Tuesday, August 25, 2015

SENJA PERTAMA


Air laut di Pantai Selatan mulai surut, karang-karang yang diselimuti lumut mulai menguning diterpa matahari sore, senja di Pantai Selatan adalah senja terbaik untuk semua pasangan kekasih yang serius menjalin kasih ataupun yang hanya bermain-main dengan alasan untuk semangat belajar. Pantai Selatan masih ramai hingga senja terakhir tutup usia, mereka yang bermain-main saling berciuman, lainnya menatap risih melihat mereka yang berciuman di muka umum. Diantara pasangan yang duduk di pasir pantai selatan ada seorang perempuan yang duduk di atas sebongkah batu, menatap senja yang telah berakhir. Tetapi cahaya di garis pantai masih belum sepenuhnya gelap, menguning—oranye gelap yang semakin lama mulai pudar lalu hilang. Ditangannya tergenggam setangkai bunga yang layu, seperti menggambarkan perasaannya saat itu.
------
Di satu kedai kopi, seorang barista masih meneriakkan nama-nama pemesan kopi. Satu per satu mengambil pesannanya. Seorang pria yang duduk paling dekat dengan meja kasir memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Di memegang sebuah pensil yang tak lagi panjang, ukurannya pas menyentuh lengkuk jemari antar telunjuk dan ibunya. Menggambarkan suasana kedai kopi yang semakin senja semakin ramai. Pria itu tak suka suasana ramai. Gambaran pensilnya mulai berantakan, garis-garis tak beraturan tergambar jelas—tebal diatas gambaran yang tadinya rapih dan jelas. “Kedai yang dipenuhi orang-orang sakit” dituliskannya judul itu di bagian atas kertas gambar. Lalu dia pindah jauh dari meja kasir. Duduk di depan lukisan yang menggambarkan sejarah pemilik kedai kopi itu. Matanya menatap serius, lalu berhenti pada satu titik. Titik dimana kopi tumpah di tanah-tanah kering. Pria itu mengernyitkan dahi, bertanya pada diri sendiri “Apa yang sedang aku lihat, lukisan ini berantakan sekali” lalu pria itu pindah tempat duduk... lagi.

------

Si perempuan kutu buku masih betah duduk di bangku perpustakaan kota yang berdecit. Bangku kayu yang warnanya mulai memudar. Bangku kayu tanpa sandaran. Aneh, tak biasanya perpustakaan mempunyai kursi yang tak punya sandaran. Si perempuan kutu buku tak memperdulikannya. Dia datang ke perpustakaan kota untuk membaca buku bukan untuk mengurusi kursi kayu yang tak punya sandaran. Sudah hampir tiga jam perempuan kutu buku itu membaca novel Han d’islande karya Victor Hugo. Ada stabillo warna kuning di dekatnya. Hal yang membuatnya lama menyelesaikan novel itu. Menggaris kata dengan stabillo. Kata apapun yang membuatnya enggan meneruskan membaca sebelum menandainya dengan stabillo kuning. Si kutu buku lupa, itu bukan bukunya. Senja hampir datang, dua jam lagi perpustakaan kota menutup diri. Hujan turun sangat deras. Si kutu buku sedikit terganggu, suara hujan yang jatuh keras di atap perpustakaan menimbulkan suara tak beraturan. Senja tak janji untuk datang—hujan telah mendahuluinya.

------

Di sudut kota seorang lelaki dengan gitar lamanya menyanyikan lagu untuk menghibur orang-orang yang lelah pulang kerja. “Senja tak akan datang lagi, hujan kini telah turun, aku menunggumu di sudut kota. Bertanya apa kau mencintaiku” nyanyiannya membuat beberapa orang memberikannya uang receh pada tas gitar yang sengaja dia siapkan untuk mewadahi uang. Intro lagu itu sangat lama, orang-orang bergerombol melihat permainan gitarnya. Kaki yang menghentak halus ke tanah membuat topi koboinya bergetar. Intro telah selesai dia mengulangi lirik yang tadi dia nyanyikan. “Senja tak akan datang lagi, hujan kini telah turun, aku menunggumu di sudut kota. Bertanya apa kau mencintaiku” berulang-ulang hingga orang-orang bubar dengan senyum yang mengambang. Antara senang dan merasa aneh dengan lelaki yang hanya punya empat kalimat dalam lagunya. Lelaki itu selesai bernyanyi. Mengucapkan terimaksih dengan sedikit berpidato karena orang-orang telah bersedia mendengarkan dia bernyanyi, tak ada satu orang pun disekitarnya, dia mengucapkan terimakasih sekali lagi, mengemasi gitarnya lalu pergi tepat ketika hujan mulai turun. “Senja tak datang lagi” gumamnya dalam hati.

