Friday, October 20, 2023

Hidup Memang Gitu, Re. Ga Seperti di Drakor-Drakor.


 “Aku inget semalem aku ngantuk, niatnya mau tidur gasik, ya sekitar jam 10, tapi malah ga nyenyak. Jadi tidur ayam-ayam. Baru bisa beneran tidur jam 12, kebangun jam 2, terus kebangun lagi jam 4. Jam 6 udah harus cabut. Pas kebangun itu aku scroll-scroll, ya tiktok, ya twitter, ya Instagram. Sumpah aku ga biasanya jam segitu masih bangun, biasanya waktu tidurnya jelas dan disiplin banget lah aku ini. Aseek. Paling tidur jam 2 kalo ada chat-chat yang menggairahkan untuk tetap dibalas.”

“Anyway, waktu scroll-scroll itu aku nemu berbagai macam postingan, ada yang jam segitu masih makan di luar sama temen-temennya, maksudku mereka yang jam 2 pagi makan tidurnya jam berapa ya? Ada yang bikin story pake lagu galau, entah beneran galau, atau cuma cari perhatian biar dibales? Ada yang beneran berpikir untuk bunuh diri, ada yang baru kelar telpon atau videocall ibunya—aku jadi ikut senyum. Dalam hati orang ini pasti lagi mengalami hari yang berat atau minggu yang sulit. Lalu aku berdoa untuknya—semoga dia baik-baik aja. Aamiin.”

Catatan terakhirnya yang kubaca ternyata membuatku lega, kupikir ia sedang tidak baik-baik saja. Syukurlah. Aku ikut lega. Orang-orang mungkin sedang banyak menghadapi hal-hal sulit dan situasi yang serba berat, tapi di antara mereka, masih ada yang sadar harus melakukan apa untuk membalikkan situasi jadi normal atau setidaknya mendekati normal—yang ia inginkan. Meski kita tahu hal-hal itu yg seperti roda, pasti akan terjadi lagi. Paling tidak kita selalu punya cara untuk terus waras dan tetap menginjak bumi.

Aku sadar, mereka yang tiba-tiba ga pernah bales chat, mungkin sedang sibuk lepas dari pikiran jahatnya tentang dunia yang kelam, sedang berusaha baik-baik saja, sedang mengambil kesempatan untuk sendiri dulu. Atau mereka yang drytexter mungkin memang lagi beneran sibuk, meski kadang pikiran jahatku bilang mereka menolak untuk berurusan sama kita, ya tapi overthinking tuh pasti ada, kita cukup ingat aja kalo segala yang over itu ga baik. Jadi secukupnya aja, paham mana batasnya.

Atau mereka yang dulu deket sama kita, sering ngobrol, sering ketemu, kulineran bareng, selalu semangat dan bersedia kalo diajakin ketemuan. Tapi sekarang ga gitu lagi, kita punya pilihan untuk berpikir positif, barangkali mereka sedang sibuk sama hidup yang lebih menyenangkan dan menghasilkan, atau pikiran negatif mungkin mereka ga cocok sama kita, atau menganggap kita punya niat lain. Ya gapapa, Hidup memang gitu, ga seperti di drakor-drakor.

Semoga kita menemukan apa yang baik buat kita, apa yang membuat kita nyaman, yang bikin kita merasa aman entah itu dalam bentuk tempat, aktifitas, atau mungkin orang. Senyum aja, gapapa sedih, nangis. Tapi jangan lupain mereka yang dulu sempat melahirkan senyum di bibirmu, tawa haru di matamu, atau yang bikin kamu sempat bersyukur karena mengenalnya. Jangan lepas hal-hal yang datang ke kamu dengan cara-cara baik dan positif. Supaya hidup yang anjing ini seengaknya ga terlalu anjing, karena mereka ada. Karena kita berhasil membentuk dan memelihara support system. Termasuk segala yang ada dalam dirimu.

Terima kasih sudah baca sampai sini. Barangkali kita bisa ngobrol atau bahkan ketemu. Santai aja. Ga harus sekarang, nanti-nanti juga bisa.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, October 18, 2023

Para Pemarah dan Kesunyiannya Masing-Masing.


"Aku selalu ngerti, paham titik dimana kamu anggap aku temen, and it’s totally okay. Tapi bahkan kamu ga tau kabarku, ga paham kondisiku, ga ngerti situasiku. Ga pernah nyediain waktu buat ketemu. Selalu aku. Dan tiap kali ada kesempatan buat ketemu, cuma aku yang dengerin kamu. Kamu ga pasang telingamu buat aku. Aku pelan-pelan jadi tahu hal-hal tentang kamu. Sedangkan kamu? Ga tau apa-apa soal aku. Dan aku ga boleh marah, kalau aku marah, kamu menjauh, kamu ga sanggup mengakomodir apa yang aku rasain. Sesuatu yang di luar kepala bisa aku lakuin buat kamu. Akhirnya setelah kamu ketemu orang baru, aku bener-bener ga kamu kenali. Pantaskah itu disebut teman? How dare you!”

“Buatku rulesnya sederhana, kalo kamu, aku, kita, sampe harus begging, mohon-mohon, melata kayak hewan, berarti jangan. Berlaku dalam banyak hal. Apalagi hanyak sekadar ajakan untuk bertemu. Aku jadi ngerti, kita harus belajar menerjemahkan tanda-tanda yang ga tampak. Kode-kode aneh yang sebenernya bisa diganti dengan penolakan yang sederhana. Bahkan kata “tidak”, “enggak”, dan sejenisnya itu umurnya lebih tua dari kita, sudah ada sejak penciptaan pertama.”

Kutemukan catatan itu di dua halaman terakhir, dan catatan terakhir tak sampai hati untuk kubaca sampai akhir. Seseorang mengekspresikan perasaannya dengan cara yang sehat, cara-cara yang baik. Namun dianggap sepele, reaksi orang bahkan bisa kubilang udah kayak tai. Respon-respon dan reaksi-reaksi yang membuat seorang manusia jadi pemarah paling sunyi. Tak meledak-ledak, namun meledakkan dirinya sendiri. Dalam diamnya, ada perkataan-perkataan ganjil dan mimpi-mimpi aneh yang tak kunjung selesai. Yang hanya bisa ia tulis.

Setelah satu percakapan panjang, kau akan merasakan kekosongan yang gelap, kesunyian yang pekat. Setelah satu percakapan panjang itu, barangkali kau lahir sebagai orang baru, hidup dalam sekat-sekat yang tegang dan mengikat. Pada akhirnya kau lahir untuk kematian panjang. Lalu kau tersadar ada perkara-perkara ganjil tentang nasib-nasib buruk di dalam tubuhmu, dan kau berusaha lari dari kenyataan itu—kenyataan bahwa orang-orang menyebabkan itu semua. Orang-orang yang memulainya dengan suka cita, dan mengakhirinya dengan cara paling aneh, cara-cara gelap. Cara-cara jahat.

Lalu aku memikirkan ulang tentang satu hal; Kupikir sedih, kecewa, dan trauma adalah bagian dari merayakan perasaan. Tapi bukankah perayaan hanya dilakukan sekali dalam setahun? Sampai-sampai kita tak lagi sadar, kita dikendalikan oleh pilihan dan sebab yang ditimbulkan orang lain. Kita terperangkap dalam kesunyian yang orang lain buat untuk kita. Kadang manusia tak menyadari cara hidup mereka yang sembrono, (hanya mementingkan perasaan dan pikirannya) bisa menghancurkan orang lain berkeping-keping. Saat sifat buruk yang ada dalam dirimu terekspose seharusnya kau tak merasa nyaman atas hal itu.

Para pemarah hidup dalam kesunyian yang tak mereka buat sendiri, mereka tak akan pernah punya kesempatan untuk merasakan mati. Sebab diam-diam—tanpa sadar ia telah mati. Mereka mungkin akan hidup seratus, atau seribu tahun lagi, meski dalam keadaan mati.

Untuk sebentar saja, rasakan kesunyianmu. Apakah itu benar-benar kesunyian yang kau bentuk sendiri, atau kesunyian yang lahir dari sebab kebusukkan orang lain?

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, October 17, 2023

Orang-Orang Kesepian Ditabrak Babi.


“Aku ingin bertuhan pada babi, bukan babi yang kotor karena lumpur. Tapi babi-babi pink yang dirawat bersih dan berakhir oleh pisau jagal dan dagingnya kunikmati sebagai nasi campur yang biasa kubeli di vihara, atau ramen daging babi yang enaknya ga karuan. Aku bagian dari orang-orang kesepian, dan babi adalah tuhanku, setidaknya sebelum ia menabrakku, karena kebodohanku yang tetap berlari lurus saat dikejar, saat itu aku tak tahu kalau babi tak bisa berbelok. Apalagi menengok ke atas.”

“Sudah saatnya, ini bukan sekte, tapi pergerakkan. Setidaknya kalo ingin jadi babi, jangan jadi babi yang kotor karena lumpur. Kau bermain-main di lumpur—kotor, bau, dan penyakitan. Ya, aku sedang membicarakan seseorang, atau mungkin lebih dari seorang. Barangkali kau juga sama. Atau mungkin kau bagian dari orang-orang kesepian, yang dikotori oleh babi lumpur—mari sebut saja seperti itu. Kalo kita semua sama-sama babi. Jadilah babi yang terawat. Bersih—pink, menggemaskan.”

