Saturday, May 30, 2015

RAN FLEURISTE (Episode 2)


Ran Fleuriste bagai magnet bagiku, aku hampir tidak pernah meninggalkan Ran Fleuriste barang sehari saja. Hanya sesekali meninggalkan Ran Fleuriste untuk mengunjungi ibu di Anna Paulowna. Ibu memang manusia paling berharga bagiku, dia tidak pernah membatasi anaknya untuk berkreasi ataupun memilih jalan hidup. Ibu bukan hanya sederhana, terlepas dari itu semua Ibu memang ciptaan tuhan yang paling sempurna diantara ciptaan tuhan lainnya. Apapun bahasanya, tidak akan ada mata uang yang sanggup membayar kasih seorang Ibu. Begitu hebatnya ibu membesarkanku sendiri tanpa ayah. Menghidupi keluarga kecilnya hanya dari hasil seorang petani bunga di Anna Paulowna. Meski ibu punya lahan sendiri untuk bunga-bunganya, Ibu tetap merasa rendah hati. Sebagai bentuk rasa syukurnya terhadap tuhan, Ibu meminjamkan setengah dari lahannya untuk dipakai oleh petani lain, Ibu tidak memungut uang dari lahan yang dipakai petani lain. Baginya dengan dia memberi, Ibu bisa menjadi lebih tenang dan damai. Ibu ingin diingat sebagai orang baik dan perhatian saat meninggal nanti, sungguh sangat sederhana.

Kecintaan ibu terhadap tulip menulariku. Tulip menjadi daya tarik bagi ibu setelah pertemuannya dengan Ayah. Sudah ratusan kanvas dilukis, sudah ratusan lukisan tulip yang dihasilkan, rumah penuh dengan lukisan tulip berbagai warna. Kata ibu: Motif bunga tulip sudah sejak lama dipakai dalam seni ornamen Persia dan Turki. Tulip termasuk ke dalam keluarga Liliaceae. Bunga Tulip adalah bunga nasional Irak dan Turki, orang-orang Eropa memberi nama bunga Tulip yang berasal dari bahasa Persia yang punya arti Sorban, karena bentuknya yang menyerupai sorban sebelum benar-benar mekar. Bagiku bunga tulip adalah simbol dari Kasih yang sempurna. Selama era Victoria, ketika bahasa bunga mencapai puncaknya dalam popularitas orang-orang berhak menjawab dengan mengambil bunga. Tangan kanan untuk respon positif dan tangan kiri untuk respon negatif. Aku sering mengungkapkan perasaanku dengan bunga tulip berwarna pada setiap orang yang mengenalku, seperti kakek Winskel dan Sean. Setiap warna punya arti yang berbeda. Tapi aku belum pernah sekalipun memberikan tulip warna merah selain pada ibuku, Maria. Karena bagiku tulip merah adalah simbol Kasih yang sempurna.

Di belakang Ran Fleuriste ada kebun bunga kecil-kecilan yang dikelilingi pagar kayu berwarna. Aku yang merawat bunga-bunga itu sendiri dari bibit hingga benar-benar siap dipetik, terkadang Sean juga membantuku. Kebun di belakang Ran Fleuriste juga terhubung dengan pintu belakang Queen Of Sean, toko kue milik Sean. Kami berdua sering menghabiskan waktu bersama di kebun milikku setelah kami menutup toko. Bangku dan meja kayu warna cokelat adalah tempat kami berdua ngobrol, Sean selalu membawa roti dari tokonya sedangkan aku membelikan Sean teh di Scarlet Thee, Kedai teh milik kakek Winskel. Dengan berbincang bersama Sean rasa lelah setelah bekerja seharian menjadi hilang, dia selalu menjadi penghiburku, selalu saja ada cerita menarik setiap kami ngobrol. Pernah dia menceritakan pengalamannya berhubungan intim di kamar mandi Le Cordon Bleu di sebuah malam pada bulan Januari dengan seorang Pria yang berasal dari Jepang. Sean memang gila, semasa di Universitas dia termasuk perempuan yang “Nakal”. Singkat cerita dia dan si pria Jepang kepergok oleh Mahasiswa terbaik di Le Cordon Bleu, mungkin suara rintihan Sean terdengar cukup keras. Mereka berdua dilaporkan ke Kepala jurusan. Kepala jurusan hanya tertawa, “Kalau mau begituan jangan di kamar mandi dan jangan sampai ketahuan” katanya. Setelah kejadian itu Sean tidak pernah meladeni si pria Jepang yang selalu meminta mengulang kejadian malam itu. Sean menghindari si pria Jepang “Orang Jepang tidak pandai memuaskanku” katanya. Aku tertawa. Sean, komedian terbaik yang pernah aku kenal.

Aku suka dunia menulis dan membaca, dari sana aku bisa melihat dunia dalam satu waktu. Aku mempunyai sebuah catatan sebagai lahanku menulis. Tumpukkan beberapa kertas yang aku jilid sendiri dengan kedua lubang di satu sisi buku lalu aku gabungkan dengan tali berwarna cokelat. Di catatan itu aku tidak hanya menulis keseharianku saja. Aku juga menulis semua pembeli bunga di Ran Fleuriste, semua alasan mereka membeli bunga, nama, umur dan untuk siapa mereka membeli bunga di Ran Fleuriste. Aku juga menuliskan daftar orang-orang yang layak menjadi panutanku, seperti tokoh-tokoh dunia dan tentunya ibu juga ayah. Kalimat-kalimat bijak dari mereka selalu aku tulis dan berulang-ulang aku baca untuk menyemangati diriku. Aku sering membawa catatanku kemanapun aku pergi, mencatat setiap kejadian yang ada, istilah-istilah baru yang belum pernah aku ketahui. Aku wanita yang pelupa, catatan ini juga menjadi mediaku untuk mengingat sebuah janji yang aku buat atau yang orang lain buat bersamaku. Bagiku menulis juga caraku berbicara ketika perkataan dari mulutku susah diutarakan ataupun ketika perkataanku tidak didengarkan orang-orang. Menulis membuatku menjadi lebih hidup. Ada kepuasan batin dan rasa tenang ketika aku selesai menulis sebuah cerita ataupun curhatan dan keluhan dalam satu hari, dan setidaknya ada pekerjaan lain selain mengurus Ran Fleuriste dan berkebun.

Aku mencintai mereka yang suka membaca buku. Aku berbeda pandangan dengan wanita-wanita lain soal pria yang baik. Disaat para wanita menggilai pria yang hobi bermain basket, seorang personel band ataupun pria yang bertubuh kekar. Aku berbeda dengan mereka. Aku lebih menyukai pria kutu buku, pria yang menggunakkan waktunya dengan baik seperti membaca buku atau menulis, bukan dugem ataupun bercumbu di taman vondelpark. Bagiku membaca adalah bentuk kecintaan kita terhadapa pencipta, karena dari membaca kita juga bisa lebih mengetahui keagungan tuhan. Aku belum menemukan pria yang seperti itu. Banyak pria yang hanya mengejar popularitas ataupun materi tanpa mengejar kecerdasan dan jati dirinya sebagai manusia. Padahal hidup semata-mata bukan karena uang melainkan karena hati dan jiwa kita yang menuntut untuk bisa menjadi apa yang diinginkan tuhan dan orang-orang banyak. Intinya aku belum pernah menemukan pria kutu buku dan suka menulis. Aku merindukan sosok pria seperti itu.

Aku masih menunggu truk dari Anna Paulowna datang. Truk yang membawa stok untuk keperluan toko bungaku, seperti bibit, pupuk dan buket. Tidak biasanya truk besar itu datang terlambat. Sean mempertanyakan keterlambatan truk itu padaku. “Aku nggak tahu, Sean. Semoga nggak ada apa-apa, ya.” Kataku.


