Monday, August 23, 2021

Realita yang Maya dalam Film Selesai


 

“Film tanpa statement (pernyataan) lebih seperti roti tawar jamuran. Film minim riset dan minim refrensi juga lebih seperti makan roti tawar gak pakai isian; gak pakai mentega, selai, meses.”

Untuk saya; rasanya tidak mungkin memakan roti tawar yang sudah jamuran. Seperti yang dilakukan Ayu (Ariel Tatum) pada awal Film Selesai dalam adegan ketika Ayu memberikan korelasi bahwa pernikahan itu seperti memakan roti tawar, bahwa mentega bisa habis digantikan oleh selai. Bahwa roti tawar bisa jamuran dan berujung Ayu membuangnya ke tong sampah.

Pun roti tawar bisa dimakan langsung, namun mungkin kita bisa setuju akan lebih nikmat jika dimakan pakai isian; meses, mentega, selai, dll.  Untuk saya; rasanya ada yang kurang ketika harus memakan roti tawarnya saja. Itulah yang saya rasakan saat menonton Film Selesai.

Film Selesai diawali dengan treatment handheld camera dengan tangkapan suasana pagi hari yang nyala terang menembus jendela rumah Ayu dan Broto (Gading Marten) dengan kabut tipis putih sebagai pengantar adegan awal yaitu Ayu dan pantat Broto yang menggunakan celana dalam merah, bangun dari tidurnya.

Pilihan estetika ini buat saya justru sangat mengganggu, bukan tentang warna dalam film Selesai yang menyala terang, namun lebih kepada eksploitasi tubuh yang terlihat dari pantat Broto yang sebetulnya tidak terlalu penting masuk ke dalam film. Hal itu juga terulang ketika frame mempertontonkan pantat Broto yang masuk ke bilik mandi. Saya bertanya, apakah pilihan estetika atau citra visual tersebut lebih penting dari cerita yang ingin disampaikan?

Elemen-elemen dalam film harus bisa mendukung cerita, mendukung apa yang dimaksud pembuatnya, gak hanya pilihan estetika yang berdasarkan perasaan pembuatnya saja. Estetika tanpa maksud lebih seperti kesia-siaan yang tampaknya dipaksaan jika itu ada di dalam film. Padahal sinematografi atau frame bisa jadi statement personal pembuatnya, namun dalam Film Selesai saya tidak melihat pembacaan itu ada. Saya hanya melihat nafsu estetika yang secara membabi-buta menempati frame-frame dalam film Selesai hingga film itu selesai.

Saya cukup tidak mengerti ketika Tompi sebagai sutradara mengaku tidak suka gambar atau frame-frame yang flat, namun yang saya lihat frame-frame dalam film Selesai kesemuanya justru flat, karena tidak ada frame yang sifatnya membantu film dalam mencapai maksud pembuatnya. Apalagi skenarionya bisa dibilang tidak menyampaikan argumen / statement apapun.

Pertunjukkan pantat Gading bagi saya adalah eksploitasi tubuh, apalagi dalam sebuah space di twitter kurang lebih Tompi mengajak kita untuk menonton film Selesai salah satunya karena Gading sampai mau menampilkan pantatnya dalam film. Pernyataan itu justru makin menguatkan saya, bahwa pilihan gambar itu hanyalah nafsu sutradara dalam pencapaian estetika. Tidak ada maksud untuk mencapai level penceritaan yang utuh ketika gambar itu tampil di dalam film.

Banyak film yang menampilkan pantat karakternya, namun tampilan itu dimaksudkan untuk menguatkan argumen / statement atau paling tidak melancarkan narasi yang sudah dibangun sebelumnya. Ingatkah saat pantat Ben Affleck bahkan penisnya tampil di salah satu adegan dalam film Gone Girl (2014) ? Apa maksud adegan itu? Mengapa adegan itu harus sampai tampil dalam filmnya? David Fincher bukan tanpa alasan, adegan itu dimaksudkan dalam rangka niat Nick Dunne yang diperankan Ben Affleck mencoba mengkonfrontasi atas apa yang terjadi, setelah menghilangnya Amy Dunne (Rosamund Pike). Ketelanjangan itu, dimaksudkan sebagai “ruang aman” bagi tokoh Nick dan Amy.