Yang satu ini bukan catatan yang kutemukan di mana-mana, hanya isi pikiranku setelah melihat babi-babi di peternakan. Barangkali mantanmu juga babi, babi lumpur. Jangan sebut mereka babi terawat, mereka kotor. Mantan apapun, mau itu mantan pacar, gebetan, mantan selingkuhan—untuk yang satu itu kau juga babi lumpur. Untuk menyebut satu relationship itu toxic, butuh minimal dua orang toxic, dua-duanya pelaku, dua-duanya korban—kalau kau ingin menyebutnya seperti itu. Aneh emang, pelaku sekaligus korban. Ya toxic—paling enak sebut aja bego, tolol, bodohhhhhh. H nya lima. Eh itu enam.

Rasanya pengen nyebut babi. Tapi jangan, orang juga punya pilihan. Dan punya pilihan jelas privilege, tapi kita harus belajar mengakhiri hal-hal yang sudah kita mulai. Harus bisa dan harus berani, ya bukankah hidup memang soal keberanian. Sialnya orang-orang itu justru sepertinya hidup nyaman tanpa beban pikiran setelah mematahkan hati seseorang tanpa pesan apapun. Ya, umumnya kita memang hanya akan mengurusi apa yang harus kita urus. Tapi kau, aku, dan kita semua, terlanjur memulai.

Dan memangnya sesuatu yang dimulai tanpa diakhiri harus disebut apa? Perasaan semua orang itu valid. Validasilah, baik atau buruk. Kita semua hanya butuh belajar menerima semua respon, termasuk respon buruk—yang tak sesuai dengan keinginan dalam hati. Bereaksilah tanpa merugikan, terutama merugikan diri.

Supaya kau tak selalu pakai alasan tumbuh dari keluarga dan orang tua yang buruk, lalu menyebut semua pengalaman dan tindakanmu sebagai “inner child.” Aku paham, tapi kita bisa belajar dan meminimalisir, memangnya selama kau hidup, diberi nyawa dan nafas kau tak belajar apapun selain belajar menjadi bodoh?

Satu kebohongan mengekspose sifat buruk yang lain. Kau harus terus berbohong untuk menutupi fakta. Padahal satu perkataan jujur membuat hidupmu lebih mudah—ringan. Semoga kau berubah jadi babi pink, memang sama-sama akan mati. Tapi kita mati dalam keadaan bersih. Jauh dari kehinaan.


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, October 16, 2023

Biar Tuhan Membunuhmu.


“Tuhan, kapan kamu mau membunuhku, aku ingin mati tapi bukan dengan cara bunuh diri. Kalau boleh aku mau request; bunuh aku di tidur malamku, biar ga kerasa aja sakitnya. Tapi kalau ternyata aku bukan jenis manusia yang layak mati tanpa rasa sakit, bunuh aku dengan cepat. Misal karena ditabrak truk tronton yang menghindari kucing oren yang lagi bertengkar sama kucing item yang berebut kucing betina. Terlalu banyak yang, iya maaf, Tuhan.”

Kutemukan catatan lebih singkat itu di bawah bantal paling empuk yang pernah kutemukan, benar, ia mati ditabrak truk tronton yang menghindari kucing oren yang lagi bertengkar sama kucing item yang berebut kucing betina. Iya terlalu banyak yang, Maaf. Tampaknya alam semesta bekerja sama untuk membuat catatan itu benar terjadi, atau mari kita sebut catatan itu sebagai doa. Lantas apakah tuhan mengabulkan doa-doa buruk? Tak ada yang tahu, tak ada yang mengerti.

Biar coba kuceritakan awal kenapa ia menulis catatan itu. Bayangkan kau sudah siap jatuh cinta, mungkin akan terdengar aneh, ya tapi aku percaya jatuh cinta bisa dikontrol, kapan kau mulai, kapan kau berhenti, bahkan kapan kau punya jeda. Ini diluar persoalan anak muda yang sok punya trust issues sehingga tak lagi mau jatuh cinta. Tapi itu persoalan lain. Oke mari kita ulangi; bayangkan kau sudah siap jatuh cinta. Lantas kau bertemu seseorang yang kau rasa tepat, namun kau tidak ingin terburu-buru langsung menikah. Namun orang itu mengaku tidak sedang ingin memiliki hubungan dengan siapapun punya trust issues katanya. Oke, lantas kau menghargai situasinya. Kau jadi dekat dan saling bertukar cerita tentang apapun, bahkan hal-hal paling privat.

Kau bertemu orang itu dari dating apps, kau lantas menghapus aplikasi sialan itu, karena kau pikir cukup bertemu satu orang dan menjadi sedekat itu. Maaf terlalu banyak itu, sudah terima saja. Tapi kau tahu ia belum menghapusnya, masih bertemu dengan beberapa orang setelah pertemuannya denganmu. Ia pun mengaku begitu. Dia jadi sering menceritakan orang-orang yang ia temui dari aplikasi sialan itu. Itu. Itu pun kau lama-lama merasa jengkel, kita sebut saja cemburu. Ia tahu informasi tentang kau menghapus aplikasimu, dan kau kesal cerita yang awalnya menyenangkan berubah jadi cerita kumpulan orang-orang dari dating apps yang sering ia temui. Dan kau tetap mendengarkannya, meski pada akhirnya kau harus jujur bahwa kau tidak suka dengan situasi itu.

Lantas tiba-tiba dia dekat dengan seseorang, kau bisa menebak, iya dari aplikasi sialan itu. Sialnya ia menceritakannya dengan sukacita, lantas kau berpikir dan akhirnya mengutarakan apa yang kau rasakan, kau menunggunya sampai ia siap untuk punya hubungan dengan orang lain, namun orang itu justru sekarang menjalin asmara dengan orang baru. Orang yang baru saja ia temui di aplikasi yang sama. Kau berpikir bahwa durasi perkenalan, lama atau sebentar, tidak mempengaruhi apapun. Kau makin percaya jatuh cinta adalah perkara momentum. Namun satu titik nista kecil terlintas dipikiranmu, jangan-jangan itu caranya menolakmu, caranya bahwa ia tidak tertarik denganmu.

Saat pertama kali ia bilang sedang punya trust issues dan tidak tertarik menjalani hubungan, mungkin ia sedang menolakmu, dan kau tidak menyadarinya. Ya penolakan yang straight forward alias to the point tidak lebih menyakitkan dari penolakan yang abu-abu, menumpuk dosa karena takut bilang tidak. Sama sekali tak manusiawi. Dan akhirnya kau menyerah, karena kau tak ingin jatuh cinta jadi situasi perlombaan siapa mendapatkan apa atau siapa.

Barangkali tuhan membunuhmu, untuk menyelamatkanmu dari orang-orang seperti itu. Kau tak memutus hubungan pertemanan yang sudah terjalin baik. Namun orang-orang itu menjauh. Hal-hal yang selalu kau rasakan. Tuntas sudah.

Kau sama sekali tidak berpikir untuk bunuh diri karena satu orang sialan yang tak punya prinsip dan tak memegang omongannya. Kau hanya berharap tuhan membunuhmu dengan cara paling senyap. Karena kau tahu mati adalah urusan tuhan, dan biar ia melakukan tugasnya. Biar tuhan yang membunuhmu.

Atau sebut saja, menyelamatkanmu.


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, October 15, 2023

Para Pembohong dan Keajaibannya Masing-Masing.


 

“Pada dasarnya aku muak dibohongi. Kenapa orang-orang ini susah untuk bilang aja apa-adanya, apa yang hendak mereka mainkan sesungguhnya aku ga begitu paham. Pikiran negatifku kadang mengarah ke hal-hal buruk dan sifat-sifat congkak, misalnya orang-orang ini ga mau kehilangan yang lain, kasarnya menjadikan yang lain sebagai cadangan. Buatku meskipun kamu memilih pilihan yang menurut kamu baik, tapi kamu sampai harus membohongi orang lain, kayaknya itu tetap ga bisa disebut baik. Memang apa susahnya menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai? Toh sebelumnya kamu juga ga kenal dia, gak kenal aku, dan hidupmu baik-baik aja.

Apa susahnya bilang enggak, apa susahnya nolak. Apa susahnya bilang jujur. Aku muak dibohongi. Aku muak kalo apa yang aku pikirkan benar terjadi. Aku muak apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Pada dasarnya aku muak dibohongi.”

 

Kutemukan catatan pendek ini sembilan belas jam setelah kematiannya. Kau bisa menebak; ia mati bunuh diri, menyayat lehernya dengan pisau cutter karatan yang ditemukan jatuh di bawah kursi tempatnya mengakhiri hidup. Ia tak meninggalkan pesan apapun—untuk siapapun. Hanya catatan pendek, tentang betapa seringnya ia dibohongi. Ajaib-kah? Seorang mati bunuh diri karena muak dibohongi.