(Bersambung)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, May 28, 2015

RAN FLEURISTE (Episode 1)


Pagi ini sisa hujan menutupi pandanganku, perlahan berubah jadi remah-remah embun yang menyelimuti kaca toko bunga milikku, menghalangi mereka melihat jajaran vas bunga yang tersusun rapi. Malam tadi hujan sangat deras. Tidak ada bintang, tidak ada kenangan yang pantas untuk diingat. Udara dingin masih saja menyetubuhiku sejak malam tadi, masuk melalui celah-celah jendela dan pintu ditempat ini. Tempat mengenang, tempat untuk melihat orang-orang yang datang dengan kecemasan, kecintaan dan keputusasaan.

Banyak perempuan bertubuh molek yang mendatangi tokoku hanya sekedar bertanya apa arti nama toko bungaku, Ran Fleuriste. Fleuriste nama yang sangat sederhana diambil dari bahasa Prancis yang punya arti: toko bunga, dan Ran?. Ah, mereka lupa bahwa Ran adalah Ranum, tiga huruf yang cukup mewakili namaku. Mereka yang muda dan masih perawan hanya datang untuk memuji keindahan bunga-bunga yang tersusun rapi dengan Vas bunga yang mayoritas berwarna putih, warna kesukaanku. Hanya orang-orang yang benar-benar mencintai keindahan yang membeli bunga di tokoku. Keindahan yang mampu merubah raut wajah mereka setiap aku menjelaskan filosofi dari bunga-bunga yang ada di Ran Fleuriste. Menghilangkan kepenatan mereka, masalah rumah tangga antara sepasang suami istri ataupun sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta.

Dari sudut tempatku berdiri. Aku bisa melihat anak-anak ceria memainkan bola-bola kecil di Vondelpark, seorang kakek yang duduk dengan topi layaknya penyanyi jazz, gelisah menunggu bus kota datang. Beberapa nenek yang mondar-mandir di atas jajaran batu yang disusun rapi, yang diyakini bisa memperpanjang usia. Para pemuda yang bersepeda memutari taman kota dengan earphone yang selalu menempel di telinga. Vondelpark adalah taman kota paling terkenal dan paling luas di Amsterdam, luasnya mencapai 47 hektar. Taman dengan ciri khas bertuliskan I Amsterdam yang menjadi daya tarik turis-turis lokal ataupun mancanegara.

Aku masih sibuk membersihkan kaca tokoku, merapikan bunga yang berantakkan akibat sapuan angin malam tadi. Ran Fleuriste masih belum dibuka, aku masih menunggu stock bunga baru yang datang dari Anna Paulowna, sebuah gemeente Belanda yang terletak di provinsi Noord Holland. Anna Paulowna adalah sawah bunga tulip terbesar di Belanda tempat berkumpulnya para petani bunga dan bunga-bunga yang indah.

Toko kue milik Sean, sahabatku, juga belum dibuka, toko Sean ada diantara Ran Fleuriste dan ruko yang masih kosong sejak ditinggal dua tahun lalu oleh pemiliknya, penjual aksesories khas belanda yang pindah ke Prancis setelah menikah dengan suster cantik yang sering mendatangi tokonya. Kakek Winskel baru saja datang membuka pintu kedai teh bersama seorang pelayan kedai yang mulai merapikan kursi-kursi kayu yang ada di depan kedai teh kakek Winskel. Kakek Winskel tersenyum, senyuman khas yang selalu ada setiap pagi, senyum harapan yang selalu membekas dalam ingatanku mataku berbinar membalas senyumanya, kakek tua renta yang masih semangat bekerja disaat kakek-kakek lain lebih memilih duduk di kursi goyang yang ada di balkon rumah, bercengkraman dengan cucu-cucu mereka yang imut dan menggemaskan. Kedai teh kakek Winskel berada persis disamping Ran Fleuirste.

Seperti biasa aku selalu memberikan kakek Winskel setangkai bunga tulip berwarna putih sebagai bentuk untuk menyemangati hari-harinya. Kakek Winskel selalu menerimanya dengan ramah lalu meletakkannya pada vas kaca yang diletakkan di meja pemesanan teh. Kakek Winskel berumur 70 tahun, hidupnya sepenuhnya diberikan untuk kecintaannya terhadap teh. Sudah hampir seluruh penjuru dunia dia arungi hanya untuk mencari teh dengan citrarasa luar biasa. Negara penghasil teh terbaik seperti Jepang, China dan Sri Lanka sudah pernah dia datangi bersama istrinya. Sayang, perjalanan Kakek Winskel berhenti di Tibet, tempat asal Po Cha. Istrinya meninggal di Lhasa, Ibu Kota Tibet. Istri Kakek Winskel mengidap penyakit jantung sejak usia 40 tahun. Sejak kejadian itu Kakek Winskel membuka Kedai teh yang diberi nama Scarlet Thee untuk mengenang mendiang istrinya, Scarlet.

Sean, sahabat masa kecilku. Perempuan tomboy yang sangat menyukai Queen, Band Rock asal Inggris. Setiap pagi dia selalu memutar lagu Bohemian Rhapsody sangat keras sembari merapikan toko kuenya yang terkesan berantakkan. Dia tidak pernah peduli dengan interior yang ada di tokonya. Meski aku menganggap tokonya berantakkan. Tapi, Kue yang dibuat Sean adalah kue paling enak di Amsterdam. Toko kue dengan Nama Queen of Sean. Tokonya tidak pernah sepi. Kuenya selalu habis terjual saat Open Lucht Theater berlangsung. Sebuah pertunjukan seni. Baik konser musik, pagelaran teater, atau tarian yang diadakan di Vondelpark juga ketika Vrijmarkt dibuka. Pasar yang dibuka untuk memperingati kelahiran Raja / Ratu Belanda. Sean tidak pernah peduli dengan penampilannya, celana jeans ketat yang dipenuhi dengan tambalan kain bergambar Queen. Baju hitam tanpa lengan yang juga bergambar band Queen menjadi seragam sehari-harinya. Sangat tidak pantas untuk menggambarkan seorang penjual kue. Dia pernah bilang padaku bahwa dia punya dua lusin seragam yang serupa tapi, aku tidak pernah percaya. 

Aku dan Sean satu Universitas di Prancis, Le Cordon Bleu namanya. Le Cordon Bleu adalah institusi pendidikan keramahtamahan terbesar di dunia, dengan lebih dari 22.000 murid dan ada di 20 negara. Institusi ini hanya mengajarkan manajemen keramahtamahan dan seni kuliner. Tapi, sayang Sean tidak menyelesaikan studinya di Le Cordon Bleu, dia memilih pergi ke Belanda meneruskan menjadi penjual kue yang sebelumnya dikerjakan ibunya. Ibunya meninggal tiga tahun lalu akibat kecelakaan mobil. Ayahnya minggat, entah kemana. Sean wanita yang sangat rapuh, penyendiri. Hanya denganku dia bisa berubah jadi gila dan kekanak-kanakan. Dulu Sean sering ditinggal pacarnya karena tidak kuat meladeni sikap Sean yang bahkan melebihi seorang laki-laki. Mantan-mantan Sean pada akhirnya pergi menjauh karena jijik melihat tampilan Sean yang tomboy. Kini Sean tak pernah lagi percaya terhadap laki-laki, dia antipati. Baginya semua laki-laki adalah bajingan yang terpaksa diciptakan tuhan untuk menjadi pasangan hidup para wanita kesepian yang ada di muka bumi, termasuk ayahnya. Wanita malang yang terkadang dia juga galau saat teringat mantan-mantannya ketika di Le Cordon Bleu, sungguh perempuan aneh. Aku iri dengan Sean, mantannya lebih dari selusin. Beda denganku yang sampai hari ini belum pernah merasakan kasih dari seorang pria.