------

Kesendirian adalah penderitaan yang paling pedih. Hati manusia memang lebih rumit dari rasi bintang yang ada di alam semesta. Hati manusia dalah Rigel, bintang paling terang dalam gugusan rasi orion. Rigel selalu menampakkan dirinya dengan terang benderang—sama dengan Hati. Sangat jelas sebagai suatu tempat, dimana para manusia merasa. Meskipun sebenarnya manusia hanya akan merasakan bahwa hati itu ada, ketika mereka merasa kepedihan yang mendalam.

Perempuan dengan bunga digenggamannya melewati senja pertamanya dengan mulus, tidak dengan hatinya yang murung, sakit merasakan kepedihan yang mendalam. Perempuan kutu buku dan pria di kedai kopi tak memperdulikan senja pertamanya hari itu. Mereka sibuk dengan kesenangannya masing-masing, padahal ada hal yang lebih indah, yang sudah mereka lewatkan. Si lelaki dengan gitarnya tak pernah mendapatkan senja pertamanya, dia sedih—menciptakan lagu penolak senja.

Aku bertanya pada perempuan yang menggenggam bunga layu ditangannya.

”Kenapa kamu murung sedangkan kamu sudah melihat senja yang menyombongkan keindahannya.”

“Aku tidak butuh senja, aku benci senja. Senja membuatku berpisah dengannya, aku butuh hujan. Hujan yang dapat memekarkan bunga ini, Dia berjanji untuk kembali padaku jika bunga ini tetap mekar dengan indah. Bukan layu.”

“Lalu, kenapa kamu masih di sini? Pantai adalah tempat dimana kamu dapat dengan mudah menemukan senja.”

“Aku menunggu air laut surut dan mengembalikan dia untukku. Aku menunggunya.”

Aku tahu satu hal yang tidak bisa dilakukan senja untuk perempuan itu. Mengembalikan kekasihnya yang pergi karena laut. Laut kejam. Tapi... Senja tidak.

------

Aku bertanya pada pria di kedai kopi itu. “Ada apa dengan lukisanmu? Berantakkan sekali.”

“Aku membenci suasana ramai. Lukisanku selalu jadi berantakan ketika suasana berubah jadi ramai.”

“Tapi, bukankah dunia ini selalu ramai? Disesaki orang-orang dengan kepentingannya masing-masing? Kuburan saja ramai dengan para peziarah?”

“Aku ingin sendiri, keramaian merenggut dia dariku.”

“Aku tahu tempat dimana kamu bisa sendiri dan menemukan apa yang kamu cari”.

“Dimana?”

“Di Laut, lalu singgahlah sejenak pada sebuah pantai dengan perempuan yang menggenggam bunga dan duduk di sebongkah batu.”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?”

“Lukislah senja dengan perempuan yang sedang menggenggam bunganya sebagai tokoh dalam lukisanmu. Kamu harus mencari senja pertamamu untuk menemukan yang kamu cari.”

Kini aku tahu satu hal, kesendirian tidak menenangkan jiwa manusia. Kesendirian justru membuat kepedihan yang mendalam dan kepedihan adalah penyakit yang merusak hati. Harusnya tidak ada satu manusia pun yang menginginkan kesendirian. Karena, pasti ada yang mengharapkanmu di tempat lain. Jangan biarkan hatimu rusak karena egomu. Kesendirian bukanlah jawaban atas semua pertanyaanmu.

------

Aku bertanya pada perempuan si kutu buku. “Kenapa kamu masih membaca, sedangkan kamu terganggu oleh suara hujan?”

“Aku suka hujan, meskipun aku terganggu olehnya ketika aku membaca buku.”

“Apakah kamu menyukai senja?”

“Aku lelah menunggu senja. Senja selalu membohongiku. Dia selalu berganti hujan yang deras dengan badai yang sesekali diajaknya.”

“Aku tahu tempat dimana kamu bisa menemukan Senja pertamamu dengan mudah.”

“Dimana?”

“Di sudut kota, kamu akan menemukan senja dengan mudah ketika kamu bertemu seorang pria yang menyanyikan lagu tentang senja.”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan disana?”

“Kamu cukup berdiri di depannya, memberikannya uang receh lalu ikutlah bernyanyi, bersamanya. Senja pertamamu akan mendekat.”

Aku tidak belajar apa-apa dari perempuan si kutu buku. Tak ada yang kurang dari perempuan kutu buku. Aku hanya mengajarinya satu hal. Tidak perlu menunggu—menunggu adalah situasi paling ambigu. Kamu hanya akan dikecewakan olehnya. Jadi, mulailah mencari Senja pertamamu.

------

Lalu aku bertanya pada lelaki yang membawa gitar. “Mau kemana kamu?”