Aku mungkin juga jadi alasannya melakukan hal keji itu. Siapa yang tahu. Siapa yang akan tahu bahwa satu titik nista kecil yang kita tanamkan ke orang lain, akan ia ingat terus, membuat tidur malamnya tak nyenyak. Tentang omonganmu yang labil, kemarin hari bilang A, lalu berubah B, dan kau terus mengelak. Namun ia terus mengingatnya dalam-dalam. Apakah kau pikir satu nista kecil itu tidak signifikan? Lalu bagaimana jika semua orang menaruh satu titik nista itu pada satu orang yang sama. Entah, terserah kau bilang itu tidak sengaja, tapi ia mengingatnya, membuat tidur malamnya tak pernah lebih dari tiga jam.

Aku sekarang memikirkan hal-hal di masa lalu yang membentuk keputusan itu. Bahkan perasaan cinta pun, bisa membuat orang memikirkan kemungkinan itu—mengakhiri hidup dengan cara paling sakit—menyakitkan dan mungkin membuat beberapa dari kita muntah-muntah. Pada dasarnya aku juga muak dibohongi, namun sekarang, mati bunuh diri tidak jadi pilihan sadarku. Kalau mati bagimu adalah pilihan terakhir, kamu jelas butuh aku. Biarkan tuhan yang membunuhmu, biarkan tuhan yang mematikanmu, itu tugasnya. Mati tak seharunya jadi pilihan, sama sekali.

Kau pasti butuh aku. Entah nanti, entah kapan.

Entah,

kita lihat saja.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, March 14, 2023

Bagian 6: .


 

Aku bertaruh pada banyak hal, termasuk untuk melihat waktu dan cara kematianku. Aku tak lagi takut pada apapun, apalagi sekadar mulut bungkammu. Mulut yang dulu berisik di telingaku, berisik yang aku tunggu, saat segala hal kau ceritakan hingga mulutmu berbusa. Ya paling tidak aku kini tahu, mengisi kekosongan orang mungkin jadi peranku.

Kekosongan yang kemudian akan diisi orang lain, memori lain, bisa jadi, mungkin aku hanya jadi ruang tunggumu. Aku tak takut lagi. Kubiarkan kau menjadi antagonis sesuai yang kau ingin. Yang tak kau sadari; segala hal buruk yang menimpamu terjadi karena ulahmu sendiri di masa lalu.

Sarah tak memahami konsekuensinya, untuk saat ini ia tak paham bahwa caranya mendiamkanku justru akan berbalik pada situasi yang memberatkannya. Sarah mendiamkanku lebih dari lima bulan. Selama itu pula suara-suara yang muncul di antara kamu selalu hanya tentang basa-basi untuk membuat Ema dan Romy tak menyadari apa yang terjadi di antara kami. Sudah pernah kubilang pada Sarah sebelumnya, aku tak peduli pada penolakan. Namun ia tampaknya justru menganggap semua ini personal.  

Lima bulan lewat kami terlibat pada perang dingin, aku lebih banyak tinggal di rumah. Kami berempat kumpul hanya saat Ema mengajakku. Mungkin Ema mengerti apa yang terjadi, namun Ema membiarkan bagian itu tetap terkurung di dalam.

Lagipula Ema sedang mesra-mesranya. Ia berhasil membalikkan situasi, meski aku tau Romy tetap bermain mata dengan Sarah. Aku tak ingin ikut campur, dan mungkin kau berpikir aku bagian dari mereka. Namun kau perlu tahu, apapun yang terjadi di antara mereka, tak ada hubungannya denganku. Aku hanya tahu bagian akhirnya, aku tak tahu apakah keterlibatanku akan memengaruhi bagian akhir dari cerita mereka.

Anggap saja cerita tentang ketidak-mampuanku melihat apa yang terjadi dalam lima tahun ke depan di hidupku adalah tanda dari kematianku sendiri. Sekali lagi aku bertaruh untuk itu, bertaruh untuk melihat apa yang terjadi dalam tiga tahun akhirnya. Aku anggap itu adalah waktu sisaku. Dan kupikir tak ada salahnya menerima ajakan Ema untuk merayakan tahun baru bersama, meski aku tahu ada Sarah dan Romy juga di sana. Di tempat yang sama satu tahun lalu.

Romy masih belum sadar, apa yang terjadi di antara kami di coffeeshop itu tahun baru lalu. Aku tak akan menghalangi kehadiran Romy di sana. Sudah kukatakan sebelumnya, aku tahu akhir dari semua cerita ini. Dan karena itu, apa yang harus kutakutkan lagi? Sarah pun pada akhirnya akan menghampiriku dan memulai lagi semuanya dari nol. Hanya menunggu waktu.

Dan aku lelah untuk ini, mengulangi siklus yang sama, saat semua orang sedang sibuk pada kisahnya masing-masing yang penuh harap mereka justru datang saat kisah mereka sedang hancur lebur, dan justru membagi kehancuran itu padaku. Tanpa melihat bahwa kemungkinan situasi dan keadaanku sedang baik-baik saja. Lalu mereka menghancurkannya, hanya karena mereka butuh kembali pada situasi yang tak memberatkan mereka. Ya, mereka bukan hanya egosentris. Apa yang lebih jahat dari seseorang yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain?

Aku kembali mengingat semuanya, sebelum kejadian membingungkan pada tahun baru yang lalu. Melihat wajah di depan cermin, mengutuk diri sendiri, untuk apa membuka diri pada orang-orang yang datang hanya untuk melempar keluh-kesah, dan menguras energimu. Mereka mentransfer energi buruk pada hidupmu yang sebenarnya sedang stabil dan baik-baik saja. Anggap saja kita semua ini tong sampah bagi yang lainnya. Dan kita hanya bisa menerima, karena ketika kita mengungkapkan apa yang kita rasakan soal ini, mereka justru tidak terima, lalu kita akan merasa bersalah karena dengan itu mereka jadi diam. Bahkan tak menganggapmu siapa-siapa.

Mereka yang mengandalkan dirimu pada waktu terburuk dalam hidupnya, namun tak pernah mampu mendengarkanmu, tak pernah mampu sedikit pun bertanya tentang apakah kita merasa baik-baik saja. Hidup barangkali benar-benar tak adil, namun aku menolak pada pernyataan itu. Mereka yang tak bisa bersikap adil pada sesama manusia. Bahwa percakapan adalah hal paling transaksional. Dan mereka seringkali meminta gratis. Sudah seharusnya mereka mengerti, mendengarkanmu adalah tanggung jawabnya juga, karena kau mampu mendengarkan semua yang tumpah dari mulutnya, bahkan membantu menyelesaikan keluh-kesahnya—membantu mereka kembali menjadi baik-baik saja.

Satu jam sebelum tahun baru. Kami berempat berkumpul di coffeeshop yang sama. Romy dan Ema duduk bersebelahan, Ema? Merangkul Romy—menempel bak permen karet di bawah bangku anak-anak SD. Dan aku lihat Sarah menahan kecemburuannya. Aku bahkan tak mengerti apakah Sarah pernah menceritakan apa yang terjadi sesungguhnya satu tahun lalu pada Romy, namun terlihat dari gesture keduanya, jelas ada yang ditutupi. Sarah melemparkan pandangan tiap kali aku mencoba menatapnya, ia tak mau aku membacanya, ia tahu tiap kali mata kami bertatapan itu tanda bahwa aku mampu dan punya kapasitas untuk mengeksplore pikiran dan ruang bawah sadarnya.

Aku lebih banyak melempar topik, karena kulihat Ema dan Romy saling bertukar kemesraan dan Sarah hanya berputar-putar di kepalanya sendiri. Namun tiap kali kulemparkan sebuah topik, Romy terkesan menganggapnya sebagai sebuah kompetisi. Aku tak butuh validasi siapa yang lebih pintar di antara kami. Jelas Sarah membela Romy, bahkan mati-matian. Aku tak ambil pusing, ia membela Romy karena kebencianku pada akhirnya. Untuk apa menanggapi kebencian orang—buang-buang waktu, Ema justru makin terlihat clingy setiap kali Romy mengeluarkan kata-kata perlawanan.

Makin lama, sepertinya mulai tak terkendali. Sampai pada bahasan tentang genosida. Romy memberi contoh pada karakter Thanos di Avengers. Dalam hatiku, kenapa refrensinya harus seputar pop culture, seharusnya untuk menggali lebih dalam lagi, ia memberikan refrensi yang lebih mengakar, bukan tentang sekelompok hero yang hanya ada dalam fiksi.

“Kenapa tiba-tiba bahas Genosida, sih?” Ema mengeluh.

“Terus menurutmu kenapa ada genosida?” tanya Sarah—terdengar dari intonasinya ia tampak tak suka pada segala ucapanku. Kami semua tetap berdebat, tak peduli pada keluh Ema.

“Banyak dari genosida itu alasanya cuma dua hal…” suaraku memelan, aku tahu Sarah yang emosinya sedang membuncah itu harus kubuat tenang, “…menguasai wilayah atau sumber daya. Cuma itu.”

“Gak cuma itu,” ucap Romy, “Holocaust gimana?”

“Iya, kecuali itu…” aku baru ingat, “Holocaust itu bahkan katanya cuma murni kepentingan ideologis aja.”

