Tuesday, May 30, 2017

Ed & Talia


Pukul tujuh malam, aku datang dan duduk di bangku besi berwarna merah. Di depanku ada sebuah rak yang memajang buku-buku. Ini tempat dimana pecinta film sering datang untuk nonton bareng atau sekadar mendiskusikan sebuah film yang baru mereka tonton. Aku membuka laptop, seperti biasa, membuka word untuk mulai menulis. Tempat itu belum dipadati pengunjung. Hanya ada tiga orang yang duduk agak jauh dariku, berdekatan dengan layar yang biasanya digunakan untuk memutar sebuah film. Dan seorang wanita yang duduk tak jauh dariku. Wanita itu duduk sendiri, seperti sedang menunggu seseorang. Matanya sibuk menatap layar ponsel.

Kafe ini didominasi dengan cat warna putih, beberapa poster film dipajang di dinding-dindingnya. Hujan deras yang sempat turun mulai reda, berganti dengan gerimis. Lembar word itu masih kosong, aku tak kuasa menggerakkan jari-jariku. Aku mengetuk meja dengan jariku, menciptakan bunyi, membuat wanita mungil yang duduk di dekatku menatap singkat. Ponselku bergetar, satu pesan masuk—aku tak membacanya. Aku sedang melatih diri untuk tak berdekatan dengan benda kecil itu. Karena dunia baik-baik saja sebelum ada ponsel.

Beberapa detik ruangan itu sempat sunyi—senyap. Aku bisa mendengar suara detak jam di tangan kiriku. Wanita yang duduk di dekatku beranjak dari kursi, sedikit membanting ponselnya ke meja, dengan wajah kesal dia mendatangi bar, berbicara pada seorang barista. Aku sempat mendengar percakapan di antara mereka. Setelahnya, wanita itu kembali, duduk dengan raut muka yang berubah ceria. Layar mulai terang, sebuah film siap diputar. Aku tersenyum, terpaku menatap layar yang pelan-pelan memunculkan sebuah gambar. Aku familiar dengan film yang sedang diputar.

Aku menutup laptopku, arah duduk berganti, berpaling menghadap layar. Wanita itu duduk tepat di depan sebelah kiri. Rambutnya dibiarkan terurai, dia melipat kedua tangannya di dada. Aku bisa melihat lesung pipitnya, karena senyum yang sempat tercipta tepat ketika tokoh utama film itu mulai keluar. Wanita itu mengubah posisi duduknya saat film hampir berjalan tiga puluh menit, memangku kaki kanan pada kaki kirinya. Aku mulai sadar, film ini diputar karena permintaan wanita itu. Aku sempat keheranan, ternyata ada wanita yang menyukai film jenis ini. Aku memberanikan diri menghampirinya.

“Hey, boleh duduk di sini?” tanyaku meminta.

“Oh, boleh-boleh,” wanita itu sedikit kaget, setelah menatapku singkat. Aku duduk, meletakkan tas ransel di samping kursi, wanita itu bergeser, memberikan ruang untukku.

“Kamu yang request film ini?” tanyaku menujuk layar.

“Ohiya, tadi bilang ke masnya,” senyum wanita itu membalasku.

“Emang suka film ini?”

“Iyaa, gak pernah bosen nontonnya… Ceritanya dapet,” wanita itu setengah tertawa, mencoba mencairkan suasana yang tercipta di antara kami.

“Ohgitu… Eh kenalin. Aku, Ed,” kataku mengulurkan tangan.

“Ed? Aku Talia,” balas wanita itu menjabat tanganku.

“Ed?” tanya Talia sekali lagi.

“Iya, Ed,” senyumku meyakinkan.

“Cuma Ed?” tanya Talia tak percaya.

“Just Ed,” senyumku pada Talia membuatnya balas tersenyum.
            
Setelahnya kami sempat terdiam, Talia fokus menonton film dan memegang gelas berisi kopi yang sesekali diminumnya. Aku berulang kali melihat ponselnya bergetar dan menyala, Talia menghiraukannya, aku tersenyum—mengangguk pelan.

“Ide film ini sebenernya riskan, loh kalo dibawa ke Indo,” kataku memecah keheningan di antara kami.

“Hmm… Riskan banget, soalnya kan culturenya beda gitu. Bisa-bisa malah di demo. Dulu aja Jagal gak boleh diputer, kan. Di demo FPI,” ujar Talia setelah menyeruput kopinya,

“Ohiya ya. Itu yang di demo Jagal atau Senyap? Aku kok lupa,” tanyaku mengernyitkan dahi.