“Pulang, aku tak pernah menemukan senja pertamaku disana.”

“Aku bisa membantumu, untuk menemukan senja pertamamu.”

“Dengan cara apa?”.

“Kembalilah, ke tempatmu tadi. Di sudut kota.”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan.”

“Nyanyikan lagu senjamu lagi. Tersenyumlah ketika seorang perempuan mengikutimu bernyanyi. Dekati dia, bernyanyilah bersamanya.”

Aku megetahui satu hal dari lelaki dengan gitar itu. Tidak perlu menunggu lama untuk menemukan senja pertama, hanya butuh untuk bersabar lebih lama lagi. Hanya orang-orang yang mampu bersabar yang dapat menemukan Senja pertamanya dengan mudah.

Tapi ada satu orang yang belum aku tanyai. Seseorang yang selalu terlambat menemui senja, seseorang yang selalu datang saat gelap sudah tidak lagi mengintip. Seseorang yang menganggap hujan adalah penghapus senja. Seseorang yang mempertemukan lelaki bergitar dengan perempuan kutu buku. Seseorang yang mempertemukan lelaki di kedai kopi itu dengan perempuan yang menggenggam bunganya. 

Aku bertanya. Sudahkah aku menemukan Senja pertamaku?
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, August 24, 2015

Elina & The President (Final Episode)


Elina keluar dengan perasaan jengkel, muntab. Wakil Presiden yang tidak dianggap. Sakit hati yang memuncak, Elina pergi meninggalkan Istana. Pulang ke rumahnya yang berjarak dua kilometer dari istana. Elina berkendara sendiri, menolak sopir yang menanyakan ingin pergi kemana. Elina memacu kendaraanya dengan kecepatan yang tidak biasa, jalanan lumayan sepi. Hanya butuh lima menit untuk Elina sampai dirumahnya. Elina tertahan di dalam mobil, ditempelkannya kening pada stir mobil. Elina merasa keputusan Presiden adalah keputusan yang salah, sangat salah. Elina befikir apa yang harus dia lakukan.

Bunyi dering pesan masuk di handphone Elina membuatnya tersentak. Belum membuka pesan, Elina menyadari bahwa rekaman pembicaraan di handphonenya masih berjalan. Hampir tigapuluh menit, Elina menyimpan hasil rekaman itu, lalu memutarnya kembali. Dipercepat—diperlambat , mendengarkan lagi percakapan yang baru saja terjadi di Istana. Elina turun dari mobil masuk rumahnya dengan tergesa-gesa, menuju meja kerjanya, menyalakan laptop lalu mencari daftar Email media massa. Koran, majalah, media online, radio, televisi. Elina membuka akun Emailnya, berniat untuk mengirim rekaman itu melalui email. Elina menuliskan alamat email itu satu persatu, memindahkan rekaman dari handphone ke laptopnya. Dengan subjek “Percakapan Pak Presiden dan Presiden Irak”.

Belum ada setengah jam, seluruh stasiun TV sudah memberitakan soal rekaman yang dikirimkan Elina, banyak wartawan yang mendatangi Istana untuk mengetahui kepastian berita itu. Pertemuan Pak Presiden dan Presiden Irak masih berlangsung, kegaduhan di luar Istana memberhentikan pembiacaraan diantara mereka. Presiden menanyakan kegaduhan yang ada di luar kepada salah satu staff kepresidenan, “Maaf pak, sepertinya pak presiden harus menonton siaran televisi” jawab salah seorang staff presiden. “Ada apa?” Pak Presiden pamit meninggalkan Presiden Irak untuk melihat siaran televisi.

“Breaking News, sekarang saya sudah berada tepat di depan Istana Presiden untuk mencari kepastian atas berita rekaman pembicaraan antara pak presiden dengan presiden Irak, yang dikirimkan oleh wakil presiden. Bisa kita lihat kegaduhan yang ada di depan Istana, sampai berita ini disiarkan belum ada perwakilan dari istana yang menemui para wartawan dan memberi penjelasan” Ucap salah satu wartawan dari TV sembilan. Presiden mendegarkan rekaman yang diputar TV sembilan dengan seksama. Rekaman belum rampung Pak Presiden langsung menelpon Elina dengan perasaan yang kalang-kabut.

Lima panggilan tak terjawab, Elina tertidur di meja kerjanya, handphonenya masih terus berdering. Elina mulai terbangun setelah dering panggilan ke tujuh menyentaknya. Telepon dari Pak Presiden. Elina mendiamkan hingga sepuluh kali panggilan tak terjawab. Elina menyalakan televisi, tersenyum, entah tersenyum puas atau apa. Setelah ini Elina akan dianggap pejabat pro rakyat karena menolak proyek senjata pembunuh massal itu. Agaknya Elina menganggapnya seperti itu. Sekali lagi terdengar panggilan masuk dari pak presiden. Elina menjawab panggilan itu setelah dering ketiga.

