Friday, July 22, 2016

IF YOU READ THIS


Sudah empat bulan aku tidak membaca apa yang bisa kamu tulis. Rasanya memang tidak ada bedanya. Sesuatu yang sudah dimantapkan untuk ada di hati memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Belakangan ini aku membaca lagi tulisanku mengenai kamu. Rasanya sudah beda. Aku sudah tidak sesakit dulu, yang memintamu mengasihaniku.

Tapi itu soal lain. Kesadaran datang terlambat. Aku bukan pelari yang kuat mengejarmu hingga tetes keringat menjelma banjir di tubuh. Aku hanya perlu menjadi bagian dari waktu. Yang bisa kapanpun menyelami setiap menit dan detik, kembali ke masa itu. Saat percakapan yang mempertemukan kita dengan kesadaran penuh bahagia. Mengatasnamakan hal lain hanya untuk saling menatap.

Memang ada manusia yang diciptakan hanya untuk terus mendengar, terus menatap, terus memantik aksara dari kegelisahan yang tercipta belum lama. Sekarang aku tidak takut untuk tidak mendapat apa yang dijanjikan tuhan. Tiga hal yang masih diperdebatkan banyak orang. Aku tidak takut pada salah satu hal ini. Aku hanya perlu menghidupkanmu dalam tiap debar jantungku, dalam tiap darah yang mengalir dalam tubuh, dalam tatapan yang serupa diorama kecil di lautan lepas. Toh, kalau kamu bisa hidup bahagia dengan caramu, kenapa aku tidak bisa hidup bahagia dengan caraku.

Semalam aku bermimpi, bagian dari tidur yang mulai tidak aku sukai. Mimpi selalu membuatku lelah ketika bangun. Aku hampir pernah tidak bisa membedakan mana mimpi mana kehdupan nyata. Semua tampak sama—nyata.

Aku bermimpi bertemu dua wanita. Salah satunya kamu. Aku meyakini dua hal soal mimpi, ketika aku memimpikan seseorang, pilihannya cuma dua: aku yang memikirkan orang itu atau sebaliknya.

Anehnya semalam aku tidak memikirkanmu sama sekali, kamu memelukku di salah satu ranjang dirumahku. Kamu menciumi telingaku dan berbisik, tapi aku tidak bisa mendengar jelas apa yang kamu ucap. Ini begitu nyata, sampai aku menolak untuk bangun. Aku bisa mengendalikan mimpiku. Ini aneh.

Sudah begitu lama aku tidak memimpikan kamu. Aku menganggap semua yang ada tentang kita, memang sudah selayaknya diikhlaskan. Aku memilih untuk tetap menaruh kamu di kedalamanku. Menolak semua yang datang. Mengusir semua yang telah memilih menetap. Ada gambaran jelas. Aku bertanya kapan kamu bisa melupakan semua yang terjadi di starbucks sore itu.

Aku sudah mengharamkan diriku untuk menginjak tempat itu. Terlalu banyak kenangan yang mengendap diam-diam dan tanpa noda. Aku bukan takut apalagi patah hati, aku mencoba melatih diri untuk menemukanmu di dalam mimpi, dimana-mana, disetiap kata yang aku tulis, disetiap seduh teh dan kopi yang aku minum.

Jika kamu membaca ini, aku hanya ingin meminta maaf. Karena aku terlalu cepat mengucapkan rasa yang sudah sejak lama dipendam. Sialnya kamu tidak siap menerima  dan akhirnya memilih untuk hanya mengenal.

Ingatkah kamu saat kita kelas satu, saat aku menjalin kasih dengan teman kelasmu. Kita masih di sekolah saat malam dan hujan datang bersamaan, kita bercerita tentang banyak hal, kamu dengan tas merahmu saat kamu belum memutuskan untuk memakai rok panjang dan jilbab. Jauh sebelum itu aku sudah mencintaimu.

Ingatkah kamu ketika kita kelas tiga, saat teman kelasmu hampir dikeluarkan karena menasehati salah seorang guru yang berkata kasar dan tolol. Aku yang sok pahlawan ini membiarkan diriku ikut bersamanya. Membela dan sama-sama dibodohi. Ketika aku menangis di salah satu sudut sekolah. Kamu mendatangiku, masih dengan tas merahmu dan tampilanmu yang telah berubah, rok panjang dan jilbab. Hanya kamu! Saat itu aku masih mencintaimu.

