Dalam
benak Arthur, ada yang masih perlu dijelaskan. Perjalanan menuju batas kota
bersama Prof. Uru dalam satu mobil yang sama, membuatnya memikirkan banyak hal,
banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul bertubi-tubi. Arthur berulang kali
menatap Prof. Uru di kursi kemudi. Arthur membawa persenjataan, busur dan anak
panah buatan Prof. Uru, tapi Arthur tidak melihat persenjataan yang dibawa
Prof. Uru.
Tanah
kosong yang dikelilingi pepohonan terlihat dari kejauhan, batas kota telah
dekat. Prof. Uru menyuruh Arthur untuk bersiap. Jantung Arthur berdebar melihat
akan ada peperangan di depan mata. Arthur melihat Prof. Uru yang terlihat
tenang, tanpa beban. Mengemudi dengan santai seperti seorang yang hendak berlibur.
Mobil yang dikendarai Prof. Uru berhenti tepat di tengah lapangan. Seperti yang
dilakukan Ana saat menemui Askar Kecha yang lain.
“Kenapa
berhenti disini, Prof??” Tanya Arthur.
“Supaya
mereka melihat kita,” Prof. Uru membuka jendela pintu kemudi.
“Tidak
ada siapa-siapa disini, Prof.”
“Mereka
bersembunyi,” Prof. Uru membuka pintu kemudi—keluar dari mobilnya.
“Mereka
siapa, Prof??” Tanya Arthur, membuka pintu mobil.
“Stop!!
Tetap di dalam, ada yang tidak beres,” Prof. Uru mencegah Arthur.
“Kenapa??”
Tanya Arthur, membuka jendela pintu kemudi.
“Dia disini,”
Bisik Prof. Uru.
“Ana??”
Tanya Arthur.
“Askar
Kecha,” Jelas Prof. Uru.
“Berapa
banyak??”
“Semua
pohon itu dijaga satu orang, mereka bersembunyi dan sedang mengarahkan busur
panah ke arah kita.” Prof. Uru memelankan suaranya.
Ana
yang berada di salah satu pohon mempertanyakan kedatangan Prof. Uru. Ana memberikan
kode paralel pada Askar Kecha yang lain untuk menurunkan busur panah. Prof. Uru
bukan target Ana. Ana melihat keanehan pada beberapa Askar Kecha yang tidak
menurunkan busur panahnya.
Ana
yang hendak turun dari pohon tempat persembunyiannya melihat satu mobil khas
balai kota yang datang dari arah berbeda dengan kedatangan Prof. Uru dan
Arthur. Mobil itu berhenti tepat di samping mobil Prof. Uru. Seorang pengawal turun
dan membuka pintu belakang mobil. Terlihat Natalie keluar dari mobil. Ana
kembali ke posisinya, mengurungkan niatnya turun dari pohon. Memegang pistol di
saku kanan—matanya tegas mengawasi Natalie.
Melihat
Natalie, Arthur bergegas turun dari mobil, Prof. Uru mencoba mencegah namun
gagal. Arthur mengambil satu anak panah, mengarahkan busur panah ke arah
Natalie. Prof. Uru mencoba menenangkan Arthur—mencegahnya, namun Arthur seperti
orang tuli yang tidak mendengar apa-apa.
“Natalie!!”
Arthur berteriak menantang.
“Ups,
kau lagi anak manis, santailah dulu, kau lepas tarikkanmu itu, kau kehilangan
dia,” Natalie yang menutupi salah satu jendela, melangkah—berpindah membuat
seorang perempuan yang berada di dalam mobil terlihat, dengan mata yang merah—menangis.
Melihat itu raut muka Arthur berubah, Arthur menurunkan busur panahnya.
“Ibu??
Apalagi yang kau mau, Natalie!?” Tanya Arthur tegas.
“Yang
ku mau??....” Natalie menjawab santai—remeh, menunjuk ke arah Arthur.
“Kalau
kau kira aku yang membunuh Rey, kau salah besar. Askar Kecha yang membunuhnya,”
Kata Arthur dengan suara yang meninggi.
“Bukan
kau... Tapi Dia,” Natalie menunjuk Prof. Uru yang berada tepat di belakang
Arthur.
Prof.
Uru hanya diam, tersenyum menatap Arthur yang menatapnya dengan raut muka
bingung. Prof. Uru mengangkat kedua bahunya singkat.
“Prof??
Kau??” Arthur menjauh, menurunkan busur panahnya.
“Memang
ada apa dengan Prof. Uru??” Tanya Arthur
“Matamu...”
Natalie menunjuk mata Arthur lalu menunjuk Prof. Uru. Arthur menatap Prof. Uru
bingung.
“Iyaa,
mata itu... Aku penyebabnya,” Prof. Uru menjawab santai, menunjuk mata Arthur
yang tertutup penutup mata.
“Benarkah
Prof??” Teriak Arthur mengarahkan Busur panahnya ke arah Prof. Uru.
“Dia
tidak salah,” Jawab Prof. Uru santai.
“Untuk
apa Prof?!” Tegas Arthur bertanya.
“Menanam
kebencian padaku, Arthur,” Jawab Natalie.
“Jangan
bilang kau juga yang membunuh Ayahku??”
“Kau
mulai paham, Arthur,” Jawab Prof. Uru remeh, lalu melambaikan tangan—seperti memberi
kode. Selusin pasukan pemanah turun dari pohon dengan meloncat, ramai-ramai
mengarahkan busur panah ke arah Natalie.
