Wednesday, July 22, 2020

seseorang mati di kepalamu;


Hari ini aku menemukan seorang mati di kepalamu, 
sebelumnya ia tumbuh dari mata air yang kau ukir 
di antara kesedihan dan pelupuk mata yang tak kunjung kering.

Katamu ia telah hidup seribu tahun
di pedalaman bumi paling gelap,
tempat segala dendam kesumat.

Kau memungutnya dari orang-orang sadis
yang mencoba membunuhnya dengan jari-jari penuh darah
dan pisau-pisau tumpul berkarat
yang telah merenggut sembilan ratus nyawa.

Ia berteman dengan harimau di hutan, katamu.
Setiap selasa malam kamu membawakan daging merah segar
untuk mengisi perut lalu kalian bercinta sampai pagi buta

Harimau itu bahkan bukan manusia,
kau robek perut penuh buruan itu,
kau mengadu pada seorang pria
yang berdiri di persimpangan jalan dengan payung hitam dan sepatu putih basah

Pada akhirnya kau pikir mungkin benar,
kesedihan lama tentang harimau di hutan
dan seorang pria bisa membunuhmu perlahan

Dan pada awalnya
kupikir kau hanya jadi salah satu santapan,
yang tak ada arti setelah tiada. 

Aku tak ingin itu,
aku hanya ingin tiada dan kau mengingat kematianku
seperti kau mengingat kecupan terakhir kekasihmu

Kekasihmu yang mati di dialog pertama puisi ini,
atau yang benar-benar mati di kepalamu sejak awal dari segala mula

Tidakkah kau melihat aku?
Yang mati di kepalamu
sebelum kau mengingat aku.


Semarang, 22 Juli 2020
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, July 21, 2020

cerita kita tidak didengar;



Aku sejujurnya selalu memikirkan hal ini; apakah mendengarkan adalah aktifitas paling sulit selama kita mencicipi hidup di dunia? Apakah mendengarkan memang butuh keahlian khusus? Kalau kamu merasa ceritamu tidak pernah didengar, mungkin kita bisa membuat lingkaran, saling berpegang tangan, dan mengucap doa; semoga tuhan selalu mendengar kita. Ada hal-hal yang gak sanggup kita ungkapkan, kadang kita lebih memilih diam karena kita terlalu takut pada respon orang tentang apa yang kita ceritakan. Namun ketika kita pikir ulang, sebetulnya ketakutan kita bukan tentang respon orang terhadap cerita kita. Kita takut orang itu jadi seenaknya, kita percayakan satu cerita pada seseorang, detik itu juga kita was-was cerita itu akan menjadi bola liar sampai pada titik yang mana. Itu mengapa kita lebih sering memilih diam.

Aku sejujurnya selalu memikirkan hal ini; mengapa cerita kita tidak pernah benar-benar didengarkan, ruang-ruang selalu penuh dengan cerita-cerita sampah dari orang-orang yang haus spotlight. Sehingga apa yang kita butuh untuk dengar tertutup oleh kebisingan-kebisingan tanpa arti. Ada banyak cerita yang tidak kita pedulikan, namun pada akhirnya kita terpaksa mendengarkan, karena cerita itu disampaikan dengan sangat lantang. Tidak ada ruang bagi kita untuk menghindar.

Cerita kita tidak didengar, aku sejujurnya selalu memikirkan hal ini; aku menggunakan kata kita sebagai pengganti kata aku. Karena barangkali aku tidak sendirian, orang seringkali jadi seenaknya, ketika ia menceritakan segala yang membuatnya gila, kita mendengar dengan seksama dan hati-hati, karena takut menyakiti. Saat wejangan kita menemukan titik terang dan mampu membuat orang lain tercerahkan, orang itu justru kembali ke sifat aslinya. Iya, yang suka seenaknya. Saat kita membutuhkan dia untuk mendengar cerita kita, orang itu menghilang. Tidak peduli, tidak ingin mendengar cerita kita.