Tahukah kamu bahkan jauh sebelum itu, kita lebih sering saling melempar kata di Path dan Twitter. Hingga akhirnya di Instagram kamu mengajakku untuk membuat satu cerita. Disana aku merasa kebahagiaan mulai berpihak. Kamu memintaku memberikan kontakku. Kita membuat janji untuk bertemu di Starbucks. Ingatkah kamu? Saat pertama kali kita duduk. Kita sama-sama memohon hal yang sama: Untuk tidak menulis di Path bahwa kita sedang berdua di Starbucks. Saat itu aku masih dengan rasa yang sama.

Enam jam. Enam jam kita habiskan waktu disana. Sejarah dalam hidupku berbincang lama dengan seorang wanita. Dan beruntungnya aku, wanita itu—kamu yang aku cintai sejak dulu. Aku masih ingat, ada banyak hal yang kita bicarakan disana. Menanyai seorang pelayan tentang tokoh kita. Pelayan itu menjawab “Gigih” katanya dia kekasihnya. Sampai kita dianggap dua kekasih. Aku hanya tersenyum disitu. Kamu terganggu. Jelas, kita tidak bisa bohong, kita sama-sama menemukan seorang yang tidak kita temukan di kelas, di organisasi, atau mungkin di sekolah.

Ketika kita disana aku baru saja selesai urusan dengan seorang wanita yang kupilih untuk mencoba melupakanmu. Awalnya berhasil. Tapi sayang, dua tahun itu hangus terbakar. Aku memutuskan untuk kembali menatapmu dari kedalamanku.

Jika kamu membaca ini, itu tanda bahwa aku sudah selesai dengan urusan percintaan. Tidak ada yang seneurotik kamu. Aku sadar kita punya banyak kesamaan, bahkan mungkin kamu mengiyakan. Tapi agaknya kita setuju, hal-hal yang sama memang tidak bisa disatukan. Hingga akhirnya kamu mulai pelan-pelan pergi, menanggalkan semua yang sebenarnya telah kamu mulai lebih dulu. Seperti pedang yang ditarik pelan dari tubuh yang tertusuk.

Jika kamu membaca ini, aku ingat. Ada satu hal yang belum aku sampaikan. Aku perlu melepas semua sisa bayanganmu. Mungkin kamu juga, terlupakan satu hal dariku. 

See?


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, July 18, 2016

DI SEPINGGAN


Di Sepinggan rinduku berceceran

Di ruang tunggu Sepinggan
koper terasa berat

Di kamar mandi Sepinggan
cermin membiaskan matamu

Di lorong keberangkatan Sepinggan
seorang ibu berteriak 
ada barang yang tertinggal

Tempatmu lima jam dari Sepinggan
aku butuh lebih sepuluh jam 
untuk menemuimu

Pesawat pulang
berangkat sebelas jam lagi

Aku tak ingin pulang tanpa 
satu tatapan

Aku tak ingin pergi
tanpa satu kata

Sepanjang menunggu
aku hanya duduk termangu

Air mata bertanya
kenapa?

Kita tahu obat rindu hanya satu
sebuah pertemuan

Selamat malam kurnia
aku pulang

Mungkin tak ada lagi 
waktu untukmu
setelah ini

Maaf
kita bukan garis 
yang ditakdirkan bertemu


Sepinggan, 18 Juli 2016

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, July 17, 2016

jendela yang terbuka


Seorang pria dengan jeans dan kaos polos hitam di Starbucks. Duduk tepat di depan seorang wanita yang sibuk melipat lengan kemeja putihnya. Katun! Wanita itu sangat suka kemeja katun.

“Jadi, kenapa kamu mengajakku ke tempat ini??” Sang Pria bertanya.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu??” Sang Wanita sibuk melepas kertas pembungkus Muffin.

“Looh, memangnya salah??”

“Tidak, siapa yang bilang kalau itu salah??” Sang Wanita mencubit Muffin cokelat lalu memakannya.

“Oke Stop!”

“Spotlight Effect,” Kata Sang Wanita setelah menghabiskan satu cubitan Muffin.

“Sorry??”

“Ada yang sedang memerhatikanmu.”

“What??” Sang Pria latah menatap sekitar.

“Ketemu??” Sang Wanita memegang garpu dan pisau di tangannya.

“No, manasih??” Sang Pria sibuk mencari sekali lagi.

