terlalu lama merasakan kesepian. Aku masih bisa merasakan ada jeda yang mengukur kata, membuatnya jadi bisa terbaca. Jarak yang dibangun oleh Ranum membaurkan luka, membuatku hilang kesadaran penuh sesal. Aku tahu selalu ada batas yang mengikat rasa, membuatku selalu bertanya pada diriku sendiri “Sanggupkah aku melewati batas diantara rasa yang tak saling mengikat?” Hanya Ranum yang bisa menjawabnya.

 

Musim panas mendatangi Belanda, tanda bahwa Daylight Saving Time mulai diterapkan di belahan Eropa. Daylight Saving Time adalah perubahan atau pergeseran waktu pada musim panas. Daylight Saving Time dilakukan secara resmi dan serentak di belahan Eropa. Waktu dimajukan selama satu jam lebih awal dari zona waktu resmi yang diberlakukan pada musim semi dan musim panas. Daylight Saving Time bertujuan untuk menyesuaikan kegiatan kerja dan sekolah, Di musim panas, siang hari jau lebih lama dibanding malam hari. Letak geografis eropa membuat matahari tidak meyinari kawasan eropa secara merata.

 

Pagi ini aku melihat Ranum mengendarai sepedanya, memakirkan persis di samping Ran Fleuriste, aku melihatnya dari cctv yang aku pasang di luar Rain Coffee, kamera khusus yang menghadap teras Ran Fleuriste. Aku terpaksa memasangnya, Ranum selalu menghindar ketika dia melihatku, berpura-pura sibuk ketika aku mulai mengajaknya bicara. Aku selalu merindukannya seperti mentari yang merindukan pagi, seperti senja yang merindukan malam, juga seperti rindu awan pada langit. Aku ingin menjadikannya sebatas jantung yang mencari nafas, sebatas urat yang mencari nadi, tanpa sekat, tanpa ampun dalam mengasihi.

 


09.30, ponsel di saku celanaku bergetar, satu pesan masuk dari Sean. Buru-buru aku membacanya…


(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.