Namaku berasal dari bahasa Skandinavia, yang punya makna: Rumah. Aku wanita yang mencintai kedamaian dan kesendirian. Berbeda dengan Sean yang punya tampilan layaknya preman. Aku tampil cukup feminim dengan celemek putih bergambar bunga tulip yang menjadi ciri khas-ku setiap bekerja. Jeans hitam, baju putih lengan pendek dan sepatu kets adalah style-ku. Aku punya banyak sepatu kets beragam warna. Hari Senin ini adalah jadwalku memakai sepatu kets warna merah pemberian Sean sebagai kado ulang tahunku yang ke 22.

Ibuku seorang petani tulip di Anna Paulowna, Namanya Maria. Ibuku juga seorang pelukis amatir. Hanya bunga tulip yang selalu dia lukis. Bunga yang mempertemukannya dengan ayahku. Seorang prajurit tentara yang tegas, berwibawa juga sangat sederhana. Ayah memberikan bunga tulip warna putih untuk melamar ibu. Hanya setangkai, itupun ayah memetik dari kebun bunga milik orang lain. Ayahku bernama Thomson, selama hidupku aku belum pernah sekalipun melihat wajah ayah. Ibu bilang ayah meninggal saat pejalanan menuju rumah sakit tempat aku dilahirkan. Mobilnya remuk dihantam kereta yang melintas. Mobilnya tidak bisa bergerak tertahan ditengah rel. Ayah mencoba keluar namun tidak bisa, medan magnet dari kereta itu sangat kuat. Ayah mencoba memecahkan kaca depan mobil, tapi semua terlambat. Kereta itu terlanjur menabrak mobil yang dikendarai ayah. Aku memang berbeda, aku terlahir tanpa seorang ayah.


(Bersambung)

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, May 27, 2015

SIAPA SOPHIE?


Siapa Sophie?. Semua orang pasti punya cara untuk menggambarkan sosok yang dia kagumi. Sama seperti Romeo yang pada intinya mati bersama Juliet. Meskipun banyak cerita yang mengisahkan Romeo dan Juliet. Tanpa sadar analisis kita terbagi. Sebenarnya bagaimana kisah akhir seorang Romeo dan Juliet?. Mengacu pada kisah Romeo and Julia karya William Shakespeare. Mereka adalah pasangan mempelai muda yang keluarganya saling bermusuhan,  Romeo and Julia merupakan salah satu karya Shakespeare yang paling terkenal, salah satu karyanya yang paling sering dipentaskan selain Hamlet dan Macbeth. Cerita Romeo and Julia dibuat berdasarkan cerita di Italia, yang diubah menjadi sajak dalam The Tragical History of Romeus and Juliet oleh Arthur Brooke tahun 1562, dan diceritakan kembali dalam bentuk prosa pada Palace of Pleasure karya William Painter tahun 1582. Shakespeare meminjam ide dari keduanya, tetapi lebih mengembangkan karakter pendukung, terutama Mercutio dan Paris, untuk memperluas jalan cerita. Ditulis antara tahun 1591 hingga 1595, Romeo, dan Julia pertama kali dipentaskan tahun 1597.

Romeo and Julia adalah contoh bagaimana seorang pria yang memperjuangkan wanita yang dia kagumi, ribuan tembok ditubruk ratusan bom waktu meledak, sungai-sungai menjadi kering karena kegilaan seorang Romeo terhadap Julia atau yang lebih kita kenal sebagai Juliet.

Kembali lagi pada kisah Sophie. Wanita tangguh yang mencintai karier dan kecerdasan. Aku kagum dibuatnya, setiap cerita yang keluar dari bibirnya aku rekam. Diam-diam aku meletakkan handphone diatas meja ketika kami berbincang lalu merekan semua pembicaraan dari setiap kalimat yang keluar. Licik memang, dari hal itu dia selalu memberikanku ide di setiap tulisan yang aku buat. Menghidupkan tuts-tuts keyboard yang bahkan seperti magnet. Tak ingin ditinggalkan. Pablo Picasso pernah bilang: “Semua karya seni adalah hasil curian”. Kiranya itu yang dapat aku gambarkan, aku mencuri pemikirannya, idealismenya , integritas seorang wanita yang aneh tapi tetap pada koridor seorang wanita. Sophie adalah nama fiktif atau bukan nama sebenarnya. Awalnya seperti awan, aku hanya bisa melihatnya dari bawah tidak bisa menyentuh bahkan memegang. Tapi sejauh mata memandang aku tahu bahwa awan selalu ada disana, ditempat khusus yang tuhan ciptakan. Antara langit biru dan lautan lepas. Perlu dicatat aku tidak mencintainya, aku hanya mengagumi pemikirannya, idealismenya juga integritasnya. Untuk mencintai nampaknya aku belum siap. Ada guratan yang membuatku berpikir dua kali untuk melangkah ke kalimat itu. Dia mengajarkanku untuk cuek, cool, diam tapi menganalisis setiap kejadian yang ada. Tanpa arti, tanpa makna, tanpa perjuangan sekali tembak semua kena. Mati, sekarat ataupun lumpuh. Wanita Hebat yang selalu mengeluh bahwa menjadi Extrovert atau Extraversion berarti menjadi beda dan beda selalu berkonotasi negatif. Bagiku  dia sama sekali bukan Extrovert dia Ambievert atau seimbang dia punya keduanya. Anggun saat sendiri, aktif saat bersama orang yang nyaman untuk dapat bertukar pikiran. Aku banyak mengetahui tentang dia. Dia satu-satunya orang yang aku ceritakan tentang sebuah drama yang (sengaja) aku ciptakan, meskipun sepertinya dia tidak suka pria yang terlalu banyak drama. Itu menyakitkan bagiku, seperti ditampar ratusan minion. Aku selalu membaca tulisannya, hampir setiap hari, hampir setiap bangun tidur ataupun sebelum tidur. Tulisannya sangat inspiratif, kami yakin bahwa esensi dari hidup adalah saling memotivasi dan menginspirasi.

Dia adalah seorang yang sangat jarang berlibur, keluar rumah hanya sebatas kebutuhan atau mengunjungi saudara. Wanita yang sangat mencintai ibunya dan perjuangan ayahnya dalam menghidupi keluarga. Oh, sempurna sekali untuk wanita malang yang sangat menikmati kesakitan yang terlalu lama mengendap dalam jiwa berlumur darah. Wanita yang mencatat baik-baik janji tuhan : “Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuannya”. Dia meyakini bahwa Tuhan sayang terhadap hambanya, dan Tuhan itu maha pemurah, terutama bagi hambanya yang meminta. Dulu, dia hampir tidak pernah meminta masa depan disetiap doa-doanya. Namun belakangan dia berubah pikiran untuk meminta semuanya secara mendetail. Mulai dari gelar magister yang sangat ingin dia capai untuk membahagiakan seorang ibu yang selalu bangun pagi, bahkan sebelum ayam-ayam berkokok untuk berusaha menyediakan sarapan sempurna diatas meja sebelum dia berangkat sekolah.

Mimpinya sangat sederhana, hidup bersama pria yang sangat dia cintai, mempunyai keluarga kecil, anak jagoan seperti Captai America, Mungkin. Membayangkan dirinya ada bersama seseorang yang bagi saya masih menjadi pertanyaan yang berurat---berakar dalam pikiran saya, berdiri dan mengarungi dunia bersama, memberi arti bahwa hidupnya seluruhnya untuk orang-orang yang dia kasihi. Dia selalu menganggap dirinya adalah turis bukan traveler. liburan  baginya hanya untuk merefresh pikiran, sedikit melonggarkan aktivitas, pergi dari kejenuhan. Dia sama denganku mengenal dirinya lewat media tulis. Membaca dan menulis. Meskipun dia sangat selektif untuk sebuah bacaan, benar-benar mefilter, mungkin agar pemikirannya tidak terlalu banyak dipengaruhi.

