Wednesday, June 30, 2021

bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?


 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kau tidak mampu membenarkan letak piring dan sendok di atas meja.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kau tidak mampu membenarkan posisi tulang-tulang tua yang mulai retak.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kau tidak pernah tahu tangis ini karena apa.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kita tidak pernah saling menyetubuhi di dalam lemari pakaian ibu

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kau hanya mementingkan nafsu pikiran daripada hatimu.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kau masih pergi dengan sepatu-sepatu lusuh berlumpur yang kotor dan bau.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kau lebih mementingkan para brengsek yang kau temukan di jalanan daripada aku.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kau lebih mendengarkan orang lain daripada kata-kata jujur yang keluar dari bibirku.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika ciuman kita tidak sedalam sebelumnya.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Jika kau lebih fokus pada masalah orang lain daripada masalahmu sendiri.

 

Bagaimana nanti kita akan bersama, sayang?

Bagaimana nanti?

Bagaimana?



Semarang, 1 Juli 2021

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, June 2, 2021

hal-hal kecil di perjalanan pulang


 

Aku banyak belajar selama lima bulan kemarin. Bisa kubilang bahwa sekarang aku bisa lebih jelas merasakan banyak hal, termasuk untuk mengungkapkan perasaan-perasaan yang sebelumnya—selama ini cuma bisa dipendam.

Aku tahu aku perlu punya kegiatan yang membuatku bisa berpikir dan merasa lebih jelas tanpa gangguan, untuk itu selain olahrga tiap kali pulang kerja, aku juga mulai lebih sering mencuci piring di malam hari, kegiatan itu benar-benar memberikanku waktu untuk lebih memikirkan hal-hal, dan merasakan hal-hal. Singkatnya kegiatan itu membantu mengenal siapa diriku, dan apa keinginanya, ketakutannya, motivasinya, dan yang baru kutemui dan kusadara adalah tentang apa atau siapa orang-orang yang tidak perlu ada di hidupku. So, karena itu i remove people.

Aku tidak bisa punya teman yang sengaja mengabaikanku, yang okey ketika aku tidak ada, ketika aku pergi, ketika aku tidak ada kabar. Karena aku tidak memperlakukan teman-temanku seperti itu. Aku mengabaikan mereka yang memperlakukanku tidak selayaknya manusia. Somehow itu sedikit banyak merilis beban di kepalaku, aku menemukan bentuk ideal dari ritme hidup yang selama ini aku cari. Setiap kali aku melihat story seseorang lalu membangkitkan memori di masa lalu yang sedikit banyak membuatku sakit dan kecewa, kini aku ketahui bahwa itu adalah tanda untukku harus mulai mengabaikannya.

Aku juga mulai memperlambat laju kendaraanku tiap kali aku pulang dari tempat berkerja. Banyak orang bilang, bahwa untuk menuju sukses kita harus bergerak cepat, karena era dan zaman berubah juga begitu cepat, karena orang lain bekerja keras dan cepat untuk mendapatkan yang mereka inginkan. Dari hal-hal itu aku justru semakin menyadari bahwa untuk merasakan kebahagian, ketenangan kita justru harus melambatkan tempo berjalan kita. Karena tentu kebahagian harus benar-benar bisa dirasakan, tak perlu cepat-cepat berlalu. Dan itu yang aku temukan dan pelajari dari melambatkan laju kendaraan. Bahwa selama ini ternyata aku melewatkan hal-hal kecil yang sebetulnya sering aku temui tiap hari.

Hal-hal sederhana saat aku melewati pintu mall yang pendinginnya sampai bisa aku rasakan dari jalanan, atau aroma tahu petis prasojo yang bahkan sampai ke hidungku meski aku tidak berdekatan dengan warung itu. Seorang perempuan yang memeluk mesra kekasihnya di atas roda dua. Aku bahkan menghitung detik-detik di lampu merah, dan merasakan perubahan angin yang kadang panas, kadang dingin. Hal-hal kecil itu seringkali membangkitkan lagi memori-memori yang dulu pernah terjadi.

Kini saat aku melihat sepasang kekasih mesra di atas roda dua, atau di dalam mobil, aku justru tersenyum dan ikut bahagia karenanya. Aku tidak lagi mengutuk diriku atas apa yang tidak bisa kurasakan itu selama hampir tujuh tahun. Dulu aku tidak terima, mengapa hal-hal baik tampaknya justru selalu mampir ke kehidupan orang-orang jahat. Yang melihat perempuan hanya sebagai objek, atau misal yang sejak lahir hidupnya tercukupi namun tidak mampu memanfaatkan keuntungannya, dan justru malah menghabiskan apa yang ia punya hanya untuk hal-hal yang tidak punya manfaat.

Ya, aku menyadari, bahwa hal-hal kecil yang kutemui di perjalanan pulang seringkali membuatku belajar banyak hal. Aku pernah melihat sepasang suami istri bertengkar di pinggir jalan, dan salah satunya sedang menggendong seorang anak perempuan, mungkin berusia dua tahun. Saat itu aku bukan malah berpikir untuk menolak pernikahan, aku berpikir; aku tidak mungkin dan tidak akan memperlakukan seseorang yang kucintai sepenuh hati seperti itu, aku juga tidak akan mengorbankan anakku atas ego dan emosi yang mendekam di kepala. Aku tahu banyak fase yang sudah aku lalui, termasuk salah satunya menolak pernikahan.