“Bagaimana pak presiden? Sudah melihat kegaduhan yang terjadi? Semua televisi menyiarkan berita yang sama, prestasi buka?” Elina tertawa remeh.

“Elina!! Kamu bukan wakil presidenku lagi!! Jengkel pak presiden.

“Kebetulan pak saya juga mau mengundurkan diri, cukup adil bukan?” Remeh Elina.

“Elina!! Bodoh!!”

“Oops, ada yang marah besar” Elina tertawa keras. “Tenang saja pak presiden kegaduhan ini tidak akan membuat jabatan anda hilang, siapa yang berani menangkap seorang presiden yang dinilai pro rakyat, presiden yang hanya mencuri ide pembangunan dari orang lain. Presiden sampah, pencitraan teruusss!!” Pak Presiden muntab, belum sempat dia menjawab, Elina sudah menutup teleponnya.

Perkataan Elina benar, tidak ada yang berwenang menangkap presiden. Masalah ini membuat kegaduhan. Demo besar-besaran terjadi di Ibu Kota, meminta presiden turun dari jabatannya, ini sudah berlangsung seminggu lamanya setelah rekaman pembicaraan pertamakali disebar. Elina belum resmi mengundurkan diri, Pak Presiden juga belum jadi memecat Elina. Ibu Kota luluh lantak, banyak dari penduduk memilih sejenak keluar dari Ibu Kota. Para Mahasiswa dari seluruh negeri tidak henti-hentinya berorasi siang dan malam, menganggap presiden menjual negara ini kepada negara-negara Arab. Pak Presiden berpikir keras untuk mengembalikan keadaan negara menjadi normal lagi. Dua minggu berjalan kegaduhan masih terjadi, Ibu Kota semakin Luluh Lantak. Istri Pak Presiden menyarankan untuk turun jabatan, ketua umum partai dan koalisi partai pengusung presiden juga menyarankan hal yang sama. Presiden semakin bingung, jika dia mengundurkan diri Elina akan menggantikannya. Jika pak presiden memecat Elina sebelum mengundurkan diri, masyarakat akan semakin membenci presiden.

Hari ke enambelas. Pak Presiden memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden, Pukul sepuluh Elina dilantik menjadi presiden. Tidak ada pembicaraan antara Elina dan Pak Presiden. Pak Presiden yang kini mendapat gelar mantan presiden langsung meninggalkan Istana. Seluruh penjuru kota bergembira kegaduhan berubah menjadi tawa kegembiraan karena perjuangan yang tidak sia-sia untuk menggulingkan presiden yang dulunya dianggap presiden pro rakyat. Pesta diadakan dimana-mana, kembang api dan suara terompet menghiasi langit ibu kota hingga malam. Enambelas hari yang kelam, perekonomian negara luluh lantak. Mata uang melemah.

Pukul sembilan malam, sebelas jam setelah Elina dilantik menjadi Presiden. Elina meminta staff kepresidenan meninggalkannya sendiri untuk menelpon temannya.

“Thankyou, brother. Sedikit kacau tapi semuanya berjalan dengan lancar” Ucap Elina.

“Dengan senang hati, Elina”.


-TAMAT-
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, August 23, 2015

Elina & The President (Episode 6)


“Jadi bagaimana dengan proyek kita, pak?” Pak Presiden, mempersilahkan presiden Irak menikmati suguhan dari Pak Budi. “Semuanya lancar, kita tinggal menunggu negara-negara Arab menandatangani nota kesepahaman” Presiden Irak, meminum teh rempah yang biasa disediakan Pak Budi untuk tamu kenegaraan. Elina berada diantara mereka berdua. Tapi, sampai setengah jam pembicaraan berlalu tidak ada satupun diantara mereka berdua yang mengajak Elina berbicara ataupun sekedar basa-basi yang tidak menarik. Elina hanya tersenyum mendengarkan pembicaraan yang terasa masih sangat lama untuk sampai ujung pembicaraan. Sesekali Elina menatap pak presiden sembari tersenyum, hal yang sama dilakukan Elina kepada Presiden Irak. Keadaan yang membuat Elina merasa tidak ada bedanya antara menjadi pengawal presiden dan wakil presiden, diperlakukan Pak Presiden seperti pengawal presiden, Elina merasa ketidakadilan yang dilakukan Pak Presiden terhadapnya. Tapi, lagi-lagi Elina hanya diam. Menganggap semuanya baik-baik saja. Menjaga hubungan baik adalah hal terpenting bagi Elina.