Sejauh yang saya ketahui, keluarganya adalah keluarga sederhana, bagi keluarganya kelebihan adalah ketika orang-orang pandai bersykur, Wanita yang mendapatakan pembelajaran dari bapak yang punya ketegasan untuk selalu bekerja keras. Aku ingat dengan kalimat ini  “Jangan berpikir bahwa hidupmu tidak menarik. Fokus kepada hal kecil yang kamu sukai dan buatlah hidupmu menarik.”. Mungkin dia tidak ingat bahwa kalimat itu pernah terlontar ketika kita berbincang. Dia mencintai dan mengagumi banyak tokoh dunia, berbeda dengan perempuan lain yang mencintai korea, boyband ataupun pria tampan. Hidupnya termotivasi dari tokoh-tokoh yang dia pelajari bahkan dia rela membeli buku tokoh tersebut untuk sekedar mengenal lebih dekat. Dia memilikki insting yang kuat bagaimana sebuah buku menjadi menarik dan bagus untuk dibaca. Wanita yang sama denganku, suka ke toko buku. Wanita yang punya ambisi gila dan mimpi yang bahkan bisa membuat orang-orang minder juga tergeletak lemas. Toilet selalu jadi teman berpikirnya meskipun dia tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan dalam satu bilik toilet. Aku kaget aku tidak bilang itu hal yang jorok, pengakuan yang sama baru saja keluar dari mulutnya karena sesekali aku juga sering ke toilet untuk mendpatkan ide sembari melakukan hal yang wajar dilakukan di toilet.

Dia tidak takut atas mimpinya yang tinggi, karena baginya jika mimpi itu tidak terwujud setidaknya dia pernah mencapai ketinggian yang tidak disentuh orang-orang. Aku pernah (sengaja) menawarkan sebuah buku padanya. Lalu dia meminjam. Setahun lebih dia meminjamnya. Aku sengaja tidak menagih buku itu. Aku yakin dia akan tumbuh menjadi penulis imaji yang hebat atas prinsipnya yang berhasil menulariku.

Bagiku ini adil, wanita sepertinya bebas memilih pria yang pantas untuk hidupnya, tak perlu memasang standard atau tipe seperti kebanyakan perempuan. Aku menjadikan tulisannya sebagai refrensiku untuk menulis selain tokoh-tokoh lain atau bapakku sendiri. Aku belajar banyak dari dia. Banyak tulisanku yang hidup dan terinspirasi darinya. Seperti: “Malam Bersama Sophie”, “Maaf, Sophie”, “Senja Bersama Sophie”, “Sophie, bawa aku mati” dan  “Dongeng dari Keukenhof”.


Kini, aku dihadapkan pada satu tembok besar dan pintu besi. Hanya ada dua pilihan, Kembali atau menunggu agar pintu besi terbuka, serta ada tangga yang bisa membuatku memanjat tembok tinggi itu dan melihat siapa yang ada dibaliknya. Pria istimewa yang selalu membuatnya bahagia dengan cara yang sederhana. Harusnya dia tak pernah sedih lagi. Meskipun akhir-akhir ini aku mulai mengetahui siapa laki-laki istimewa dibalik semua tulisannya. Tapi, Aku tidak yakin atas intuisiku.. 

Aku masih ingin terus mencuri pemikiranya, idealismenya dan integritasnya. Dengan batas yang tak saling dilanggar dan saling dihormati. Sophie, Wanita gila yang tidak menyukai batu akik.. Pissss! 
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, May 25, 2015

DONGENG DARI KEUKENHOF


Seekor merpati terbang melintasi Taman Bunga Keukenhof ketika mataku tertumbuk pada seekor kelinci berwarna putih yang mondar-mandir didepanku, menghalangiku untuk melihat jajaran bunga warna-warni yang tertata rapi dan membentuk pola lingkaran yang bercabang. Tak biasanya merpati terbang melintasi Keukenhof yang terletak diantara kota Hillegom dan Lisse. Situasi ini langka, apalagi Keukenhof hanya dibuka setahun sekali pada minggu terakhir bulan Maret hingga pertengahan bulan Mei. Keukenhof bagai magnet untukku, aku seperti dibangunkan oleh malaikat. Tarikan itu membawaku hingga ke Duin en Bollenstreek. Daerah sejuk dan tenang yang mengelilingi Keukenhof. Orang-orang berkeliling mengitari jalan setapak sejauh 15 kilometer untuk melihat lebih dari tujuh juta bunga Tulip, Daffodil dan Hyacints tapi tidak denganku, aku memilih duduk di bangku kayu berwarna putih dekat kumpulan tulip berwarna putih. Merpati itu masih saja terbang diatasku berputar-putar seperti orang yang mabuk. Seperti ada pesan yang hendak ia sampaikan. Kelinci putih itu juga masih terus mondar-mandir didepanku membuat kesan nyaman jadi sedikit hilang. Tema taman Keukenhof tahun ini adalah United Kingdom – Land of Great Gardens. Kombinasi bunga-bunga yang membentuk mozaik Big Ben dan Tower Bridge khas London tempat yang juga ingin aku kunjungi selain Amsterdam.

Fashion memang berubah setiap enam bulan sekali, tapi ada satu hal yang tetap sama: AKU, gadis beralis hitam dan berkumis tipis dengan sejuta mimpi untuk mengubah dunia dari Eropa. Tempat yang membuatku jatuh cinta dengan kultur dan budayanya, Aku jatuh cinta pada mereka yang hidup tenang dan tidak terduga. Diam dalam balutan kain putih yang bersih, sangat bersih. Hidup tanpa dosa karena tak pernah sekalipun mengurusi hidup orang lain. Stabil atau mungkin Stagnan. Siang ini aku menemukan keanehan di langit Keukenhof, seperti ada garis horizontal lurus yang tak jelas dimana ujungnya aku melongo benar-benar tak percaya. Pria itu mengejarku, mengikutiku hingga sejauh ini. Jarak dari Manhattan ke Amsterdam sangat jauh butuh berjam-jam naik pesawat. Dia berdiri di Paviliun Oranje Nassau yang memamerkan koleksi beragam bunga tulip. Aku menutupi wajahku dengan guidebook yang aku bawa. Hampir tak percaya, aku meraih handphoneku untuk memastikan bahwa itu memang dia. Hanya satu dering sebelum dia mengambil handphonenya di saku kiri celana jeans warna biru dongker. Dahinya mengkerut, beberapa detik dia melihat layar handphonenya lalu memasukkan kembali ke saku kirinya. Aku  menelponya dengan nomor yang tidak dia kenal, hanya untuk memastikan.

Merpati dan kelinci itu semakin gila dengan gerak-geriknya saat pria itu berjalan menuju kearahku, membawa bunga tulip berwarna putih ditangan kanannya. Terakhir aku bertemunya di Tropea Beach, Italia. Bercerita bahwa dia telah menceraikan istrinya untukku, matanya berbinar “Akhirnya aku menemukan orang yang benar-benar kucintai” katanya. Setalah kejadian itu, aku hidup denganya selama tujuh tahun lalu putus. Sesudah itu aku hampir tak pernah bertemu dia, meskipun dia sering menuliskan surat yang tak pernah aku balas. Pernah dia menulis surat bahwa dia putus dengan salah seorang pacarnya di hari Valentine, dia memutuskan pacarnya hanya karena gaun yang dipakai tidak dia sukai. Lalu pria itu menamparnya, mengusirnya, memaki. Dia bilang, dia masih mengingatku dan masih mencintaiku.