“Jagal kalo nggak salah, eh lupa. Udah lama banget itu mah.”

“Kamu tau nggak, film ini diangkat dari Novelnya Michael Muhammad Knight?”

“Sempet denger. Nonton filmnya doang, nggak baca bukunya,” Talia mulai melupakan film itu, memalingkan wajahnya, mengganti posisi duduknya—menghadap ke arahku.

“Aku malah baca bukunya dulu baru nonton filmnya,” aku mulai berani menatap matanya saat berbicara. Ikut melupakan film itu.

“Wah, aku aja nonton filmnya dikasih tau temenku… Sama di bukunya nggak, sih?”

“Garis besarnya, sih sama. Cuma biasa, ada yang di buku tapi di film nggak digambarkan. Mungkin karena tuntutan durasi.”

“Berarti antara film dan buku sama lah, yaa. Gak ada yang di lebih-lebih, kan.

“Cuma memang aku lebih suka bukunya. Imajinasi Eyad Zahra kurang kena ke aku sebagai pembaca. Masih wajar sih tapi. Yang jadi Yusef kurang… Cuma yang jadi Rabeya cocok banget. Keren!”

“Iyaaa, gokil sih aktingnya, dapet banget perannya disitu. Aku suka tiap kata yang mereka ucapin tentang isi ceritanya. Tentang islam, agama dimata mereka sebagai anak punk. Mereka berani banget mainin kata-katanya, nancep semua, gitu. ” Talia tersenyum menatapku. Tepat setelahnya seorang barista mengantarkan kopi untukku. Aku memang tak pernah memesan, mereka selalu tahu apa yang biasa aku pesan. Satu gelas long black, lalu aku menyeruput untuk pertama kalinya.

“Kalo udah baca bukunya memang lebih ngerti watak tokohnya secara detail, sih… Jadi penasaran sama bukunya,” kata Talia, menambahi.

“Kayaknya, di Gramed lagi banyak buku-buku import masuk. Coba deh cari, mungkin Ada.”

“Ohiya? Di bagian mananya?”

“Oh, bukan Gramed ding. Toko Gunung Agung yang di CL… Yang di depan banget, ditaruh di satu wadah besar gitu. Acak-acakan. Aku nemu, Milk & Honeynya Rupi Kaur di sana,” kataku setelah mengingat-ingat.

“Wah boleh tuh, itu sampai kapan, btw? Daripada aku beli terus ke post santa… Harganya berapa?” tanya Talia, antusias, senyumnya merekah, lesung pipitnya kentara, ada yang luluh dari dalam diriku.

“Aku sih bulan April kesana… Harganya di atas 150. Soalnya Bahasa asli, cetakan asli… Post santa yang kamu maksud toko buku online itu, bukan?” tanyaku memastikan

“Iya bener, aku kalo beli buku biasanya disana. Kebanyakan memang buku-buku impor… Bisa deh nanti dicoba kesana kalo free. Dan kalo ada duitnya,” Talia tertawa, tawa itu menular padaku. Suasana menjadi hangat.

“Harus free dan ada duitnya, yaa. Itu yang jadi PR,” kataku menggoda Talia. Tersenyum menatap matanya.

“Iya… Kamu bisa dong nemenin kapan-kapan?” Talia terkekeh.

“Bisa dong… Eh aku minta kontakmu dulu aja,” ujarku memberikan ponsel setelah merogoh kantung kanan celanaku. Talia mencatat nomornya, aku melihatnya memainkan jemari di layar ponselku. Melihat rambutnya yang terurai jatuh—menggantung.

“Nih, WA aja yaa,” kata Talia, mengembalikkan ponselku.

Setelah percakapan yang cukup panjang, kami melanjutkan menonton film. Tiga pengunjung lain pergi beberapa menit yang lalu. Hujan mulai reda, hanya ada kami di ruangan itu, duduk berdampingan. Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya, sepatu Talia sempat menyentuh sepatuku. Beberapa detik setelahnya Talia mengulangi sentuhan itu.

Dari situ aku tahu ada yang hendak disampaikannya, aku membalas menyentuh sepatunya, dua kali, persis seperti seorang yang mengetuk pintu. Talia menoleh manatapku. Aku tersenyum, Talia membalasnya, lalu berpaling—kembali fokus menatap layar. Jemariku bergerak, kelingkingku menyentuh kelingking Talia. Talia ikut menggerakkan jemarinya, lalu kemudian, telapak tangan Talia mengadah, persis seperti seorang yang meminta. Melihat itu, pelan-pelan aku menggandeng tangannya, jemari kami saling mengisi. Ibu jari kami saling mengelus lembut. Senyum kami merekah, aku tahu perasaan apa yang sedang bergejolak di dalam diriku malam itu. 