Satu jam jalannya pembicaraan Elina mulai mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua presiden ini. Ada sesuatu yang terasa aneh ditelinganya. Diambilnya telepon gengam di tas kecilnya, berpura-pura membalas pesan. Elina membuka Sound Recorder memulai merekam semua pembicaraan yang tampak janggal. Kedua Presiden ini membawa nama-nama presiden di daratan Eropa dan Amerika, juga nama-nama negara di semenanjung Arab. Elina melamun, bengong. Sampai semuanya pecah ketika Pak Presiden meminta saran kepada Elina. “Bagaimana Elina? Kamu setuju?”. Elina sulit menjawab karena memang dia tidak tahu, hal apa yang sedang ditanyakan Pak Presiden. “Maaf, sebenarnya apa yang sedang kita bahas, Pak Presiden?”.

“Negara-negara Liga Arab ingin mengajak kerjasama negara kita untuk membuat senjata pembunuh massal, Elina”.

“Maksudnya Nuklir, Pak Presiden?”

“Iya”

“Maaf, untuk apa kita membuat Nuklir, Pak Presiden?”

“Ya, kamu tahu sendirikan, sudah banyak negara yang mempersenjatai dirinya dengan alat pembunuh massal itu” Pak Presiden menyulut rokok yang terapit di bibirnya.

“Negara ini aman-aman saja, pak. Tentram, penduduknya hidup dengan tenang dan damai. Jadi kenapa Negara kita harus ikut membuat senjata pembunuh massal itu?” Tanya Elina serius.

“Kamu tidak paham, Elina. Amerika, Russia, China, Korea Utara dan negara-negara lain. Mereka siap menjatuhkan nuklir kapanpun sesuka mereka, dimanapun tempat yang mereka suka”

“Tapi, dengan alasan apa pak?”

“Memperluas wilayah dan kejayaan, Elina. Jadi kalau kita tidak siap, Negara kita akan hancur seketika tanpa perlawanan”. Pak Presiden mengapit rokok pada sela-sela jarinya.

“Kalau begitu perang dunia ketiga bukan hanya mitos? Akan benar-benar terjadi?”

“Begitulah faktanya, Elina”

“Tidak pak, kali ini saya tidak setuju” Tegas Elina.

“Elina!! Baru kali ini kamu membelot” Pak Presiden muntab.

“Saya jelas tidak sudi menjual negara ini, hanya karena ketakutan Pak Presiden yang tidak terbukti dan tidak jelas” Tegas Elina.

“Keluar, Elina!! Keluar!!” Bentak Pak Presiden, Muntab.

“Baik, pak. Terimakasih. Saya permisi”.


Bersambung
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, August 22, 2015

Elina & The President (Episode 5)


“Selamat malam, Pak Presiden tampak cerah sekali” Presiden Irak menyalami pak Presiden. Lumaya lama Pak Presiden bercakap-cakap dalam posisi saling bersalaman. Lalu menyalami Ibu Negara yang berada persis di samping Pak Presiden. “Gimana sehat, bu? Belum bosan menemani presiden?” tawa kecil keluar dari bibir ibu negara dan pak presiden. “Ah tidak, saya selalu setia mengarahkan bapak agar tidak terjerumus” ujar ibu negara. Setelah menyalami Pak Presiden dan Ibu Negara. Presiden Irak menyalami Elina yang berada di belakang Ibu Negara. “Ah, Elina. Wakil Presiden baru. Orang paling beruntung. Hanya kamu Wakil Presiden yang dulunya adalah pengawal presiden, Hebat Elina” Presiden Irak memegang pundak Elina. “Terimakasih, pak. Saya merasa terhormat menjadi Wakil Presiden baru”. Elina dengan kaku menjawab.

Jiwa Elina masih seperti seorang pengawal presiden. Sekalipun dia adalah Wakil Presiden di periode kedua masa kepemimpinan Pak Presiden. Tapi, terkadang Elina juga risih ketika Presiden masih memperlakukan dirinya seperti pengawal presiden. Rasanya Elina ingin menegur. Tapi, keinginannya menegur selalu saja kandas. Elina lebih ingin menjaga kondisi baik dengan Pak Presiden. Baginya stabilitas politik adalah salah satu hal yang bisa membuat suatu negara menjadi negara yang diinginkan banyak penduduknya. Ekonomi, pendidikan dan harga-harga yang murah adalah keputusan politik. Jika stabilitas politik baik semuanya akan terpenuhi sesuai keinginan. Sebaliknya, jika politik tidak stabil akan banyak tawar-menawar di elit politik negeri ini. Lalu terjadilah suap-menyuap dan korupsi.