“Kalian ngomongin apa sih?” ucap Ema.

Romy bangkit dari duduknya. Menuju kamar mandi, tanpa mengucapkan apapun. Hanya melempar senyum pada Ema, dan kedipan mata yang kutangkap tertuju pada Sarah.

“Nazi sejahat itu ya berarti,” kata Ema padaku.

“Maksudnya?” tanya Sarah.

“Yaitu membunuh cuma karena mereka yakin sama ideologi mereka.”

“Ya pembunuhan dengan alasan apapun juga jahat, Em. Sama aja membunuh, termasuk untuk menguasai wilayah dan sumber daya.”

“Membunuh dengan maksud melawan dan melindungi diri?” Sarah mencecar perkataanku.

“Ya tetap membunuh.”

“Tapi buat perlidungan diri.”

“I know.”

“Kalian ini kenapa, sih?” tanya Ema—menegakkan badannya, melihat ada yang tak beres di antara kami, “kayak ada yang gak beres. Kelihatan canggung, kelihatan kayak mau saling bunuh.”

Kami terdiam, hanya melempar senyum dan tawa kecil. Ema menatap kami berdua, penuh curiga . “Are u okay, guys?”

“Okay, kok. Tenang aja,” ucap Sarah sebelum keheningan terasa begitu lama.

Romy kembali, membenarkan letak duduknya, merapikan kaus polosan dongker. Lima menit lagi tahun baru, dan setiap orang yang ada di coffeeshop malam ini tampak masih serius di depan layar laptop mereka, pemandangan yang nyaris sama persis setahun yang lalu.

“Make a wish dong!” seru Ema.

“Apaan sih, Em,” ucap Sarah.

“Eh gapapa dong. Ayok make a wish.”

Romy melirik Sarah singkat. Romy juga merasa make a wish sebenarnya tak perlu. Akan terasa canggung.

“Aku dulu deh… Semoga kita langgeng,” Ema tersenyum manja menatap Romy. “Kamu apa?” tanya Ema pada Romy.

“Sama dong, semoga kita langgeng,” aku tahu Romy hampir muntah dengan perkataannya sendiri.

“Sar?” tanya Romy.

“Skip!”

“Ih curang!” keluh Ema.

“Semoga semua balik seperti semula,” ucapku. Ema dan Sarah menatapku—takut Romy bertanya apa yang kumaksud. Tampak dari raut Romy, ia bertanya-tanya Semula seperti apa yang aku maksud. Namun sebelum Romy sempat menanyakannya, Sarah dan Ema sudah lompat pada bahasan yang lain.

Apakah kau pernah merasakan perubahan suhu? Dan tiba-tiba ada angin yang mengibas rokmu, suhu yang tadinya sejuk berubah menjadi dingin dalam beberapa detik, lalu kembali lagi seperti semula, rambut panjangku yang sedari awal jatuh di pundak dan punggungku, untuk sepersekian detik bergerak, dan tak ada yeng menyadari itu, Ema, Romy, dan Sarah masih asik berbincang, aku menunggu dalam hitungan sepuluh detik tahun baru datang, dan langit akan penuh kembang api.

Kulihat Romy melepas rangkulnya dari Ema, ada kebingungan di wajahnya, ia kini justru melihat Sarah dengan tatapan penuh cinta, dan Ema menatapku—mencoba mengkonfrontasi apa yang sebenarnya terjadi.

Pukul 00.01, kulihat ponselku, 1 Januari 2023. Seperti yang kuduga. Kami kembali ke timline sebenarnya. Romy berpindah duduk di samping Sarah. Memeluk Sarah singkat, mencium telinganya seketika. Sarah melihat Ema penuh girang—seolah peperangan telah usai. Kurang dari semenit kemudian, Sarah dan Romy bangkit, berpamitan dan pergi sekejap—menghilang dari pandanganku, menghilang dari coffeeshop ini.

“Lihat hapemu, Em,” ucapku, setelah Ema terus menatapku dan bertanya-tanya.

“Serius?”

Aku hanya mengangguk.

“Balik lagi kayak dulu?”

“Dan kamu udah tahu?”

Aku tersenyum.

“Jadi sekarang Romy menganggap kita udah putus?” Ema mencoba mencerna semuanya—perasaan bingung yang memukul seluruh wajahnya. “Coba tatap aku, baca aku, apa yang bakal terjadi sama aku?”

Aku berusaha menatap mata Ema—sesuai permintaannya, tak kulihat apapun di sana—tak lagi ada gambaran yang sebelumnya menyertai setiap kali aku menatap mata seseorang. Kemampuanku hilang. Ema sekejap mengetahui itu. Malam ini kami hanya jadi dua perempuan yang ditinggalkan.

Ema ditinggalkan oleh seluruh usahanya dalam memperbaiki hubungan toxic yang sebelumnya terjadi, dia ditinggalkan harapan yang sebelumnya ia bangun selama setahun dan terasa baik-baik saja. Aku? Ditinggalkan oleh sebuah pertanyaan yang masih belum terjawab; apa yang akan terjadi padaku setelah tahun ketiga?

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, March 7, 2023

Bagian 5: h.


Seperti kata yang sama sekali belum pernah aku tulis; ada bahaya di raut wajahnya, namum satu peluk malam itu mampu mengubah mimpi-mimpi buruk. Tak pernah kukira, kami bertiga menyelesaikan malam ganas dengan keringat saling menempel, memeluk satu sama lain, tak ada rencana, barangkali itu kunci dari semua kenikmatan.

Aku mengakhiri kesibukan dengan menyelami kedua hutan belantara di depan mataku. Hutan yang menyimpan pertanyaan-pertanyaan bahaya, dan jawaban-jawaban penuh bahaya—jawaban yang sama sekali tak pernah kudengar sebelumnya. Sebuah jawaban membasahi hutan-hutan, juga membasahiku. Tubuh dan pikiranku.

Aku belajar dari seorang teman, bahwa permainan paling liar pun, harus meninggalkan bekas—atau kau mungkin akan dilupakan. Hidup memang kasar, jika kau tak mampu meninggalkan bekas yang sepadan—kau terlupakan, dan mereka hanya mengingat hal-hal buruk darimu.

Hal buruk, yang dulu mereka terima sebagai sebuah fakta yang subtil. Kenyataan kini hanya dibicarakan sebagai hal-hal najis. Aku tak ingin begitu. Canvas tak lagi putih, tak ada warna neon di sana, hanya ada warna-warna gelap, yang menyerupai itikad-itikad buruk.

Kami melakukannya lagi—berulangkali, setelah satu malam panjang itu. Seolah tak ada orang lain, meski aku tahu, Ema dan Sarah melakukannya juga bersama Romy—berulang kali. Membandingkan apa yang mereka rasakan—kenikmatan yang membuncah dan pecah di ubun-ubun. Kini, tak kulihat ada cinta di antara kami.

Hanya ada keinginan-keinginan buruk untuk menguasai dan membenamkam wajah masing-masing. Tak kurasakan perasaan yang sama, selain keindahan saat kulit kami menyatu dan gerakannya membentuk suara paling nikmat yang pernah kudengar, lebih dari yang bisa dicipta oleh Mozart, Beethoven, Tchaikovsky, atau bahkan Brahms.

Kemarin aku hutang penjelasan tentang apa yang terjadi antara aku, Sarah, dan Ema. Ini yang aku maksud. Maaf jika cerita ini mengecewakanmu, atau sama sekali tak membuatmu tertarik. Ya, tapi ini lah apa adanya. Dan jika kau pikir situasi yang menengangkan ini tampak menyenangkan, mungkin kau harus berpikir dua kali. Ini justru melelahkan, dan menetralkan kembali tentang tujuan awal pertemanan kami sungguh begitu sulitnya.

Aku tak akan bohong—aku menikmatinya. Namun, hal-hal yang awalnya nikmat dan mendebarkan justru berubah menjadi bahaya-bahaya paling merisaukan. Aku tak ingin mereka mengenalku sebagai seseorang yang mampu melumpuhkan dua perempuan dalam sekali waktu dengan mudah. Hanya ada perasaan canggung ketika kami bertemu, apalagi ada Romy di sana, namun saat situasi berpindah tempat seolah semuanya berjalan lancar—bertukar ludah atau teriakan yang menggetarkan. Aku tak ingin siklus ini terjadi berulang, terus-menerus.

Ada yang tak sama sekali mereka ketahui tentang kemampuanku yang meningkat sejak kejadian tahun baru. Sudah enam bulan terlewat, setiap sentuhan itu memberikanku sebuah gambaran tentang apa yang mereka pikirkan. Entah ini curang atau tidak, tapi itu mampu membuatku mencapai puncak lebih cepat. Jika dengan menatap mata seseorang aku bisa membaca apa yang terjadi lima tahun ke depan. Kini aku bisa membaca pikiran seseorang hanya dengan satu sentuhan. Dan itu menakutkan.

Aku frustasi, sialnya kecemasan itu hilang setiap kali aku, Ema, dan Sarah melakukannya lagi. Mimpi-mimpi buruk berubah jadi tidur nyenyak dan nyaman. Rasanya seperti terjebak pada kenikmatan paling gila yang dicari setiap manusia. Kenikmatan yang mungkin rela ditukar oleh apapun.