Aku tergoda untuk menjelaskan pemahamanku tentang cinta. Tapi batal, tidak ada gunanya membahas hal itu dengan pria yang tak pernah mengerti esensi dari berjuang atas nama cinta. Yang dia tahu hanya Cinta = Sayang. Padahal cinta lebih dari dua kata itu. Aku mengamatinya baik-baik seperti seorang ilmuwan yang mengamati kuman di bawah mikroskop. Tiba-tiba ia menangkap mataku yang tak sempat mengelak. Memoriku bekerja keras mengaduk tumpukan imaji dalam kepala. Bukan karena pria itu . Tapi karena Laki-laki yang mencintaiku dalam diam, dalam bias tak menentu, mengorbankan wanita demi orang yang dia cinta. AKU.

Dia menghampiriku. Apakah dia tak tahu? Bahwa aku adalah wanita yang pernah menjalin rasa denganya selama tujuh tahun?. Dia membuatku gemas, sebal. Dia tak takut mati, dia menggodaku. Aku tak bisa mengelak. Pembual. Merpati dan kelinci itu tiba-tiba menghilang, menjauhiku. Merpati terbang bersama merpati lainnya. Kelinci itu bersembunyi diantara bunga-bunga di Keukenhof. Dia benar-benar tak mengingatku lagi, aku bersyukur. Wajahnya mesum, seperti pria yang baru saja selesai memperkosa wanita di toilet umum, baju dan rambutnya berantakan. Meski matanya berbinar. Mata seorang pembual.

Dia mengambil batang rokok di saku bajunya, menyalakan korek kayu yang terus saja mati akibat angin dingin di Keukenhof. Sebatang rokok terselip di bibirnya, menatapku seolah minta izin. Aku mengangguk tanpa pikir lalu pergi. Aku tak suka asap rokok.

Diantara bunga-bunga
Aku merenung
Menunggu pria yang menangis dalam diam
Pria yang aku anggap tukang bohong

…………………….



Laki-laki itu memukul meja kuat-kuat, mukanya merah padam, suaranya penuh rasa amarah. Dia membenci dirinya sendiri. Pengakuan terlarang terlanjur keluar dari bibirnya. Wanita yang ada di Keukenhof penyebabnya. Dia memandangi dinding kamar yang mulai samar-samar matanya diselimuti air mata yang bertahan dalam angan berselimut lara. Meski sekarang semua sudah terlanjur laki-laki itu meyakini bahwa wanita di Keukenhof itu menghidupkan jiwanya. Menghidupkan semua perasaan yang terlalu lama mengendap. Laki-laki itu menangis, membasuh lukanya dengan air mengalir. Otak laki-laki itu beku dia baru saja menerima kenyataan yang tak sejalan dengan semua aturannya. Laranya tak berbalas, kesendiriannya menjadi bumerang, meski dia tak mengharap balasan dan pengakuan. Dia merasa nyaman karena sudah mengungkapkan pengakuan yang terlalu lama dia tanam di hatinya yang paling dalam. Laki-laki itu paham Penyesalan adalah Hak Sang Waktu. Wanita itu kini mengetahui sangat jelas Keukenhof adalah tempat yang cocok untuk menjauh dari laki-laki gila yang membawanya di situasi yang tak menentu. Wanita itu menunggunya di Keukenhof, taman bunga terbesar di dunia. Menembus waktu yang tak lagi bergerak. Laki-laki itu ingin terus memandangi matanya, senyumnya, auranya yang mampu membuatnya berpikir dua kali untuk pergi dan mencintai wanita lain. Laki-laki itu sekarang penuh luka, malang. Yang bisa dia lakukan hanya menghidupkan Wanita itu di setiap tulisannya. Laki-laki aneh yang menggilai perjuangan. Wanita aneh dengan sejuta kegilaannya terhadap Eropa dan Keukenhof. Dapatkah tuhan menyatukan mereka? Sepasang manusia yang tak saling mencari namun saling menemukan. Indah sekali bagai hamparan bunga di Keukenhof.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, May 24, 2015

SOPHIE, BAWA AKU MATI


Berdiri aku di satu tempat yang membuatku bosan, sangat bosan dan tidak bahagia. Aku menginginkan rasa tenang, sunyi, kesendirian yang membuatku tidak bisa bertanya, “sedang dimana aku?”. Aku tidak menemukannya ditempat ini. Negara tempat kelahiranku, Indonesia. Pesona negeri ini belum bisa mencuri keinginanku untuk mengarungi setiap lautan, gunung dan keindahan alam yang membuat orang-orang terpukau. Perasaan ini beda, ada medan magnet kuat yang lebih gila menarikku pada satu dimensi yang lebih luas, lebih tenang untukku merasakan rasa sakit yang sudah lama mengendap. Pesonaku terhadap negeri ini hanya sebatas pengetahuanku bahwa di negeri inilah aku dilahirkan.

Aku tidak merasakan ketenangan di negeri indah ini, terlalu banyak orang-orang “sakit” di negeri ini. Mulai dari sekumpulan manusia bodoh yang menamai dirinya politikus hingga penegak hukum yang tidak punya integritas dan loyalitas terhadap pekerjaannya. Aku tidak menyukai senyum-senyum palsu yang membuatku risih, membuatku semakin ingin pergi dari tempat ini. Tempat dimana aku bisa merasakan dan menikmati kesendirianku, merasakan udara yang tidak dicampuri udara kotor dari polusi kendaraan yang penuh sesak di jalanan.

Hanya satu hal yang aku cintai dari negeri yang indah ini. Pria itu, pria dengan sejuta pertanyaan yang masih menggantung di pikiranku. Menggantung seperti jeruk yang siap dipetik. Pria penuh kesederhanaan yang aku anggap itu adalah harta yang paling berharga yang harus dimilikki orang-orang. Kesederhanaan yang tidak biasa, tidak dimilikki orang-orang. Apa yg bisa aku lihat adalah apa yg telah dia lihat, dan lebih luas dari yang aku lihat. Kesederhanaanya dalm menatapku, tersenyum, bersalaman. Matanya seperti garis imajiner lurus yang berkontur, berpolakan seribu misteri yang membuatku tidak ingin beranjak dari tempat duduk ini. Tempat dimana aku ingin membawanya bersama semua kelembutan dan kehangatan yang ia tanamkan. Aku duduk merenung, menunggu dia datang sendiri, menghampiriku dan bukan aku yang menjemputnya. Bukan seperti ibu yang menjemput anaknya sepulang sekolah. Namun, seperti ayam yang tahu kemana dia harus pergi ketika senja tiba.

…………………….

Aku memandangi namanya, di gelas plastik berukuran grande yang telah habis diminumnya. Mungkin itu minuman kesukaannya, aku tak tahu persis apa nama minuman itu. Namanya begitu cantik, seperti taman bunga yang dirawat dalam satu kebun. Warna-warni yang memanjakan mataku. Memainkan senyumku yang tak lagi memilikki, tak lagi merindu, yang tak sempat bersentuhan. Sekalipun itu bersalaman panjang, sepanjang garis pantai Chile. Dalam kesendirianku, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sosoknya. Dia tidak sendiri, dia bersama pria yang aku kenal persis. Dari sorot matanya aku tahu pria itu mencintai wanita yang duduk didepannya. Gerak-gerik pria itu sangat kentara, senyumannya melebar, selebar batas jarak yang diputus air terjun Niagara. Memutus antara Amerika dan Kanada.

Aku pernah melihatnya di bangku berwarna putih di Pantai Azur. Pantai di kota Cannes. Membaca sebuah buku otobiografi tokoh dunia. Tokoh panutannya, si botak dengan kegilaannya terhadap teknologi terbarukan. Aku terus memandanginya, masih memandanginya. Seperti duduk pada satu meja bersamanya, meja kayu dengan pola berantakkan dan kursi yang tingginya menyentuh lenganku. Gelas-gelas kaca pecah. Gambaran tepat ketika aku melihatnya bersandar pada pundak seorang pria. Pria beruntung, bermata sipit dengan kumis tipis yang mengganggu dan mengurangi auranya. Aku tidak lebih beruntung, sesekali dia tak menatapku mengalihkan pandangan atau mungkin dalam hati berkata “Kamu bajingan, kamu tai”, entahlah.