“Mari kita ke ruang tengah” Ajak Pak Presiden. Ruang tengah adalah ruang yang biasanya dipakai untuk open house. Masyarakat bisa bertemu presiden setiap malam jumat, menyampaikan aspirasinya atau sekedar foto bersama Pak Presiden. Ruangan dengan foto mantan presiden di dinding-dinding penyangga. “Elina, tolong panggilkan Pak Budi”. Suruh pak presiden, tanpa melihat bahwa Elina adalah Wakilnya. Pak Budi adalah kepala dapur Istana Negara. Juru masak yang selalu menyediakan makanan bagi para penghuni Istana dan tamu-tamu kenegaraan. Juru masak yang terkenal pintar memasak masakan khas daerah. “Siap, Pak Presiden” Jawab Elina dengan menundukkan kepala.

Bersambung
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, August 21, 2015

Elina & The President (Episode 4)


“Sepuluh menit lagi, Presiden Irak akan sampai pak. Mohon Pak Presiden bisa mempersiapkan diri untuk kedatangannya” Ucap Elina. Kedatangan Presiden Irak tidak dikawal oleh tim pengawal Presiden seperti kebanyakan tamu kenegaraan yang lain. Persetujuan antara Pak Presiden dan Presiden Irak untuk tidak dikawal, untuk menghindari pemberitaan dari media. Belum diketahu jelas apa maksud kedatangan Presiden Irak. Mungkin hanya untuk bersilaturahmi.

Kurang dari lima menit Pak Presiden sudah berganti setelan jas hitam dengan dasi merah gelap. Memang tidak butuh waktu lama untuk Presiden berganti pakaian. Tim wadrobe kepresidenan sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Peci hitam dengan lambang negara di sisi kanannya melengkapi setelan jas yang nampak sedikit kebesaran di tubuh Pak Presiden. Mungkin karena Pak Presiden kurus. Sepatu hitam kempling, hampir bisa digunakan untuk berkaca. Lencana Presiden di telinga Jas dan sapu tangan yang berbentuk segitiga menghiasi kantung jas Presiden. “Lima Menit lagi untuk kedatangan Presiden Irak” Ucap Elina.

“Semua bersiap, Presiden Irak memasuki gerbang Istana. Standby” Seru Elina kepada pengawal lain melalui handie talkie. “Mari Pak Presiden” Ucap, Elina dengan tangan yang mempersilahkan Pak Presiden. Standard protokoler. Membawa Presiden menuju pintu utama untuk menyambut tamu kenegaraan. Elina berdiri di belakang Presiden dan Istri, juga menteri dalam negeri. Mobil yang menjemput Presiden Irak memasuki halaman lobby istana, hingga benar-benar berhenti, salah satu pengawal membukakan pintu. Pak Presiden menyambutnya dengan cipika-cipiki, formalitas yang sebenarnya tak perlu dilakukan oleh Presiden, terlebih Presiden berjenis kelamin laki-laki. Elina melihatnya risih.


Bersambung
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, August 18, 2015

Elina & The President (Episode 3)


Pernahkah kau berpikir bahwa nasibmu tak sebaik nasib orang lain? Elina merasakannya. Untuk melindungi seorang Presiden adalah pekerjaan yang tak mudah, dibutuhkan segala bentuk emosi yang bisa dikendalikan secara baik. Nyawa RI 1 mungkin sedang Elina genggam. Elina hampir ingin bunuh diri karena pekerjaannya yang penuh resiko diawal masa kerjanya sebagai pengawal Presiden. Nyawanya dan seluruh keluarganya bisa saja juga ikut terancam. Setelah hampir 5 tahun dia bekerja disamping Presiden, Elina sudah merasa menjadi orang yang paling beruntung diantara orang di dunia. Bisa ikut memberikan pemikirannya untuk kemajuan negara. Hal yang Elina cita-citakan sejak dia kecil.

Secara job sheet Elina bekerja sebagai salah satu pengawal Presiden. Tapi, Pak Presiden menganggap Elina lebih dari seorang pengawal ataupun atlet karate hebat. Pernah pada satu kesempatan ketika Presiden blusukan ke wilayah timur negara, Pak Presiden hanya ingin dikawal oleh Elina. Tahun ini adalah tahun dimana Presiden ingin membangun wilayah timur dengan membawa Elina agar Elina bisa memberikan ide dalam perencanaan pembangunan wilayah timur. Bisa dibilang Elina dan Pak Presiden adalah partner kerja yang ideal. Sangat ideal.