Makin lama, aku justru makin tak menikmatinya. Aku ingin terbebas dari siklus mimpi buruk ini. Aku tak ingin terus-menerus bangun dari tidurku dengan keadaan mata yang nyalang, berat, dan perih. Tak pernah sekalipun aku tidur nyenyak setelah kejadian tahun baru itu. Aku selalu terbangun tiga jam sekali, tak lebih dari itu.

Terakhir mimpi dua hari lalu, membuatku bahkan takut untuk tidur. Aku tak perlu memberitahumu seberapa jelas dan nyata mimpi itu, namun yang satu ini justru membuatku bingung. Aku jelaskan pada Sarah ia justru ikut bingung—pusing. Aku bermimpi menjalani hidup dalam siklus terbailk. Jika dalam dunia ini kita semua menjalani hidup ke depan—menuju masa yang akan datang. Di mimpi ini aku menjalani hidup ke belakang—menuju masa lalu. Seperti sebuah video yang dengan remote di tangan bisa kau reverse.

“Aku mau rasain yang sama.”

“Maksudnya?” tanyaku.

“Aku mau rasain di dunia nyata apa yang kamu alami di mimpi.”

“Soal Romy lagi ya?”

Sarah mengangguk—melamun dengan segelas air dingin yang butir-butir airnya menempel, menyelimuti gelas bening.

“Coba aja kejadian tahun baru kemarin gak ada…”

“Aku heran deh.”

“Kenapa?” tanya Sarah.

“Iya bingung, kenapa kamu sebegitunya. Kenapa kamu menganggap semua normal dan gak ada masalah, ketika kamu sadar ada satu cowok, yang main mata sama kamu, padahal dia punya pacar.”

“Gak sesimple itu.”

“Ya coba jelasin.”

“I like not only to be loved, but also to be told I am loved.”

“George Eliot?” tanyaku. Sarah mengangguk pelan. “Kamu ngerasain itu?” aku bahkan hanya terbaring di sofa, hampir berpikir bahwa penjelasan itu tak di masuk akal. Orang-orang terlalu sering mencari validasi dari penulis favorit mereka, yang membicarakan tentang cinta. Sampai tak sadar, hal buruk tetaplah buruk. Dan Sarah melepaskan kalimat itu dari konteks sebenarnya.

“Dulu…” Sarah melanjutkan lamunannya, “…Setelah kejadian tahun baru kemarin, apa yang aku harapkan aku rasain, sekarang hilang gitu aja.”

“The way to love anything is to realize that it may be lost.”

“Itu dari penulis siapa?” tanya Sarah.

“Chesterton… G. K. Chesterton.”

“Aku gak baca.”

Ya kau mungkin akan berpikir aku hipokrit, mendukung validasi Sarah, membalasnya dengan satu kalimat dari penulis lain. Ya mungkin benar, dan Sarah masih belum tahu. Aku bangkit dari sofa, duduk dan menatap Sarah. Beberapa detik itu pandangan kami saling bertubrukkan.

“Kamu mungkin belum Sadar, Sar.”

“Apa?”

“Aku kehilangan kamu berulang kali…”

“Maksudnya?” Sarah mulai menaruh fokus, ia letakkan gelas itu pada meja nakas, dan duduk di depanku. Kami hanya dipisahkan sebuah meja kayu kecokelatan yang peliturnya nyari hilang.

“Aku pikir kamu ngerti selama ini.”

“Bentar… Kamu gak bilang kalo kamu suka sama aku, kan?”

Aku tak menjawab pertanyaan itu, hanya melempar punggung pada sofa—bersandar menatap Sarah. Kami terdiam untuk sesaat. Hanya suara detik jam di dinding yang seirama dengan debar jantungku. Aku tahu, Sarah di dalam kepalanya sedang memilih satu pertanyaan dan berhati-hati untuk tak membuatku merasa terpinggirkan—ia jelas takut mematahkan hatiku.

“Sejak kapan?” tanya Sarah.

“Oh, come on Sar,” aku tahu apa yang dipikirkan Sarah, “jauh sebelum kamu, aku, sama Ema. Jauh sebelum itu… Can’t u stop?”

“Stop apa?”

“Ya gak semua orang tergerak karena seks yang menggairahkan. Gak semua orang kayak kamu…”

“Kayak aku gimana ya?” tanya Sarah memotongku.

 “… It’s real. Perasaanku nyata, lebih dari apa yang terjadi di antara kamu sama Romy.”

“Emang aku gimana?” Sarah masih memburuku dengan pertanyaan itu.

“Sorry…”

“Bukan salahku ya, kalo kamu suka sama kau, dan aku gak tahu. Kamu gak pernah bilang apa-apa. Kamu bahkan gak pernah nunjukkin apa-apa. Aku butuh merasa dicintai, dan itu gak akan pernah bisa aku rasain kalo kamu cuma diem. Itupun kalo kamu beneran suka, beneran cinta.”

“It’s real.”

“I know.”

“Sory…”

“Aku selalu ngerasa kalo memang ada orang yang suka sama aku, orang itu gak akan bikin aku nunggu, orang itu gak akan sibuk nunggu momen yang pas. Just being honest. Semua orang berhak tahu kalo ada orang yang jatuh cinta sama dia.”

Sarah sudah bangkit berdiri sejak emosinya membuncah dan semua kata-kata ajaib itu muncul dari bibirnya. Tak pernah sekalipun aku dengar ia seserius ini.

“Selalu menyenangkan ketika tahu ada orang yang suka sama kita,” Sarah menatapku—melempar senyum, “So… thank you.”

Kau mungkin bertanya-tanya apa maksud dari ucapan terima kasih itu. Namun buatku justru jelas. Sarah memahami perasaanku, hanya itu. Baginya Romy masih jadi seseorang yang ingin ia taklukan dalam situasi paling buruk pun. Setelah kejadian tahun baru kemarin, Sarah masih gigih dan berharap Romy mengingat semuanya.

Setelah satu perkataan jujur ini, kami tak pernah melakukannya lagi. Dan Ema terus bertanya-tanya, apa yang terjadi di antara kami. Tak ada satu pun yang menjawab, termasuk aku. Ema justru makin mesra bersama Romy. Aku tahu mereka juga melakukannya bersama Sarah. Romy tak pernah jadi protagonis di cerita ini, ia hanya pintar mengambil kesempatan yang datang padanya.

Aku membayangkan  dan berpikir apa yang lebih menyakitkan saat Sarah; seseorang yang sepanjang hidupnya ahli dalam perihal nafsu, berubah jadi menyukai seorang pria dengan segenap hati dan pikirannya. Namun Romy hanya menganggap ini tiket sekali jalan, tiket untuk bersenang-senang, tiket untuk sebuah kenikmatan—yang pada akhirnya bukan hal yang Sarah cari lagi. Sungguh ironik.

Lalu kau berpikir tentang perasaanku? Aku belajar satu hal; tak ada yang perlu kau risaukan dari sebuah penolakan. Aku bersyukur pernah jujur pada Sarah tentang apa yang aku rasakan. Sisanya Sarah tahu apa yang baik untuk dirinya, dan buat apa aku sampai perlu terlibat dan mempengaruhi pada apa yang terbaik untuknya?

Kurasa kau tak boleh marah apalagi mengutuk diri sendiri pada orang lain yang menolakmu hanya karena mereka punya pilihan. Bukannya menjalani hidup dengan punya pilihan adalah hal yang kita mimpi-mimpikan?

 


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, February 28, 2023

Bagian 4: Uh.


 

Semua percakapan barangkali punya maksud khusus. Tak ada satupun percakapan yang sia-sia, bahkan sia-sia buatku adalah kata yang terlalu besar, tak terjangkau, bahkan tak sekalipun kuketahui maknanya. Karena dari setiap kejadian aku selalu melihat gambaran yang lebih luas tentang mengapa sesuatu harus dan perlu terjadi, perlu kita lalui, perlu kita pahami. Dan ya hari ini, dua minggu setelah percakapan menegangkan. Ema, Sarah, dan Romy melakukannya—ketiganya serius pada ucapan masing-masing. Makin dalam rasa penasaran ini hadir, ada gejolak dari dalam yang memaksaku mengetahui lebih jauh lagi. Apakah kau sudah paham apa yang aku maksud dua minggu lalu?

Mereka melakukannya di rumah Romy, aku akan sebisa mungkin tidak menceritakan sedetail mungkin, meski aku ingin. Romy dari kesaksian Ema yang sangat menggebu-gebu saat menceritakannya, memutar Anything You Want by Reality Club. Seperti sebuah perjamuan lengkap makan malam, ketiganya memulai di sofa kecokelatan yang menurut Ema bisa menenggelamkan pantat siapapun karena saking empuknya. Romy duduk, nyaris bersantai meski Ema tahu Romy berdebar begitu dahsyatnya.