Eksploitasi tubuh lagi-lagi terus tampil dalam film, termasuk saat Ayu harus berbaring dengan mengangkat kaki ke atas, menempel pada tembok, dalam usaha Ibu Mertua (Ibu Marini) memberitahu cara cepat agar Rahim mudah dibuahi. Kamera menyorot dengan jelas bentuk dan lekuk tubuh Ayu, dan frame itu bertahan pada beberapa detik.

Saya sungguh tidak mengerti, untuk apa angle dalam frame itu tampil, karena saya sama sekali tidak menangkap apa yang hendak disampaikan Tompi sebagai pembuatnya melalui tampilan gambar tersebut. Juga saat adegan Yani merebahkan diri di kasur kamarnya saat ia selesai dalam urusan dapur dan siap berhubungan seks dengan Bambang (Imam Darto). Kamera menyorot dari atas tubuh Yani yang kedua kakinya terbuka. Tampilan ini muncul dalam kurun waktu beberapa detik lebih lama dari sebelumnya. Apa bedanya dengan Michael Bay yang dikritik atas objektifikasi lewat eksploitasi tubuh Megan Foxx dalam film Transformers yang notabene itu film robot? Satu kemungkinan yang terlihat jelas adalah barangkali bagi pembuatnya eksploitasi tubuh semacam itu adalah dagangan yang laku bagi kebanyakan penonton kita.

Eksploitasi tubuh semacam ini erat kaitannya pada penulisan skenario yang buruk dan tampak ditulis tanpa riset juga tanpa refrensi. Dan itu dibenarkan oleh Imam Darto sendiri sebagai penulis skenario dalam satu kesempatan obrolan space di twitter.

Bagi saya Film Selesai sepenuhnya adalah male fantasy dari Imam Darto yang sejalan dengan itu diamini oleh Tompi lewat treatment gambar dan citra visual yang saya sebutkan tadi. Dan oleh karena itu saya bisa bilang film Selesai adalah film jahat. Ia bukan hanya mengucilkan sudut pandang perempuan tentang apa itu perselingkuhan yang menjadi tema film, juga nyaris tidak ada perdebatan moral yang terjadi di antara tokohnya. Bisa dipahami karena penulis skenarionya pun tidak riset mengenai hal itu, terlebih juga minim refrensi.

Male fantasy itu terlihat juga dari pertemuan Ayu dengan Broto yang ternyata berawal dari partner kerja (Ayu sebagai sekretaris) di akhir film, atau di awal film saat Ayu mengambil vibrator dan pergi ke kamar mandi, atau saat Bambang memakai lotion untuk memuaskan diri dengan melihat Ayu dari dalam jendela juga perselingkuhan yang terjadi di dalam mobil antara Broto dan Anya (Anya Geraldine) Rasa-rasanya fantasi liar itu sebetulnya tidak penting-penting amat untuk masuk ke dalam film. Karena tidak memiliki pengaruh apapun dalam plot cerita filmnya. Kecuali film itu diniatkan sebagai film porno.

Tompi sebagai sutradara terlihat bekerja keras untuk menampilkan gambar-gambar yang cantik. Usaha untuk mencapai estetika tertentu dengan citra-citra visual yang dimaksudkan untuk mendramatisir situasi atau melahirkan gambar poetic seharusnya bukan menjadi tujuan film itu dibuat (tanpa memedulikan cerita yang ada di dalam film.) Citra visual harus mendukung apa yang hendak disampaikan, bukan justru jadi tujuan tersendiri. Seharusnya citra visual atau pilihan estetika ditujukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bukan sebagai tujuan itu sendiri

Saya bisa mengerti jika para pembuatnya sama-sama setuju bahwa film Selesai hanyalah usaha untuk mengcapture realita, tidak dimaksudkan untuk menghakimi atau menjadi juri. Namun apakah benar film adalah cerminan realita masyarakat saat film itu dibuat? Jika benar, lantas apakah realita yang disajikan harus sama persis? Lalu apa sebenarnya realita itu?

Memang benar film adalah cerminan realita (reflection of basic reality) Menurut Baudrillard dalam buku Simulations (1983:11). Film memang menawarkan realita tersendiri. Namun realita di dalam film bukanlah suatu keadaan yang absolut. Kenapa?