Di tempat lain, sebenarnya aku benci atas kesendirianku yang aku ciptakan sendiri. Segalanya jadi tanpa arti ketika aku menceritakan semuanya. Cerita dibalik alasan bahwa sebenarnya dialah tokoh utama dalam drama yang aku ciptakan. Dia seperti paham tapi belagak diam dan tidak tahu. Aku yakin dia tahu, lukisan dibelakangnya merekam semua situasi yang aku ciptakan. Pun juga tiga lampu kuning yang ada diatasnya. Meski wanita-wanita bertubuh molek lalu-lalang dengan dandanan menor, pantat yang kencang dan sesekali berada disampingku, mengganggu situasi yang aku ciptakan. Tapi tidak!! Bukan itu yang mencuriku. Aku merasakan sosok didepanku ini hidup dalam setiap cerita yang aku buat. Hanya saja aku tidak ingin berharap lebih jauh lagi meski sudah ribuan tembok aku tubruk, ratusan bom waktu yang meledak. Perjuangan yang tidak sia-sia meskipun garis finish hanya berjarak 1cm dari ujung kakiku. Aku ingin terus bersamanya, memilikki pemikirannya, idealismenya, integritasnya dan pesonanya sebagai seorang penulis yang tak pernah berhenti membuat dada ini sesak, membuat seluruh cairan pada mataku menyelimuti kornea lalu jatuh diantara semua pengharapan yang tak akan jadi kenyataan. Dia benar-benar ada, disekitarku. Aku merasakan kehangatannya menyelimutiku. Sophie aku harap kau tidak marah. Bawa aku mati jika kau sadar akan hal ini.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

SENJA BERSAMA SOPHIE


Sophie, aku melewatkan masa
Masa saat kau mengingatku
Masa dimana kau menyimpan namaku di sudut jiwamu
Maaf, aku tak melihatmu
Masih tersimpan sedih saat kau tak ada
Aku merasakan sentuhanmu
Sentuhan paling gila yang pernah aku rasakan
Sentuhan yang belum pernah aku rasakan
Bukan tanganmu
Bukan matamu
Bukan juga jiwa yang berbalut kesederhanaan
Tapi, hati yang lembut seperti pelangi yang datang setelah hujan
Aku butuh hujan untuk melihatnya

Jangan berhenti mengingatku
Jangan berhenti menungguku
Jangan berhenti melewatkan senja bersamaku
Meski kau tak disampingku
Kabut-kabut itu berubah jadi rindu
Langit senja tak lagi sama
Hilang bersama janji yang berubah jadi rindu

Awan jingga sesak dalam jiwa
Mataharimu hampir habis
Meninggalkan rindu bersama kesendirian
Gelap, sesak di dada
Langitku terasa sendu
Membayangkanmu menjauh
Tapi, biarkan cintamu diam dalam rindu
Bertahan dalam langit-langit biru

Tenang, bersama senja ini
Aku menyimpan rasa ini sendiri
Aku tahu dihati selalu ada dirimu

Menemani sepiku bersama senja yang berubah jadi rindu
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, May 22, 2015

ARTHUR (Final Episode)


Jas yang dipakai Arthur sangat pas, tanpa dasi menambah kesan menarik untuk Arthur. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan Prof. Uru. Satu penjaga yang memakai jas sama persis dengan Arthur berada dibalik pintu itu, Prof. Uru mengenalkannya pada Arthur. Penjaga itu membawakan kacamata hitam untuk Arthur, dia yang akan menemani Arthur untuk menyelesaikan misi yang Arthur rancang sendiri. Memang sudah terlalu banyak orang jahat di Balai Kota, tapi tidak sedikit yang memilih untuk membelot. Penjaga itu buktinya. Bibi Ana dan tentunya Prof. Uru.

-09.19-

Arthur membawa semua perlengkapan yang dibelinya dari pasar gelap di lepas pantai Nanoi. Kecuali pisau Gurkha Nepal barang itu terlalu berat dan besar untuk dibawanya, Arthur meninggalkannya diruangan Prof.Uru. Keluar lalu mengatur frekuensi dan volume Handie Talkie yang dibawanya. Prof. Uru mengunci pintunya. Arthur memakai kacamata hitam setelah dia selesai mengatur Handie Talkie miliknya. Sasaran pertama Arthur belum juga terlihat, Askar Kecha. Malaikat pencabut nyawa Witson. Wali Kota yang dicintai rakyatnya. Sejauh ini belum ada kecurigaan dari siapa pun. Ini membuat Arthur tenang, setidaknya pertumpahan darah bisa dicegah. Arthur tidak ingin membunuh orang-orang yang tidak berdosa, dia hanya mencari orang dibalik kematian Ayahnya.

Penjaga itu memberikan isyarat pada Arthur untuk berjalan perlahan, kini mereka sudah sampai di markas prajurit dan polisi kota, letaknya masih satu komplek dan tidak jauh dari Balai Kota. Suasana ramai, gaduh akan membuat percakapan jadi tidak terdengar jika diucapkan pelan. Arthur menerima ajakan penjaga itu untuk berbaur dengan polisi kota dan prajurit yang lain. Meskipun Arthur tidak mengenal satupun diantara mereka, setidaknya pakaian dan kacamata hitam yang dipakai Arthur berhasil membuat mereka tidak curiga. Terdengar suara mesin jet yang menderu dimana-mana, latihan gabungan rutin baru saja selesai. Arthur menunggu, penjaga itu mengarah ke sebuah lorong, mengamatai sekitar lalu berbalik arah menuju tempat Arthur menunggunya. Penjaga itu berbisik, Arthur mengikutinya setelah dia selesai berbisik. Kini penjaga itu mengajak Arthur pergi ke lorong yang baru saja di cek oleh penjaga itu. Lorong panjang dengan lampu neon berjejeran di sudut atas lorong.

“Kau mau membawaku kemana?” Tanya Arthur

“Charles, kita tidak bisa menunggu prajurit sialan itu datang. Dia bukan orang yang bersedia ditunggu, pancing dia untuk keluar dari sarangnya”

“Kau pernah lihat wajah asli prajurit itu?”

“Belum, sepertinya susah untuk menemuinya tanpa topeng. Mungkin dia ada diantara gerombolan prajurit dan polisi kota tadi” Penjaga itu masih berjalan didepan Arthur, terus menyusuri lorong yang sesekali tidak ada lampu neon yang menyala.

“Lalu, kenapa kau ingin membantuku mencari Charles?”

“Aku tidak suka dengannya, dia tidak cocok menempati jabatan itu. Pengetahuannya tentang keamanan bahkan kalah dariku, sangat jarang aku melihatnya keluar dari ruangannya” Belum sempat Arthur menjawabnya mereka sudah hampir sampai di ujung lorong, dari kejauhan pintu besi dengan lampu merah yang berkedip diatasnya tidak dijaga. Pintu itu memilikki kode sendiri. Arthur mengelurakan kartu yang sudah diberikan Bibi Ana. Menggesek kartu itu, lalu memasukkan pin. 1991. Pintu itu berhasil terbuka.

Dinding ruangan itu sepenuhnya kaca, ada beberapa jendela yang terbuka lebar, kaca-kaca itu membentuk setengah lingkaran, membuat ruangan jadi nampak sempit. Charles berdiri membelakangi Arthur, menatap keluar jendela, Charles menyilangkan tangannya, berdiri tegap. Beberapa menit tanpa ada satupun yang membuka pembicaraan Arthur dan penjaga itu berdiri berdampingan menatap punggung Charles. Charles belum juga berbalik arah untuk menyapa. Belum selesai Arthur memulai pembicaraan Charles berbalik badan, mengarahkan tangan kanannya ke penjaga yang ada di samping Arthur. Ditanganya moncong pistol FN berwarna hitam buatan Belgia membuat penjaga itu ketakutan, penjaga itu belum sempat mengambil pistol yang dia bawa.