Sarah? Kau menanyakan Sarah? Hmm, Sarah bertindak sebagai seorang ibu, dan Romy anak yang paling harus ia manjakan, dari cerita ini aku tahu Sarah mungkin punya banyak koleksi di laptopnya, dan menjadi karkater dengan superioritas adalah kegemarannya. Saat punya kesempatan, ia menjelma jadi aktor paling gahar. Paling tak sadar kamera. Ya, ketiganya merekam aktifitas itu. Dengan sadar. Gila? Belum. Ada yang lebih gila dari itu. Akan kuceritakan nanti.

Aku lebih ke bertanya-tanya apa maksud Romy memutar lagu Reality Club yang satu itu. Untuk sebuah appetizer atau hidangan pembuka, lagu itu terlalu mudah menggiring ketiganya untuk sampai di puncak, lagipula, untuk hidangan pembuka ini Romy lebih banyak diam dan menikmati setiap sequence yang ada. Bagi Ema dan Sarah tubuh Romy malam itu bagai canvas kosong yang siap dibasahi oleh jenis tinta apapun. Sebuah canvas kosong yang kotor dan terus kotor. Dan tampilan kotor itu justru yang dicari, dilelang, dibeli. Mahal. Pada puncak yang dicari.

“It’s big,” Ema terus bercerita, tak ada rem, tak ada jeda.

“Bignya orang indo ya tapi, jangan dibayangin yang big—big gitu,” Sarah menambahi. Ema mengangguk, menyadari dalam hal ini Sarah lebih punya pengalaman daripada dirinya.

“Terus?” tanyaku.

“Main course,” ucap keduanya bersamaan—seolah kini Sarah dan Ema ada dalam satu tubuh.

Pertunjukkan di dapur itu dimulai dengan satu lagu yang sebenarnya bisa kita perdebatkan apakah lagu Honne, No Song Without You cocok untuk permainan tiga orang, bahkan apakah lagu itu cocok untuk permainan dua orang? Aku pun tak sama sekali kaget saat Ema menceritakan mereka berpindah dari sofa ke dapur. Ya tampaknya ketiganya terlalu sering menonton film-film porno dan pelan-pelan merusak otak mereka. Imajinasi mereka muda ditebak.

“Ema sih yang kayaknya keenakan sampe segitunya,” Sarah bersantai dengan rokok yang baru menyala di antara jari-jemarinya.

“Emang kamu engga?” tanya Ema.

“Lumayan, tapi aku pernah ngerasain yang lebih dari ini…”

“He is good.”

“Aku ga bilang dia bad, I really enjoyed.”

“Mungkin karena kalian saling kenal?” tanyaku.

Keduanya terdiam. Ya aku bisa melihat, menebak, dan membaca, tak ada scene keduanya. Ema dan Sarah bahkan tak saling menyentuh. Aku bisa melihat kejadian itu, sangat intens ketika ketiganya menyatu, namun sehebat-hebatnya Ema dan Sarah, seseringnya mereka menonton adegan itu dalam film, mereka tetap merasa canggung. Lagipula mereka dipertemukan dalam satu situasi itu berkat Romy. Mereka tak mengira bahwa akan jadi aneh jika memainkannya bersama seseorang yang benar-benar mereka kenal—dekat.

Ya kau mungkin membayangkan permainan ketiganya sama persis seperti di film-film porn yang kau suka dan sering tonton. Namun saat kulihat lebih dalam pada kedua pasang mata mereka, Romy lebih menjadi karakter yang inferior. Dia kewalahan merespon kegilaan Ema dan Sarah.

“Apa yang kamu lihat?” Sarah mengkonfrontasi.

“Engga…”

“Bohong,” ucap Ema.

“Kamu penasaran?” Sarah menyesap rokok dan membuang asapnya tepat di depanku.

“Everything. Aku lihat semuanya. Jelas.”

“What do u think?”

“Not bad.”

Ema tertawa “not bad, katanya…”

Sarah menatapku dengan rokok yang ia capit di antara kedua jarinya. Seolah ia ingin aku melihat kejadian itu lebih dalam dan lebih lama lagi. Makin aku ingin menghindari tatapan itu, aku justru makin melihat Sarah dalam gambaran itu, Sarah yang memegang kendali dari situasi intens ketiganya. Jantungku berdebar lebih cepat dan Sarah menyadari itu. Ia memajukan kursinya—mendekatiku. Pandangan kami bertabrakkan. Ema melihat itu dan menikmatinya. Menikmati siksaan yang Sarah berikan. Tapi setelah melihat lebih lama aku mulai meragukan bahwa ini adalah siksaan. Seperti melihat tape dengan wajah yang kita kenal. Wajah-wajah yang kita fantasikan.

Kau barangkali pernah membayangkan berfantasi ria bersama temanmu sendiri, atau orang-orang yang kau kenal, dan rasa penasaranmu membumbung hingga ke langit, membayangkan bagaimana mereka memuaskanmu dalam cara-cara aneh yang tak bisa diterima banyak orang. Tak masalah. Kita semua sama, saat bertemu yang sejenis, dan yang sama-sama memikirkannya kita seperti seorang monster yang keluar dari kandangnya. Hal-hal yang hanya bisa kita pendam. Namun begitu sangat meggairahkan. Entah dalam segala posisi yang kita inginkan atau yang belum kita rasakan. Kita membayangkan dan tak ada seorang pun tahu.

Main course yang dimaksud Ema dan Sarah berlangsung lebih lama dari adegan pembuka yang keduanya lebih bermain dan mencoba memanaskan mesin Romy. Namun mereka gagal menyadari bahwa Romy sebenarnya tak sejago itu. Romy mencapai puncak lebih cepat dari yang akan mereka kira. Tahap itu lebih lama karena Romy harus berkali-kali menyetop Ema dan Sarah untuk memberinya ruang. Ema menyebut Romy istirahat.

Aku berusaha menyelesaikan apa yang aku lihat saat adegan itu. Namun Sarah memaksaku melihat lebih dalam. Ema yang tadi duduk berjarak denganku, kini berpindah tepat di sampingku. Seolah keduanya ingin hadir di sana, seperti seorang yang perlu ditemani melewati trauma. Ya, singkat cerita, ketiganya melanjutkan setelah sepuluh menit. Kali ini berpindah di kamar tidur Romy, lantai dua, dengan pintu balkon yang dibuka, sehingga angin malam masuk dengan bebas—berselancar pada tubuh ketiganya.

Kau mungkin akan menebak Ema adalah orang kedua yang mencapai puncak? Benar. Bahkan dengan teriakan akhir itu Ema menyelesaikannya, tubuhnya bergelinjang di atas ranjang. Melihat Sarah menyelesaikan fase akhir, Romy bahkan terlihat mulai Lelah—lemas. Sarah? Kupikir dia justru baru menyentuh fase awal. Ia tampak tak menikmati.

“I really enjoyed,” ucap Sarah.

Sarah berhasil membuat Romy mencapai puncak untuk kedua kalinya—sendirian, tanpa Ema. Ah kau mungkin bertanya bagaimana dengan hidangan penutup? Dessert? Ya imajinasi biasa yang sering kau lihat di banyak film-film sejenis. Air hangat, di bawah shower—bersama. Mudah ditebak—nyaris membosankan.

“How?” tanya Ema.

“Not bad.”

Not bad…”

“Mau nyobain?” tanya Sarah, menawari. Dari matanya ia tak sedikit pun bercanda. Bahkan Ema menatap Sarah, mungkin dalam hatinya berkata what the fuck. Ya, What the fuck, Sarah dengan tatap yang intimidatif itu melempar pandang padaku dan Ema.

“I’m here,” Sarah bersandar pada sofa, merilekskan tubuhnya. Membuka lebar kakinya.

Ema tampak masih shock, namun ia terlihat menginginkannya. Sarah? Memulai dengan permainan solonya. Ema? Memulai dengan melepas kancing bajuku satu per satu.

Aku? Kau bertanya tentang aku?

Aku sedang sibuk.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, February 21, 2023

Bagian 3: Ruh.


 

Para pembohong tak akan pernah punya kesempatan untuk mati. Mereka akan hidup seratus bahkan seribu tahun lagi. Apa yang lebih menyiksa dari hidup tanpa punya ujung? Kebohongan adalah satu sifat yang akan mengekspose seluruh sifat buruk seseorang.

Kau mungkin setuju, melihat cara hidup mereka yang sembrono, hanya mementingkan yang ada dalam dirinya, mereka barangkali tak pernah sadar bahwa satu sifatnya itu bisa menghancurkan orang lain—berkeping-keping dari yang bahkan bisa mereka kira—bisa mereka pikir, itu pun kalo mereka punya pikiran.

Aku seratus persen bingung, mengapa mereka merasa nyaman ketika seluruh sifat buruknya terekspose, itu yang terjadi pada Romy. Seluruh hidupnya adalah kebohongan, dan sayangnya Ema dan Sarah terlalu naif, sungkan mengakui itu. Romy sudah terlalu banyak mengekspose keburukannya, bahkan ia menarik keluar seluruh sifat yang seharusnya privat pada diri Ema dan Sarah. Pada awalnya Ema selalu merasa tak enak jika harus menolak—padahal ia selalu punya hak untuk mengatakan tidak.