“Jendelamu masih tertutup.”

“Maksudmu??”

“Coba lihat sekali lagi,” Sang Wanita memakan Muffin yang tertancap di garpu.

“Cuma kita berdua di tempat ini.”

“Kecuali kalau kamu tidak menganggap para pekerja itu,” Sang Wanita menunjuk beberapa pekerja Starbucks yang sibuk dibalik meja order.

“Tunggu-tunggu, kenapa kamu memakan muffin dengan garpu??”

“Memang ada yang salah??” Sang Wanita sibuk memotong Muffin, seperti seorang yang memakan Steak.

“Oke, call back.”

“Aku merasa jendelaku sudah terbuka lebar.”

“Apa??” Tanya Sang Pria.

“So, Stupid,” Sang Wanita memakan muffin yang tertancap di garpunya sekali lagi.

“Berarti jendelamu juga belum terbuka.”

“Yes!! Kamu mulai menangkap umpanku,” Sang Wanita menunjuk Sang Pria dengan garpunya.

“Atau kamu yang sejak awal jadi umpanku,” Sang Pria mengangkat alisnya.

Sang Wanita menatap Sang Pria. Bunyi sentuhan garpu dan pisau yang jatuh menyentuh piring membuat beberapa pekerja Starbucks menatap mereka.




Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, July 11, 2016

DONGENG LAUT


Aku seperti menyelami
lautan tua tanpa nelayan
menatap awan yang mengambang

Didalamnya tumbuh harapan
yang dibangun dengan megah
tumbuh mewah merekah

Setahun menyelami lautanmu
berada di dunia yang melulu 
tak soal kamu apalagi aku

Seorang diri berenang 
tanpa bayangan 
juga kenangan

Aku berteriak di atas perahu
memanggil dalam bias tak tentu
mencarimu yang sembunyi meragu

Ada apa denganmu?
menyanyikan lagu penghilang sendu
merapal rindu yang menderu

Seperti sajak penyair tua
aku mencari kata berima
berharap kamu kembali menyapa

Dimanakah kamu?
aku menunggu
seperti teman lama yang bertamu

Tahukah kamu? 
Jika aku mati muda di pikiranmu
kamu hidup tua di hatiku

Berapa lagu lagi yang harus kudengar
menatap nelayan yang berlayar
dari pinggir dermaga bongkar

Sudahlah, aku menyerah
aku tak menemukan arah
mencarimu yang entah


Semarang, 11 Juli 2016


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

SANG MOTIVATOR


Seorang motivator berjas putih
melambaikan tangan di dalam tivi

Dia bilang: jangan khawatir soal cinta,
dia akan datang pada waktunya

Aku bilang: berapa umurmu??
tigapuluh, jawabnya

Sudahkah kau menikah??
Belum, kata sang motivator

Lalu kenapa kau menasehati 
urusan cinta orang lain, 
padahal kau sendiri juga masih mencari

Sang motivator terdiam,
tersenyum

Motivator juga manusia,
katanya


Semarang, 11 Juli 2016

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

DIATAS KASUR TETANGGA


Malam dengan goyangan 
kipas angin merek cosmos

Detik jam merah bergambar 
logo bank mega

Lampu philip yang terang dimatikan
waktu tidur sudah datang

Dengkuran ibu lembut menyamar
disampingnya aku mendengar

Kasur pemberian tetangga
dipakasa menahan empat badan

Kebahagian sungguh sederhana
jalan pulang bertemu keluarga

Jangan lupa 
kucing juga ikut tidur bersama

Merasakan hangatnya kebersamaan
tidur saling tendang tak jadi beban


Semarang, 10 Juli 2016
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

PUISI ANEH


Ada yang aneh di kota ini,
Saat pagi tiba dua bahasa diadu ibu-ibu

Ada yang aneh di kota ini
Kota lama masih tetap tua

Jalanan lengang pukul duabelas

Lampu jalan menyala saat malam tiba

Pom bensin masih jadi
tempat yang tak pernah tutup

Ada yang aneh di kota ini,
Seseorang membuang waktu 
membaca puisi aneh

Ada yang aneh di kota ini,
Seseorang tetap membaca
Puisi yang dibuat orang aneh

Ada yang aneh di kota ini,
Anehnya aku bingung menulis apalagi


Semarang, 9 Juli 2016
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

KISAH SEORANG KAKEK


Ada tetes darah yang mengalir 
ketika aku membuka obituari

Requiem lemah mengakar 
dari jari biarawati

Epitaf di kuburan tua
berubah makna jadi syair tak berima

Ruang-ruang dilupakan,
barisan lelaki tua menunggu di utara

Malam telah tiba, 
sudah itu saja


Semarang, 10 Juli 2016
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, July 9, 2016

