Sunday, June 7, 2015

RAN FLEURISTE (Episode 6)


Siang ini di langit Amsterdam matahari sangat terik, berkedip ketika gerombolan burung terbang rendah melewatinya. Suaranya begitu riuh, bunyinya menyerupai terompet tahun baru yang ditiup anak-anak kecil. Tapi, penduduk Amsterdam yang berada di sekitar Ran Fleuriste tidak mempedulikan burung-burung itu atau mungkin tak sempat untuk melihat  burung-burung yang melintasi langit Amsterdam. Mata mereka terpaku pada satu titik, bukan di langit. Tapi, di jalanan atau kakinya. Kecuali Ranum, yang sangat senang melihat burung-burung itu terbang rendah melintasi atap Ran Fleuriste. Matanya mengikuti arah burung-burung itu terbang. Sampai burung-burung itu menghilang dibalik gumpalan awan yang bergelombang Ranum masih terus melihatnya, berharap burung-burung itu keluar dari gumpalan awan yang ada di langit Amsterdam.

Dari balik jendela Ranum masih melihat awan tebal yang bergelombang menggantung di langit kota. Seperti kelebihan beban seolah akan jatuh menubruk atap Ran Fleuriste. Ranum juga melihat jalanan mulai ramai dilewati bus-bus kota dan sepeda-sepeda dengan keranjang warna hitam di depannya.

Ranum masih duduk di meja kasir Ran Fleuriste sembari menulis di catatannya yang mulai usang dan berantakkan, sebuah tumpukkan kertas yang berlubang pada sisinya lalu disatukan dengan tali. Ranum sedang membuat cerita pendek tentang seorang wanita yang suka menunggu di halte bus. Seorang wanita yang menemukan cintanya di halte bus ketika menunggu bus jurusan Drenthe datang. Seorang pria yang membuatnya ingin terus tinggal di halte bus. Pria yang ditulis Ranum bukan seorang direktur ataupun seniman tapi hanya seorang penjaga loket penjualan tiket bus. Dan wanita yang dituliskan Ranum juga bukan seorang pekerja seni ataupun karyawati sebuah perusahaan swasta. Hanya seorang wanita yang suka dengan halte bus, sungguh aneh.

Si Pria dan Si Wanita pertama kali bertemu ketika tangan mereka saling bersentuhan ketika mengambil tiket di loket pembelian. Mata mereka saling menatap, mereka saling membalas senyuman dan kedipan mata. Keadaan itu bertahan lama sampai seorang ibu yang ikut mengantre mengeluh sebal, memarahinya yang menganggap halte bus seperti ruang drama sinetron, dimana orang-orang bisa saling jatuh cinta hanya dari sentuhan tangan ataupun tatapan mata. Wanita itu tertawa purau diambilnya secarik kertas lalu menuliskan nomor handphone dan alamat rumah lalu pergi. Duduk menunggu bus tujuan Drenthe datang.

Ranum belum selesai menuliskan cerita pendeknya, belum ada judul. Hanya iseng untuk mengisi waktu luang ketika tidak ada pembeli datang. Ranum tidak merasa dirinya pandai dalam merangkai kata. Ranum hanya suka “Menulis”. Ranum juga suka membaca karya-karya penulis hebat seperti William Shakespeare ataupun Victor Hugo.

Kenangannya di Tropea Beach membuat Ranum antipati terhadap pria. Sejak kejadian itu hidup Ranum benar-benar hanya untuk Ran Fleuriste dan ibunya. Tak pernah sedikit waktupun yang Ranum gunakan untuk memikirkan masalah cinta. Ranum yakin akan datang saatnya seorang Pria yang benar-benar tulus mencintainya. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk membuka hati. Ranum sudah tidak muda lagi, sudah bukan saatnya untuk bermain-main dalam urusan cinta. Ranum punya pemahaman sendiri tentang cinta meskipun Sean tidak setuju dengan pemahamannya.

Tapi, Ranum masih percaya akan ada masanya dimana orang-orang yang lelah mencari akan memilih untuk menunggu dan orang-orang yang lelah menunggu akan mulai mencari cintanya. Hidup itu berputar, maka nikmatilah putaran itu jangan mengeluh apalagi menghina hidup sendiri karena hal itu sama saja seperti menghina Sang Pencipta.

Hari semakin sore, langit mulai hitam, matahari mulai turun. Hari ini Ran Fleuriste sepi, hanya ada satu pria yang pagi tadi membeli sembilan tangkai bunga tulip. Pria yang memberikan kartu namanya dan belum sempat dibaca Ranum.

Ranum teringat pria itu. Setelah dia menutup tokonya, Ranum mengambil kartu nama itu di laci kasir lalu membawanya duduk di kebun Ran Fleuriste sambil menunggu Sean menutup tokonya. Tak lama kemudian Sean datang membawa kue yang sudah biasa menjadi santapan mereka setelah menutup toko.

“Sean, kamu tahu Rain Galvin?” Ranum menujukkan kartu namanya ke Sean.

“Rain Galvin? Galvin keluarga terpandang di Amsterdam?” Sean melihat kartu nama itu dengan seksama. Lalu duduk di depan Ranum.

“Galvin? Aku belum pernah mendengar nama Galvin di Amsterdam?”.

“Masa?. Keluarga Galvin pemilik kedai kopi turun temurun dari zaman perang dunia ke dua. Kedai kopi terkenal di Belanda”.

“Baru dengar aku”.

“Kamu nggak tahu Rain Coffee?” Tanya Sean.

“Oh kalau itu aku tahu, itu memang kedai kopi terkenal di Belanda. Tapi, sekalipun aku belum pernah kesana”.

“Nah, itu. Rain Coffee itu milik keluarga Galvin. Selalu ganti nama setiap generasi. Beda pemilik beda nama. Dari zaman perang dunia ke dua kedai itu sudah ada di Belanda... Terus kenapa kamu bisa punya kartu namanya?” Tanya Sean.

”Tadi pagi dia mampir ke Ran Fleuriste. Beli satu buket bunga tulip. Dia hampir bikin aku emosi, Sean. Dia nggak setuju soal pemahamanku tentang bunga. Aku kira dia serius. Eh, ternyata bercanda, ngeselin banget kan?”.

“Hahahah, terus-terus? Kamu jawab apa, Ranum?”.

“Aku cuma diam. Eh, tiba-tiba dia Tanya bunga kesukaanku. Ya, aku jawab tulip dong. Langsung dia beli satu buket bunga tulip. Terus dia minta dua tangkai bunga tulip lagi. Yang biasanya satu buket isinya tujuh jadi Sembilan… Bayar­­­­, terus pergi ninggalin kartu namanya”.

Sean dan Ranum menghabiskan malam di kebun Ran Fleuriste, membicarakan Rain Coffee dan banyak hal lainnya. Seperti biasa Ranum membeli teh di Scarlet Thee, kedai teh milik kakek Winskel. Langit malam itu diselimuti banyak bintang, udara dingin dan cahaya lampu kota menjadi pemandangan biasa. Di Amsterdam Ranum bukan satu-satunya yang menghabiskan malam dengan mengobrol. Entah berapa banyak lagi. Ranum tak pernah bosan ketika Sean menceritakan masa lalunya yang belum diketahui Ranum semasa di Le Cordon Bleu. Malam penuh tawa, mereka tertawa lepas mengganggu burung-burung yang tidur di pohon-pohon Kota Amsterdam.

“Sean!. Menurutmu Rain Galvin bakal datang ke sini lagi nggak?”.

“Mungkin”.


 (Bersambung)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar