Sunday, November 14, 2021

1. selamat ulang tahun;


 

Aku takut ketika malam tak lagi bisa menemani.

Kamu hilang dan pergi tak mengabari

dan aku hanya bisa menyesali diri,

belum berani bilang soal rasa ini.

 

Aku takut ekspektasi membuatmu hilang diri,

melupakanku yang tak lagi berarti.

Mulai hari ini, aku harus sadar diri,

memilikimu bukan janji yang bisa ditepati.

 

Aku hanya bisa menyampaikan rasa melalui puisi ini;

Selamat menempuh umur baru,

kamu yang menguasai mimpiku

Yang melebihi kekuatanku,

dalam debar dan doa pagiku.

 

 

Semarang, 15 November 2021

Selamat ulang tahun, rayakanlah setiap tragedi di hidupmu.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

2. ada rasa takut yang menguasai kepalanya


 

aku melamun;

menatap ke luar jendela yang basah oleh deras hujan. Seorang anak bermain, membasahi tubuhnya, berguling pada aspal hitam. Kulihat sepasang kaki mungilnya yang kotor tersapu air, juga rambut yang acak-acakan.

dan di dalam sini, aku duduk bersamamu, rambut hitam legam yang berkilau itu, senyum kecil dan tawa lepas menggetarkan dadaku. Dengan segala cerita yang bebas berkelana dari bibir tipismu. Lipstik merah tempat seharusnya aku mengadu.

 

Gelas-gelas kopi mulai habis, es-es dingin menyejukkan kening yang basah. Bahkan setelah banyak pertemuan aku masih harus menutupi canggungku. Takut keringat terus mengucur, dan kau bertanya; apakah aku baik-baik saja?

Akan kujawab dengan senang hati; aku tak pernah sebaik ini, duduk bersamamu dan merasa hidup, bersyukur kau dalam keadaan tenang dan sehat.

Aku suka ketika kau tertawa pada lelucon aneh yang mati-matian kususun, pada segala pertanyaan tentang rasa penasaranmu, atau saat kau menguncir rambutmu, memakai kacamatamu, melipat kedua tanganmu di atas meja. Tatapan itu; meneduhkan. Melegakan.

 

Selalu kubayangkan, bagaimana jika kita hidup lama, menua dalam kursi sofa di ruang keluarga, melihat cucu-cucu kita yang berdebat rasa es krim apa yang paling enak. Atau menjawab pertanyaan sulit dari anak-anak kita, tentang; apakah benar pernikahan adalah jebakan paling mengerikan dalam hidup.

dan kita menjawab dengan lembut tanpa tergesa apalagi menghakimi, saling tatap lebih dulu, dengan debar jantung yang kencangnya serupa saat ciuman pertama kita yang singkat malam itu. Kulihat ekor matamu yang lentik, dan kau melihat hidungku yang kembang-kempis.

Pernikahan adalah obat dari umur yang panjang, jebakan paling indah dan melegakan. Tapi siapa yang tahu sebelum akhirnya kita sama-sama menemukan yang kita cari, dan tak terburu-terburu mengungkap apa yang kita rasa. Kita menikmati perasaan aneh ini, merayakannya dengan suka cita.

 

Lalu tiba-tiba ada kekuatan dalam diri yang meminta lebih, pelan-pelan tatapan berganti jadi genggaman, pelukan, elus lembut pada ubun-ubun. Hingga basah pada bibir yang bergetar hebat.

Kubayangkan rumah di pinggiran kota, dengan lahan hijau luas, tempat kau menulis sebagai persembahan pada dunia, pada alam semesta, atau saat kau memasak di dapur mungil kita, yang aromanya melebihi parfummu sehari-hari.

Akan kulukis The Starry Night di kulitmu, di tubuh sintalmu, mengarungi setiap lekuk tubuhmu, dari perutmu yang menua bersama keriput di wajah tuamu yang tetap manis dan cantik. Kuas-kuas dengan warna-warna pastel kesukaanmu.  Sambil sesekali kukecup bibir dan keningmu, lalu kita tertawa bersama.

 

Lupakan rasa takut yang menguasai kepalamu, atau kegagalan yang menghantuimu, sayang. Bersamamu membuatku melupakan hal-hal buruk. Kau memberiku nyawa baru, kesempatan baru, kemungkinan baru, yang selama ini melarikan diri dari hidupku.

Kata-kata ini tak akan pernah habis, seperti kekagumanku pada caramu berpikir, caramu melihat dunia, dan caramu memperlakukanku. Aku harus berhenti sebelum tangis basah dari mata yang berkaca-kaca tak kunjung berhenti.

Sudah kupikirkan baik-baik, bagaimanapun, selayaknya kebahagiaan sederhana yang kau cari dan terus kau kejar. Bahwa dengan melihatmu baik-baik saja, aku merasa bahagia. Lebih dari hidup. Lebih dari hari ini. Lebih dari apapun.

 

Semoga kau membayangkannya,

Semoga kau merasakannya,

Semoga kau mensyukurinya,

Semoga.

 

 

Semarang, 15 November 2021

Selamat ulang tahun, hiduplah dalam keceriaan.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

3. ada kesedihan yang sesak di dadanya


 

Sebentar lagi aku akan mengerti, bagaimana perempuan tua itu melahirkan di depan abu perapian yang nyala apinya makin lama makin mengecil. Ia meminta selimut hangat, menutup tubuh telanjang penuh luka yang basah, darah mengalir ke sekujur tubuhnya. Kurasakan keringat dingin saat kutempelkan tanganku pada kening dan lehernya. Perempuan itu mengucap sesuatu dalam bahasanya sendiri, tak benar-benar kuketahui kata apa yang keluar dari bibirnya yang menggigil, hanya kudengar gemeretak gigi yang makin kencang, saling berdentam hingga rasanya mulai terkikis pelan-pelan.

Aku menemukan perempuan tua itu di depan rumah, malam lewat pukul sepuluh, saat kepalaku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan aneh tentang kematian, atau pertanyaan asing yang luput kususun dan kujawab. Malam saat seharusnya meja makanku terisi penuh menu-menu lezat dan menggiurkan. Ia tidak datang setelah empat jam aku menunggu. Hanya ada piring-piring kosong di atas sana. Juga hati yang kini lapang, seluas pertanyaan yang menggebu di kepala. “Sebentar lagi,” aku harap ia datang sebentar lagi, sambil terus menunggu. Namun ia tak datang, Tak ada ketuk pintu. Berubah jadi debar jantung yang kencangnya tak terkira.

Saat kulihat keluar jendela, berharap ia berdiri membawai setangkai lily di tangan kirinya, atau sebotol anggur merah kesukaan kami di tangan kanannya. Justru kutemukan perempuan tua itu menggigil, tidur meringkuk. Ia telanjang, keriput-keriput itu nyata terpampang, mengeluarkan asap-asap dingin, memunculkan getaran acak yang membuatku cepat-cepat membopongnya. Merebahkannya di sofa, membungkusnya dengan selimut seadaanya. Matanya nyalang, menatap atap-atap rumah dengan cahaya lampu yang berpendar ke segala arah.

Kuketahui besar perutnya, ada nyawa yang hilang di dalam rahimnya, ia menangis, mengusap perut itu, tak ada lagi tendangan dari kaki-kaki kecil, ia bebas dari perut yang mules, atau keinginan untuk muntah. Aku penasaran ada apa di dalam kepalanya sekarang, apa yang baru saja ia alami, perempuan tua itu menatapku, ada pengharapan yang luput dicuri dari mata cokelatnya, ada kebahagiaan yang direnggut, ada ketakutan yang menghantuinya. Apakah ia merasa gagal? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kubawakan kain kompres hangat untuk meredakan panas tingginya, meredakan kesedihan di mata dan dadanya, ia memegang tanganku, erat, makin erat, tangisnya pecah, tanpa bisa berkata-kata. Perempuan tua itu susah payah bangkit, duduk, lalu memelukku, selimut itu terhempas jatuh ke pangkuannya. Ada bahasa yang tak kuketahui, susah kumengerti. Seharusnya malam ini orang lain memelukku, bukan perempuan tua ini.

Ia berdiri, meninggakan selimutnya, duduk memeluk lututnya di depan perapian, kulingkarkan selimut itu, membungkus punggungnya, satu selimut lagi hingga menutup seluruh tubuhnya. Tampak kepalanya yang tegang, rambut putih acak-acakan, menunduk, ada rapal doa yang ia agungkan. Makin lama, makin dahsyat, seperti seorang pendeta di misa paskah.