Ini sifat yang tak aku suka dari kebanyakan perempuan yang kutemui termasuk Ema dan Sarah; Mereka tak cukup berani untuk bilang tidak, tak cukup sanggup untuk menolak. Mungkin sepanjang hidupnya mereka terlalu mementingkan perasaan orang lain, tak merasa enak ketika harus menolak dan bilang tidak. Mereka selalu punya banyak alasan untuk mengubah iya menjadi tidak, selalu banyak alasan menggagalkan janji, padahal dengan satu kata sederhana yaitu “tidak,” bisa membuat mereka terbebas dari konfrontasi. Sehingga sepanjang sisa hidupnya mereka tak perlu terus menghindar.

Bukankah itu ruh menjadi manusia? Harus tahu apa yang perlu dan tak perlu, apa yang dibutuhkan dan yang tidak. Peran Romy di circle kami adalah merusak ruh hidup Ema, pada awalnya. Lalu belakang kuketahui ia juga mendekati Sarah, dan entah apa yang ia incar. Sarah tak pernah detail menceritakan apa yang terjadi dengan dirinya dan Romy.

Ema mungkin lepas dari hubungannya dengan Romy. Namun setelah satu kejadian aneh yang membingungkan pada tahun baru lalu, kami kembali ke tahun 2020, dan semua orang yang tak ada di coffeeshop itu menganggap semuanya normal. Tampaknya hanya kami yang mengalami turbulensi ini. Malam itu, hanya orang-orang di coffeeshop yang mengalami garis waktu antara 2022 ke 2023, mereka yang di luar merasakan bahwa itu pergantian tahun biasa dari 2019 ke 2020.

Coffeeshop itu jadi pusat tubulensi. Seperti sebuah kubah isolasi, yang tak tersentuh dari luar. Dan sialnya Ema harus pura-pura kembali pada hubungan awalnya bersama Romy, karena Romy termasuk orang-orang di luar coffeeshop malam itu, Romy menganggap ini adalah 2020, awal pertemuannya dengan Ema, dan Ema meski ia mengetahui bahwa selama hampir tiga tahun Romy terlah menghancurkannya lebih dari yang bisa Ema tahan. Dan seharusnya Ema sudah terbebas. Namun Ema percaya pada kesempatan kedua, dan akan memberikannya pada Romy—meski Romy tak tahu apa yang sedang terjadi. Kami yang mengalami ini masih bungkam apa yang terjadi malam tahun itu.

Singkatnya, Ema kembali menjalani hubungan dengan Romy—dari awal, tanpa kesadaran yang adil di antara keduanya tentang apa yang terjadi, tanpa tahu apakah perjalanan sebelumnya akan terulang, atau apakah kita semua yang mengalami hal aneh malam itu akan hidup dalam sebuah lingkaran yang sama—kejadian yang pernah kita lewati. Sebuah garis waktu yang sama—dan diulang.

Kini Ema dengan kesadaran penuh hidup dalam sebuah kebohongan, masuk ke goa yang gelap dan pengap, entah apa yang ia rencanakan, namun bagiku ia mengambil ulang kesempatan yang sebetulnya sudah usang. Tapi ini sebenarnya lebih rumit dari itu. Karena kabar tentang Romy dan Sarah yang kudengar dari Ema sebelum tahun baru adalah benar. Sarah dan Romy terlibat dalm satu intrik penuh adrenalin yang sepenuhnya hanya tentang nafsu.

Dan setelah kejadian itu, Romy tak ingat apa yang terjadi antara dirinya dan Sarah, seolah itu tak pernah terjadi. Namun Sarah jelas mengingatnya lantang, dan begitu dalamnya. Ia tak terima bahwa setelah malam itu, Romy dan Ema kembali, dan dirinya merencanakan sesuatu yang gila.

Aku tahu, aku telah menjanjikan sebuah cerita tentang apa yang terjadi antara aku, Ema, dan Sarah, namun aku justru berpikir apakah itu jadi relevan. Sudah satu bulan sejak kejadian malam tahun baru. Kami menyebut diri penyintas, dan masih sering mengunjungi coffeeshop untuk sekadar bertukar informasi, cerita, dan sebagainya. Seperti seorang yang mengalami trauma akut dan butuh psikolog.

Romy punya jalan pintas, ia langsung ada di circle kami, dan sungguh menggelikan melihat Ema dengan kepura-puraannya berusaha memperbaiki sekaligus berusaha menggagalkan apa yang akan terjadi di hubungan sebelumnya.

Lalu Sarah yang berusaha menggoda Romy—Sarah jelas merindukan dan menginginkan situasi sebelumnya kembali. Sarah belum cerita apa yang terjadi antara dirinya dan Romy. Namun dari semua fakta itu, aku belum menceritakan apa efek samping yang aku alami dari kejadian tahun baru itu. Ema dan Sarah apalagi Romy tak mengetahui sama sekali.

Sudah satu bulan tidurku tak tenang, diganggu oleh mimpi-mimpi buruk yang terus berlanjut. Dalam mimpi-mimpi itu aku seperti menjalani hidup di tahun 2023. Bukan hanya terasa nyata, namun aku benar-benar melihat, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi di tahun itu—meski hanya melalui mimpi. Sederhananya, seperti ada dua diriku yang menjalani hidup bersamaan. Aku kehilangan akal, mana yang nyata dan mana yang maya. Seperti berpisah pada roh di tubuhku.

Selepas satu malam di bulan kedua aku mendapati diri berada pada sebuah mimpi yang asing, bukan mimpiku. Aku hidup di mimpi malam Sarah yang begitu penuh adrenalin, aku mengakses isi kepala Sarah, dan lambat laut kemampuan itu menempel pada diriku, pelan-pelan makin jelas setelah tiga bulan kejadian aneh itu. Sarah adalah orang pertama yang mengetahui kemampuanku. Antusiasmenya bahkan agak mengkhawatirkan.

“Jadi kamu bisa tahu apa yang dipikirin orang?”

“Bukan cuma pikirannya sekarang.”

“Terus?”

“Aku bisa lihat apa yang terjadi nanti.”

“Caranya?”

“Cuma perlu lihat mata aja.”

“Coba lihat aku..” Sarah tak tahu apa yang sedang ia hadapi. Aku bukan hanya bisa mengakses isi kepalanya, namun juga melihat apa yang akan terjadi pada dirinya hingga lima tahu kedepan. Aku hanya perlu lima detik untuk melihat apa yang sedang Sarah pikirkan, dan sepuluh detik untuk melihat seluruh gambaran lima tahun kedepan nasibnya.

“Romy…” dari banyaknya informasi yang kuketahui dari isi kepalanya, aku hanya menyebutkan nama Romy, dan Sarah langsung berubah ekspresi. Ia seolah menghindar, dan setengah marah karena aku mengakses bagian itu.

Hanya dengan menyebutkan satu nama itu antusiasme Sarah berubah, namun Sarah tetaplah Sarah, hidupnya penuh adrenalin. Kau mungkin penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Malam sebelum tahun baru, Romy dan Sarah ada dalam satu mobil yang terparkir di coffeeshop itu, namun Romy memilih tak turun, keduanya berada di dalam lebih dari satu jam. Apa yang terjadi di dalam adalah keahlian Sarah. Aku tak peduli sentuhan yang terjadi malam itu atau teriakan yang menggema ke dinding-dinding mobil. Aku justru merasa jijik tentang apa yang keduanya bicarakan, yang keduanya rencanakan.

“Kamu belum bilang Ema?”

“Udah… Tapi Romy ga inget memorinya.”

“Respon Ema?” tanyaku penasaran.

“Dia mau.”

“Serius?”

Sarah mengangguk, mengigit bibirnya. Menatap mataku. Meski hanya empat detik, aku justru makin dalam melihat apa yang Sarah dan Ema rencanakan. Seolah Sarah langsung memberitahuku dengan gambar yang jelas di pikirannya. Awalnya Sarah dan Romy yang merencanakan hal gila ini. Namun karena kejadian malam itu, Romy yang berada di luar coffeeshop tak memiliki memori kolektif seperti kami yang ada di dalam. Romy benar-benar menjadi asing, tak mengenal kami semua. Lalu Sarah justru berbalik merencanakan dan mengajak Ema.

Itu adalah alasan mengapa Ema memberi kesempatan kedua pada Romy. Meski bagi Romy itu adalah kesempatan pertamanya mengenal Ema. Kata orang makin lama kita mengenal seseorang kita akan makin memahami mereka sebagai manusia. Namun yang kulihat aku justru jadi sama sekali tak mengenal keduanya, ada lapisan baru dalam sifat mereka yang baru kuketahui.

“Terus udah bilang Romy?”

“Udah.”

“Terus?”

Sarah sekali lagi tak menjawab, ia menatapku, dan dari caranya itu, aku tahu, Romy setuju. Sarah mengizinkanku mengakses apa yang sedang ia pikirkan. Sebuah momen ketika Romy, Ema, dan Sarah duduk bersama, dan merencanakan sebuah malam yang akan terjadi dua minggu lagi.

Aku hanya terdiam.

Tak sepatah katapun keluar.

Pelan-pelan, semakin aku memaksa untuk tak mengakses masa depan itu, justru makin jelas gambaran yang terjadi lewat di kepalaku. Sebuah malam yang dingin, dengan Ema, Sarah dan Romy.

