Sunday, November 14, 2021

1. selamat ulang tahun;


 

Aku takut ketika malam tak lagi bisa menemani.

Kamu hilang dan pergi tak mengabari

dan aku hanya bisa menyesali diri,

belum berani bilang soal rasa ini.

 

Aku takut ekspektasi membuatmu hilang diri,

melupakanku yang tak lagi berarti.

Mulai hari ini, aku harus sadar diri,

memilikimu bukan janji yang bisa ditepati.

 

Aku hanya bisa menyampaikan rasa melalui puisi ini;

Selamat menempuh umur baru,

kamu yang menguasai mimpiku

Yang melebihi kekuatanku,

dalam debar dan doa pagiku.

 

 

Semarang, 15 November 2021

Selamat ulang tahun, rayakanlah setiap tragedi di hidupmu.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

2. ada rasa takut yang menguasai kepalanya


 

aku melamun;

menatap ke luar jendela yang basah oleh deras hujan. Seorang anak bermain, membasahi tubuhnya, berguling pada aspal hitam. Kulihat sepasang kaki mungilnya yang kotor tersapu air, juga rambut yang acak-acakan.

dan di dalam sini, aku duduk bersamamu, rambut hitam legam yang berkilau itu, senyum kecil dan tawa lepas menggetarkan dadaku. Dengan segala cerita yang bebas berkelana dari bibir tipismu. Lipstik merah tempat seharusnya aku mengadu.

 

Gelas-gelas kopi mulai habis, es-es dingin menyejukkan kening yang basah. Bahkan setelah banyak pertemuan aku masih harus menutupi canggungku. Takut keringat terus mengucur, dan kau bertanya; apakah aku baik-baik saja?

Akan kujawab dengan senang hati; aku tak pernah sebaik ini, duduk bersamamu dan merasa hidup, bersyukur kau dalam keadaan tenang dan sehat.

Aku suka ketika kau tertawa pada lelucon aneh yang mati-matian kususun, pada segala pertanyaan tentang rasa penasaranmu, atau saat kau menguncir rambutmu, memakai kacamatamu, melipat kedua tanganmu di atas meja. Tatapan itu; meneduhkan. Melegakan.

 

Selalu kubayangkan, bagaimana jika kita hidup lama, menua dalam kursi sofa di ruang keluarga, melihat cucu-cucu kita yang berdebat rasa es krim apa yang paling enak. Atau menjawab pertanyaan sulit dari anak-anak kita, tentang; apakah benar pernikahan adalah jebakan paling mengerikan dalam hidup.

dan kita menjawab dengan lembut tanpa tergesa apalagi menghakimi, saling tatap lebih dulu, dengan debar jantung yang kencangnya serupa saat ciuman pertama kita yang singkat malam itu. Kulihat ekor matamu yang lentik, dan kau melihat hidungku yang kembang-kempis.

Pernikahan adalah obat dari umur yang panjang, jebakan paling indah dan melegakan. Tapi siapa yang tahu sebelum akhirnya kita sama-sama menemukan yang kita cari, dan tak terburu-terburu mengungkap apa yang kita rasa. Kita menikmati perasaan aneh ini, merayakannya dengan suka cita.

 

Lalu tiba-tiba ada kekuatan dalam diri yang meminta lebih, pelan-pelan tatapan berganti jadi genggaman, pelukan, elus lembut pada ubun-ubun. Hingga basah pada bibir yang bergetar hebat.

Kubayangkan rumah di pinggiran kota, dengan lahan hijau luas, tempat kau menulis sebagai persembahan pada dunia, pada alam semesta, atau saat kau memasak di dapur mungil kita, yang aromanya melebihi parfummu sehari-hari.

Akan kulukis The Starry Night di kulitmu, di tubuh sintalmu, mengarungi setiap lekuk tubuhmu, dari perutmu yang menua bersama keriput di wajah tuamu yang tetap manis dan cantik. Kuas-kuas dengan warna-warna pastel kesukaanmu.  Sambil sesekali kukecup bibir dan keningmu, lalu kita tertawa bersama.

 

Lupakan rasa takut yang menguasai kepalamu, atau kegagalan yang menghantuimu, sayang. Bersamamu membuatku melupakan hal-hal buruk. Kau memberiku nyawa baru, kesempatan baru, kemungkinan baru, yang selama ini melarikan diri dari hidupku.

Kata-kata ini tak akan pernah habis, seperti kekagumanku pada caramu berpikir, caramu melihat dunia, dan caramu memperlakukanku. Aku harus berhenti sebelum tangis basah dari mata yang berkaca-kaca tak kunjung berhenti.

Sudah kupikirkan baik-baik, bagaimanapun, selayaknya kebahagiaan sederhana yang kau cari dan terus kau kejar. Bahwa dengan melihatmu baik-baik saja, aku merasa bahagia. Lebih dari hidup. Lebih dari hari ini. Lebih dari apapun.

 

Semoga kau membayangkannya,

Semoga kau merasakannya,

Semoga kau mensyukurinya,

Semoga.

 

 

Semarang, 15 November 2021

Selamat ulang tahun, hiduplah dalam keceriaan.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

3. ada kesedihan yang sesak di dadanya


 

Sebentar lagi aku akan mengerti, bagaimana perempuan tua itu melahirkan di depan abu perapian yang nyala apinya makin lama makin mengecil. Ia meminta selimut hangat, menutup tubuh telanjang penuh luka yang basah, darah mengalir ke sekujur tubuhnya. Kurasakan keringat dingin saat kutempelkan tanganku pada kening dan lehernya. Perempuan itu mengucap sesuatu dalam bahasanya sendiri, tak benar-benar kuketahui kata apa yang keluar dari bibirnya yang menggigil, hanya kudengar gemeretak gigi yang makin kencang, saling berdentam hingga rasanya mulai terkikis pelan-pelan.

Aku menemukan perempuan tua itu di depan rumah, malam lewat pukul sepuluh, saat kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan aneh tentang kematian, atau pertanyaan asing yang luput kususun dan kujawab. Malam saat seharusnya meja makanku terisi penuh menu-menu lezat dan menggiurkan. Ia tidak datang setelah empat jam aku menunggu. Hanya ada piring-piring kosong di atas sana. Juga hati yang kini lapang, seluas pertanyaan yang menggebu di kepala. “Sebentar lagi,” aku harap ia datang sebentar lagi, sambil terus menunggu. Namun ia tak datang, Tak ada ketuk pintu. Berubah jadi debar jantung yang kencangnya tak terkira.

Saat kulihat keluar jendela, berharap ia berdiri membawai setangkai lily di tangan kirinya, atau sebotol anggur merah kesukaan kami di tangan kanannya. Justru kutemukan perempuan tua itu menggigil, tidur meringkuk. Ia telanjang, keriput-keriput itu nyata terpampang, mengeluarkan asap-asap dingin, memunculkan getaran acak yang membuatku cepat-cepat membopongnya. Merebahkannya di sofa, membungkusnya dengan selimut seadaanya. Matanya nyalang, menatap atap-atap rumah dengan cahaya lampu yang berpendar ke segala arah.

Kuketahui besar perutnya, ada nyawa yang hilang di dalam rahimnya, ia menangis, mengusap perut itu, tak ada lagi tendangan dari kaki-kaki kecil, ia bebas dari perut yang mules, atau keinginan untuk muntah. Aku penasaran ada apa di dalam kepalanya sekarang, apa yang baru saja ia alami, perempuan tua itu menatapku, ada pengharapan yang luput dicuri dari mata cokelatnya, ada kebahagiaan yang direnggut, ada ketakutan yang menghantuinya. Apakah ia merasa gagal? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kubawakan kain kompres hangat untuk meredakan panas tingginya, meredakan kesedihan di mata dan dadanya, ia memegang tanganku, erat, makin erat, tangisnya pecah, tanpa bisa berkata-kata. Perempuan tua itu susah payah bangkit, duduk, lalu memelukku, selimut itu terhempas jatuh ke pangkuannya. Ada bahasa yang tak kuketahui, susah kumengerti. Seharusnya malam ini orang lain memelukku, bukan perempuan tua ini.

Ia berdiri, meninggakan selimutnya, duduk memeluk lututnya di depan perapian, kulingkarkan selimut itu, membungkus punggungnya, satu selimut lagi hingga menutup seluruh tubuhnya. Tampak kepalanya yang tegang, rambut putih acak-acakan, menunduk, ada rapal doa yang ia agungkan. Makin lama, makin dahsyat, seperti seorang pendeta di misa paskah.

Setelah hening yang lama, selimut di depannya jatuh, ia membuka kakinya lebar-lebar, membuka tubuhnya, menengadah, perempuan tua itu mulai mengejan. Tangannya melambai-lambai mencoba meraih tanganku. Kuserahkan seluruh tubuh, pikiran dan hatiku padanya, pada setiap tangis dan getar di dadanya, tak adalagi yang kutakutkan, sekejap hilang menguap di udara, napas panjangnya kini memburu. Aku ikut mengejan.

