Aku menemukanmu hidup di mimpiku, berulang kali. Lahir dari
tidur panjang yang sesak dan dingin. Hidup dalam impian yang sibuk,
kasak-kusuk.
Sedang tangismu jadi bahasa garis, yang basahnya berubah
jadi darah dalam rahim ibu.
Kutemukan mayat kering di dalam sana, seorang bayi meringkuk, dengan plasenta lembab yang panjangnya tidak terkira. Kulihat
matanya hilang, seperti dada penuh gelap, gulita tak bertangan.
Saat tiba pagi, aku terbangun dengan mata yang belum selesai
oleh mimpi-mimpi buruk. Ibu menjelma jam dinding, berdenting, pekak, menusuk
telinga.
Kulihat kau menangis, kain putih bersih membungkus tubuhmu,
dari ubun-ubun hingga ujung kaki, kulihat wajah pasi menghias hidung mancung
dan mata sipit, juga bibir tipismu.
Jangan pergi dalam keadaan tubuhmu terantai, tak bergerak,
pasrah. Apa yang kau tunggu selain nasib buruk yang ditulis, dan takdir baik
yang kau lalui, kau hempaskan, pada pasir pantai malam itu.
Aku tak lagi hidup di tiap tidurmu, saat kau membicarakan
van gogh di dapur, ruang tamu, ranjang tidurmu, atau saat mandimu.
Orang-orang bergelut pada skor bola yang telak malam tadi,
sedang aku terdiam, menunggu kau selesai mandi. Rambut basah, handuk putih
menutup setengah bagian tubuhmu, tempat perang paling liar terjadi.
Semua orang bicara tentang mengapa langit hari itu mendung,
tentang hujan yang tak kunjung reda, tentang banjir yang masuk ke rumah-rumah.
Dan kita; tenggelam pada percakapan yang panjang dan dalam.
Tentang kita yang setiap pagi melihat sepasang suami-istri
melewati rumah ibu. Rambut putih tumbuh di kepalanya. Masing-masing memegang
tali kekang; mengajak anjingnya jalan-jalan.
Kubayangkan, mungkinkah tuhan memberiku kesempatan menua
bersamamu? Mengajak anjing-anjing kita yang manis dan lucu. Atau kucing-kucing
nakal, yang cakarnya merusak kursi, karpet atau kulitmu, tempat aku merebahkan
pipi. Atau kepalaku yang berat, penuh serdadu kecil dari perutmu.
Aku hidup sebagai pengembara di kepalamu yang liar, sebuah
kamar kosong serba hitam dengan kau memakai gaun putih berdiri di sana. Membuka
tanganmu, menyambutku dengan peluk.
Sudahkah kau lelah berpura-pura? Apakah kau masih berputar-putar
di kepalaku yang ramai, kepala yang penuh debu dan kursi kayu reot, dan meja
yang kehilangan satu kaki.
Hiduplah sekali lagi, lahirlah sekali lagi, meski di antara
tangismu aku sesekali tidak hadir, karena aku, juga menangisimu sesekali.
Bertanya berulang kali, adakah satu halaman kosong, tempat
di mana kita bisa menuliskan cerita kita sendiri. Tempat kau dan aku berbagi
keringat, napas yang terengah, juga bibir yang berbagi kisah. Tempat yang nyaman
bagi resah di dadaku dan kamu
Sudah kuputuskan untuk berhenti melarikan diri, berhenti
tenggelam pada lautan dalam di mimpi-mimpiku. Ingin kuserahkan diriku pada
lautan lepas di sepasang matamu. Menjadi manusia terakhir yang menghapus air
matamu. Menghapus jejak sedihmu. Kubayangkan itu, setiap malam, berulang kali.
berulang kali
berulang
kali
Semarang, 24 Oktober 2021