-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, May 19, 2017

Fragmen 3 Langkah


            Ruangan itu serba abu, minimalis dengan dekorasi yang sederhana. Bohlam di atap ruangan ditata secara acak, membentuk bayangan sebuah kelopak bunga yang memantul di lantai cokelat yang mengkilap. Aku baru saja datang, pintu kaca yang kubuka berdecit, suaranya mengganggu telinga, membuat beberapa orang menatapku singkat. Ada yang bilang, ruangan itu adalah tempat terbaik untuk menenangkan diri dari hiruk pikuk kota yang makin gila. Aku duduk di sebuah kursi bar dengan besi sebagai penyangga bantalan kayu tanpa sandaran.

            Tempat itu dibagi menjadi empat bagian. Aku berada di ruangan pertama, ruangan yang letaknya paling depan, berdekatan dengan pintu masuk. Ruangan untuk orang-orang yang datang sendiri, terlihat dari kursi-kursi solo yang ditata sejajar di depan bar.  Ada dinding pembatas kaca yang memisahkan ruangan itu dengan ruangan lainnya. Ada meja dan kursi panjang yang menghiasi ruangan kedua, tempat yang biasa dipakai para eksekutif muda untuk meeting bersama klien-klien mereka atau para mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah.   

            Ruangan ketiga ada di lantai dua. Tak ada kursi disana, hanya ada meja-meja dan karpet untuk pengunjung yang ingin duduk bersila atau selonjor alias tanpa kursi. Ruangan itu biasa dipakai untuk arisan keluarga, atau tempat berkumpulnya berbagai komunitas di kota ini, ruangan paling luas di antara yang lainnya. Ruangan keempat ada di lantai tiga, untuk berada disana kita perlu menaiki tangga melingkar dengan 23 anak tangga. Ruangan terbuka dengan beberapa meja berpayung untuk melindungi pengunjung dari panas matahari atau hujan. Biasanya hanya para perokok yang ada di lantai tiga. Menghabiskan rokoknya lalu kembali turun.

            “Minum apa, Mas?” seorang barista yang sedang mengelap cangkir kopi menawariku.

            Belum aku menjawabnya pintu terbuka, suara decitannya masih menggangu telinga. Aku melihat samar-samar karena pantulan sinar matahari mengganggu pandanganku. Seorang wanita memakai rok hitam selutut dan blus putih tanpa lengan membawa tas hitam kecil berjalan mendekat lalu berdiri di sampingku, berbicara pada barista yang sama.

            “Mas biasa, ya,” kata wanita itu. Barista menjawabnya santai, seperti seorang yang sudah saling kenal. Wanita itu kemudian meninggalkan bar, sempat tersenyum menatapku. Aku melihatnya berlalu, berjalan melewati ruangan kedua, Kulitnya yang putih terlihat dari lubang berbentuk oval di bawah leher pada blus putih yang dipakainya. Wanita itu menuju ke lantai dua.

            “Kenapa, Mas?” tanya barista itu sembari sibuk dengan mesin kopinya.

            “Tadi siapa, Mas?” tanyaku.

            “Oh… Saya sih nggak tahu namanya, tapi dia sering kesini sendiri. Suka duduk di lantai tiga. Yaa… Jam-jam segini ini dia kesininya, dua atau tiga jam lagi baru pulang.”

            “Ohgitu…” kataku mengangguk pelan.

            “Masnya jadi mau minum apa?”

            “Samain aja deh, kayak mbaknya tadi.”

            “Oke Siap!”

            Rambut wanita itu dikuncir, hidungnya mancung, matanya kecokelatan, alisnya tak digambar seperti kebanyakan wanita saat ini. Sekilas aku melihat tak ada make up yang dipakai selain gincu merah yang menghiasi bibir tipisnya. Wajahnya mengingatkanku pada Anna Hathaway dalam film One Day.

            “Ini, Mas minumnya,” barista itu memberikan secangkir kopi.

            “Itu biar saya yang bawa, ya. Saya juga mau sekalian ke atas.”

            “Ohgitu? Oke. Silakan.”

            Aku membawa nampan bundar dengan dua cangkir di atasnya, lalu bergegas menuju ke lantai tiga. Wajahku terlihat dari air kopi di dalam cangkir, seperti sebuah cermin. Aku sampai di lantai tiga, melihat wanita itu kebingungan, mungkin karena aku yang membawa pesanannya. Wanita itu mengapit sebatang rokok di sela-sela jarinya.