“Ini
bukan hanya perangmu, Arthur,” Prof. Uru mengambil cerutu di sakunya,
menyalakannya dengan korek yang diambilnya di saku lainnya.
“Kau
salah strategi, ini juga bukan tentang kau saja,” Natalie melambaikan tangan,
persis yang dilakukan Prof. Uru—memberikan kode. Lalu pasukan pemanah yang
jumlahnya sedikit lebih banyak dari pasukan sebelumnya meloncat dari
pohon-pohon, mengarahkan busur panah ke arah Prof. Uru dan pasukannya. Refleks.
pasukan Prof. Uru membalas mengarahkan busur panah ke masing-masing pasukan
Natalie.
Ana
masih bersembunyi, masih ingin mendengarkan percakapan diantara Natalie dan Ayahnya.
Pengawal Natalie mengarahkan pistol yang dibawanya ke arah Ibu Arthur. Melihat
itu Arthur langsung mengarahkan busur panahnya tepat di kepala pengawal
Natalie.
“Lucu
sekali, Askar Kecha yang seharusnya tunduk pada para Anei, justru ada yang
mengarahkan busurnya tepat kearah pemimpin mereka,” Natalie duduk di kap
mobilnya.
“Aku
akui, kau tanggap menyiapkan semuanya,” Jawab Prof. Uru.
“Jadi
Prof... Kau pemimpin para Anei itu??” Arthur menyela.
“Cerdas
sekali,” Natalie menanggapi.
“Kenapa
kau menolongku?? Kenapa kau tidak membunuhku di Boulgetse??” Tanya Arthur.
Prof. Uru masih menghisap cerutunya—santai. Arthur mengarahkan busurnya ke arah
Prof. Uru.
“Kau
lepas tali busurmu itu, Ibumu akan menyusul ayahmu,” Natalie menyela, membuat
Arthur kembali mengarahkan busurnya ke pengawal Natalie.
“Kenapa
kau tidak memecatnya??” Tanya Arthur.
“Dengan
alasan apa?? Aku perlu saksi bahwa dialah dalang dibalik kematian Ayahmu,
dialah pemimpin para Anei itu... Lagian untuk apa memecatnya, kalau aku bisa membawanya
ke pengadilan kota dan melihatnya berkarat di penjara,” Jawab Natalie.
Ana
meradang mengetahui bahwa Ayahnya yang membunuh Witson, ayah dari orang yang
paling dicintainya. Prof. Uru berhasil menutupinya dari Ana tanpa bau dan
bekas. Pikiran di dalam otak Ana saling beradu. Apa yang perlu dilakukannya
setelah ini.
“Kenapa
kau masih diam, Prof??” Tanya Arthur melirik Prof. Uru dengan busur panah yang
masih mengarah ke pengawal Natalie.
“Hanya
dengan membunuh ayahmu, proyek bagi para Anei bisa dilanjutkan lagi, Ayahmu itu
nyamuk pengganggu. Harus dimusnahkan.”
Mata
Arthur memerah, amarah dalam dirinya keluar. Raut murka diwajahnya sangat
kentara. Mata Arthur melihat ke berbagai arah, tubuhnya gemetar, tiba-tiba
fokusnya tertumbuk pada satu pohon. Arthur melihat Ana yang mengarahkan
pistolnya pada kepala pengawal Natalie. Arthur mengangguk, menatap Ana. Dari
tempatnya, Ana melihatkan ponselnya pada Arthur. Sekali lagi Arthur mengangguk
cepat. Arthur mengerti maksud kode yang diberikan Ana.
“Lalu
kau, kenapa menahan Ibuku, sedangkan kau tahu bahwa Prof, Uru yang membunuh Rey??”
Tanya Arthur pada Natalie.
Belum
sempat Natalie menjawab, ponsel di saku celana Arthur berdering, semua mata
tertuju pada saku celana Arthur. Pengalihan—Suara peluru terdengar keras,
sedetik kemudian pengawal Natalie jatuh dengan lubang peluru di kepala. Arthur
mengarahkan busur panahnya ke arah Prof. Uru.
“Sorry,
Prof,” Arthur melepaskan tali busur, anak panah melaju cepat menembus jantung
Prof. Uru. Refleks, pasukan Prof. Uru dan pasukan Natalie saling menembakkan
anak panah. Arthur buru-buru menarik Natalie, membuka pintu mobil Natalie, lalu
masuk. Arthur langsung menginjak gas, menjemput Ana yang langsung meloncat turun
dari pohon. Lalu pergi meninggalkan pasukan yang satu persatu tumbang dengan
anak panah yang tertancap di tubuh.
“Terimakasih,
Arthur,” Natalie terengah-engah, menepuk pundak Arthur. Ibu Arthur yang
bersebelahan dengan Natalie memeluk Arthur dari belakang. Arthur mengusap
tangan ibunya, sembari mengatur nafas, membalas senyum Ana.
Seminggu
setelah kejadian itu. Arthur mendapatakan penghargaan sebagai pahlawan kota dari
Natalie. Arthur dan Ibunya menolak rumah pemberian Natalie dan memilih untuk
tinggal bersama di rumah Ana. Ditengah-tengah Upacara pengangkatan Arthur
menjadi kepala kepolisian Kota Nanoi menggantikan Charles. Arthur yang berada
satu mimbar dengan Natalie, berbisik—bertanya pada Natalie.
“Jadi,
kenapa kau menahan Ibuku??”
(END)