“Cleopatra memutuskan mati.”
Baru saja kubaca sebuah koran pagi,
halaman depan yang intimidatif itu menampilkan foto Cleopatra setengah
telanjang, menggendong seorang bayi perempuan berambut pirang di antara kedua
tangannya.
Hampir satu juta tahun lalu, aku mendarat
di pekarangan rumahnya. Panen baru saja tiba saat Cleopatra dan Anthony sedang
menikmati sore yang dingin, secangkir teh madu, juga libur panjang akhir tahun.
Keduanya berpandangan saat melihatku berdiri menatap mereka tidak jauh dari
sana. Tentu, mereka tidak mengenaliku. Aku masih menggunakan pakaian astronot yang
pengap, warna putih mulai tampak kotor oleh debu-debu.
Kubuka helmku, melemparkan senyum,
sedikit canggung Anthony melambaikan tangan ke arahku, meski tampak sekali
senyumnya aneh. Aku mendatangi mereka, tertatih dengan berat sepatuku,
menghindari beberapa anak anjing yang berisik saat pertama kali kedatanganku.
Anjing-anjing itu mulai tenang saat Cleopatra menyuruhnya diam dalam bahasa
yang tidak kuketahui.
“Aku tidak berniat mengganggu waktu
santai kalian…” belum selesai aku menjelaskan maksud kedatanganku, Anthony yang
lebih tampan dariku itu, menawarkan aku secangkir teh, yang pada mulanya
kuabaikan, namun karena wangi bunga yang menyerebak masuk hingga menusuk hidung,
membuatku terlena, kuminum teh itu, aku juga haus karena perjalanan Panjang yang
melelahkan. Aku pusing, dan menaham muntah, perutku mual.
“… ada yang harus kukabarkan padamu,”
kutatap Cleopatra yang benar-benar memerhatikan apa yang hendak aku ucapkan. Sore
itu ia tidak memakai riasan apapun, dengan baju putih canvas terusan tanpa
lengan yang menutupi tubuhnya hingga ke lutut.
“apa yang ingin kau sampaikan?”
sekali tarikan napas, tampak tenang dan santai Cleopatra makin dalam menatapku,
meski seharusnya ia khawatir karena keberadaanku di pekarangan rumahnya adalah untuk
memberitahu sebuah kabar buruk.
“Kau akan mati…” aku sengaja menahan
kata-kataku, bermaksud melihat responnya, namun Cleopatra, sekali lagi, tetap
terlihat tenang.
“Okay.”
Aku terdiam, melihat Anthony lalu
Cleopatra, mataku bergerak seperti setrika, berulang kali. Keduanya hampir
tidak merespon, tetap menikmati sore, selonjor, menghadap lahan luas yang hijau.
“Anthony yang membunuhmu.”
Cleopatra menatapku—tajam.
Anthony mentap Cleopatra.
Aku mematung
Keringat muncul di keningku,
Mual makin mengaduk perut.
Tak tertahankan lagi,
Seolah darahku membeku.
Aku tidak lagi mampu melihat sekitar,
mataku kabur, mengabu, lalu pelan-pelan gelap, hitam, kelam. Masih bias kudengar
Anthony melempar kata-kata rayuan, dan Cleopatra bangkit dari tempatnya. Bisa
kudengar suara kakinya yang telanjang beradu pada kerikil-kerikil, yang makin
lama masuk ke dalam sungai di samping rumahnya. Anthony masih di tempatnya. Lalu
tidak lagi kudengar apa-apa.