Kau mungkin tahu maksudku.

 

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, February 14, 2023

Bagian 2: Luruh.


 

Ema tampak kesal membaca sebuah instruksi pada sebuah kertas. Wajahnya menampilkan seluruh kecantikan di ruangan itu, iya, perempuan ini makin terlihat cantik saat semua kerut di wajahnya beradu.

Ia baru saja membeli laptop pertamanya, laptop baru, hasil keringatnya sendiri. Kami berada di sebuah coffeshop tempat biasa kami berkumpul. Aku, Ema, Sarah, dan Romy. Ema seperti biasa, jadi yang paling tepat waktu di antara kami. Malam ini Ema tampil casual dan santai, blus putih bergaris dengan dua kancing teratas yang dibuka, jeans ketat hitam, dan rambut yang dicepol.

“Laptop baru!” seruku dari kasir.

“Laptop, laptop… Mac nih!” ucap Ema tetap terpaku pada layar.

Malam tahun baru dan kami masih harus menyelesaikan deadline masing-masing, Ema dengan autocad yang sama sekali tak kupahami. Aku dengan naskah medioker yang harus diedit untuk penerbit. Lebih membosankan membaca naskah medioker karena naskah-naskah itu bisa membuatmu pusing karena saking jeleknya. Aku ulang, karena saking mediokernya.

Aku duduk di samping Ema, memeluknya—membuka laptop.

“Romy ke sini?”

“Please deh…” Ema masih fokus pada Mac barunya.

Romy? Akan kuceritakan sedikit-sedikit. Romy orang terakhir yang masuk circle kami, perkumpulan kecil ini. Romy pacar Ema. Tapi rumit. Lebih rumit dari apa yang terjadi di antara kami dan Sarah.

Kami bertiga… untuk yang satu itu, akan kuceritakan nanti.

Aku dan Ema berteman baik karena kami menangis bersama saat pertama kali nonton konser Yura Yunita. Ingatan itu masih tertanam di pikiranku, aku merangkul Ema pada lagu keempat, dua lagu sejak air mataku meluap, tak ada ponsel, kami benar-benar menikmati tangis itu.

“Aku udah nangis dari tadi,” ucapku malu menunjukkan pipi yang basah.

“Sama…” Ema  balik merangkulku. Ia membiarkan tangis, tak diusap. Banjir.

Sejak satu kejadian itu, Ema menyebutku teman menangis bersama. Sebutan yang menggelikan, namun aku menikmatinya.

“Penulis mana lagi?” tanya Ema.

“Kamu ga kenal.”

“Look…” Ema memamerkan Mac barunya seperti seorang spg di depan etalase.

Aku hanya mengangguk—memanyunkan bibir.

“Sarah mana? Gak bareng?”

“Nyusul, ga tahu tiba-tiba.”

“Cowok?”

Aku hanya mengangkat kedua bahu—fokus di depan laptopku.

“Cowok mana lagi…”

Dua jam pertama, kami tak banyak bicara, menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Ema memutar playlist favoritnya dalam volume yang sangat minim—namun masih bisa kudengar, coffeeshop itu hening, mereka tak memutarkan musik apapun. Mungkin karena di tempat ini, lebih banyak orang mencari ketenangan, mengerjar deadline kerjaan atau sekadar tugas kuliah yang sebenarnya bisa diselesaikan sekali duduk dalam sepuluh menit.

Satu jam lagi tahun baru. 2023. Ema sudah lebih dulu menyelesaikan deadline, sudah setengah jam ia meracau di sampingku, aku yang masih fokus di depan layar laptop tidak begitu jelas menangkap racauan Ema. Tapi dia paham, aku masih mendengar, sesekali menanggapi. Coffeeshop ini biasanya makin malam makin ramai, ia buka 24 jam. Namun hari ini, hanya terlihat beberapa orang saja. Kami duduk di ruang non smoking yang tidak lebih luas dari smoking area.

“Aku mau ngomong serius,” tiba-tiba Ema mengecilkan volume suaranya.

Aku sontak menoleh, ada tatapan geming beberapa detik—saling tatap. Ema melirik naskah yang kukerjakan, menyadari itu, aku menutup laptop—mulai memfokuskan diri sepenuhnya pada apapun yang akan keluar dari bibir tipis itu.

“Seberapa serius?”

“Romy…” ada getar di suara Ema, “Aku udah putus sama dia.”

“Akhirnyaaaa.”

Ema menampar pundakku.

“Iyalah, toxic brooohhh. Aku aja heran, aku mau temenan sama dia karena kamu, kalo engga ya boro-boro.”

“Mau fakta yang heboh ga?” Ema gossip mode

“Kayaknya dia deket sama Sarah.”

“Wtf… Ga mungkin lah. Sarah emang anaknya agak miring, tapi masa temen sendiri dia gitu.”

“Justru Sarah saved me. Firasatku ya dia datang telat nih karena lagi sama Romy.”

Tiba-tiba Sarah datang dengan senyum lebar, lebih lebar dari jidatku. Kami berdua menatapnya, Sarah mulai bingung—senyumnya berubah tanda tanya besar. “Kenapa?”

“Romy mana?” tanyaku.

Ema menampar lenganku sekali lagi.

“Maksudnya kamu bareng Romy ga?”

“Dari mana, Sar?” tanya Ema.

“Ada urusan,” jawab Ema menuju kasir—memesan minuman.

“Bego lo yaaa,” Ema berbisik.

Tak ada lagi konfrontasi, setelah Sarah duduk dan memesan minuman kesukaannya. Tak ada lagi yang membahas. Romy tak ada di sini karena satu alasan, aku dan Ema tak ada yang tahu. Mungkin Sarah jelas mengetahuinya.  

Tentang Sarah? Dia adalah fashion designer, paling keren di circle kami. Mungkin di kota ini tak ada yang tak tahu Sarah. Auranya bisa mengintimidasi semua orang yang berada di ruangan bersamanya. Aku tak bisa mendeskripsikan apa yang ia pakai malam ini. Intinya matamu bukan hanya akan terpaku pada manis wajahnya, atau bibir tebalnya, namun juga apa yang ia pakai.

Kami menghabiskan malam tanpa perasaan canggung, meski pernah terjadi sesuatu di antara kami bertiga, untuk yang satu itu akan aku ceritakan nanti. Lima menit lagi tahun baru, dan perutku mules, panggilan alam tak tepat pada waktunya.

“Aku berak dulu ya,” ucapku cepat berlalu.

“Anjirrr, tahun baru dilewatkan demi berak!” Ema setengah teriak.

“Bacot!”

Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi di antara Ema dan Sarah saat aku pergi ke kamar mandi. Tapi sungguh aku penasaran. Iya, aku melewatkan lima menit pertama di tahun 2023 dengan berada di kamar mandi, merilis semua kenikmatan bumbu-bumbu ramen, nasi rames, semangka, indomie rebus telor, teh poci, kopi susu. Semuanya.

“Mau langsung balik?” tanya Ema setelah aku selesai—nada bicaranya tampak buru-buru, ada sesuatu terjadi saat aku di dalam kamar mandi. Aku curiga.

“Langsung?” tanyaku menatap Ema—singkat melihat Sarah.

“Ga mau ke mana-mana lagi, kan?”

“Engga sih, kamu Sar?” tanyaku pada Sarah.

“Iya, kayaknya pulang aja deh.”

Entah obrolan apa yang terjadi di antara mereka dua, yang aku tahu pasti; ada yang tak biasa. Situasinya terasa sangat mencekam, mengintimidasi. Ema sudah membereskan laptopnya. Saat hendak kumatikan laptop, aku melihat tanggal dan tahun yang salah di layar.

“Jangan ngerjain dong…” celetukku santai.

“Apaan?” tanya Sarah.

“Ini tanggal tahunnya beda.”

“Ha? Kita gak ada yang nyentuh laptopmu.”

Aku melihat jam di layar ponselku. 1 Januari 2020. Bingung. Ema dan Sarah melihat jam di ponselnya masing-masing; 1 Januari 2020. Aku mendatangi kasir, bertanya jam, barista itu sama bingungnya denganku. Lalu kami menanyai setiap orang, semua jam di ponsel dan laptop mereka menunjukkan waktu yang sama; 1 Januari 2020.

Seperti baru saja dipukul dari berbagai sisi oleh petinju paling mengerikan, tubuhku lemas—aku sungguh tak bisa memproses ini, aku, Ema dan Sarah saling bepandangan. Tak bisa mengucapkan apa-apa. Ini baru. Tak kupahami sama sekali.

“kita mundur tiga tahun…” Ema terbata.

“Fuck,” Sarah berserapah.

“Kita harus pulang sekarang, ngecek ini cuma kejadian sama kita atau semua orang.”

Kami bertiga saling pandang, dan seluruh orang di coffeeshop itu bergegas merapikan semua barang bawaannya, dalam hitungan detik tempat itu sepi. Ada kekosongan yang masuk kepalaku. Aku sungguh tak mengerti. Seolah waktu tak lagi relevan, seolah semuanya luruh.

 

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.