Karena ketika kita bernafsu hanya pada menggambarkan realita kadang kita justru menjauh dari kebenaran. Lebih kurang seperti kata Arnold Hauser “semua kesenian adalah permainan dan pergulatan melawan kekacauan,” (dikutip dari buku The Art of Watching Film karya Joseph M. Boggs) sebuah film yang hanya menyatakan bahwa hidup adalah kekacauan, adalah film yang belum melaksanakan pertempuran seni.

Film yang hanya menampilkan sebuah realita dari yang pernah dialami satu orang (yaitu penulis) justru akan membatasi pembacaan dari penangkapan seseorang atas realita itu sendiri, bahwa realitas bukan hanya yang tampak oleh mata saja. Realitas terbentuk juga karena alasan-alasan yang mendasarinya, seperti kondisi politik dan kondisi sosial tertentu, dan hal ini tidak saya temukan dalam Film Selesai.

Juga rasanya arogan ketika penulis merasa tidak perlu riset terlalu banyak karena informasinya sudah cukup, seperti yang dikatakan Tompi dalam space yang disebut tadi. Karena sayangnya tidak benar-benar ada informasi penting yang dinarasikan dalam film. Filmnya benar-benar kosong, bisa dibilang mentah, film Selesai tidak punya agenda atau statement apapun, tidak berpihak pada apapun, padahal sesungguhnya temanya menarik dan sangat bisa jadi bahan diskusi. Sayangnya perdebatan yang ada justru bukan membicarakan filmnya, namun hanya seputar arogansi dari Tompi sebagai sutradara.

Film sebagai produk budaya tidak lagi tampak dalam film ini. Tidak ada kesungguhan dari pembuatnya untuk menyampaikan maksud atau pesan, bukan hanya penangkapan realita satu orang saja. Lantas saya bertanya-tanya informasi apa yang dimaksud Tompi jika mereka hanya menampilkan realita saja, tanpa mempertanyakan “kekacauan” yang terjadi dalam realita tersebut? Terlebih film ini tidak memiliki perspektif perempuan yang notabene di sepanjang film kita melihat bahwa peran perempuan dalam film ini hanyalah sebagai korban saja. Sebegitu pentingkah realita seorang Imam Darto sebaga penulis skenario sehingga harus tampil di dalam film. Benarkah tampilan realita itu lebih penting daripada kebenaran dalam realita tersebut?

Padahal tema dalam film bisa bisa dimaksudkan sebagai sebuah pernyataan moral seperti yang ditulis Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art Of Watching Film. Kenapa tidak melempar bahasan tentang perselingkuhan sebagai implikasi moral? Daripada harus melempar ke penonton tanpa implikasi apapun seperti yang diniatkan Tompi dalam usahanya menjelaskan film Selesai dalam space di twitter dan berharap penonton memahami maksudnya. Sudah jelas ia tidak memiliki argumen apapun tentang tema tersebut karena kembali lagi hanya menampilkan realita. Kalau begitu Apanya yang mau dilempar?

Tema film Selesai juga tidak mengandung pernyataan tentang hidup. Tidak ada pembahasan berarti tentang kebenaran dari peselingkuhan. Kita tidak mendapatkan apa-apa dari tema itu, karena nafsu pembuatnya hanya untuk sekadar menampilkan realita. Padahal jika hal itu ada, film Selesai justru bisa menumbuhkan kesadaran realitas yang lebih tajam.

Kalau film Selesai sekadar menampilkan realita saja, saya justru tidak menemukan pernyataan tentang sifat umum manusia yang berdasarkan pada tema film tersebut. Kita nyaris tidak benar-benar mengerti apa pandangan Ayu atau Broto tentang perselingkuhan atau alasan peselingkuhan itu ada di dalam film, yang ada hanya perdebatan tidak penting yang barangkali hanya untuk menambah durasi film. Murni tidak ada telaah watak yang masuk ke dalam wilayah kesesuaian tema. Padahal Tompi atau Imam Darto bisa saja menggunakan tokoh-tokoh dalam film sebagai “tumpangan” sinematik untuk menggambarkan ilustrasi tentang kebenaran dari realita yang dimaksud.

Tentu sudah jelas tidak ada komentar sosial dalam film Selesai, atau bagi saya itu tidak tampak, dalam penulisan sekalipun, juga dalam gambar, karena kembali lagi, film ini hanya menampilkan realita “mentah” yang pembuatnya pernah rasakan dan pernah lihat. Padahal banyak film-film modern yang menempatkan fokus dan berangkat dari masalah-masalah sosial, dari realitas yang ada, dan pembuatnya memperdebatkan itu dalam laku skenario dan treatment-treatment gambar.