Sebentar lagi, akan kulihat kejaiban paling indah, bentuk rupanya yang kini diam, tak seperti biasanya. Ia tak perlu merasa kedinginan, tak perlu merasa ketakutan. Ia sudah berada di tempat paling aman. Di dalam peluk ibunya, di kedalaman mata dengan tangis bahagia, meski segala yang ia harapkan direnggut dalam-dalam.

Sebentar lagi. Kubantu ia menghilangkan kesedihan dari wajahnya, kuhapus sesak di dadanya, akan kuukir tangisku di tiap lukanya yang basah. Sebentar lagi.

Lahirlah sebagai aku, hiduplah sebagai kamu. Kita seharusnya bahagia, dalam dunia yang kini buta, memaksamu terus meratapi gelisah di sela-sela jarimu. Membuatmu lupa dan luput, seperti katamu, keindahan tertutup oleh obsesi kita yang membabi-buta akan segala hal-hal buruk.

Sebentar lagi,

beri aku waktu sedikit lagi,

sebentar lagi. Sebentar lagi.


Semarang, 15 November 2021

Selamat ulang tahun, baik-baik selalu.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

4. ada hujan yang lapang di matanya


 

Ia dikisahkan oleh hujan pada minggu malam.

Ada hati yang lapang tampak di pelupuk matanya.

 

Ajarkan aku membunuh imajinasi ini;

tentang apakah aku bisa seutuhnya mencintaimu tanpa perasaan cemas.

Bunuh aku, ketika segala yang mungkin terhapus oleh yang muskil.

 

Tubuhmu adalah perantara doa agung, tempat segala sajian diperebutkan.

Sedang aku terdiam di sudut melihat mereka saling sikut, saling tendang, tubuhmu yang malang.

Aku tak berenergi, biarkan semua orang merebutkanmu. Menunggu adalah satu-satunya keahlianku. Saat kau tidak lagi punya pilihan. Aku adalah sisa. Tempat kau bisa mengadu apapun.

 

Aku berdoa pada tuhan yesus,

turunkan hujan sebelum matahari membakar habis diriku.

Basahkan aku dan bersihkan luka memar berdarah di sekujur tubuhku.

Ingatkan aku untuk membunuh segala pikiran janggal.

Tentang bisakah aku menjadi satu-satunya yang kau mau.

 

Aku ingin mati di sampingmu.

Melahirkan cerita-cerita baru yang tak akan bisa dihapus oleh waktu.

Kalo kau anggap ini berlebihan. Aku setuju.

Kau membangkitkan minatku,

menjagaku dari pikiran-pikiran gila.

 

Lantas apa yang kurang?

Apa yang lebih kau butuhkan dari menjadi hidup dan bernyawa?

Kau tidak sedang terlibat pada segala jenis pertarungan, bahkan pertarungan dalam dirimu.

Kau hanya berputar-putar, menjawab rasa penasaran di kepalamu.

Kau lupa bahwa jawaban dari semua itu, ada di aku.

Mungkin ada di aku,

Mungkin.

 

abaikan.

ini hanya pikiranku.

imajinasiku.

 

atas semua yang kutulis.

semoga kamu bahagia

aku bahagia

kita bahagia.

 

selamat bertemu kembali.

pada kisah baru

momentum yang tepat

waktu yang baik.

 

satu yang tak akan pernah berubah.

aku mencintaimu dengan segala kurangku,

menyayangimu dengan segenap cela yang kau tahu.

Mengharapkanmu lebih dari mimpi burukku.

 

Semoga kita bahagia.

kita harus bahagia

kita bahagia.

bahagia.

 

meski dengan cara masing-masing.

 

Semarang, 15 November 2021

Selamat ultang tahun, sekali lagi.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, November 1, 2021

sekali lagi


 

Cerita ini dimulai pada pagi yang dingin di bulan Desember satu tahun yang lalu. Semalam hujan turun, jalanan sepi, gelandangan berteduh di telusur-telusur gedung atau di pepohonan rimbun. Besok natal tiba, orang-orang menyambut dengan sukacita, perapian ditata sedemikian rupa, rumput-rumput panjang milik tetangga dipotong, hingga tidak lagi tajam, dan anak-anak kecil berguling di sana, riang, tanpa beban.

Ada pertanyaan bergumul di awan-awan, mendung dan gelap, bagaimana aku akan hidup setelah ini? Di depan pintu seorang perempuan menunggu, sebotol anggur tua tergenggam di tangan kanannya. Tangan kirinya bersembunyi di balik tubuh yang hangat, sedang cuaca di luar sesungguhnya sangat dingin. Perempuan itu menguncir rambutnya, membiarkan pucuk pangkal rambut hitam legam itu menggantung bebas.

Ujung rok hitam yang mengkilap itu menyentuh lututnya, tak ada alas kaki yang membungkus kaki mulus itu. Ada debu menempel, hitam dengan embun-embung lengket yang menyelimuti punggung kakinya. Beberapakali kulihat jari kakinya menggaruk satu sama lain. Tak kuingat nama perempuan itu, matanya yang kecokelatan saat pertama kali kubuka pintu, berpendar, dengan senyum yang pada detik pertama langsung membekas di kepalaku.

Ia langsung masuk, berlalu, meski aku belum mengucap sepatah kata pun. Perempuan itu datang sendiri, kepalaku melongok ke luar rumah—tak ada siapa-siapa, hanya hembus angin yang makin lama, makin liar. Ia memakai kaus putih yang ujungnya bersembunyi di balik rok, rapi, anggun. Dengan gambar tokoh Shinchan yang menunjukkan bokong dari balik celana, dengan lidah yang menjulur panjang, disablon mencolok di dada kanannya.

Mataku mengikuti setiap lekuk tubuhnya, setiap langkah kakinya, ia mengambil dua gelas kosong dari lemari penyimpanan di atas lemari es. Lalu duduk di sofa cokelat dan mematikan televisi yang menyiarkan santa-santa gendut dengan kacamata bundar yang ukurannya menghabiskan setengah bentuk wajah. Aku ingat, perempuan itu menuangkan anggur dalam botol hingga setengah gelasnya. Mengisinya penuh di gelasku.

Pertanyaan di kepalaku jatuh, pelan-pelan aku mendaratkan punggungku pada sofa empuk, menatap matanya yang tak kunjung berpaling dari tatapanku. Dengan gelas terisi anggur yang terus ia pegang, belum kusentuh gelasku di ujung meja, sejengkal-dua-jengkal dari tempatku duduk.

Setengah jam berlalu, tanpa percakapan, anggur di gelasnya habis, sedang kulihat anggur di gelasku semakin dingin—terpana menatapku. Perempuan itu merebahkan tubuhnya di sofa panjang, setelah membersihkan kakinya dengan handuk putih yang kuberi. Ia lepas kuncir rambutnya, dan terlelap. Kubawa selimut, membungkus tubuhnya yang menggigil. Aku duduk di ujung sofa, telapak kakinya yang dingin menyentuh kakiku.

Kunyalakan lagi televisi, tenggelam dalam film-film natal yang berulang kali kutonton. Kusentuh kakinya, memijat lembut, dingin di kakinya pelan-pelan berubah hangat. Perempuan itu makin terlelap. Cuaca di luar makin ribut, aku terjaga.

Perempuan itu mengubah letak tidurnya, ia ubah kakiku jadi bantal empuk, menatap mataku lekat-lekat. Memiringkan tubuhnya, kurasakan napas yang mendarat di perutku, ia menghirup aroma tubuhku. Memainkan jemarinya di atas perutku, menempelkan telapaknya. Tubuhku hangat. Ada pancaran yang timbul dari tangan itu. Masih tak ada sepatah kata yang muncul, dari bibirnya bahkan bibirku.

Ia meraih tanganku, menaruhnya di kening. Sekali lagi tersenyum menatapku. Seperti seorang ibu pada anaknya, kubelai lembut kening hingga ubun-ubun. Dan ia terpejam, lelap dalam tidurnya sekali lagi.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, October 24, 2021

berulang kali


 

Aku menemukanmu hidup di mimpiku, berulang kali. Lahir dari tidur panjang yang sesak dan dingin. Hidup dalam impian yang sibuk, kasak-kusuk.

Sedang tangismu jadi bahasa garis, yang basahnya berubah jadi darah dalam rahim ibu.

Kutemukan mayat kering di dalam sana, seorang bayi meringkuk, dengan plasenta lembab yang panjangnya tidak terkira. Kulihat matanya hilang, seperti dada penuh gelap, gulita tak bertangan.

 

Saat tiba pagi, aku terbangun dengan mata yang belum selesai oleh mimpi-mimpi buruk. Ibu menjelma jam dinding, berdenting, pekak, menusuk telinga.