“Arthur, kenapa kau kesini? Siapa yang membawamu?” Charles semakin erat memegangi pistol yang ada ditangannya. “Dia yang membawamu?, Bajingan yang tidak punya keahlian apapun ini yang membawamu kesini?” mata Charles menatap ganas penjaga yang ada disamping Arthur. Kebencian nampak dari sorot mata Charles, penjaga itu adalah Anak dari Natalie namanya Rey. Satu-satunya prajurit yang paling dihormati tapi tidak punya keahlian selain menembak. Rey sudah sejak lama membenci Charles, Charles tidak pernah mengikutkannya pada misi yang diperintahkan. Rey hanya menjadi penonton membawakan barang-barang prajurit lain. Apalagi Rey tidak suka atas pencalonan Charles untuk menjadi Calon Wali Kota Nanoi peridoe berikutnya.

“Kau yang bajingan, ratusan orang tak berdosa mati sia-sia karenamu” Rey mengelak.

“Kalau bukan karena perintah ibumu, aku tidak akan melakukannya, Rey!! Kau tidak pernah mendengarkanku”

“Lalu, apakah aku harus membenci ibuku? Aku bukan orang gila yang dengan mudah membenci ibuku karena percaya kata-katamu” Arthur masih terdiam tanganya bergerak meraba saku berisi pisau lipat yang ada dibalik jasnya.

“Ibumu pembohong, Rey. Memangnya apa alasan dia menempatkanmu dibawah komandoku kalau bukan karena dia ingin mengawasiku?” Tangan Arthur meraih pisau lipat yang dia bawa lalu menekan tombol untuk membuka mata pisau di dalam sakunya.

“Anjing kau Charles…..” belum selesai Rey berbicara peluru dari pistol FN yang dibawa Charles sudah menembus jantung Rey. Arthur tahu hal ini akan terjadi,. Kurang dari dua detik Arthur melemparkan pisau lipat tepat ke arah Glabella Charles (Ruang antara alis mata). Mata Charles melotot, sebelum pistol dan tubuhnya jatuh ke lantai, tiga kali Charles menembak Arthur, Arthur berhasil menghindar. Darah dari tubuh Rey terus tumpah membasahi lantai, semuanya terjadi begitu cepat sampai Arthur tidak sadar dia sudah membunuh Charles. Arthur cemas dia baru tahu bahwa Rey adalah anak Natalie, Arthur melepaskan kacamata hitam yang dipakai Rey, menatap mata Rey dalam-dalam air matanya menetes, Arthur tidak bisa melihat orang tanpa dosa mati sia-sia. Belum sempat Arthur membersihkan air matanya, Handphone yang ada di saku kanan Charles berdering. Arthur merogohnya lalu berdiri membaca pesan dari nomor yang tidak dikenal.

“Terimakasih Arthur, kau membantuku membunuhnya. Untuk kematian anakku kau harus menebusnya. Jangan menatap ke arah jendela” –Askar Kecha

Arthur buru-buru, matanya memandangi situasi yang ada diluar jendela. Belum berhasil menemukan apa tujuan Askar Kecha melarangnya menatap ke jendela, anak panah meluncur cepat dari gedung yang ada di seberang ruangan Charles. Menembus mata kanan Arthur. Dalam hitungan detik tubuh Arthur jatuh, mata kanannya terbelah jatuh terpisah dari rongga mata Arthur...

Askar Kecha  menyembunyikan alat panah di tas berwarna hitam, dia tersenyum. Lalu pergi memakai kacamata hitam yang terselip di lubang leher bajunya.



-TAMAT-
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, May 21, 2015

POLYGON: Part Of Love storY in Graphica Of eleveN


KAMI selaku CREW buku tahunan, ingin meminta maaf atas keteledoran kami...

Kurang lebih Dua minggu sebelum buku tahunan dibagikan. KAMI kaget dan SHOCK atas perubahan yang mendadak dan tanpa sepengetahuan kami. Lebih tepatnya tidak ada pembicaraan atas perubahan dari INTI Buku tahunan. 

Awalnya CREW ingin membuat buku tahunan yang "Bercerita" kami ingin menyuguhkan sesuatu yang BERBEDA dari tahun-tahun yang lalu. Sebuah DRAMA dalam buku tahunan, tentunya sangat menarik, Tapi semua hancur seketika dalam waktu satu hari. Kerja keras kita bersama selama hampir tiga bulan harus kita Ikhlaskan begitu saja. 

Sekedar informasi, SAMBUTAN, PROLOG dan EPILOG juga QUOTES dari setiap foto yang KAMI buat untuk teman-teman sudah mengalami proses panjang, pembuatan yang hampir memakan waktu satu bulan, saya menuliskan dengan sangat hati-hati, hingga terkadang air mata jatuh menetes pada keyboard yang menjadi teman saya..

KAMI selaku CREW berterimakasih atas semua pihak yang telah membantu, Ketua Kelas, Wali Kelas, Teman-teman yang BERSEDIA meluangkan waktu bahkan pada waktu yang seharusnya kita gunakan untuk berlibur.

Utamanya para CREW: Rojihan, Asep, Tadjudin, Yudha, Nabila, Dimas, Putra, Lintang, Intan, Ichak, Ardian, Dhea, Rara, Wilda, Selma, Nadya, Ambalika, Indah, Moeslim, Adam, Nilam, Natalia.. Saya sangat berterimakasih atas tenaga dan pikiran yang sudah ditularkan. saya selalu ingat perjuangan kalian, ekspresi letih, sedih, bahagia, merengek minta Mie ayam, Gorengan Bu sagi dan Nasi Rames masih teringat hingga hari ini. Karena ekspresi kalian saat mengerjakan ini semua adalah semangat bagi saya untuk memimpin project yang kita buat bersama. Terimakasih juga untuk Pak Hamrowi yang bersedia menjadi Air ditengah padang pasir yang luas, selalu memberikan saya masukan, yang bagi saya tidak ada harta yang bisa membalas semua motivasi dan semangat yang beliau berikan. Saya HARUS mengatakan ini. Saya mencintai kerja keras kalian, saya sadar. Saya satu-satunya CREW yang tidak mempunyai keahlian selain menjadi orang yang CEREWET, pembantu, pelengkap juga obat penenang bagi CREW yang SANGAT berkompeten dalam bidangnya masing-masing.. 

KECEWA? itu pasti. Tapi, KECEWA pada siapa, itu yang SUSAH diungkapkan. Tapi, Semuanya belum berakhir, karena kisah cinta kita adalah "Lingkaran yang tak berujung".. 

Jangan mencari itu kesalahan siapa. Karena sejujurnya jika HARUS ada yang disalahkan, itu MURNI kesalahan saya.. Terimakasih. 

BERIKUT ini akan Kami berikan Bagian yang hilang dari buku tahunan kita:
1. Sambutan, (diganti sambutan Ketua OSIS angkatan 25)
2. Prolog, (diganti dengan foto gedung C)
3. Epilog, (diganti dengan foto Joglo)




Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, May 17, 2015

MAAF, SOPHIE!