            “Loh, kamu yang duduk di bawah tadi, kan?” tanya wanita itu, melihatku meletakkan minuman di meja.

            “Kenalin… Abraham,” kataku tersenyum, mengulurkan tangan.

            “Renata,” wanita itu menjabat tanganku setelah menaruh batang rokok pada asbak kayu. Aku melihat api pembakaran pada rokok itu setelah melepaskan jabat tangannya.

            “Kenapa? Baru kali ini lihat cewe ngerokok?”

“Ah enggak,” kataku menggeleng pelan.

“Rokok?” Renata mengangkat bungkus rokoknya, menawariku.

“Perokok pasif,” senyumku, menolak.

“Ah, I see… Bibirmu masih bersih,” Renata mengangguk pelan, menaruh kembali bungkus rokoknya.

“Baru kali ini aku lihat cewe pake rokok kretek.”

“Otentik,” Renata mengangkat kedua alisnya, menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
Renata melepas heelsnya, kedua kakinya bersandar pada penyangga meja. Aku melihatnya tampak tenang, sesekali memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Aku mencoba santai, memulai pembicaraan dan mencairkan suasana.

 “Eh, ini nggak diracuni, kan?” Renata mengangkat cangkirnya, menatapku curiga, lalu meminumnya. Menunggu beberapa saat.

“Aman,” senyum Renata menaruh cangkirnya.

“Aku bukan Jessica,” kataku membuat Renata terkekeh.

“So, Abraham. Apa yang membawamu kemari?”

“Well… Aku bisa pergi kalo keberadaanku tidak diinginkan,” kataku setengah berdiri.

“No… Jangan buru-buru,” Renata menahanku.

“Oke,” senyumku, kembali duduk. Renata menghisap rokoknya hingga habis, lalu mematikannya—menekan di asbak.

“Catet nomormu,” Renata memberikan ponselnya.

“Ha? Harusnya ini jadi langkah ketiga.”

“Enggak juga, kita bisa taruh ini di langkah pertama. Sebelum kita masuk ke langkah berikutnya. Aku nggak mau kamu pergi tanpa meninggalkan apa-apa,” Aku mencatat nomorku, lalu mengembalikkan ponselnya. Beberapa saat kemudian ponselku berdering.

“Itu aku,” kata Renata saat aku membuka ponselku.

“Oke, saved,” senyumku. Renata menatapku, kami saling tatap untuk beberapa saat. Lalu aku meminum kopi untuk menghilangkan kecanggungan.

Ada yang tak biasa dari wanita yang duduk di depanku. Dia dengan mudahnya memikat hatiku dalam hitungan singkat. Tak perlu banyak hal yang dilakukan. Renata hanya melakukan satu hal yang tak dilakukan kebanyakan wanita saat ini. Renata berani memulai, dia percaya bahwa kami ada dalam satu meja yang sama bukan karena kebetulan, tapi karena mekanisme alam yang sudah ditentukan dari awal terbentuknya kehidupan di dunia. Hal yang tak pernah disadari banyak orang terutama wanita.

Dalam sebuah pertemuan seperti ini, biasanya aku membagi dalam tiga fragmen. Langkah pertama, berkenalan. Langkah kedua, saling mengenal. Langkah ketiga, adalah langkah yang bercabang. Ada banyak langkah lagi disana, ada banyak hal yang harus dilakukan sebelum akhir. Biasanya orang-orang putus asa di langkah ketiga ini. Langkah ketiga adalah keberadaan. Siapa berada dimana, siapa sebagai apa, dan siapa menjadi apa.

“Kebetulan aku sedang riset untuk tulisan terbaruku. Kamu bisa bantu?”

“Oh, kamu penulis? Boleh-boleh. Apa yang bisa aku bantu?” ujar Renata, terkejut.

“Aku mau tanya. Kamu cuma perlu jawab jujur, jangan dibuat-buat.”

“Oke,” Renata mengambil batang rokok, lalu menyalakannya dengan korek gas berwarna putih.

“Kenapa kamu harus besikap seperti sekarang sebagai seorang wanita?”

“Hmm… Pertanyaanmu… Well… Banyak dari kita yang merasa nggak sakit, padahal semua manusia adalah makhluk yang kesakitan dan butuh obat… Aku tahu arah pertanyaanmu kemana. Dan sebenarnya pun, aku nggak perlu jawab kamu pasti tahu jawabanku.”