Seorang pengawal yang lain datang memberitahu Pak Presiden bahwa dalam 15 menit Presiden Irak akan sampai ke Istana Negara. Pak Presiden nampak santai, belum mau bersiap-siap menyambut kedatangan Presiden Irak. "Enggak siap-siap, pak?" Ucap Elina. "Ah, santai saja, Elina. Presiden Irak ini orang yang santai, tidak perlu hal yang formalitas, lagian kedatangannya tidak akan diliput oleh media". Elina hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan. Hal yang biasa ketika Elina menghadapi sifat santai Pak Presiden.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, August 16, 2015

Elina & The President (Episode 2)


Elina lulusan terbaik Harvard University, visi yang idealis membuat presiden jatuh hati dengan kecerdasan dan bakatnya. Elina juga sering membantu Presiden dalam memutuskan segala hal yang dirasa Presiden susah untuk di putuskan. Elina selalu mempunyai pandangan perspektif yang tidak dilihat orang. Melihat segala sesuatu dari sisi yang tidak dilihat orang lain. Pengawal sekaligus teman mengobrol RI 1. Salah satu program kerja Presiden untuk mereformasi pejabat negara adalah ide dari Elina. Di periode ke dua kepemimpinan Presiden semua pejabat diganti oleh para ahli dibidangnya bukan dari partai politik. Gebrakan yang langsung membuah IHSG menguat.

Pasukan khusus Presiden sedang mengawal kedatangan Presiden Irak. Kali ini berbeda. Ini tamu khusus Pak Presiden. Presiden Irak datang dari jalur laut untuk menghindari kejaran media. Elina belum mengetahui perjanjian apa yang akan dibahas dalam pertemuan kali ini. Pak Presiden belum memberitahu Elina. Sebelum Presiden Irak, juga sudah datang perwakilan dari Mesir dan Libya yang juga belum diketahui Elina apa maksud tujuan mereka menemui Pak Presiden. Mereka membawa sebuah alat dalam koper berwarna perak. Isinya bukan uang karena tidak mungkin seorang yang diutus kepala negara membawa uang dalam koper untuk seorang Presiden. Apalagi RI 1 menyatakan dirinya anti korupsi.


"Negara ini hebat, 
Elina. Saking hebatnya banyak orang yang berebut untuk bisa menguasai negara ini. 
Stabilitas politik sengaja di goncang. Cara mereka untuk membuat negara ini terus begini
" ucap Presdien yang duduk di depan 
Elina. Presiden menyangkan dengan adanya banyak keprntingan yang tidak memprioritaskan rakyat diatas kepentingan segalanya. 
"
Sebenarnya hal yang paling susah dalam hidup bernegara itu bukan menciptakan sistem. 
Tapi, menciptakan sumber daya manusia yang hebat dan idealis bukan sekedar hidup tapi tak tahu terimakasih dengan negaranya, pak presiden" jawab 
Elina. 
"Benar, 
Elina. Sangat susah menciptakan itu semua. 
Sumber daya alam kita melimpah. Namun sumber daya manusia yang ada belum bisa menyeimbangakan itu semua
". Percakapan 
Elina dan Presiden tersambung hingga percakapan pribadi. 
Waktu yang pas sembari menunggu tamu kenegaraan dari Irak. Pak 
Presiden sering menggunakan waktu luang untuk berbincang dengan Elina sekaligus mencuri ide brilian dari 
Elina.


Bersambung
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, August 15, 2015

Elina & The President


"Berhentilah menatap jendela, Elina. Hujan telah lama reda. Apalagi yang sedang kau pandangi" Ucap Pak Presiden. Pagi ini Presiden Irak akan datang untuk menandatangani kerjasama bilateral. Hujan yang tadi datang menyita pandangan Elina. Ini memang pekerjaan Elina menatap hujan selain menjaga dan mengawal RI 1. "Saya sedang menatap sisa-sisa hujan, pak. Aroma tanah yang tercium meredakan rasa lelah yang datang" Jawab Elina.

Pak Presiden selalu bersikap santai pada pengawal-pengawalnya, meski para pengawal selalu bersikap kaku ketika Pak Presiden bersikap santai. Presiden yang dicintai rakyatnya dengan bukti 80% perolehan suara pada pilpres tahun lalu yang membuatnya menjadi presiden untuk periode kedua masa kepemimpinanya. Kemiskinan turun drastis menjadi 4,5%. Rekor untuk sebuah negara yang masih berkembang. Elina selalu menjadi pilihan Pak Presiden dalam mengawalnya. Pak Presiden menyebut Elina pengawal pribadinya, meskipun Elina ogah disebut seperti itu.