Ini Gila!,
Aku menemukan dimensi baru dari dirinya
Dimensi yang lebih luas dari seorang wanita
Gambaran jelas yang terlalu lama dilewatkan
Sekali lagi, aku membenci diriku
Bukan karena kesalahanku
Bukan karena kebodohanku
Tapi, karena sudah terlalu lama
Terlalu lama aku melewatkanmu
Kamu seperti pasir di padang pasir
Orang selalu ingat terik matahari
Panasnya,
Rasa haus,
Keringat yang bercucuran
Tapi tak pernah ingat bahwa ada pasir dikakinya

Matamu
Mata paling cerah yang pernah aku lihat
Bibirmu
Bibir yang paling meracuni otakku
Senyummu
Ah, itu gambaran yang paling susah

Maaf, Sophie!
Aku terlalu sibuk mencari
Hingga aku lupa kamu berdiri terlalu lama dibelakangku
Menungguku menengok
Menanti hati yang dilatih dan terlatih
Lalu, kamu memetiknya…


Semarang, 18 Mei 2015
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, May 15, 2015

ARTHUR (Episode 9)


Arthur dijemput Prof. Uru. Hari ini mereka memulai strategi yang sudah disusun Arthur tempo hari. Masuk Balai Kota tanpa kecurigaan dari petugas pengamanan, dan mereka berhasil. Arthur ikut masuk ke ruangan Prof.Uru. Menyamar menjadi asisten dokter, memakai baju serba putih khas dokter balai kota. Tidak ada kecurigaan dari siapapun. Ruangan dengan cat putih dan peralatan dokter yang disusun rapi, ada dua ranjang pasien yang disusun berdampingan dibelakang meja Prof. Uru, diantara dua ranjang ada tirai panjang berwarna biru yang menjadi pembatas. Ada foto Natalie, walikota Nanoi di antara dua jendela dan dua ranjang pasien, ekor bingkai hampir menyentuh tirai bagian atas. Foto itu nampak mencolok karena ukurannya yang sangat besar. Arthur membenci sosok pada foto itu, dia mencurigai Natalie ikut dalam kasus pembunuhan ayahnya. Matanya sinis memandangi foto Natalie. Arthur menyiapkan alat yang sudah dibawanya, revolver S&W, satu pisau lipat, dua granat manggis dan sepasang pisau Gurkha Nepal yang didapatkannya dari pasar gelap di lepas pantai Nanoi.

Setalah semuanya siap, seorang koki balai kota mengetuk pintu ruangan Prof.Uru. Prof. Uru membuka kan pintu setalah ketukan ke tiga. Itu Bibi Ana masih satu darah dengan Prof. Uru, Orang yang merawat Ana setelah kemtian ibunya. Prof. Uru menanyakan kesiapannya, Bibi Ana melempar kemeja koki warna hitam lengkap dengan topi dan celemek pinggang. Arthur mengganti bajunya, setalah itu keluar bersama bibi Ana membawa troli makanan yang akan dibawa ke ruangan Natalie. Prof. Uru mengunci pintu membereskan baju dokter penyamaran Arthur, menyembunyikan di laci meja kerjanya.

“Mau kemana kita?” Tanya Arthur.

“Ke ruangan Natalie, membawkan ini semua untuknya”

“Bibi tidak salah membawaku kesana? Aku tidak suka denganya, aku curiga dia ada dibalik pembunuhan ayahku” suara Arthur pelan, melihat seorang perempuan melewatinya.

“Ayo kita buktikan, jika intuisimu benar, tembak mati dia.”  Bibi Ana terus mendorong troli berisi makanan lalu Arthur ikut mendorong troli itu. Mereka sampai di depan pintu Ruangan Natalie, pintu besar anti peluru yang dijaga dua penjaga berkumis tebal, menghentikan mereka, memeriksa semua makanan yang ada di Atas troli. Setelah semuanya dianggap aman, penjaga itu membuka kan pintu dan mempersilahkan masuk. Ruangan Natalie tidak semewah yang Arthur kira, semuanya serba sederhana, meja dan kursi ditengah ruangan untuk menerima tamu, meja kerja yang besar dengan dua komputer, dan lemari buku yang berjejeran rapi yang menempel langsung pada dinding-dinding ruangan. Beberapa vas bunga yang dipajang di sudut ruangan, Karpet merah yang membungkus seluruh lantai diruangan Natalie.

“Akhirnya datang juga, ini orang yang kau maksud?” Tanya Natalie pada bibi Ana.

“Benar, ini Arthur” Jawab Bibi Ana, lalu Arthur bersalaman dengan Natalie.

“Saya, Arthur anak dari orang yang ada di foto itu” telunjuknya mengarah ke foto Witson, Arthur kaget karena Foto Ayahnya terpampang di belakang meja kerja Natalie, foto dengan bingkai besar berwarna keemasan.

“Ah, aku sengaja tidak melepas foto itu dan menggantinya dengan fotoku” Natalie berjalan kearah troli makanan, Arthur masih memandangi foto ayahnya yang memakai jas hitam dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Bibi Ana membuka botol sampanye lalu menuangkan digelas yang sudah disiapkan untuk Natalie.

“Tapi kenapa kau tidak menggantinya?”

“Jujur saja, aku sangat mengidolakan ayahmu, ketika para Anei menawariku untuk menjadi penggantinya aku langsung terima ajakan mereka. Aku penasaran dengan kematianya. Aku juga masih terus menyelidiki sebab kematian ayahmu, Arthur. Dan akhirnya aku tahu bahwa Askar Kecha membunuh ayahmu” Natalie meminum sampanye yang ada ditanganya. Bibi Ana menuangkan sampanye untuk Arthur. Lalu Arthur meminumnya.

“Jadi, gimana dengan intuisimu Arthur?” Tanya Bibi Ana. Arthur tidak menjawabnya, rasa penasaran terhadap Natalie masih membuatnya bingung.

“Sebentar, aku masih bingung, lalu kenapa kau tidak bertindak? Memenjarakan para Anei, misalnya?”

“Itu yang tidak bisa aku lakukan Arthur, di Kota ini, Walikota hanya menjadi simbol demokrasi. Simbol bahwa Kota ini mempunyai pemimpin. Tapi tidak punya kuasa atas apapun” Natalie menggerak kan tanganya, tanda mempersilahkan Arthur dan Bibi Ana duduk.

“Aku semakin bingung, lalu siapa yang menjalankan pemerintahan? Jika Wali Kota yang seharusnya menjadi pimpinan tertinggi tidak diberikan kekuasaan apapun?”

“Para Anei, dibawah pimpinan Charles”

“Siapa itu Charles? Apa pengaruhnya?”

“Charles, pimpinan tertinggi para Anei, dan komandan tertinggi polisi di kota Nanoi, semua orang tunduk padanya. Prajurit-prajurit handal kota ini ada dibawah pengaruhnya, termasuk Askar Kecha prajurit terbaik yang membunuh ayahmu.”

“Lalu kenapa bibi membawaku kesini?”

Bibi Ana memberikan sebuah kartu pada Arthur.

“Itu kartu bebas untuk masuk ke setiap ruangan yang ada di Balai Kota, kau cukup memasukan PIN yang tertera di kartu itu” Jawab Bibi Ana.

“Aku hanya bisa membantumu ini Arthur, kau tidak cukup untuk membunuh Askar Kecha yang kau cari. Kau juga harus mencari Charles, dia berbahaya. Hidupnya hanya duduk dan memberi perintah. Kau juga tidak bisa memberikan kesempatan ke dua bagi para Anei. Kota ini sudah terlalu busuk, penuh sesak dengan koruptor-koruptor kelas kakap”

Bibi Ana keluar meninggalkan Arthur dan Natalie berdua, berpamitan dan meninggalkan troli berisi makanan agar Arthur bisa memakainya untuk kedok keluar dan melewati penjagaan. Natalie memberikan baju keamanan, Jas dan seluruh kelengkapannya, kaca mata  hitam dan Handie talkie.

“Pergilah kembali ke ruangan Prof.Uru, lalu gantilah pakaianmu disana”

“Terimakasih atas semuanya, aku akan segera pergi”

Arthur pergi membawa troli dan meletak kan tas berisi baju kemanan yang diberikan Natalie dibagian bawah troli. Masuk ke ruangan Prof. Uru lalu mengganti pakaiannya.


(Bersambung)  
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.