TAKUT



Aku takut ketika malam 
sudah tak lagi bisa menemani

Kamu hilang dan pergi tak mengabari

Dan aku hanya bisa menyesali diri, 
belum berani bilang soal rasa ini

Aku takut ekspetasi membuatmu hilang diri, 
melupakanku yang tak lagi berarti

Mulai hari ini, aku harus sadar diri, 
memilikimu bukan janji yang bisa ditepati

Aku hanya bisa menyampaikan rasa melalui puisi ini

Selamat menempuh umur baru, 
kamu yang menguasai mimpiku

Yang melebihi kekuatanku 
dalam debar dan doa pagiku


Semarang, 9 Juli 2016
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, July 8, 2016

"TENTANG SIAPA"



Kemarin, aku bercerita pada
seekor burung ditengah malam

Katanya, seorang menangkap mataku
yang sedang menatapmu 

Seperti gula dalam kulkas,
ditambahkan untuk teh yang panas

Sesudahnya kenangan jadi rumahku,
dan rindu menolak melepasmu

Aku belum lupa mei satu tahun lalu,
saat semua awal berjalan seperti kapal

Dalam satu meja,
kita bercerita tentang persamaan

Bukan matematika atau ipa apalagi fisika,
ini soal rasa atau mungkin jiwa

Atau barangkali aku salah,
persamaan justru membuatku kalah

Tentang siapa ini??
Aku atau kamu??

Ah, mungkin kamu sudah lupa

Atau mungkin kamu masih belum bisa terima,
bahwa aku dan kamu memang sepantasnya bersama

Tapi tentang siapa ini??

Aku bukan patah hati, aku hanya melatih diri,
menemukanmu di dalam mimpi

Jadi, kapan ini akan berakhir??

Menemukan pelabuhan baru
untuk kapal yang kau tinggalkan lebih dulu

Tentang siapa puisi ini??

Jangan bertanya padaku
Tanya saja dia, ini hari ulangtahunnya


Semarang, 9 Juli 2016


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, July 2, 2016

Arthur #2 Final




Dalam benak Arthur, ada yang masih perlu dijelaskan. Perjalanan menuju batas kota bersama Prof. Uru dalam satu mobil yang sama, membuatnya memikirkan banyak hal, banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul bertubi-tubi. Arthur berulang kali menatap Prof. Uru di kursi kemudi. Arthur membawa persenjataan, busur dan anak panah buatan Prof. Uru, tapi Arthur tidak melihat persenjataan yang dibawa Prof. Uru.

Tanah kosong yang dikelilingi pepohonan terlihat dari kejauhan, batas kota telah dekat. Prof. Uru menyuruh Arthur untuk bersiap. Jantung Arthur berdebar melihat akan ada peperangan di depan mata. Arthur melihat Prof. Uru yang terlihat tenang, tanpa beban. Mengemudi dengan santai seperti seorang yang hendak berlibur. Mobil yang dikendarai Prof. Uru berhenti tepat di tengah lapangan. Seperti yang dilakukan Ana saat menemui Askar Kecha yang lain.

“Kenapa berhenti disini, Prof??” Tanya Arthur.

“Supaya mereka melihat kita,” Prof. Uru membuka jendela pintu kemudi.

“Tidak ada siapa-siapa disini, Prof.”

“Mereka bersembunyi,” Prof. Uru membuka pintu kemudi—keluar dari mobilnya.

“Mereka siapa, Prof??” Tanya Arthur, membuka pintu mobil.

“Stop!! Tetap di dalam, ada yang tidak beres,” Prof. Uru mencegah Arthur.

“Kenapa??” Tanya Arthur, membuka jendela pintu kemudi.

“Dia disini,” Bisik Prof. Uru.

“Ana??” Tanya Arthur.

“Askar Kecha,” Jelas Prof. Uru.

“Berapa banyak??”

“Semua pohon itu dijaga satu orang, mereka bersembunyi dan sedang mengarahkan busur panah ke arah kita.” Prof. Uru memelankan suaranya.