Elina perempuan yang jago karate, juara karate dalam Olimpiade Beijing tahun 2008. Alasan kenapa Pak Presiden memilih Elina untuk menjadi pengawal pribadinya. Mungkin karena Presiden merasa dirinya lemah, sehingga dia mencari pengawal pribadi yang mampu membuat dirinya merasa aman. Presiden lemah tapi punya kecerdasan yang luar biasa. IQnya 240. Dua kali pindah Sekolah Menengah Atas karena menentang kepala sekolah yang dinilainya korup dan tak becus dalam memimpin. Hampir setiap bulan selalu masuk Kantor BK karena celotehannya yang dia tulis di dinding-dinding sekolah. Siswa yang punya pengaruh besar terhadap teman-temannya. Dianggap nakal oleh kepala sekolah tapi dianggap hebat oleh teman-temannya.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, August 11, 2015

SURAT KENAPA


Ada hal yang tidak aku mengerti atau mungkin belum aku ketahui. Bagaimana cara galaksi diciptakan, bagaimana cara bintang mempunyai cahaya atau sinarnya sendiri, kenapa matahari yang berukuran besar seperti itu masih saja ada yang melebihi ukurannya. Kenapa? Aku bertanya kenapa Albert Einsten bisa sangat terkenal, padahal dia sama sekali tidak bisa menyelesaikan sekolahnya. Apa hanya karena dia mengemukakan teori relativitas lalu dia terkenal? Hanya itu kah? Kalau memang begitu, orang-orang biasa bisa menemukan teorinya masing-masing lalu jadi terkenal? Nyatanya tidak. Tidak ada orang biasa yang terkenal – melejit langsung seperti Einstein. Kenapa? Adakah jawaban yang bisa memuaskanku?

Lalu kenapa aku ditakdirkan untuk menulis? Untuk membaca? Untuk menemuimu? Untuk mencintaimu? Kenapa? Kenapa harus kamu? Aku dicintai orang lain. Tapi, aku mencintaimu yang dicintai orang lain. Tapi, kamu tidak mencintainya. Karena kamu mencintai orang yang bertolak belakang denganmu. Kamu bilang itu seimbang karena alam saja butuh penyeimbang. Aku bilang itu aneh. Bukankah menjadi sama adalah impian banyak orang? Bukankah beras yang ditimbang harus sama dengan ukuran pemberatnya? Lalu, kenapa banyak orang berpikiran bahwa seimbang itu berarti berbeda? Kenapa?

Kenapa aku harus pergi jauh untuk menemuimu, kenapa harus mengorbankan waktu. Tempatmu bukan jarak yang dekat. Itu sangat jauh. Sangat. Meskipun pada akhirnya kita berbaring bersama untuk melepas rindu. Aku tidak akan melarangmu untuk selingkuh. Tapi, aku akan marah jika kau meninggalkanku. Sendiri.

Rindu ini mengeras lalu berubah menjadi bubur ketika kamu menemuiku. Sore itu, di depan gedung bertuliskan “Kantor Gubernur” dalam bahasa belanda. Aku melihatmu melukis bangunan itu dengan aku yang duduk disampingmu, memegang pundakmu. Kamu bilang: Aku tenang jika setiap saat kita begini.


Aku menggambarkanmu disetiap tulisanku, kamu menuliskanku disetiap lukisanmu. Kamu melengkapi sela-sela jariku, mengisi setiap relung & guratan takdir perjalananku. Terimakasih untuk satu hari di Jakarta, untuk satu pelukanmu sore itu. Terimakasih karena kamu melihatku dari apa yang aku lakukan, bukan lainnya. Terimakasih untuk satu ranjang yang kita bagi berdua malam itu, dengan tangan kita yang saling menyentuh wajah yang merona dan merindu. Aku selalu takut akan waktu yang melesat cepat ketika kita bersama, terimakasih sayangku..
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, August 4, 2015

Menunggu Pagi



Kala menjadi ketertatikan bisu
Menyekat dalam rongga yang sempit
Kamu menemuiku di suatu bangku
Di bawah rembulan kuning
Di antara bintang yang tak sebanyak perasaanku
Padamu

Kamu bilang sendiri bukanlah teman
Aku bilang menunggu itu temanku
Kamu bilang apa gunanya menunggu
Aku bilang menunggu itu seni mencintai
Ketidakpastian yang menyekat
Kerelaan yang membisu
Air mata yang mengeras
Doa yang membanjiri
Seni agung dengan pertanyaan yang tak terjawab

Bibirmu menjadi candu
Matamu menjadi rindu
Kenangan ini menjadi obatnya
Bahkan ketika gunung-gunung runtuh
Lautan surut
Langit tak mampu lagi berawan
Aku akan tetap menunggumu
Hingga pagi datang lagi
Di bangku ini
Hingga rembulan tak menguning lagi
Hingga bintang menjadi lebih banyak
Dari perasaanku

Aku tidak bodoh
Aku hanya takut
Mengalami masa tersulit

Melihatmu mencintai orang lain
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.