“Nggak sepenuhnya. Membaca pikiran orang nggak diartikan sebagai membaca otak manusia. Kita membaca gerak-geriknya, nada bicaranya, mimik mukanya, raut wajahnya, intonasinya, caranya berbicara, caranya menatap… Dan aku melihat, kamu baru saja mengalami hal yang nggak mengenakkan buatmu.”

“Aku melihat itu juga lewat matamu,” Renata menghisap rokoknya.

“Well… Pertemuan kita sudah ada yang mengatur. Sekarang terserah kita, mau saling terbuka atau tetap tertutup—menahan diri,” kataku, meyakinkan Renata.

“Menurutku, orang yang patah hati persis seperti orang yang fisiknya sakit. Butuh obat untuk menyenmbuhkan sakit hatinya… Obatnya orang lain. Sialnya, banyak orang menyebut itu pelampiasan, padahal sebenarnya bukan. Kita secara alamiah bakal mendekat ke orang lain untuk bisa mengobati perasaan itu. Makanya ketika kita tahu bahwa orang itu dirasa nggak bisa mengobati kita, kita cenderung mundur perlahan, terus mengulangi sampai kita ketemu sama orang yang bisa mengobati kita.”

“Dan yang bisa membuat kita kembali nyaman,” kataku menambahi.

“Betul,” Renata mengangguk.

“Menurutmu, kenyamanan itu datang sendiri atau diciptakan?”

“Diciptakan, dong,” kata Renata setelah menghisap rokoknya.

“Oke, kalo kenyamanan diciptakan, berarti nggak perlu dong kita punya tipe cewek atau cowok yang pantes jadi pasangan kita. Toh, rasa nyaman itu kan yang menciptakan  dua orang yang menjalin hubungan.”

“Aku kurang setuju. Tiap orang  punya perbedaan pilihan dalam hal apapun. Ya… Karena hidup ini permainan pilihan, kita tetap perlu memilih siapa yang memang cocok untuk kita.”

“Oke, kalo tipe cowomu?”

“Baik, pastinya. Fisik relatif, lah. Yang paling penting mau berkomitmen… Kamu?”

“Aku? Aku suka perempuan yang terbuka hati dan pikirannya.”

“Maksudnya?” tanya Renata, penasaran. Jari-jarinya yang mengapit batang rokok berada di samping telinga.

“Terbuka hatinya, dia bisa bedain mana yang baik dan buruk. Mana yang harus dia ladeni dan enggak. Intinya dia tahu, dia harus apa untuk dirinya sendiri, lingkungannya dan orang lain… Terbuka pikirannya, dia nafsu sama ilmu pengetahuan sama hal-hal baru yang belum pernah dia pelajari, itu yang bisa bikin jadi asik ngobrol, lalu kenyamanan datang setelahnya.”

“Fisik?” tanya Renata, memastikan.

“Aku cari pasangan hidup, bukan pelacur yang sekali pakai atau artefak langka buat dipajang. Kita nggak boleh mendiskreditkan sesuatu yang nggak bisa diubah manusia. Kasihan orang-orang yang terlahir dengan kekurangan di tubuhnya.”

“Tapi kamu selalu berdoa untuk yang terbaik buat kamu, kan?”

“Itu pasti,” senyumku, lalu meminum kopi.

“Aku mau tanya… Dalam masalah cinta, apa yang nggak mengenakkan buatmu?” tanya Renata setelah aku selesai meminum kopi.

“Banyak orang meminta dicintai tapi nggak mau mencintai. Banyak orang mengeluh karena cintanya tak terbalas, padahal disaat bersamaan ada orang lain yang mencintainya tanpa berharap dicintai. Seharusnya kita belajar untuk mencintai orang yang mencintai kita, bukan sebaliknya. Cinta itu perkara proses bertumbuh. Harus tumbuh bareng-bareng, nggak bisa salah satunya, jadinya pincang.”

“Pengalaman banget, yaa?” Renata terkekeh. Aku setengah tertawa.

“Itu yang akhirnya bikin banyak orang memilih menunggu, entah sampai kapan yang akhirnya dilupakan dan dianggap nggak ada. Nggak ada yang lebih menyakitkan dari terlupakan.”

“Aku paham maksudmu, aku juga pernah ngerasain, dan yang kamu maksud itu, memang lebih sering dilakukan cewe-cewe yang nggak pernah mau dewasa dalam menjalin hubungan,” Renata menambahi, aku mengangguk.

“Kalo kamu?” tanyaku.

“Aku mengutip omongan orang lain boleh?”

“Boleh dong, barusan juga ada omongan orang yang aku kutip,” kataku menatap Renata.