Setelah hening yang lama, selimut di depannya jatuh, ia membuka kakinya lebar-lebar, membuka tubuhnya, menengadah, perempuan tua itu mulai mengejan. Tangannya melambai-lambai mencoba meraih tanganku. Kuserahkan seluruh tubuh, pikiran dan hatiku padanya, pada setiap tangis dan getar di dadanya, tak adalagi yang kutakutkan, sekejap hilang menguap di udara, napas panjangnya kini memburu. Aku ikut mengejan.

Sebentar lagi, akan kulihat kejaiban paling indah, bentuk rupanya yang kini diam, tak seperti biasanya. Ia tak perlu merasa kedinginan, tak perlu merasa ketakutan. Ia sudah berada di tempat paling aman. Di dalam peluk ibunya, di kedalaman mata dengan tangis bahagia, meski segala yang ia harapkan direnggut dalam-dalam.

Sebentar lagi. Kubantu ia menghilangkan kesedihan dari wajahnya, kuhapus sesak di dadanya, akan kuukir tangisku di tiap lukanya yang basah. Sebentar lagi.

Lahirlah sebagai aku, hiduplah sebagai kamu. Kita seharusnya bahagia, dalam dunia yang kini buta, memaksamu terus meratapi gelisah di sela-sela jarimu. Membuatmu lupa dan luput, seperti katamu, keindahan tertutup oleh obsesi kita yang membabi-buta akan segala hal-hal buruk.

Sebentar lagi,

beri aku waktu sedikit lagi,

sebentar lagi. Sebentar lagi.


Semarang, 15 November 2021

Selamat ulang tahun, baik-baik selalu.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

4. ada hujan yang lapang di matanya


 

Ia dikisahkan oleh hujan pada minggu malam.

Ada hati yang lapang tampak di pelupuk matanya.

 

Ajarkan aku membunuh imajinasi ini;

tentang apakah aku bisa seutuhnya mencintaimu tanpa perasaan cemas.

Bunuh aku, ketika segala yang mungkin terhapus oleh yang muskil.

 

Tubuhmu adalah perantara doa agung, tempat segala sajian diperebutkan.

Sedang aku terdiam di sudut melihat mereka saling sikut, saling tendang, tubuhmu yang malang.

Aku tak berenergi, biarkan semua orang merebutkanmu. Menunggu adalah satu-satunya keahlianku. Saat kau tidak lagi punya pilihan. Aku adalah sisa. Tempat kau bisa mengadu apapun.

 

Aku berdoa pada tuhan yesus,

turunkan hujan sebelum matahari membakar habis diriku.

Basahkan aku dan bersihkan luka memar berdarah di sekujur tubuhku.

Ingatkan aku untuk membunuh segala pikiran janggal.

Tentang bisakah aku menjadi satu-satunya yang kau mau.

 

Aku ingin mati di sampingmu.

Melahirkan cerita-cerita baru yang tak akan bisa dihapus oleh waktu.

Kalo kau anggap ini berlebihan. Aku setuju.

Kau membangkitkan minatku,

menjagaku dari pikiran-pikiran gila.

 

Lantas apa yang kurang?

Apa yang lebih kau butuhkan dari menjadi hidup dan bernyawa?

Kau tidak sedang terlibat pada segala jenis pertarungan, bahkan pertarungan dalam dirimu.

Kau hanya berputar-putar, menjawab rasa penasaran di kepalamu.

Kau lupa bahwa jawaban dari semua itu, ada di aku.

Mungkin ada di aku,

Mungkin.

 

abaikan.

ini hanya pikiranku.

imajinasiku.

 

atas semua yang kutulis.

semoga kamu bahagia

aku bahagia

kita bahagia.

 

selamat bertemu kembali.

pada kisah baru

momentum yang tepat

waktu yang baik.

 

satu yang tak akan pernah berubah.

aku mencintaimu dengan segala kurangku,

menyayangimu dengan segenap cela yang kau tahu.

Mengharapkanmu lebih dari mimpi burukku.

 

Semoga kita bahagia.

kita harus bahagia

kita bahagia.

bahagia.

 

meski dengan cara masing-masing.