Ana yang berada di salah satu pohon mempertanyakan kedatangan Prof. Uru. Ana memberikan kode paralel pada Askar Kecha yang lain untuk menurunkan busur panah. Prof. Uru bukan target Ana. Ana melihat keanehan pada beberapa Askar Kecha yang tidak menurunkan busur panahnya.

Ana yang hendak turun dari pohon tempat persembunyiannya melihat satu mobil khas balai kota yang datang dari arah berbeda dengan kedatangan Prof. Uru dan Arthur. Mobil itu berhenti tepat di samping mobil Prof. Uru. Seorang pengawal turun dan membuka pintu belakang mobil. Terlihat Natalie keluar dari mobil. Ana kembali ke posisinya, mengurungkan niatnya turun dari pohon. Memegang pistol di saku kanan—matanya tegas mengawasi Natalie. 

Melihat Natalie, Arthur bergegas turun dari mobil, Prof. Uru mencoba mencegah namun gagal. Arthur mengambil satu anak panah, mengarahkan busur panah ke arah Natalie. Prof. Uru mencoba menenangkan Arthur—mencegahnya, namun Arthur seperti orang tuli yang tidak mendengar apa-apa.

“Natalie!!” Arthur berteriak menantang.

“Ups, kau lagi anak manis, santailah dulu, kau lepas tarikkanmu itu, kau kehilangan dia,” Natalie yang menutupi salah satu jendela, melangkah—berpindah membuat seorang perempuan yang berada di dalam mobil terlihat, dengan mata yang merah—menangis. Melihat itu raut muka Arthur berubah, Arthur menurunkan busur panahnya.

“Ibu?? Apalagi yang kau mau, Natalie!?” Tanya Arthur tegas.

“Yang ku mau??....” Natalie menjawab santai—remeh, menunjuk ke arah Arthur.

“Kalau kau kira aku yang membunuh Rey, kau salah besar. Askar Kecha yang membunuhnya,” Kata Arthur dengan suara yang meninggi.

“Bukan kau... Tapi Dia,” Natalie menunjuk Prof. Uru yang berada tepat di belakang Arthur.

Prof. Uru hanya diam, tersenyum menatap Arthur yang menatapnya dengan raut muka bingung. Prof. Uru mengangkat kedua bahunya singkat.

“Prof?? Kau??” Arthur menjauh, menurunkan busur panahnya.

“Memang ada apa dengan Prof. Uru??” Tanya Arthur

“Matamu...” Natalie menunjuk mata Arthur lalu menunjuk Prof. Uru. Arthur menatap Prof. Uru bingung.

“Iyaa, mata itu... Aku penyebabnya,” Prof. Uru menjawab santai, menunjuk mata Arthur yang tertutup penutup mata. 

“Benarkah Prof??” Teriak Arthur mengarahkan Busur panahnya ke arah Prof. Uru.

“Dia tidak salah,” Jawab Prof. Uru santai.

“Untuk apa Prof?!” Tegas Arthur bertanya.

“Menanam kebencian padaku, Arthur,” Jawab Natalie.

“Jangan bilang kau juga yang membunuh Ayahku??” 

“Kau mulai paham, Arthur,” Jawab Prof. Uru remeh, lalu melambaikan tangan—seperti memberi kode. Selusin pasukan pemanah turun dari pohon dengan meloncat, ramai-ramai mengarahkan busur panah ke arah Natalie.

“Ini bukan hanya perangmu, Arthur,” Prof. Uru mengambil cerutu di sakunya, menyalakannya dengan korek yang diambilnya di saku lainnya.

“Kau salah strategi, ini juga bukan tentang kau saja,” Natalie melambaikan tangan, persis yang dilakukan Prof. Uru—memberikan kode. Lalu pasukan pemanah yang jumlahnya sedikit lebih banyak dari pasukan sebelumnya meloncat dari pohon-pohon, mengarahkan busur panah ke arah Prof. Uru dan pasukannya. Refleks. pasukan Prof. Uru membalas mengarahkan busur panah ke masing-masing pasukan Natalie.

Ana masih bersembunyi, masih ingin mendengarkan percakapan diantara Natalie dan Ayahnya. Pengawal Natalie mengarahkan pistol yang dibawanya ke arah Ibu Arthur. Melihat itu Arthur langsung mengarahkan busur panahnya tepat di kepala pengawal Natalie.

