Sebentar
lagi aku akan mengerti, bagaimana perempuan tua itu melahirkan di depan abu
perapian yang nyala apinya makin lama makin mengecil. Ia meminta selimut hangat,
menutup tubuh telanjang penuh luka yang basah, darah mengalir ke sekujur
tubuhnya. Kurasakan keringat dingin saat kutempelkan tanganku pada kening dan
lehernya. Perempuan itu mengucap sesuatu dalam bahasanya sendiri, tak
benar-benar kuketahui kata apa yang keluar dari bibirnya yang menggigil, hanya kudengar
gemeretak gigi yang makin kencang, saling berdentam hingga rasanya mulai
terkikis pelan-pelan.
Aku
menemukan perempuan tua itu di depan rumah, malam lewat pukul sepuluh, saat
kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan aneh tentang kematian, atau pertanyaan
asing yang luput kususun dan kujawab. Malam saat seharusnya meja makanku terisi
penuh menu-menu lezat dan menggiurkan. Ia tidak datang setelah empat jam aku
menunggu. Hanya ada piring-piring kosong di atas sana. Juga hati yang kini
lapang, seluas pertanyaan yang menggebu di kepala. “Sebentar lagi,” aku harap
ia datang sebentar lagi, sambil terus menunggu. Namun ia tak datang, Tak ada
ketuk pintu. Berubah jadi debar jantung yang kencangnya tak terkira.
Saat
kulihat keluar jendela, berharap ia berdiri membawai setangkai lily di tangan
kirinya, atau sebotol anggur merah kesukaan kami di tangan kanannya. Justru
kutemukan perempuan tua itu menggigil, tidur meringkuk. Ia telanjang,
keriput-keriput itu nyata terpampang, mengeluarkan asap-asap dingin,
memunculkan getaran acak yang membuatku cepat-cepat membopongnya. Merebahkannya
di sofa, membungkusnya dengan selimut seadaanya. Matanya nyalang, menatap
atap-atap rumah dengan cahaya lampu yang berpendar ke segala arah.
Kuketahui besar
perutnya, ada nyawa yang hilang di dalam rahimnya, ia menangis, mengusap perut
itu, tak ada lagi tendangan dari kaki-kaki kecil, ia bebas dari perut yang
mules, atau keinginan untuk muntah. Aku penasaran ada apa di dalam kepalanya
sekarang, apa yang baru saja ia alami, perempuan tua itu menatapku, ada
pengharapan yang luput dicuri dari mata cokelatnya, ada kebahagiaan yang
direnggut, ada ketakutan yang menghantuinya. Apakah ia merasa gagal? Apa yang
sebenarnya terjadi?
Kubawakan kain
kompres hangat untuk meredakan panas tingginya, meredakan kesedihan di mata dan
dadanya, ia memegang tanganku, erat, makin erat, tangisnya pecah, tanpa bisa
berkata-kata. Perempuan tua itu susah payah bangkit, duduk, lalu memelukku,
selimut itu terhempas jatuh ke pangkuannya. Ada bahasa yang tak kuketahui,
susah kumengerti. Seharusnya malam ini orang lain memelukku, bukan perempuan
tua ini.
Ia berdiri,
meninggakan selimutnya, duduk memeluk lututnya di depan perapian, kulingkarkan
selimut itu, membungkus punggungnya, satu selimut lagi hingga menutup seluruh
tubuhnya. Tampak kepalanya yang tegang, rambut putih acak-acakan, menunduk, ada
rapal doa yang ia agungkan. Makin lama, makin dahsyat, seperti seorang pendeta
di misa paskah.
Setelah
hening yang lama, selimut di depannya jatuh, ia membuka kakinya lebar-lebar,
membuka tubuhnya, menengadah, perempuan tua itu mulai mengejan. Tangannya
melambai-lambai mencoba meraih tanganku. Kuserahkan seluruh tubuh, pikiran dan
hatiku padanya, pada setiap tangis dan getar di dadanya, tak adalagi yang
kutakutkan, sekejap hilang menguap di udara, napas panjangnya kini memburu. Aku
ikut mengejan.
Sebentar
lagi, akan kulihat kejaiban paling indah, bentuk rupanya yang kini diam, tak
seperti biasanya. Ia tak perlu merasa kedinginan, tak perlu merasa ketakutan.
Ia sudah berada di tempat paling aman. Di dalam peluk ibunya, di kedalaman mata
dengan tangis bahagia, meski segala yang ia harapkan direnggut dalam-dalam.
Sebentar
lagi. Kubantu ia menghilangkan kesedihan dari wajahnya, kuhapus sesak di
dadanya, akan kuukir tangisku di tiap lukanya yang basah. Sebentar lagi.
Lahirlah
sebagai aku, hiduplah sebagai kamu. Kita seharusnya bahagia, dalam dunia yang
kini buta, memaksamu terus meratapi gelisah di sela-sela jarimu. Membuatmu lupa
dan luput, seperti katamu, keindahan tertutup oleh obsesi kita yang
membabi-buta akan segala hal-hal buruk.
Sebentar
lagi,
beri aku
waktu sedikit lagi,
sebentar
lagi. Sebentar lagi.
Semarang, 15 November 2021
Selamat ulang tahun, baik-baik selalu.