Kulihat kau menangis, kain putih bersih membungkus tubuhmu, dari ubun-ubun hingga ujung kaki, kulihat wajah pasi menghias hidung mancung dan mata sipit, juga bibir tipismu.

Jangan pergi dalam keadaan tubuhmu terantai, tak bergerak, pasrah. Apa yang kau tunggu selain nasib buruk yang ditulis, dan takdir baik yang kau lalui, kau hempaskan, pada pasir pantai malam itu.

 

Aku tak lagi hidup di tiap tidurmu, saat kau membicarakan van gogh di dapur, ruang tamu, ranjang tidurmu, atau saat mandimu.

Orang-orang bergelut pada skor bola yang telak malam tadi, sedang aku terdiam, menunggu kau selesai mandi. Rambut basah, handuk putih menutup setengah bagian tubuhmu, tempat perang paling liar terjadi.

Semua orang bicara tentang mengapa langit hari itu mendung, tentang hujan yang tak kunjung reda, tentang banjir yang masuk ke rumah-rumah. Dan kita; tenggelam pada percakapan yang panjang dan dalam.

 

Tentang kita yang setiap pagi melihat sepasang suami-istri melewati rumah ibu. Rambut putih tumbuh di kepalanya. Masing-masing memegang tali kekang; mengajak anjingnya jalan-jalan.

Kubayangkan, mungkinkah tuhan memberiku kesempatan menua bersamamu? Mengajak anjing-anjing kita yang manis dan lucu. Atau kucing-kucing nakal, yang cakarnya merusak kursi, karpet atau kulitmu, tempat aku merebahkan pipi. Atau kepalaku yang berat, penuh serdadu kecil dari perutmu.

Aku hidup sebagai pengembara di kepalamu yang liar, sebuah kamar kosong serba hitam dengan kau memakai gaun putih berdiri di sana. Membuka tanganmu, menyambutku dengan peluk.

 

Sudahkah kau lelah berpura-pura? Apakah kau masih berputar-putar di kepalaku yang ramai, kepala yang penuh debu dan kursi kayu reot, dan meja yang kehilangan satu kaki.

Hiduplah sekali lagi, lahirlah sekali lagi, meski di antara tangismu aku sesekali tidak hadir, karena aku, juga menangisimu sesekali.

Bertanya berulang kali, adakah satu halaman kosong, tempat di mana kita bisa menuliskan cerita kita sendiri. Tempat kau dan aku berbagi keringat, napas yang terengah, juga bibir yang berbagi kisah. Tempat yang nyaman bagi resah di dadaku dan kamu

 

Sudah kuputuskan untuk berhenti melarikan diri, berhenti tenggelam pada lautan dalam di mimpi-mimpiku. Ingin kuserahkan diriku pada lautan lepas di sepasang matamu. Menjadi manusia terakhir yang menghapus air matamu. Menghapus jejak sedihmu. Kubayangkan itu, setiap malam, berulang kali.

 

berulang kali

berulang

kali


Semarang, 24 Oktober 2021

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, October 2, 2021

semua bisa dijelasin, karena semua pernah terjadi.


 

Setiap kali nulis apa yang dirasain hati, tentang kekecewaan sama orang lain, kesedihan karena diperlakukan buruk sama orang lain, sekarang selalu pikir dua kali. Orang-orang itu udah bukan lagi fokus dan peduli sama apa yang aku rasain imbas dari perlakuan mereka, ternyata tulisan-tulisanku itu membuat mereka marah, malu, sehingga akhirnya kami tidak lagi bicara seperti biasanya. Padahal aku cuma nulis apa yang aku rasain, jadi kehilangan temen lagi, kehilangan orang lagi.

Makanya sekarang sedang belajar untuk terima aja perlakuan buruk orang, ya mungkin mereka juga butuh pelampiasan dari emosi yang mendekam terus dan gak tau mau diluapin ke mana, ke siapa. Mungkin juga mereka lagi capek, tapi yasudah, cuma doa-doa baik yang keluar dari mulutku.

Aku cuma agak bingung aja, kenapa aku termasuk orang yang kamu abaikan, gak kamu anggep temen, padahal aku gak berbuat salah apapun, paling jauh aku cuma nulis apa yang aku rasain, pengalaman buruk yang kuterima dari banyak orang. Gak menyindir siapa-siapa. Apalagi kamu. It’s just me and my feeling. Setelah banyak percakapan tentang rahasia-rahasia yang bahkan gak kamu ceritain ke keluarga atau teman deketmu sekalipun, kenapa nasibku selalu sama aja pada akhirnya.

Kenapa udah gak ada percakapan lagi?

Kenapa kamu lalu diam-diam aja?

Coba jelasin ke aku aja apa yang sebenernya terjadi. Kenapa seolah kebaikan-kebaikan sebelumnya lantas hilang begitu saja. Jadi gak ada artinya. Apakah dulu kamu cuma lagi sedih atau gabut aja? Ya aku ngerti. Tapi jangan anggep aku angin lalu doang. Kita tuh temen. Kita saling cerita apapun. Kenapa itu semua jadi berhenti? Coba jelasin.

Inget, yang aku tulis ini cuma apa yang aku rasain aja selama ini. Jangan lagi salah paham. Jangan marah. Bisakah sekali aja kamu juga memahami apa yang aku rasain, seperti dulu aku mengakomodir setiap kesedihan dan ceritamu.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, September 29, 2021

panduan membunuh sepi


  

Untuk membunuh rasa sepi,

Ia menuju dapur, mengambil pisau paling tajam.

Membuka kulkas,

menggorok leher tepat di depan rak-rak dingin.

 

Darah muncrat,

Ia taruh kepala di kulkas.

Sepasang mata membelalak.

 

Berjalan ke kamar,

mengambil gincu merah muda.

Ia poles pada bibir,

mempercantik wajahnya,

tak lupa bedak dan maskara.

 

Kembali bersandar pada dinding dingin.

Membiarkan udara sejuk menguar,

memeluk tubuh sintalnya.

 

Ia ceritakan semua kegundahan hati,

seonggok kepala itu dingin, menatap,

darahnya masih segar mengucur tanpa henti.

 

Tidak ada yang lain.

Hanya Ia,

dan kepalanya.

 

 

Semarang, 30 September 2021

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, September 23, 2021

rumus kata-kata #10


 Dalam taraf tertentu, manusia seringkali keliru memahami kejujuran. Alih-alih menangkap esensinya kita lebih fokus tentang apakah kejujuran itu menyakiti perasaan kita atau tidak.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, September 22, 2021

rumus kata-kata #9


 

Aku udah pernah bilang. Kalo kamu butuh aku, bilang. Aku ada. Aku di sini. Jangan bikin aku merasa buruk, seolah diem gak peduli. Aku mau kamu bilang, mengakui kesedihan itu bentuk keberanian, dan kamu butuh itu. Jangan bikin aku ngemis terus untuk bilang kalo aku ada, aku di sini. Kamu gak perlu khawatir, meskipun aku cuma pilihan terakhir. I’ts okay, aku gak berharap apapun, aku gak memanfaatkan apapun. Aku gak masalah setelah ini kamu ngilang, pergi, lupa sama aku. Kalo dengan itu bikin kamu nyaman dan di jalur yang tepat untuk sembuh. Do it. Aku udah menyadari, keberadaanku di dunia ini cuma buat nolong orang. Atas keyakinan itu, aku percaya hal-hal baik selalu muncul dari orang-orang baik. Aku cuma mau jadi orang baik. Itu aja. Semoga kamu ngerti.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, September 12, 2021

rumus kata-kata #8


 

Aku pikir tidak ada yang lebih menyakitkan dari ditinggal mati. Ternyata ditinggal pergi kamu sakitnya lebih dari kematian itu sendiri.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, September 11, 2021

rumus kata-kata #7


 Kamu harus lebih dulu melakukan banyak kebaikan untuk menebus dosa-dosa di masa lalu. Sebelum akhirnya tuhan mau mengampunimu.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

rumus kata-kata #6


 

Generasi kita sudah mati, karena quotes hampa yang mereka konsumsi dan sering mereka posting. Sedang hidupnya tidak berubah sama sekali.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

rumus kata-kata #5


 

Generasi kita hidup dari satu quotes-ke-quotes-yang-lain; background musik sedih, video alam atau perkotaan. Sesekali bawa nama tuhan.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

rumus kata-kata #4


 

Kalau mau ngilang, saya izinin kamu buat bunuh saya dulu. Daripada saya harus mati pelan-pelan.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

rumus kata-kata #3


 

Bagaimana bisa aku menentukan kebahagiaanku sendiri, jika seringkali kutemukan orang-orang menghalangiku untuk merasa bahagia. Mereka selalu mementingkan perasaan sendiri dengan mengorbankan perasaan orang lain.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

rumus kata-kata #2


 Saat jatuh cinta, lihatlah dari apa yang dia kerjakan—apa yang membuatnya bahagia. Dari situ kita akan mudah memahaminya—memahami dunianya.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

rumus kata-kata #1


Aku tahu ini jahat, namun sepertinya aku harus mulai mendoakanmu untuk tidak pernah baik-baik saja. Karena dalam keadaan itu kamu justru mengingat aku.




Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, August 23, 2021

Realita yang Maya dalam Film Selesai


 

“Film tanpa statement (pernyataan) lebih seperti roti tawar jamuran. Film minim riset dan minim refrensi juga lebih seperti makan roti tawar gak pakai isian; gak pakai mentega, selai, meses.”

Untuk saya; rasanya tidak mungkin memakan roti tawar yang sudah jamuran. Seperti yang dilakukan Ayu (Ariel Tatum) pada awal Film Selesai dalam adegan ketika Ayu memberikan korelasi bahwa pernikahan itu seperti memakan roti tawar, bahwa mentega bisa habis digantikan oleh selai. Bahwa roti tawar bisa jamuran dan berujung Ayu membuangnya ke tong sampah.

Pun roti tawar bisa dimakan langsung, namun mungkin kita bisa setuju akan lebih nikmat jika dimakan pakai isian; meses, mentega, selai, dll.  Untuk saya; rasanya ada yang kurang ketika harus memakan roti tawarnya saja. Itulah yang saya rasakan saat menonton Film Selesai.

Film Selesai diawali dengan treatment handheld camera dengan tangkapan suasana pagi hari yang nyala terang menembus jendela rumah Ayu dan Broto (Gading Marten) dengan kabut tipis putih sebagai pengantar adegan awal yaitu Ayu dan pantat Broto yang menggunakan celana dalam merah, bangun dari tidurnya.

Pilihan estetika ini buat saya justru sangat mengganggu, bukan tentang warna dalam film Selesai yang menyala terang, namun lebih kepada eksploitasi tubuh yang terlihat dari pantat Broto yang sebetulnya tidak terlalu penting masuk ke dalam film. Hal itu juga terulang ketika frame mempertontonkan pantat Broto yang masuk ke bilik mandi. Saya bertanya, apakah pilihan estetika atau citra visual tersebut lebih penting dari cerita yang ingin disampaikan?

Elemen-elemen dalam film harus bisa mendukung cerita, mendukung apa yang dimaksud pembuatnya, gak hanya pilihan estetika yang berdasarkan perasaan pembuatnya saja. Estetika tanpa maksud lebih seperti kesia-siaan yang tampaknya dipaksaan jika itu ada di dalam film. Padahal sinematografi atau frame bisa jadi statement personal pembuatnya, namun dalam Film Selesai saya tidak melihat pembacaan itu ada. Saya hanya melihat nafsu estetika yang secara membabi-buta menempati frame-frame dalam film Selesai hingga film itu selesai.

Saya cukup tidak mengerti ketika Tompi sebagai sutradara mengaku tidak suka gambar atau frame-frame yang flat, namun yang saya lihat frame-frame dalam film Selesai kesemuanya justru flat, karena tidak ada frame yang sifatnya membantu film dalam mencapai maksud pembuatnya. Apalagi skenarionya bisa dibilang tidak menyampaikan argumen / statement apapun.

Pertunjukkan pantat Gading bagi saya adalah eksploitasi tubuh, apalagi dalam sebuah space di twitter kurang lebih Tompi mengajak kita untuk menonton film Selesai salah satunya karena Gading sampai mau menampilkan pantatnya dalam film. Pernyataan itu justru makin menguatkan saya, bahwa pilihan gambar itu hanyalah nafsu sutradara dalam pencapaian estetika. Tidak ada maksud untuk mencapai level penceritaan yang utuh ketika gambar itu tampil di dalam film.

Banyak film yang menampilkan pantat karakternya, namun tampilan itu dimaksudkan untuk menguatkan argumen / statement atau paling tidak melancarkan narasi yang sudah dibangun sebelumnya. Ingatkah saat pantat Ben Affleck bahkan penisnya tampil di salah satu adegan dalam film Gone Girl (2014) ? Apa maksud adegan itu? Mengapa adegan itu harus sampai tampil dalam filmnya? David Fincher bukan tanpa alasan, adegan itu dimaksudkan dalam rangka niat Nick Dunne yang diperankan Ben Affleck mencoba mengkonfrontasi atas apa yang terjadi, setelah menghilangnya Amy Dunne (Rosamund Pike). Ketelanjangan itu, dimaksudkan sebagai “ruang aman” bagi tokoh Nick dan Amy.

Eksploitasi tubuh lagi-lagi terus tampil dalam film, termasuk saat Ayu harus berbaring dengan mengangkat kaki ke atas, menempel pada tembok, dalam usaha Ibu Mertua (Ibu Marini) memberitahu cara cepat agar Rahim mudah dibuahi. Kamera menyorot dengan jelas bentuk dan lekuk tubuh Ayu, dan frame itu bertahan pada beberapa detik.

Saya sungguh tidak mengerti, untuk apa angle dalam frame itu tampil, karena saya sama sekali tidak menangkap apa yang hendak disampaikan Tompi sebagai pembuatnya melalui tampilan gambar tersebut. Juga saat adegan Yani merebahkan diri di kasur kamarnya saat ia selesai dalam urusan dapur dan siap berhubungan seks dengan Bambang (Imam Darto). Kamera menyorot dari atas tubuh Yani yang kedua kakinya terbuka. Tampilan ini muncul dalam kurun waktu beberapa detik lebih lama dari sebelumnya. Apa bedanya dengan Michael Bay yang dikritik atas objektifikasi lewat eksploitasi tubuh Megan Foxx dalam film Transformers yang notabene itu film robot? Satu kemungkinan yang terlihat jelas adalah barangkali bagi pembuatnya eksploitasi tubuh semacam itu adalah dagangan yang laku bagi kebanyakan penonton kita.

Eksploitasi tubuh semacam ini erat kaitannya pada penulisan skenario yang buruk dan tampak ditulis tanpa riset juga tanpa refrensi. Dan itu dibenarkan oleh Imam Darto sendiri sebagai penulis skenario dalam satu kesempatan obrolan space di twitter.

Bagi saya Film Selesai sepenuhnya adalah male fantasy dari Imam Darto yang sejalan dengan itu diamini oleh Tompi lewat treatment gambar dan citra visual yang saya sebutkan tadi. Dan oleh karena itu saya bisa bilang film Selesai adalah film jahat. Ia bukan hanya mengucilkan sudut pandang perempuan tentang apa itu perselingkuhan yang menjadi tema film, juga nyaris tidak ada perdebatan moral yang terjadi di antara tokohnya. Bisa dipahami karena penulis skenarionya pun tidak riset mengenai hal itu, terlebih juga minim refrensi.

Male fantasy itu terlihat juga dari pertemuan Ayu dengan Broto yang ternyata berawal dari partner kerja (Ayu sebagai sekretaris) di akhir film, atau di awal film saat Ayu mengambil vibrator dan pergi ke kamar mandi, atau saat Bambang memakai lotion untuk memuaskan diri dengan melihat Ayu dari dalam jendela juga perselingkuhan yang terjadi di dalam mobil antara Broto dan Anya (Anya Geraldine) Rasa-rasanya fantasi liar itu sebetulnya tidak penting-penting amat untuk masuk ke dalam film. Karena tidak memiliki pengaruh apapun dalam plot cerita filmnya. Kecuali film itu diniatkan sebagai film porno.

Tompi sebagai sutradara terlihat bekerja keras untuk menampilkan gambar-gambar yang cantik. Usaha untuk mencapai estetika tertentu dengan citra-citra visual yang dimaksudkan untuk mendramatisir situasi atau melahirkan gambar poetic seharusnya bukan menjadi tujuan film itu dibuat (tanpa memedulikan cerita yang ada di dalam film.) Citra visual harus mendukung apa yang hendak disampaikan, bukan justru jadi tujuan tersendiri. Seharusnya citra visual atau pilihan estetika ditujukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bukan sebagai tujuan itu sendiri

Saya bisa mengerti jika para pembuatnya sama-sama setuju bahwa film Selesai hanyalah usaha untuk mengcapture realita, tidak dimaksudkan untuk menghakimi atau menjadi juri. Namun apakah benar film adalah cerminan realita masyarakat saat film itu dibuat? Jika benar, lantas apakah realita yang disajikan harus sama persis? Lalu apa sebenarnya realita itu?

Memang benar film adalah cerminan realita (reflection of basic reality) Menurut Baudrillard dalam buku Simulations (1983:11). Film memang menawarkan realita tersendiri. Namun realita di dalam film bukanlah suatu keadaan yang absolut. Kenapa?