“Lucu sekali, Askar Kecha yang seharusnya tunduk pada para Anei, justru ada yang mengarahkan busurnya tepat kearah pemimpin mereka,” Natalie duduk di kap mobilnya.

“Aku akui, kau tanggap menyiapkan semuanya,” Jawab Prof. Uru.

“Jadi Prof... Kau pemimpin para Anei itu??” Arthur menyela.

“Cerdas sekali,” Natalie menanggapi.

“Kenapa kau menolongku?? Kenapa kau tidak membunuhku di Boulgetse??” Tanya Arthur. Prof. Uru masih menghisap cerutunya—santai. Arthur mengarahkan busurnya ke arah Prof. Uru.

“Kau lepas tali busurmu itu, Ibumu akan menyusul ayahmu,” Natalie menyela, membuat Arthur kembali mengarahkan busurnya ke pengawal Natalie.

“Kenapa kau tidak memecatnya??” Tanya Arthur.

“Dengan alasan apa?? Aku perlu saksi bahwa dialah dalang dibalik kematian Ayahmu, dialah pemimpin para Anei itu... Lagian untuk apa memecatnya, kalau aku bisa membawanya ke pengadilan kota dan melihatnya berkarat di penjara,” Jawab Natalie.

Ana meradang mengetahui bahwa Ayahnya yang membunuh Witson, ayah dari orang yang paling dicintainya. Prof. Uru berhasil menutupinya dari Ana tanpa bau dan bekas. Pikiran di dalam otak Ana saling beradu. Apa yang perlu dilakukannya setelah ini.

“Kenapa kau masih diam, Prof??” Tanya Arthur melirik Prof. Uru dengan busur panah yang masih mengarah ke pengawal Natalie.

“Hanya dengan membunuh ayahmu, proyek bagi para Anei bisa dilanjutkan lagi, Ayahmu itu nyamuk pengganggu. Harus dimusnahkan.”

Mata Arthur memerah, amarah dalam dirinya keluar. Raut murka diwajahnya sangat kentara. Mata Arthur melihat ke berbagai arah, tubuhnya gemetar, tiba-tiba fokusnya tertumbuk pada satu pohon. Arthur melihat Ana yang mengarahkan pistolnya pada kepala pengawal Natalie. Arthur mengangguk, menatap Ana. Dari tempatnya, Ana melihatkan ponselnya pada Arthur. Sekali lagi Arthur mengangguk cepat. Arthur mengerti maksud kode yang diberikan Ana. 

“Lalu kau, kenapa menahan Ibuku, sedangkan kau tahu bahwa Prof, Uru yang membunuh Rey??” Tanya Arthur pada Natalie.

Belum sempat Natalie menjawab, ponsel di saku celana Arthur berdering, semua mata tertuju pada saku celana Arthur. Pengalihan—Suara peluru terdengar keras, sedetik kemudian pengawal Natalie jatuh dengan lubang peluru di kepala. Arthur mengarahkan busur panahnya ke arah Prof. Uru.

“Sorry, Prof,” Arthur melepaskan tali busur, anak panah melaju cepat menembus jantung Prof. Uru. Refleks, pasukan Prof. Uru dan pasukan Natalie saling menembakkan anak panah. Arthur buru-buru menarik Natalie, membuka pintu mobil Natalie, lalu masuk. Arthur langsung menginjak gas, menjemput Ana yang langsung meloncat turun dari pohon. Lalu pergi meninggalkan pasukan yang satu persatu tumbang dengan anak panah yang tertancap di tubuh.

“Terimakasih, Arthur,” Natalie terengah-engah, menepuk pundak Arthur. Ibu Arthur yang bersebelahan dengan Natalie memeluk Arthur dari belakang. Arthur mengusap tangan ibunya, sembari mengatur nafas, membalas senyum Ana. 

Seminggu setelah kejadian itu. Arthur mendapatakan penghargaan sebagai pahlawan kota dari Natalie. Arthur dan Ibunya menolak rumah pemberian Natalie dan memilih untuk tinggal bersama di rumah Ana. Ditengah-tengah Upacara pengangkatan Arthur menjadi kepala kepolisian Kota Nanoi menggantikan Charles. Arthur yang berada satu mimbar dengan Natalie, berbisik—bertanya pada Natalie.

“Jadi, kenapa kau menahan Ibuku??”


(END)


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.