“Tidak ada yang menyakitkan daripada mencintai seseorang yang bahkan nggak pernah menganggap kita ada, padahal kita selalu ada di sampingya.”

“Pengalaman banget, yaa?” balasku terkekeh. Renata setengah tertawa.

“Aku mau tanya lagi, tapi kamu harus objektif, yaa.”

“Kok jadi kamu, sih yang banyak tanya?” keluhku.

“Boleh, nggak?” Renata menggodaku.

“Fine. Aku selalu objektif melihat segala sesuatu.”

“Oke. Menurutmu, kenapa cewe lebih sering dicauhkan? Lebih sering disia-siain?”

“Kenapa? Hmm… Karena banyak pria cenderung meninggalkan sesuatu setelah mendapatkan apa yang dia mau. Dia jadi nggak ada ikatan lagi… Jadi jangan buru-buru memberikan sesuatu yang diinginkan pria, kecuali sudah ada komitmen, kecuali kalo keduanya nggak mempermasalahkan, dan sama-sama mau.”

“Cowo gampang bosen, yaa?”

“Nah, itu ungkapan yang salah. Sebetulnya, justru cewe yang cepet bosen. Iya, kan?”

“Iya sih, aku ngerasainnya gitu,” Renata menghisap rokoknya, lalu mematikannya.

“Makanya, cari pasangan yang seimbang.”

“Yaa, I know… Kita seimbang, btw,” Renata menatapku, aku tersenyum membalasnya.

Biasanya, langkah kedua bisa dilewati saat keduanya sudah saling terbuka hati dan pikirannya, tak memberi batas apa pun pada semua kemungkinan yang masuk kedunianya. Renata dan Abraham sama-sama membiarkan satu sama lain masuk, untuk bisa mengobati rasa sakitnya. Perkara apa yang harus dilakukan selanjutnya tak perlu dipikirkan sendiri, karena cinta adalah proses bertumbuh.

Banyak orang tidak bisa membedakan antara cinta dan jatuh cinta, keduanya berbeda. Apa yang dirasakan Renata dan Abraham bukanlah cinta, mereka baru merasakan jatuh cinta, ketika keduanya saling menerima, barulah cinta tumbuh setelahnya. Perasaan yang datang sebelum jatuh cinta adalah rasa penasaran. Rasa itu keluar secara alamiah yang pelan-pelan bertanya pada diri sendiri bagaimana kelanjutannya. Tapi, banyak orang yang tidak bisa membedakan mana penasaran mana jatuh cinta. Maklum, kadang cinta jatuh pada orang-orang bodoh.

“Well… Bisa dibilang kita sudah ada di langkah ketiga. Kita mau apa?” tanyaku, memberanikan diri.

“Baru kali ini, aku ketemu orang gila kayak kamu,” Renata menatapku tajam.

“Sama, baru kali ini aku ketemu perempuan kayak kamu.”

“Kamu perlu tahu, aku capek sama perpisahan. Percuma sekuat tenaga menjaga hubungan tapi akhirnya kandas, pisah, dikhianati,” keluh Renata.

“Sama, aku juga capek.”

“Ih serius, ah. Jangan bercanda.”

“Aku juga serius… Kamu tahu nggak? Ada hubungan yang nggak akan berakhir perpisahan.”

“Aku tahu itu,” Renata tersenyum.

“Jadi?” tanyaku menatap Renata, wajahku mendekat, persis seperti seorang yang penasaran.

“Kita bangun fragmen ketiga kita bareng-bareng. Tutup semua percabangannya, bikin jadi satu jalur, dimana cuma ada kita yang ada di situ… Tapi tanpa ikatan, karena ikatan justru membatasi kita. Deal?” wajah Renata ikut mendekat, aku hanya mengangguk.

Kening dan ujung hidung kami menempel, aku bisa melihat Renata yang tersenyum, melihat matanya berkedip berulang kali, merasakan debar jantungnya berdebar lebih cepat, detik berikutnya bibir kami bertemu, lembut tanpa tergesa-gesa.