Karena ketika kita bernafsu hanya pada menggambarkan realita kadang kita justru menjauh dari kebenaran. Lebih kurang seperti kata Arnold Hauser “semua kesenian adalah permainan dan pergulatan melawan kekacauan,” (dikutip dari buku The Art of Watching Film karya Joseph M. Boggs) sebuah film yang hanya menyatakan bahwa hidup adalah kekacauan, adalah film yang belum melaksanakan pertempuran seni.

Film yang hanya menampilkan sebuah realita dari yang pernah dialami satu orang (yaitu penulis) justru akan membatasi pembacaan dari penangkapan seseorang atas realita itu sendiri, bahwa realitas bukan hanya yang tampak oleh mata saja. Realitas terbentuk juga karena alasan-alasan yang mendasarinya, seperti kondisi politik dan kondisi sosial tertentu, dan hal ini tidak saya temukan dalam Film Selesai.

Juga rasanya arogan ketika penulis merasa tidak perlu riset terlalu banyak karena informasinya sudah cukup, seperti yang dikatakan Tompi dalam space yang disebut tadi. Karena sayangnya tidak benar-benar ada informasi penting yang dinarasikan dalam film. Filmnya benar-benar kosong, bisa dibilang mentah, film Selesai tidak punya agenda atau statement apapun, tidak berpihak pada apapun, padahal sesungguhnya temanya menarik dan sangat bisa jadi bahan diskusi. Sayangnya perdebatan yang ada justru bukan membicarakan filmnya, namun hanya seputar arogansi dari Tompi sebagai sutradara.

Film sebagai produk budaya tidak lagi tampak dalam film ini. Tidak ada kesungguhan dari pembuatnya untuk menyampaikan maksud atau pesan, bukan hanya penangkapan realita satu orang saja. Lantas saya bertanya-tanya informasi apa yang dimaksud Tompi jika mereka hanya menampilkan realita saja, tanpa mempertanyakan “kekacauan” yang terjadi dalam realita tersebut? Terlebih film ini tidak memiliki perspektif perempuan yang notabene di sepanjang film kita melihat bahwa peran perempuan dalam film ini hanyalah sebagai korban saja. Sebegitu pentingkah realita seorang Imam Darto sebaga penulis skenario sehingga harus tampil di dalam film. Benarkah tampilan realita itu lebih penting daripada kebenaran dalam realita tersebut?

Padahal tema dalam film bisa bisa dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan moral seperti yang ditulis Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art Of Watching Film. Kenapa tidak melempar bahasan tentang perselingkuhan sebagai implikasi moral? Daripada harus melempar ke penonton tanpa implikasi apapun seperti yang diniatkan Tompi dalam usahanya menjelaskan film Selesai dalam space di twitter dan berharap penonton memahami maksudnya. Sudah jelas ia tidak memiliki argumen apapun tentang tema tersebut karena kembali lagi hanya menampilkan realita. Kalau begitu Apanya yang mau dilempar?

Tema film Selesai juga tidak mengandung pernyataan tentang hidup. Tidak ada pembahasan berarti tentang kebenaran dari peselingkuhan. Kita tidak mendapatkan apa-apa dari tema itu, karena nafsu pembuatnya hanya untuk sekadar menampilkan realita. Padahal jika hal itu ada, film Selesai justru bisa menumbuhkan kesadaran realitas yang lebih tajam.

Kalau film Selesai sekadar menampilkan realita saja, saya justru tidak menemukan pernyataan tentang sifat umum manusia yang berdasarkan pada tema film tersebut. Kita nyaris tidak benar-benar mengerti apa pandangan Ayu atau Broto tentang perselingkuhan atau alasan peselingkuhan itu ada di dalam film, yang ada hanya perdebatan tidak penting yang barangkali hanya untuk menambah durasi film. Murni tidak ada telaah watak yang masuk ke dalam wilayah kesesuaian tema. Padahal Tompi atau Imam Darto bisa saja menggunakan tokoh-tokoh dalam film sebagai “tumpangan” sinematik untuk menggambarkan ilustrasi tentang kebenaran dari realita yang dimaksud.

Tentu sudah jelas tidak ada komentar sosial dalam film Selesai, atau bagi saya itu tidak tampak, dalam penulisan sekalipun, juga dalam gambar, karena kembali lagi, film ini hanya menampilkan realita “mentah” yang pembuatnya pernah rasakan dan pernah lihat. Padahal banyak film-film modern yang menempatkan fokus dan berangkat dari masalah-masalah sosial, dari realitas yang ada, dan pembuatnya memperdebatkan itu dalam laku skenario dan treatment-treatment gambar.

Pada akhirnya benar-benar tidak ada kritik atas perilaku Broto hingga akhir film. Tema awal film menjadi tenggelam karena nafsu penulisan yang ingin menghadirkan plot-twist tidak penting yang sebetulnya justru meruntuhkan narasi tentang perselingkuhan yang sedari menit pertama tampil di dalam film. Film Selesai justru hadir menjadi antiklimaks, kemerosotan dari cara bercerita terlihat saat pembuatnya memilih ending yang tampak seperti jatuh dari langit begitu saja. Semua diakhiri buru-buru, padahal sepanjang film temanya bukan tentang apa yang dialami Ayu di ending filmnya.

Fiksi haruslah logis, ia tidak bisa mendadak melompat tanpa memedulikan narasi awal yang sudah dibentuk, tanpa penjelasan awal, tidak bisa serta-merta melempar kepada penonton tanpa bahan yang bisa dijadikan perdebatan etis atau bahkan moral.

Berbeda dengan realita, realita kadang justru tidak logis, dan kita bukan tidak bisa berbuat apa-apa atas itu. Itu kenapa keberpihakan, agenda atau statement dan argumen dari pembuatnya seringkali menghiasi banyak film, kembali lagi pada kekacauan realita (yang kadang tidak logis) atau sebagai upaya menanyakan ulang realita, atau “menchallenge” realita yang ditangkap.

Akhirnya tidak tampak keresahan dari pembuatnya atas tema yang ada di dalam film. Seolah mereka menganggap bahwa perselingkuhan bukanlah hal non-etis yang perlu dipertanyakan. Bagi saya mereka justru mempromosikan itu. Karena kembali lagi, pembuatnya tidak memilih untuk memakai powernya untuk menyampaikan pandangannya tentang itu.

Ungakapan bahwa “kami menampilkan realita yang ada, bahwa hal-hal dalam film itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari,” yang disampaikan pembuatnya bagi saya hanyalah bentuk defense mechanism untuk mengelak dari kritik orang-orang terhadap filmnya.

Rasanya sulit jika pembuatnya menganggap membuat film adalah persoalan belajar jika ia menganggap argumen di atas sebagai argumen final dan tampak tidak mungkin berubah di masa depan sebagai sebuah proses bertumbuh dan berkembang. Karena bukankah ketika hal-hal dimaksudkan dalam kaitannya belajar selalu ada hal yang lebih tidak kita ketahui, bahwa semakin kita tahu kita justru semakin tidak tahu. Apakah benar Tompi selamanya hanya akan membuat film dari tangkapan realita saja?

Ya meski Tompi selalu bilang bahwa Film Selesai ia buat dari hati, lalu filmmaker mana yang tidak membuat film dari hati?

Seperti adegan Ayu makan roti tawar yang mengkorelasikan kesamaan antara pernikahan dan roti tawar di awal film; bahwa pernikahan itu seperti memakan roti tawar, bahwa mentega adalah pelekatnya, ia bisa habis digantikan oleh selai. Bahwa roti tawar bisa jamuran yang dimaksudkan sebagai tidak hadirnya lagi peran suami  / Broto dalam pernikahan keduanya dan berujung Ayu membuang roti jamuran itu ke tong sampah.

Film Selesai tidak jauh beda dengan gambaran itu, ia ibarat memakan roti tawar tanpa isian, kita bisa saja memakannya, namun rasanya gak nikmat, ada yang kurang, hambar dan isian itu yang saya maksud adalah riset dan refrensi; Minimnya riset dan refrensi membuat film ini tidak mampu bicara banyak. Tompi pun sebagai sutradara justru mengisinya dengan hal-hal memuakkan; seperti eksploitasi tubuh yang saya sebut di atas, film ini kurang lebih persis seperti gambaran roti tawar yang jamuran, yang ditampilkan di awal film; problematic, yang pada akhirnya tidak bisa bikin kita kenyang, dan berujung masuk ke tong sampah.

Tapi, setidaknya ucapan Ayu di awal film tersebut sejalan dengan nasib Film Selesai di dalam realita kita.

 

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, July 29, 2021

para perempuan dan mimpi-mimpinya.