Aku selalu memikirkan hal ini; pada banyak perempuan yang mengaku dirundung hanya karena kekasihnya melanggar apa yang sudah keduanya yakini sejak awal. Aku bisa paham hati wanita selalu menjadi bagian tubuh yang sangat rentan. Mereka bisa sedetik yang lalu mengaku tersakiti lalu sedetik kemudian menjadi seseorang yang paling tidak apa-apa. Ia rapuh dan lupa jalan pulang. Saat kekasihnya menyakiti dirinya untuk pertama kali, ada penolakan dari dalam dirinya; ia tidak percaya pada realita bahwa kekasih yang sangat ia cintai itu mampu melukai perasaannya.

Aku sejujurnya selalu memikirkan ini; mungkin kamu harus pasang telinga baik-baik, mengapa lebih banyak perempuan daripada laki-laki yang sadar dan mau memberikan kesempatan kedua bahkan ketiga pada sosok yang benar-benar menyakiti dirinya sampai ke tulang. Aku memikirkan ini baik-baik; mungkin karena memaafkan adalah human nature seorang perempuan, seorang ibu. Seperti saat kamu terlibat cekcok pada ibumu, ibumu akan lebih mudah memaafkanmu, daripada ketika kamu terlibat cekcok pada bapakmu. Tapi orang seringkali lupa, tak akan ada aksi tanpa sebab, ketika kata maaf masuk ke otak dan memengaruhi pola bertindak kita, apa yang harus dilakukan setelahnya?

Mungkin saatnya kamu mendengarkan cerita orang lain, karena dirimu yang keras kepala itu, hanya ingin didengar. Saatnya kamu mendengarkan cerita ini. Tidak ada yang baik tumbuh dari perasaan hancur. Balas dendam adalah sesuatu yang pasti, meski tiap orang punya caranya masing-masing. Tiap kali mendengarkan seorang perempuan menceritakan kisahnya, pengalamannya dengan seorang pria yang diakuinya brengsek, aku selalu memasang badan pada dua kemungkinan. Perempuan itu sedang mengalami shock, yang berimbas ia melakukan penolakan pada apa yang terjadi. Itu mengapa lebih banyak perempuan yang berani memaafkan kekasihnya dan kembali bersama. Ia menerjemahkan penolakan itu dengan kembali pada sosok brengsek yang menyakitinya.

Barangkali kita selalu jadi sosok yang tidak pernah sempat mendengarkan cerita orang lain, tapi apakah benar kita sudah benar-benar mendengarkan cerita kita sendiri? Apa yang kita ingin, apa yang kita butuh. Apakah benar pilihan-pilihan itu ada karena kesadaran kita sendiri, atau dipengaruhi oleh mulut orang lain. Atau cara kita bertahan hidup adalah dengan kembali mengarungi cerita yang sama dari awal? Tapi apakah kita berpikir itu artinya kita membuang-buang waktu.

Aku sejujurnya memikirkan hal ini; apa yang harus kita lakukan saat cerita kita tidak didengar? Kita harus merilis semua yang menganggu di kepala, kita tidak bisa selamanya diam pada pengalaman hidup yang merusak kita pelan-pelan dari dalam. Kita butuh sosok oase, yang bersedia duduk dan mendengar cerita kita meski cerita itu mungkin cerita paling sampah yang pernah ada. Namun sampah bukan sesuatu yang tidak bisa diubah. Kita butuh sosok itu, saat cerita kita tidak didengar, ia menjadi sosok yang selalu siap mendengar apapun celotehan yang keluar dari bibir penuh tangis itu.

Namun aku sejujurnya memikirkan hal ini; seorang pendengar pasti juga membutuhkan pendengar yang baik. Kita semua seperti sebuah mobil yang butuh netral untuk berhenti. Kita perlu menetralkan kesedihan kita dulu sebelum melanjutkan perjalanan yang gelap dan terjal. Tapi apakah kita peduli pada sosok pendengar yang selalu ada untuk menampung ceritamu, atau apakah kita sama saja seperti yang lain. Tidak sempat dan tidak ingin mendengar yang lain, asal cerita kita sudah netral dan kita siap berangkat. Tidak ada yang bisa menghadapi kesedihan sendirian. Kita bisa mengambil peran untuk menjadi sosok itu; yang mendengar dan menetralkan apapun yang menganggu kepala.