Pada akhirnya benar-benar tidak ada kritik atas perilaku Broto hingga akhir film. Tema awal film menjadi tenggelam karena nafsu penulisan yang ingin menghadirkan plot-twist tidak penting yang sebetulnya justru meruntuhkan narasi tentang perselingkuhan yang sedari menit pertama tampil di dalam film. Film Selesai justru hadir menjadi antiklimaks, kemerosotan dari cara bercerita terlihat saat pembuatnya memilih ending yang tampak seperti jatuh dari langit begitu saja. Semua diakhiri buru-buru, padahal sepanjang film temanya bukan tentang apa yang dialami Ayu di ending filmnya.

Fiksi haruslah logis, ia tidak bisa mendadak melompat tanpa memedulikan narasi awal yang sudah dibentuk, tanpa penjelasan awal, tidak bisa serta-merta melempar kepada penonton tanpa bahan yang bisa dijadikan perdebatan etis atau bahkan moral.

Berbeda dengan realita, realita kadang justru tidak logis, dan kita bukan tidak bisa berbuat apa-apa atas itu. Itu kenapa keberpihakan, agenda atau statement dan argumen dari pembuatnya seringkali menghiasi banyak film, kembali lagi pada kekacauan realita (yang kadang tidak logis) atau sebagai upaya menanyakan ulang realita, atau “menchallenge” realita yang ditangkap.

Akhirnya tidak tampak keresahan dari pembuatnya atas tema yang ada di dalam film. Seolah mereka menganggap bahwa perselingkuhan bukanlah hal non-etis yang perlu dipertanyakan. Bagi saya mereka justru mempromosikan itu. Karena kembali lagi, pembuatnya tidak memilih untuk memakai powernya untuk menyampaikan pandangannya tentang itu.

Ungakapan bahwa “kami menampilkan realita yang ada, bahwa hal-hal dalam film itu terjadi dalam kehidupan sehari-hari,” yang disampaikan pembuatnya bagi saya hanyalah bentuk defense mechanism untuk mengelak dari kritik orang-orang terhadap filmnya.

Rasanya sulit jika pembuatnya menganggap membuat film adalah persoalan belajar jika ia menganggap argumen di atas sebagai argumen final dan tampak tidak mungkin berubah di masa depan sebagai sebuah proses bertumbuh dan berkembang. Karena bukankah ketika hal-hal dimaksudkan dalam kaitannya belajar selalu ada hal yang lebih tidak kita ketahui, bahwa semakin kita tahu kita justru semakin tidak tahu. Apakah benar Tompi selamanya hanya akan membuat film dari tangkapan realita saja?

Ya meski Tompi selalu bilang bahwa Film Selesai ia buat dari hati, lalu filmmaker mana yang tidak membuat film dari hati?

Seperti adegan Ayu makan roti tawar yang mengkorelasikan kesamaan antara pernikahan dan roti tawar di awal film; bahwa pernikahan itu seperti memakan roti tawar, bahwa mentega adalah pelekatnya, ia bisa habis digantikan oleh selai. Bahwa roti tawar bisa jamuran yang dimaksudkan sebagai tidak hadirnya lagi peran suami  / Broto dalam pernikahan keduanya dan berujung Ayu membuang roti jamuran itu ke tong sampah.

Film Selesai tidak jauh beda dengan gambaran itu, ia ibarat memakan roti tawar tanpa isian, kita bisa saja memakannya, namun rasanya gak nikmat, ada yang kurang, hambar dan isian itu yang saya maksud adalah riset dan refrensi; Minimnya riset dan refrensi membuat film ini tidak mampu bicara banyak. Tompi pun sebagai sutradara justru mengisinya dengan hal-hal memuakkan; seperti eksploitasi tubuh yang saya sebut di atas, film ini kurang lebih persis seperti gambaran roti tawar yang jamuran, yang ditampilkan di awal film; problematic, yang pada akhirnya tidak bisa bikin kita kenyang, dan berujung masuk ke tong sampah.

Tapi, setidaknya ucapan Ayu di awal film tersebut sejalan dengan nasib Film Selesai di dalam realita kita.

 

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.