 

Pagi ini, ada seorang perempuan mengaku menemukanku dalam mimpinya. Bulan ini ada tiga perempuan yang mengatakan itu, bulan lalu bahkan ada lima. Buatku ini bukan sesuatu yang bagus, karena mereka semua bahkan tidak sempat membalas whatsappku. Iya, mereka menghubungiku mungkin sebulan sekali, bahkan ada yang setelah setahun tanpa kabar, tiba-tiba menghubungiku hanya untuk membahas mengapa ada aku di mimpinya.

Entah sebetulnya ia memikirkanku sepanjang hidupnya namun terus-menerus denial, bagaimana kalau mimpi adalah cara tuhan berkomuniksai setelah mereka (mungkin) memanjatkan doa untuk dikelilingi orang-orang baik? Atau misal segera dipertemukan jodoh mereka? Entah.

Aku sungguh tidak berpikir bahwa berada di mimpi orang lain bisa membuatku istimewa, faktanya mereka yang memimpikanku, memiliki kekasih masing-masing. Salah seorang perempuan bahkan mengaku kami berhubunga seksual yang ganas dan liar di mimpinya. Ia bercerita menggebu-gebu, menghubungi pada jam dua pagi, lalu kami tidak berhenti sexting, saling mengirim foto-foto menggoda atau suara-suara desahan bahkan sampai subuh. Aku jadi rela begadang untuk merasakan kenikmatan itu.

Yaa, tapi kesamaan dari mereka semua adalah, pergi selamanya setelahnya. Seolah aku tidak pernah ada, seolah aku tidak pernah ada di mimpi-mimpinya. Mungkin mereka merasa bersalah, atau sekadar tidak ingin ketahuan. Yaa tapi sudahlah, memang sering kutemui para perempuan gabut yang bosan dengan hidupnya bahkan kekasihnya sendiri, lalu mencari hal-hal lain yang bisa membuatnya bangkit atau merasa terjaga.

Yang mungkin mereka lupa, atau bahkan tidak disadari, keberadaan mereka yang singkat, seolah menjadikanku virus atau hal-hal najis membuatku semacam dilemahkan sebagai manusia. Aku selalu berusaha tidak memberikan ekspektasi apa-apa, karena hal-hal semacam ini dari dulu sudah sering kurasakan. Jadi mungkin peranku di dunia sudah diplot untuk menemani para perempuan gabut nan rabuh dan bosan.

Untuk itu aku akan ambil kesempatan yang diberikan. Aku benar-benar tidak masalah saat mereka tidak kembali, dan hanya cerita tentang kesedihan atau mimpi malam mereka, aku akan ambil kesempatan itu.

Tapi paling tidak, jadikan aku temanmu. Anggap aku ada.






Semarang, 30 Juli 2021

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, July 23, 2021

para pembunuh di pusat kota.


 

Di halaman terakhir,

kuputuskan untuk membunuh setiap tokoh yang membawaku kemari.

Lalu aku akan bunuh diri, loncat dari sebuah gedung di pusat kota.

 

Setelah lelah menulis tentangmu,

ada baiknya aku mati sekali lagi,

dan berusaha tak terlihat oleh anak-anak kata pada halaman pertama setiap buku.

 

Sudah kuyakini,

kau akan selalu baik-baik saja,

dan akan selalu begitu.

 

Meski alasan dari setiap kematianku

satu-satunya karenamu.

 

 

Semarang, 23 Juli 2021

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, July 20, 2021

rahasia gelap dalam diri setiap perempuan


 

Kadang-kadang aku berpikir; para pria brengsek yang sering dikeluhkan banyak perempuan masih terus ada dan eksis justru karena perempuan-perempuan itu sendiri.

Mereka yang menciptakan para pria brengsek, dengan memberikan kesempatan kedua, ketiga, dan banyak kesempatan lainnya.

Mereka yang menciptakan para pria brengsek, dengan kesadaran penuh bertahan pada hubungan antara pria yang sudah memiliki pasangan.

Mereka yang menciptakan para pria brengsek, dengan tidak mampu mengontrol diri untuk berhenti pada hubungan yang tidak akan berjalan ke mana-mana.

Sungguh tidak ada yang lebih bahaya dari para perempuan rentan, rapuh, dan kesepian. Mereka selalu merasa tidak mampu berhenti dan memulai hubungan baru yang lebih sehat.

Mereka lebih memilih bertempur pada peperangan tanpa akhir, daripada menciptakan rasa nyaman dan aman pada diri sendiri.

Kalau kamu mencari rumah pada diri orang lain, artinya kamu tunawisma. Kenapa tidak berusaha menjadikan dirimu sebagai rumah bagi diri sendiri?

 

Semarang, 21 Juli 2021

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, July 11, 2021

dari surat-surat yang tak terbaca


 

Aku melihat keresahanmu, sayang, di antara daun-daun yang menggugurkan diri di tempatmu berdiri. Samar-samar kulihat air mata jatuh bersama daun-daun kering—seperti situasi dalam dirimu. Lalu aku bertanya, masihkan ada tempat di hatimu?  

Sayang, telat mengenalmu mungkin salah satu hal-hal yang aku sesali dalam hidup. Aku terlalu sibuk berkelana pada banyak pria yang membuatku tertantang, entah, kadang kupikir begitu sulit menjadi manusia. Dulu sebelum aku mendengar namamu, sebelum aku mengenalmu, pandanganku kabur akan konsep hal-hal baik. Kupikir dengan bersenang-senang aku akan bahagia. Ternyata selama ini aku keliru, aku justru  belajar banyak hal darimu.

Ingatkah kamu pada setiap pertemuan kita? Setelah kupikir ulang, ternyata hanya kamu satu-satunya pria yang mampu membuatku bertahan berjam-jam duduk hanya untuk mendengar ceritamu dan menyampaikan perasaanku, kesedihanku. Aku ingat kamu begitu tenangnya menghadapiku yang saat itu kalang-kabut. Aku suka ketenanganmu, aku suka menebak-nebak apa yang ada di kepalamu tentang aku.

Harus kubilang, mungkin ini terdengar klise, namun kamu memang berbeda. Kamu tidak memanfaatkan kerapuhanku, kamu justru dengan baik hati menemaniku melewati itu, meski aku tahu kamu juga menghadapi kesedihan lain yang lebih parah dan hebatnya. Namun aku tetap tahu, kamu menyimpan perasaan itu demi menghadapiku, membuatku nyaman dan percaya bahwa segala cerita mencekam dalam hidupku akan tersimpan aman di kepalamu.

Kamu berlebihan dalam menulis surat terakhirmu tentang aku. Kamu punya peran dalam meletakkan pondasi aman untukku tegak berdiri dan merasakan bahwa hidup baiknya tetap dijalani meski dengan kerapuhan dahsyat apapun. Maafkan aku yang pada awalnya seperti tidak menganggapmu ada. Maafkan aku telat menyadari bahwa kamu mencintaku dengan ketulusan, kejujuran, juga kebaikan hatimu. Maafkan aku karena pada akhirnya tidak mampu menunjukkan perasaanku. Namun aku luluh pada kejujuran hatimu. Aku bersyukur dan sangat menghargai saat kata-kata paling membahagiakan yang ditunggu dalam diri setiap perempuan berani kamu ucapkan di depanku.

Aku selalu sengaja bangun pagi untuk melihatmu duduk mendengarkan lagu-lagu Daniel Caesar setelah lari pagimu yang lama. Kadang melihatmu memakan roti dengan macam-macam selai buah yang kamu beli di toko. Oh sayang, hidupmu begitu sehat, bukan hanya pikiranmu, namun juga fisik dan hatimu. Aku iri, kamu bisa begitu disiplinnya membentuk diri di dalam dan di luar.

Aku suka melihatmu berkeringat, atau hembusan napasmu karena kelelahan. Kadang aku hanya melihat punggungmu tanpa bersuara, melihat keringat membasahi lehermu, atau rambutmu yang jadi berkilau. Apa yang terjadi di balik selimut saat itu terjadi adalah hal yang paling kutunggu di pagi hari, kamu pasti tahu maksudku. Kamu tidak sepolos itu. Permainanmu di atas ranjang setiap malam adalah momen paling indah yang selalu ingin terus kurasakan.

Aku selalu merasakan getaran dari hatimu yang baik, bahwa aku tahu tiap kali kamu memelukku, menciumku, kamu selalu melibatkan perasaanmu. Anehnya hal-hal seperti ini baru aku rasakan saat aku bersamamu. Tidak kutemukan pada pria lain. Itu yang akhirnya membuatku sadar, bahwa sudah sejak lama aku sering salah pilih untuk membiarkan pria masuk ke hatiku. Kesadaran itu kamu kuatkan tiap kali kamu bilang bahwa kamu mencintai setiap perempuan yang kuat dan sadar.