Namun, sejujurnya aku memikirkan hal ini; apakah saat cerita kita tidak didengar kita boleh memberontak selain menangis? Kesedihan tidak memiliki obatnya, ia adalah virus mematikan yang tidak terhindarkan. Dan manusia adalah satu-satunya penawar ampuh yang bisa menetralkan itu semua hanya dengan mendengarkan.


Semarang, 21 Juli 2020


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, July 14, 2020

sudah kupikirkan baik-baik;



Sudah kupikirkan baik-baik, tidak ada yang benar-benar merasa baik, saat apa yang kamu yakini harusnya berjalan baik. Untuk standard yang kita yakini menjadi kabur, dan menemui jalan buntu saat ia dipertemukan oleh seseorang yang standard hidupnya ditentukan oleh orang lain. Sudah kupikirkan baik-baik, tidak ada yang benar-benar merasa baik, saat apa yang kamu yakini harusnya berjalan baik. Namun ternyata menjadi baik adalah posisi yang sangat tidak ideal, baik memilih kamusnya sendiri. Dan aku bukan bagian dari isi kamus itu, bahkan sampulnya, bahkan judulnya. Aku di luar konstelasinya.

Kupikir segala yang buruk seharusnya tidak ikut campur, buruk adalah kata sifat paling mematikan, ia sembunyi di balik kata baik. Orang-orang menggunakan kata itu sebagai kartu terakhir, kita memutuskan segala sesuatunya tiba-tiba sebelum tepat pada waktunya, kita buru-buru memilih dan menilai, sampai akhirnya harus terang-terangan membenci hanya untuk sekadar lupa. Padahal di lubuk hati paling dalam, membenci adalah perasaan yang perlu kita buang jauh-jauh. Namun apa boleh buat, melupakan seseorang yang selalu memberi memori-memori baik seperti berdiri di atas rel kereta api dan berharap tidak mati saat gerbong-gerbong itu melintas.

Kita pikir kita baik, saat berpikir semua ini demi diri, pikiran dan hati, namun belakangan muncul satu hal di detik terakhir; bagaimana jika kita tidak sedang menyelamatkan diri sendiri, justru sedang menghancurkan apa yang hendak kita perbaiki. Mekanisme dibentuk dari pengalaman yang selama ini kita pelajari, bahwa tanpa adanya kemampuan analitik yang baik, pengalaman hanyalah busa pada air cucian baju ibu, dibuang, dimainkan oleh anak ibu paling kecil, atau paling buruk merusak lingkungan.

Sudah kupikirkan baik-baik, cerita ini ditulis saat kesedihan memasuki hari ke sembilan belas. Aku tidak paham lagi apakah kesedihan bentuk dari sifat baik atau buruk, sedih pada sesuatu yang buruk adalah mesin penghancur yang membabi-buta pikiranmu. Sedih pada pengalaman buruk yang harusnya membentukmu ternyata justru menenggelamkanmu pada badai penuh intrik di dalam kepala. Kesedihan mengambil alih tubuhku, ia menguras seluruh energy lalu pergi. Tanpa pamit, tanpa mengucap hati-hati.

Aku waktu itu merasa ingin menjadi anak kecil. Yang tidak mengenal kesedihan sebagai pembentuk sifat manusia, kesedihan hanya sebagai bagian dari permainan yang ibu akan membantumu untuk tidak lagi menangis. Anak kecil memahami kesedihan lebih hebat daripada kita yang hidup di dunia dengan orang-orang yang tidak tahu diri; meminta maaf tanpa hati, meminta tolong tanpa peduli. Sudah kupikirkan baik-baik, cerita ini ditulis saat amarah memasuki minggu keduanya bernyawa, ia selalu lebih butuh makan daripada inangnya sendiri. Sudah benar-benar kupikirkan. Benar-benar.