 

Semarang, 15 November 2021

Selamat ultang tahun, sekali lagi.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, November 1, 2021

sekali lagi


 

Cerita ini dimulai pada pagi yang dingin di bulan Desember satu tahun yang lalu. Semalam hujan turun, jalanan sepi, gelandangan berteduh di telusur-telusur gedung atau di pepohonan rimbun. Besok natal tiba, orang-orang menyambut dengan sukacita, perapian ditata sedemikian rupa, rumput-rumput panjang milik tetangga dipotong, hingga tidak lagi tajam, dan anak-anak kecil berguling di sana, riang, tanpa beban.

Ada pertanyaan bergumul di awan-awan, mendung dan gelap, bagaimana aku akan hidup setelah ini? Di depan pintu seorang perempuan menunggu, sebotol anggur tua tergenggam di tangan kanannya. Tangan kirinya bersembunyi di balik tubuh yang hangat, sedang cuaca di luar sesungguhnya sangat dingin. Perempuan itu menguncir rambutnya, membiarkan pucuk pangkal rambut hitam legam itu menggantung bebas.

Ujung rok hitam yang mengkilap itu menyentuh lututnya, tak ada alas kaki yang membungkus kaki mulus itu. Ada debu menempel, hitam dengan embun-embung lengket yang menyelimuti punggung kakinya. Beberapakali kulihat jari kakinya menggaruk satu sama lain. Tak kuingat nama perempuan itu, matanya yang kecokelatan saat pertama kali kubuka pintu, berpendar, dengan senyum yang pada detik pertama langsung membekas di kepalaku.

Ia langsung masuk, berlalu, meski aku belum mengucap sepatah kata pun. Perempuan itu datang sendiri, kepalaku melongok ke luar rumah—tak ada siapa-siapa, hanya hembus angin yang makin lama, makin liar. Ia memakai kaus putih yang ujungnya bersembunyi di balik rok, rapi, anggun. Dengan gambar tokoh Shinchan yang menunjukkan bokong dari balik celana, dengan lidah yang menjulur panjang, disablon mencolok di dada kanannya.

Mataku mengikuti setiap lekuk tubuhnya, setiap langkah kakinya, ia mengambil dua gelas kosong dari lemari penyimpanan di atas lemari es. Lalu duduk di sofa cokelat dan mematikan televisi yang menyiarkan santa-santa gendut dengan kacamata bundar yang ukurannya menghabiskan setengah bentuk wajah. Aku ingat, perempuan itu menuangkan anggur dalam botol hingga setengah gelasnya. Mengisinya penuh di gelasku.

Pertanyaan di kepalaku jatuh, pelan-pelan aku mendaratkan punggungku pada sofa empuk, menatap matanya yang tak kunjung berpaling dari tatapanku. Dengan gelas terisi anggur yang terus ia pegang, belum kusentuh gelasku di ujung meja, sejengkal-dua-jengkal dari tempatku duduk.

Setengah jam berlalu, tanpa percakapan, anggur di gelasnya habis, sedang kulihat anggur di gelasku semakin dingin—terpana menatapku. Perempuan itu merebahkan tubuhnya di sofa panjang, setelah membersihkan kakinya dengan handuk putih yang kuberi. Ia lepas kuncir rambutnya, dan terlelap. Kubawa selimut, membungkus tubuhnya yang menggigil. Aku duduk di ujung sofa, telapak kakinya yang dingin menyentuh kakiku.

Kunyalakan lagi televisi, tenggelam dalam film-film natal yang berulang kali kutonton. Kusentuh kakinya, memijat lembut, dingin di kakinya pelan-pelan berubah hangat. Perempuan itu makin terlelap. Cuaca di luar makin ribut, aku terjaga.

Perempuan itu mengubah letak tidurnya, ia ubah kakiku jadi bantal empuk, menatap mataku lekat-lekat. Memiringkan tubuhnya, kurasakan napas yang mendarat di perutku, ia menghirup aroma tubuhku. Memainkan jemarinya di atas perutku, menempelkan telapaknya. Tubuhku hangat. Ada pancaran yang timbul dari tangan itu. Masih tak ada sepatah kata yang muncul, dari bibirnya bahkan bibirku.

Ia meraih tanganku, menaruhnya di kening. Sekali lagi tersenyum menatapku. Seperti seorang ibu pada anaknya, kubelai lembut kening hingga ubun-ubun. Dan ia terpejam, lelap dalam tidurnya sekali lagi.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.