Kamu memahami cara bagaimana merespon perempuan rapuh yang datang ke duniamu. Dan untuk itu aku bersyukur. Aku tahu traumamu itu merapuhkanmu di dalam, namun sejak aku mengetahui kamu banyak menolongku memulihkan diri, aku jadi jatuh cinta dengan bagaimana kamu memperlakukanku. Saat itu aku ingin terus bersamamu, sayang. Barangkali menjadi obat yang selama ini kamu cari. Seperti lirik lagu Blessed;

“yes, I'm a mess but I'm blessed To be stuck with you.”

Aku ingin melihatmu bangkit dan pulih seperti caramu membuatku menjadi baik-baik saja pada akhirnya. Aku suka saat kamu tidak memiliki kepentingan apapun, ekspektasi apapun. Yang kamu lakukan hanya menemaniku, menjadi baik, hal-hal semacam itu tidak kutemukan pada pria lain. Awalnya aku merasa aneh, kamu seperti fenomena, tidak kutemukan di mana-mana. Lalu aku menyadari bahwa trauma kelammu itu membentukmu jadi pria sensitif, pria emosional, dan yang paling penting; kamu tahu bagaimana merespon perempuan tanpa membuat mereka merasa buruk. Kamu memahami kami, tidak heran setiap orang yang mengenalmu, merasakan rasa nyaman dan aman tiap kali berada di dekatmu.

Oh, sayang. Jika kamu memberikan tempatmu di surga untukku, aku akan menolak. Karena kamulah yang lebih pantas berada di sana. Kamu membantuku berdamai dengan trauma, kamu datang di waktu yang tepat. Aku belajar untuk lebih menerima yang datang daripada harus mencari lalu lelah sendiri.

Sayang, ajarkan aku untuk tetap tenang dalam badai, ajarkan aku menjadi jujur tanpa takut dilemahkan, ajarkan aku menjadi baik tanpa berharap balasan. Ajarkan aku merespon setiap hal-hal negatif dan mengubahnya jadi hal-hal positif yang memberimu semangat dan tujuan hidup. Dunia ini rugi ketika kamu tidak ada lagi di sini. Alam semesta merindukanmu, seperti aku merindukanmu. Merindukan tawamu, merindukan miringnya kepalamu saat mendengarkan baik-baik saat aku menceritakan kesedihan dan perasaanku. Aku merindukan pelukanmu setiap malam, aku merindukan kata-katamu bahwa segala hal akan baik-baik saja, bahwa kamu selalu berada di sampingku menjadi alasan untuk tidak menjadi risau.

Aku rindu saat kaki-kaki kita saling bersentuhan di balik selimut. Aku rindu saat kamu menyiapkan segelas air putih untuk kuminum setiap bangun pagi. Aku merindukan leluconmu yang kadang garing, atau ide-ide gilaku yang selalu kamu terima sebagai ide yang akan mengubah dunia, meski aku tahu itu hanya ide-ide yang keluar dari kepala yang mabuk karena merasakan kebahagian berada di sisimu. Aku merindukan ciummu yang lembut, tanpa tergesa-gesa. Aku rindu saat kutanggalkan semua yang menempel pada tubuhku, dan menenggelamkan semuanya pada tubuhmu.

Atau aku merindukan pijatan-pijatan kecilmu saat aku merasa kelelahan selepas kerja. Ibumu benar, pijatanmu bukan hanya enak, namun ada daya magis yang membuatku selalu tidur lelap saat jari-jari itu menyentuhku. Aku rindu saat kamu membacakan buku-buku untuk mengantarkanku yang kesulitan tidur. Tentu aku merindukan suaramu, aku merindukan semua hal darimu yang membuatku tenang dan bersyukur, membuatku belajar menerima dan memahami bahwa hidup adalah tentang saling memberi, tentang membuat diri sendiri stabil, dan tidak membuat orang lain merasa buruk.

Denganmu, aku selalu kehabisan kata-kata, namun ada kekuatan besar yang bisa menggerakkanku untuk menulis surat balasan ini. Aku percaya kamu bisa membacanya, seperti kepercayaanmu pada hal-hal yang terkubur, bahwa sejatinya mereka lebih hidup dari kita-kita yang hidup di atas tanah. Aku kaget, aku tidak menangis menuliskan ini, aku justru tersenyum tiap kali memori-memori baik yang kamu ciptakan terbesit dipikiran dan hidup lama mendekam di kepala, untuk nanti bisa kubuka saat aku menagalami hari-hari buruk.

Seperti katamu, kematian adalah hal terindah yang tuhan beri, dan untuk itu aku percaya bahwa meski ketidak-beradaanmu di sini tidak lantas membuatmu hilang. Aku bisa merasakanmu di tenangnya udara, di gelap dan dingin malam, di pagi yang hening, di siang yang terik, di tidurku yang kini tenang dan di setiap mimpi-mimpi indahku tentangmu, tenang menikah dan hidup sampai tua bersamamu, tentang memiliki anak-anak yang pintar dan lucu, tentang menghidupi orang-orang yang membutuhkan. Tentang tidak melupakan di mana kita berada dan dari mana kita berangkat.

Maafkan aku karena tidak pintar mengatakan perasaanku tentangmu, maafkan aku karena menahan-nahan kesedihan yang kadang membuatmu marah karena menahan kesedihan hanya akan menumpuk kesedihan-kesedihan lain yang bisa kapanpun meledak dan merusak. Maafkan aku untuk tidak biasa jujur pada perasaan sendiri. Maafkan aku jika aku tidak bisa membalas segala kebaikanmu, meski aku tahu kamu tidak butuh balasan apapun. Kamu selalu bilang bahwa yang terpenting adalah aku berada di sampingmu, dan tetap mengingatmu. Menganggapmu ada.

Maafkan aku yang pada awalnya tidak bisa menjadi supportif sepertimu. Aku hanya kaget dan heran, bagaimana bisa pria sepertimu hidup dan eksis namun tidak banyak yang menyadari. Untuk itu aku merasa bersyukur karena aku mengenalmu dan mengetahui setiap kesedihan dan traumamu. Aku sedih saat kamu memilih untuk tidak menceritakan sisa-sisa trauma yang mengurungmu hingga kematianmu.

Kamu bertarung dengan kekuatan hebatmu. Aku benar-benar melihat itu. Apalagi di saat kamu berada di peperangan itu, kamu masih sibuk memastikanku baik-baik saja. Oh, sayang, aku berterima-kasih, aku minta maaf. Aku tidak akan menyia-nyiakan kematianmu. Terima kasih karena membantuku bertumbuh, membantuku untuk tetap sadar dan berpijak pada tanah yang tepat dan kuat. Terima kasih karena kamu memperlihatkan kebaikan hati yang langka kutemukan di dunia yang semakin gila, terima kasih karena mengajariku bahwa dengan menjadi jujur hidup kita menjadi bebas dan tenang.

Terima kasih ya! Aku menyimpan setiap suratmu, foto-foto menggodamu, kutipan-kutipan yang selalu kubaca sebelum aku pergi tidur. Aku merindukanmu, sungguh. Suratmu akan segera kuletakkan pada pigura cantik yang waktu itu kita beli di IKEA.

I Miss u.

 

Semarang, 12 Juli 2021

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, July 9, 2021

dari surat-surat yang baru terbaca


 

Awan membayangimu tepat di atas kepala saat kamu baru terbangun dari tidurmu. Pemandangan itu, saat kamu mengucek matamu, meregangkan otot-otot, dan bibirmu terbuka lebar, lalu kamu bilang masih mengantuk. Dari semua hal yang pernah kita lakukan mungkin memori itu yang akan selalu sengaja aku ingat.

Sedang aku sudah selesai dari kebiasaan pagiku, minum susu, lari sejauh lima kilometer, mendengarkan lagu-lagu Daniel Caesar yang beberapa kali tak sengaja membangunkanmu. Kamu mungkin tak pernah menyadari bahwa setiap kali awan itu pergi dan selesai bertugas di atas kepalamu, kamu menjadi manusia paling manis dan lembut.

Rambutmu yang terurai bebas dan berantakan adalah wahana bermain terbaik yang pernah kumainkan, dengan sisir merah muda yang selalu kamu siapkan di meja nakas samping ranjang, aku selalu menyisir rambut itu—kembali menjadi rapi, dan kamu tak pernah sekalipun keberatan seorang pria menyentuh mahkota itu.

Setiap kali aku selesai dan merasa rambutmu menjadi lurus dan mulus, lebih lurus dan mulus dari jalan tol kita, aku selalu menghirup aroma yang keluar dari rambutmu. Beberapa detik. Rasanya teduh dan menenangkan. Mungkin rasanya nyaris seperti seorang bayi yang menyusu pada ibu, atau saat aku menempelkan pipi pada payudaramu. Hahaha, mungkin yang itu bisa kita lupakan. Kita tahu itu lebih dari teduh dan tenang.

Pernah suatu hari, kamu bilang “gak ada,” lalu aku kebingungan, beberapa detik kita saling tatap, dan kamu masih tengkurap di bawah selimut putih berkilau. Aku baru saja memakan satu roti dengan selai nanas.

“Kenapa?”

“Who hurt you,” ucapmu mencoba duduk dengan kantuk yang masih menyerang kepala. Aku beberapa detik memroses kata-kata itu. Lalu tersadar saat kamu menunjuk pemutar musik.

“Gak ada yang boleh nyakitin kamu, harus tahu berurusan sama siapa,” kamu tersenyum mendengar kata-kata klise yang keluar dari mulut penuh selai nanas.

Sesaat setelahnya kamu bangkit, menuju pemutar musik dan mengganti lagu yang baru setengahnya terputar pada lagu Daniel Caesar yang lain, lagu kesukaanmu, streetcar.

“Nice!” aku menganggukan kepala saat intro lagu itu terdengar, masih terus memakan roti selai nanasku. Lalu kamu memelukku yang sedang duduk melihat anjing-anjing kita yang masih tertidur di luar kamar. Mencium pundakku, lalu memakan sedikit roti yang kubagi.

“Berapa kilo hari ini?” tanyamu lalu menuju kamar mandi.

“Aku gak lari.”

“Ha? Why?” aku mendengar langkah kakimu yang terhenti.

“Entah, tiba-tiba bangun dengan perasaan yang gak enak.”

“Honey, Are you okay?” mungkin ini yang tidak ada pada perempuan lain, saat kamu memastikan keadaanku, menghampiriku, lalu memelukku. Aku akan mengingat sifat-sifat itu. Mungkin kecil, tapi tak banyak orang melakukan itu seperti kamu.

“I’m okay..." ucapku tertahan. "...kita semua dealing sama trauma masing-masing. Rasanya gak adil, kalo kamu harus terus dengerin ini, padahal kita tahu kamu baru saja menghadapi hal berat.”

“Hey, it’s okey,” dalam pelukan itu kamu mengelus lembut punggungku.

“I know kamu bakal bilang gitu, you’re the best,” lalu kamu menatapku. Tidak pernah akan kulupa tatapan itu, yang menenangkan kegundahan hatiku.

Kamu kembali menuju kamar mandi, “kenapa ya backsoundnya selalu pas kalo kita lagi mellow,” lalu kita berdua tertawa.

Mungkin tak ada orang lain yang mampu memahamiku sebaik kamu. Aku bersyukur, bahkan aku berani bertaruh untuk memberikan tempatku di surga untukmu. Aku masih terus mengingat momen-momen yang tercipta di antara kita. Bahkan saat dalam pertengkaran kita yang keras, kamu tetap memahami bahwa pertengkaran ada untuk menyadarkan kita bahwa kita perlu meninggalkan diri kita yang dulu, masih selalu kuingat kata-katamu “aku yang hari ini bukan aku yang kemarin.”

Aku sama sekali tak bisa marah karena kamu menjadi seseorang yang sangat mudah disukai karena kebaikanmu pada setiap orang, itu juga yang jadi alasanku jatuh cinta padamu. Kupikir dulu saat kamu menerimaku dalam keadaan gundah, kamu adalah orang yang tersesat, lalu kamu menyadarkanku bahwa aku lah yang tersesat lama. Dan kamu menyelamatkanku, tak terpikirkan bagaimana aku menghadapi semua yang pernah terjadi di hidupku tanpa berpegang pada kebaikan dan kejujuranmu.

Aku bahkan masih sering mengalami trans dan tubuhku bergetar setiap kali mengingat kebiasaanmu setelah mandi. Mendatangiku, berdiri beberapa langkah dan melepas handuk yang menyelimuti tubuh cantikmu. Kamu punya cara elegan untuk menggodaku, dan apapun yang kamu lakukan setelahnya, semestaku selalu merespon dengan keriangan yang sesak, seperti ada aliran listrik, dan semuanya begitu menyesakkan, bukan hanya pada semesta yang tiap pagi kau sentuh dalam tidurku, namun juga pada pikiran dan hatiku.

Aku ingat saat aku merebahkanmu sesaat kamu pulang dari gym dan keringat masih menempel di tubuhmu. Aku pernah bilang selain keadaan bangun tidurmu, aku menyukai keseksian yang muncul dari keringat-keringat itu, keringat yang membangkitkan auramu. Masih dengan setelan gym kita menempelkan kedua bibir dan memejamkan mata. Aku selalu tersenyum saat kuingat momen itu, kita tak menggerakan bibir selama beberapa menit, merasakan debar jantung yang berantakkan. Aku berani bertaruh, bibirmu lebih lembut dari pantat bayi yang baru saja dibubuhi bedak oleh ibu.

Iya, aku mengingat itu dalam-dalam. Bibir yang dulu hanya bisa kutatap saat kita saling melempar topik obrolan, menghabiskan berjam-jam waktu hanya untuk sekadar mengobrol. Dari sana makin lama aku makin menyukai personamu, cara berpikirkmu, meski kita tak banyak setuju pada hal yang sama, namun aku merasa didengarkan. Yang paling penting, denganmu aku selalu bisa jujur, tanpa takut kamu memberikan penilaian buruk, tanpa takut kehilangan seseorang karena mengetahui fakta kelam yang membentukku.

Dalam dingin dan pedihnya malam di awal-awal tahun kita bersama, kita selalu saling menguatkan. Kadang kita hanya terjaga hingga pagi, mendengarkan album-album Daniel Caesar, atau yang juga kusuka adalah momen saat kita saling bertukar ide-ide gila.

“Aku punya penemuan,” ucapmu suatu kali—memecah keheningan.

“Apa?” tanyaku menatap langit-langit kamar.

“Kenapa ya gak ada celana dalem khusus cowo yang ada lubang di tengahnya?”

“Ha? Maksudnya?” aku ingat aku menatapmu dan memikirkan apa maksudmu.

“Iya, maksudnya di bagian itu…” aku juga ingat kamu membentuk gestur-gestur asing dengan tanganmu yang membuatku sedikit tertawa. “…ada lubangnya biar gak perlu lepas kan kalo lagi having seks.

“Orang gila,” dan kita menghabiskan malam dengan tawa-tawa yang pecah juga menggema di udara. Menghabiskan sloki demi sloki alkohol hingga kepala rasanya pening dan kita justru semakin intim. Lalu terbangun telanjang di pagi yang dingin.

Namun rasanya memang hidup terus berjalan dan siap atau tidaknya kita, aku harus terus berjalan, meski hal terbaik dalam hidupku lalu diambil. Terima kasih untuk selalu memelihara persaanmu untukku, terima kasih untuk selalu percaya pada kemampuanku. Kamu lebih besar dari yang orang-orang kira. Kesederhanaanmu, kebaikan hatimu, rasa canggungmu untuk memulai duluan dan memastikan segalanya berjalan dengan baik.

Akan kutagih ide kita untuk merencanakan pencurian paling hebat dalam sejarah manusia, saat kamu pada akhirnya sudah bisa menyusulku di taman eden yang bersih dan harum. Hahaha lalu tiba-tiba aku terpikir untuk menulis; namun pencurian paling hebat adalah saat kamu mencuri hatiku. Hahaha! tertawalah, bergembiralah. Tak ada yang perlu disesali, tak ada yang perlu ditangisi, terlebih saat kamu berhasil menyelamatkan hidup seseorang. Menyelamatkanku.

Saat kamu membaca ini, izinkan jenazahku dikremasi, salah satu dari keinginanku yang selalu menentang ideologimu. Bawa aku dalam setiap tidurmu. Putar lagu-lagu Daniel Caesar untukku. Jangan menangis, aku selalu ada di setiap tidurmu. Mendengarkan requiem dari malaikat-malaikat yang siap mengikat.

Ini surat terakhirku, dari kebiasaan kita saling mengirim surat dan mengirimkan foto-foto menggoda, kita oldschool sekali. Orang mana yang masih mengirim surat dan menaruh foto menggoda berwarna di bawah kata-kata. Aneh juga ya, namum demi tuhan aku suka keanehan-keanehan semacam itu yang masih tetap terpelihara bahkan saat sesak-sesak terakhir napasku. Yang masih terpelihara di antara kita berdua tanpa perlu orang lain tahu. 

Jika nanti kamu menemukan pria lain yang membuatmu jatuh cinta, biarkan ia membuktikan dirinya, jangan tutup kemungkinan itu. Kalau kamu butuh waktu untuk sendiri, take ur time. Tapi ketahuilah, bahwa untuk kembali menjadi pulih, mau tak mau harus dimulai dari niatmu di dalam diri. Aku mencintaimu sayang, selalu, selalu ada hal baru tiap hari yang membuatku makin mencintaimu. Aku menyayangimu lebih dari yang aku ketahui. Terima kasih untuk segalanya.

Note: surat yang ini jangan lupa dipigura ya! aku nulisnya sampe nangis, memang cengeng. Hihi



Semarang, 9 Juli 2021

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.