Aku sedang berusaha menyembuhkan diri saat cerita ini terjadi, aku yakin, aku hampir merampungkan proses itu. Aku hampir selalu mendengar tiap tangis di detik-detik pergantian malam tiap harinya, tangis-tangis yang menggambarkan sifat buruk dari perpisahan, atau sifat buruk dari mengetahui sesuatu tapi memilih untuk diam dan tidak mengerti apa-apa. Kesedihan-kesedihan membawa kita pada ruang-ruang baru, saat kita pikir, kita butuh orang lain; kita lupa berpikir orang lain juga butuh yang lainnya. Karena mekanisme pertahanan diri yang rentan mudah dihancurkan saat kerapuhan dalam diri membungkus kepalamu, atau bahkan matamu.

Sudah kupikirkan baik-baik pertanyaan ini, setiap kali aku merebahkan tubuh pada malam-malam dingin di kamar tidurku, aku selalu bertanya, mengapa tiap kali rasa sedih datang, kita tidak menemukan bagian dari diri kita yang selalu hadir saat perasaan bahagia menyetubuhi. Aku berpikir seolah ada sosok lain yang sembunyi di dalam tubuh ini, dan ia hanya ingin merasa bahagia, saat kesedihan datang ia pergi, membiarkan kita merasakan sendiri. Aku lelah karena setiap kali aku harus merasakan sendiri aku selalu kalah. Kesedihan selalu menjadi musuh utama umat manusia. Pertanyaan itu sudah kupikirkan baik-baik, mengapa sosok-sosok yang biasanya hadir untuk semua perasaan bahagia menghilang bersamaan dengan perasaan itu. Sudah kupikirkan baik-baik, dan masih kupikirkan baik-baik.

Apa yang akan kita katakan, saat seseorang hadir dan meminta tolong. Apa yang akan kita katakan, saat seseorang itu ternyata baru saja merasakan pengalaman hidup paling pahit dalam sepanjang hidupnya. Aku selalu bertanya-tanya, apa kata-kata yang paling ideal untuk menyembuhkan seseorang dari rasa sakitnya, atau paling tidak membuat orang itu sedikit merasa baik-baik saja. Sejak dulu hingga kini masih kupikirkan baik-baik apa yang seharusnya aku lakukan saat itu terjadi dan mendatangiku. Jangan kau biarkan saat seseorang datang dan menceritakan kesedihannya, karena kau pun butuh orang lain untuk menetralkan kesedihanmu.

Sudah kupikirkan baik-baik, segala hal tentang kesedihan ada baiknya di buang jauh-jauh, namun ternyata merasakan kesedihan sampai benar-benar kering dan habis adalah jalan satu-satunya berdamai pada kesedihan itu. Kita tidak bisa melawan sesuatu dengan mata tertutup atau wajah yang tertunduk. Kita butuh sadar untuk membuka mata, membuatnya ciut dan lari entah ke mana. Sudah kupikirkan baik-baik sampai pada akhirnya kesedihan telah berteman baik dengan diriku, mungkin sebaiknya kamu juga. Sudah kupikirkan baik-baik, menganggap kesedihan sebagai perasaan biasa yang pasti datang, entah apakah pikiran itu akan berujung baik atau buruk. Tapi, sudah kupikirkan baik-baik.

Sudah kupikirkan baik-baik, mulai hari ini. Aku akan merasa baik-baik saja, tetap baik-baik saja, saat hal-hal buruk mampir menghantuiku. Semoga kamu juga baik-baik saja saat itu terjadi di hidupmu. Sudah waktunya kita menang lagi dalam pertarungan antara kesedihan dan perasaan baik-baik saja. Sudah kupikirkan baik-baik, bahwa saat seluruh tubuh, pikiran, dan jiwaku menghendaki baik-baik saja, semua akan bisa kulewati juga dengan baik-baik saja. Sudah kupikirkan baik-baik, semoga kamu juga memikirkannya baik-baik.


Semarang, 15 Juli 2020


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.