                                                                     -----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, May 9, 2017

Membunuh Ahok


Harus diakui, orang-orang berani seperti Si Bajingan Ahok pada akhirnya akan menyerah. Keberanian & kejujurannya dibungkam, membuatnya akan diam setelah ini. Persis seperti saya, saat harus menghadapi sidang dan diancam dikeluarkan dari sekolah empat hari sebelum Ujian Nasional.
Ya, dalam sejarahnya saat hanya ada satu orang yang berani bicara dan bertindak sesuai hati nuraninya, pada akhirnya mereka hilang, dibunuh, dipenjarakan. Yang lainnya sekarat! Melindungi diri sendiri, belagak tak terjadi apa-apa. Munir dibunuh, Marsinah dibunuh, Pramoedya Ananta Toer dipenjarakan, Wiji Thukul dihilangkan.
Harus diakui, kita tidak lebih baik dari Si Bajingan Ahok ini. Negara ini telah di desain untuk membuat orang-orang seperti saya sakit hati. Setiap saat, setiap waktu, setiap detik. Kesadaran memang selalu datang terlambat. Kini, kita semua tahu bahwa diam bukan pilihan yang tepat, bukan yang terbaik yang bisa dilakukan. Ahok adalah anomali dalam dunia politik di Indonesia. Dia menentang segela bentuk ketidakadilan di masyarakat. Tapi, kebaikannya dibalas dengan hukuman penjara dua tahun yang cacat hukum.
Kunci memenjarakan orang atas dasar penodaan agama hanya satu: Jumlah dan tekanan massa. Kita ambil contoh; Kasus HB Jasin saat menulis “Cerpen Langit Makin Mendung,” atau Aswendo Atmowiloto ditahun 1990. Dua orang ini dilaporkan oleh kelompok massa salah satu agama di negeri ini, dan tekanan di pengadilan membuat mereka harus dipenjara untuk mendamaikan atau menenangkan pelapor. Keadilan dikorbankan untuk mendamaikan segelintir kelompok. Persis saat sidang putusan Ahok.
Sejak 1968 saya mencatat ada 37 nama yang dipenjara karena kasus ini, yang hukum penjeratnya tidak jelas dan sangat lentur. Kepercayaan yang menyatakan penodaan agama sering dipakai oleh kelompok-kelompok ekstrimis dan radikal untuk membungkam debat-debat atau pandangan kritis terhadap keagamaan. Bahkan di Eropa salah satu film berjudul, Das Liebeskonzil (The Council Of Heaven) dicap merupakan bentuk penodaan agama sebagai tindak pidana pasal 188 KUHP Austria.
Mari kembali pada Ahok, saat pidato di Kepulauan Seribu. Apakah Ahok menyinggung Al-Maidah atau menyinggung pejabat-pejabat culas yang bertopeng. Ini pentingnya belajar bahasa, bahkan saya hanya perlu tiga kalimat itu untuk memutuskan Ahok sedang membicarakan manusia sebagai objek kalimat atau ayat. Sangat mudah membedakannya, sangat mudah mengetahuinya. Hanya saja kita yang tidak bisa bersifat objektif. Tidak adil, tidak benar.
Perubahan selalu butuh tumbal. Harus ada yang berkorban atau dikorbankan. Ahok telah melakukannya dengan suka cita, tak ada raut kesedihan yang terlihat, meski kita tahu saat mata kamera tak menyorotnya kesedihan dan kekecewaan yang mendalam sedang dialaminya. Kita perlu bergerak menuju perubahan baru, jangan lagi diam. Buat perubahan semampumu. Aku memilih menulis untuk membuat perbedaan di tengah masyarakat.
Harapan harus tetap ditegakkan meski kita sedang berada di titik terendah hidup. Tuhan tidak diam, dia selalu ada dan kebenaran tidak pernah diam. Indonesia sedang mendewasakan diri, saat inilah kita perlu bersama-sama ikut mendewasakan pemahaman kita, tentang politik, keberagaman bahkan agama sekalipun. Kita hidup di zaman non universal truths, membuat kebaikan tak selalu mutlak. Kita tidak bisa bilang lagi bahwa semua orang baik dan mengajarkan kebaikan. Mari ambil sikap, ketahui nilaimu. Apa yang sudah kamu lakukan.
Saya hanya takut, kasus ini berimbas pada generasi berikutnya yang mulai sangat rentan diserang dan dicuci otaknya. Mereka akan berpikir bahwa jangan membuat perbuahan seperti yang dilakukan Ahok. Sang Gubernur yang dipenjara bukan karena korupsi, bukan karena dia melukai kepercayaan rakyat, bukan karena berkhianat pada janjinya. Tapi karena tekanan massa yang sebetulnya tak tahu apa-apa. Kesalahan yang terjadi pada generasi berikutnya adalah tanggung jawab kita yang hidup di generasi sebelumnya.
Untuk kalian yang biasa mengungkapkan kebenaran meski jadi bullyan kaum mayoritas atau radikal, jangan berhenti menyebar kebaikan dan kebenaran. Jangan takut, jangan biarkan negara ini dikuasai oleh individu-individu congkak yang seenakya sendiri ingin mengubah semuanya yang telah disepakati sejak dulu. Mempelajari agama memang baik, tapi bukan justru menjadikanmu manusia yang tidak baik.
Baru kali ini saya merasakan sakit hati yang paling dalam. Mengetahui negara ini sedang diperebutkan oleh banyak kepentingan, saya kecewa, kejujuran tidak lebih bernilai dari apapun. Percayalah! Kita tidak lebih baik dari Si Bajingan Ahok. Politik murni memang bikin sakit hati, dia tidak pernah benar-benar membela keadilan. Selalu ada kepentingan setelahnya. Saya takut, setelah ini akan ada Ahok – Ahok lain yang diserang, dikerdilkan, dan akhirnya menyisakan orang-orang jahat untuk bekiprah di dunia politik.
Vonis dua tahun penjara bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa yang menuntut satu tahun penjara, hal yang langka ketika hakim justru memberatkan bukan meringankan untuk peradilan yang tak bisa membuktikan secara hukum, hanya asumsi di atas asumsi. Banyak orang mencoba membunuh Ahok, menyingkirkannya karena takut Ahok bisa menjadi gangguan bagi kaumnya.
Dengan sangat mudahnya kita digiring dengan isu dan opini yang tak jelas sangkut pautnya, isu ini merusak akal sehat. Kita perlu memahami dan berpikir jernih apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mari kita hitung, sudah berapa percobaan yang digunakkan untuk menyingkirkan Ahok? Sudah berapa kali fitnah yang dilontarkan untuk Jokowi? Harusnya kita jadi tahu siapa lawan kita sebenarnya.
Agama memang sangat sensitif, itu yang membuatnya bisa sangat mudah dibungkus dengan sesuatu yang batil. Ketegangan religius dieskploitasi untuk memenuhi tuntutan politik, memecah masyarakat berdasarkan identitas hanya untuk kemenangan elektoral saja. Negara yang majemuk ini sedang diuji. Tuhan sedang menguji kita, seberapa hebat dan kuatnya kita bisa menghadapinya. Jangan pesimis dulu, selalu ada celah. People Power adalah jawaban.
Percayalah Pak Ahok, saya pernah memperjuangkan kebenaran, melawan segala bentuk ketidakadilan, saya diancam, mental saya diuji, ditinggalkan orang-orang karena takut ikut menjadi korban. Saya ada di barisanmu, mengetahui perasaanmu saat ini. Saya sudah berusaha untuk berjuang melalui tulisan-tulisan saya, namun tetap saja ada yang tidak suka. Mereka-mereka ini selalu ada, Pak. Kita cuma perlu kuat, sabar, dan tabah. Ada saatnya yang pernah berdiri paling depan untuk mundur, diam, dan istirahat. Biarkan masyarakatmu yang melanjutkan perjuangan lewat cara-caranya sendiri. Saya menangis menulis ini. Saya yakin Tuhan sedang bersamaku saat ini. Seperti perlindungannya padamu setiap saat. Terima Kasih, Pak.   




Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, May 8, 2017

Izinkan Aku Menodai Agama(mu)


Izinkan aku menodai agamamu,
aku ingin menemani si bajingan di penjara.
Merasakan dinginnya jeruji besi
dan diskriminasi dari penghuni lain.

Izinkan aku menodai agamamu,
aku ingin melihat si bajingan menangis di balik tembok
Menyesali perbuatannya,
melihatnya kembali menjadi makhluk suci.

Izinkan aku menodai agamamu,
agar keadilan bisa dikorbankan untuk sebuah kedamaian
Kedamaian bagi segelintir orang,
yang menganggap dirinya tuhan.

Izinkan aku menodai agamaku sendiri,
aku lelah berada di antara manusia
yang mengaku beragama namun tak tahu apa-apa.

Izinkan aku menodai agamaku sendiri,
biarkan tuhan memberi hukuman padaku,
bukan hukuman dari hambanya yang sama-sama hina.

Jika pun agamaku terus dipakai
untuk menghalalkan sesuatu yang haram.

Ya Tuhan,
Izinkan aku untuk tak beragama,
meninggalkannya agar kau tak malu.

Aku bukan bagian barisan aksi itu,
aku ada di balikmu,
berlindung dan melindungi.

Jika menurutmu aku salah,
tegur aku,
jangan kau biarkan orang-orang
yang mengaku jadi dirimu menguasai semuanya.

Izinkan aku menodai agamamu, agamaku, agama kita.
Bukankah kita sudah bernoda sejak dilahirkan?


Semarang, 9 Mei 2017

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.