Aku paham, ada amarah yang pasti muncul, kadang kita tidak paham apa penyebabnya, kita hanya paham karena mungkin kita merasa lelah, dan tidak sedang fokus menata diri. Lalu aku belajar,  bahwa segala amarah yang membuncah tidak boleh lagi meledak di sembarang tempat, juga tidak baik jika dipendam dalam-dalam. Ada perasaan aneh yang muncul setiap kali aku belajar dari hal-hal kecil yang kulihat di perjalanan pulang. Belakang aku menyadari satu hal, apakah ini rasanya menjadi kepompong yang keluar dari cangkang dan berubah menjadi kupu-kupu. Sejujurnya aku tidak benar-benar mengetahui dengan jelas, aku hanya butuh untuk benar-benar mendalami setiap perasaan yang muncul dari dalam.

Seperti kamu, aku pun juga pasti sedih, entah karena cinta, pekerjaan, teman-teman yang brengsek, atau orang-orang di internet yang kelakuannya di luar nalar manusia. Aku belajar satu hal bahwa setiap kesedihan bisa dikomunikasikan, layaknya perasaan bahagia. Seperti para pedagang di pinggir jalan dan pembelinya, proses jual beli itu bergantung pada satu hal fundamental, yaitu komunikasi dua arah yang baik. Lantas aku berpikir kenapa banyak orang, termasuk aku seringkali memilih menyendiri saat sedih. Bukankah itu membutuhkan waktu yang lama untuk pulih, alih-alih menemukan orang yang mampu mengerti. Saat itu aku bertanya, apakah kesedihan bisa dikomunikasikan dengan baik seperti yang terjadi di antara penjual dan pembeli?

Bulan lalu, aku terlibat pertengkaran hebat dengan kembaranku, yang kini aku pahami bahwa itu seratus persen murni kesalahanku, aku sedang emosional terhadap sesuatu, dan jahatnya aku menumpahkan amarah itu ke orang lain. Kembaranku pergi dari rumah, menangis di jalanan, dan besoknya aku terus terbebani dengan fakta itu, aku tidak bersemangat. Dan aku benci ketika ada di situasi tidak nyaman seperti itu. Lantas saat di perjalanan pulang, aku memikirkan dengan matang dan pelan-pelan, aku memutuskan untuk meminta maaf lebih dulu, aku memeluknya, disaksikan kedua orang tuaku, lalu aku menjelaskan semuanya. Aku paham, komunikasi yang baik membuka ruang-ruang yang sebelumnya tidak tampak di mata. Aku semakin menyadari, ternyata meminta maaf itu membebaskan.

Bulan lalu juga, aku jatuh cinta dan patah hati mungkin dalam waktu yang bersamaan, namun setelah mendengarkan banyak relationship dari orang-orang, dan menganalisis banyak kasus terkait hal itu, somehow aku bisa dengan tenang merespon dan menghadapi perasaan itu. Aku paham bahwa segala sesuatu tidak harus selalu tentang iya, kadang penolakan juga perlu dicermati dengan bijak, kini aku justru senang setiap kali aku bisa menumpahkan perasaanku pada orang lain, entah jawabannya apa. Yang aku tahu, itu terasa melegakan sekaligus membebaskan.

Termasuk bulan lalu, pada akhirnya aku berani merilis beban yang paling membebani hidupku. Aku korban pelecehan seksual yang terjadi di awal-awal aku bekerja di tahun 2015. Aku baru berani cerita ke ibu dan keluargaku Agustus 2020, kalo dipikir-pikir ternyata selama itu aku membangun koping, dan belajar berdamai atas kejadian itu. Aku memikirkan kejadian itu setiap kali ada di perjalanan pulang, bertahun-tahun, berbulan-bulan, dari yang awalnya traumatik sampai ternyata aku berhasil meresponnya dengan baik. Somehow, lagi-lagi itu sungguh membebaskan. Beban paling berat dan besar sudah kuikhlaskan, lantas apalagi yang perlu aku takutkan?

Mungkin masih ada satu hal, aku sedang belajar untuk tidak sembarangan mendengar cerita orang, karena aku sudah merasa cukup hanya dijadikan tempat cerita saja, lantas ditinggalkan dan dilupakan, aku bukan rumah sakit, juga bukan tempat rehabilitasi. Aku tidak akan membiarkan orang lain yang hanya mementingkan diri sendiri, dan tidak bisa bertanggung jawab atas masalahnya, menghancurkan koping di hidupku, menghancurkan perasaan damai yang susah payah aku bangun, merusak kebebasanku berpikir dan merasa.

Hati-hati, kadang pemicu apa yang terjadi di dalam diri pelakunya adalah teman-temanmu sendiri, orang-orang yang kamu kenal yang sialnya merasa mengenalmu padahal sebetulnya tidak sejauh itu. Aku tetap akan mendengarkan mereka, hanya pada mereka yang mau dan punya niat menganggapku sebagai teman dan penting dalam pembentukan kedamaian dalam diri mereka.

Tidak ada orang yang suka ditinggalkan, apalagi ditinggalkan saat kita sudah memberikan segala sesuatu, bukan hanya waktu, tapi pikiran, tenaga, bahkan seluruh kasih sayang yang kita punya. Karena semua orang punya masalah hidupnya masing-masing, dan pasti kita akan merasa senang jika masalah atau beban di hidup kita bukan hanya diri kita sendiri yang menanggung dan menyelesaikan. Tentu kita akan sangat berbahagia jika ada orang lain yang mau mengulurkan tangannya dan membantu. Bukankah beban berat akan lebih ringan jika dikerjakan oleh lebih dari satu orang?

Aku suka menolong, aku suka terlibat pada masalah orang lain, bukan karena aku tahu solusi permasalahannya. Tapi karena aku cukup berani untuk mengulurkan tanganku, dan membuka telingaku untuk mendengar dan berempati.

Dan untuk semua itu aku memahami segala risikonya.


:)

Semarang, 2 Juni 2021

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.