Sunday, October 24, 2021

berulang kali


 

Aku menemukanmu hidup di mimpiku, berulang kali. Lahir dari tidur panjang yang sesak dan dingin. Hidup dalam impian yang sibuk, kasak-kusuk.

Sedang tangismu jadi bahasa garis, yang basahnya berubah jadi darah dalam rahim ibu.

Kutemukan mayat kering di dalam sana, seorang bayi meringkuk, dengan plasenta lembab yang panjangnya tidak terkira. Kulihat matanya hilang, seperti dada penuh gelap, gulita tak bertangan.

 

Saat tiba pagi, aku terbangun dengan mata yang belum selesai oleh mimpi-mimpi buruk. Ibu menjelma jam dinding, berdenting, pekak, menusuk telinga.

Kulihat kau menangis, kain putih bersih membungkus tubuhmu, dari ubun-ubun hingga ujung kaki, kulihat wajah pasi menghias hidung mancung dan mata sipit, juga bibir tipismu.

Jangan pergi dalam keadaan tubuhmu terantai, tak bergerak, pasrah. Apa yang kau tunggu selain nasib buruk yang ditulis, dan takdir baik yang kau lalui, kau hempaskan, pada pasir pantai malam itu.

 

Aku tak lagi hidup di tiap tidurmu, saat kau membicarakan van gogh di dapur, ruang tamu, ranjang tidurmu, atau saat mandimu.

Orang-orang bergelut pada skor bola yang telak malam tadi, sedang aku terdiam, menunggu kau selesai mandi. Rambut basah, handuk putih menutup setengah bagian tubuhmu, tempat perang paling liar terjadi.

Semua orang bicara tentang mengapa langit hari itu mendung, tentang hujan yang tak kunjung reda, tentang banjir yang masuk ke rumah-rumah. Dan kita; tenggelam pada percakapan yang panjang dan dalam.

 

Tentang kita yang setiap pagi melihat sepasang suami-istri melewati rumah ibu. Rambut putih tumbuh di kepalanya. Masing-masing memegang tali kekang; mengajak anjingnya jalan-jalan.

Kubayangkan, mungkinkah tuhan memberiku kesempatan menua bersamamu? Mengajak anjing-anjing kita yang manis dan lucu. Atau kucing-kucing nakal, yang cakarnya merusak kursi, karpet atau kulitmu, tempat aku merebahkan pipi. Atau kepalaku yang berat, penuh serdadu kecil dari perutmu.

Aku hidup sebagai pengembara di kepalamu yang liar, sebuah kamar kosong serba hitam dengan kau memakai gaun putih berdiri di sana. Membuka tanganmu, menyambutku dengan peluk.

 

Sudahkah kau lelah berpura-pura? Apakah kau masih berputar-putar di kepalaku yang ramai, kepala yang penuh debu dan kursi kayu reot, dan meja yang kehilangan satu kaki.

Hiduplah sekali lagi, lahirlah sekali lagi, meski di antara tangismu aku sesekali tidak hadir, karena aku, juga menangisimu sesekali.

Bertanya berulang kali, adakah satu halaman kosong, tempat di mana kita bisa menuliskan cerita kita sendiri. Tempat kau dan aku berbagi keringat, napas yang terengah, juga bibir yang berbagi kisah. Tempat yang nyaman bagi resah di dadaku dan kamu

 

Sudah kuputuskan untuk berhenti melarikan diri, berhenti tenggelam pada lautan dalam di mimpi-mimpiku. Ingin kuserahkan diriku pada lautan lepas di sepasang matamu. Menjadi manusia terakhir yang menghapus air matamu. Menghapus jejak sedihmu. Kubayangkan itu, setiap malam, berulang kali.

 

berulang kali

berulang

kali


Semarang, 24 Oktober 2021

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, October 2, 2021

semua bisa dijelasin, karena semua pernah terjadi.


 

Setiap kali nulis apa yang dirasain hati, tentang kekecewaan sama orang lain, kesedihan karena diperlakukan buruk sama orang lain, sekarang selalu pikir dua kali. Orang-orang itu udah bukan lagi fokus dan peduli sama apa yang aku rasain imbas dari perlakuan mereka, ternyata tulisan-tulisanku itu membuat mereka marah, malu, sehingga akhirnya kami tidak lagi bicara seperti biasanya. Padahal aku cuma nulis apa yang aku rasain, jadi kehilangan temen lagi, kehilangan orang lagi.

Makanya sekarang sedang belajar untuk terima aja perlakuan buruk orang, ya mungkin mereka juga butuh pelampiasan dari emosi yang mendekam terus dan gak tau mau diluapin ke mana, ke siapa. Mungkin juga mereka lagi capek, tapi yasudah, cuma doa-doa baik yang keluar dari mulutku.

Aku cuma agak bingung aja, kenapa aku termasuk orang yang kamu abaikan, gak kamu anggep temen, padahal aku gak berbuat salah apapun, paling jauh aku cuma nulis apa yang aku rasain, pengalaman buruk yang kuterima dari banyak orang. Gak menyindir siapa-siapa. Apalagi kamu. It’s just me and my feeling. Setelah banyak percakapan tentang rahasia-rahasia yang bahkan gak kamu ceritain ke keluarga atau teman deketmu sekalipun, kenapa nasibku selalu sama aja pada akhirnya.

Kenapa udah gak ada percakapan lagi?

Kenapa kamu lalu diam-diam aja?

Coba jelasin ke aku aja apa yang sebenernya terjadi. Kenapa seolah kebaikan-kebaikan sebelumnya lantas hilang begitu saja. Jadi gak ada artinya. Apakah dulu kamu cuma lagi sedih atau gabut aja? Ya aku ngerti. Tapi jangan anggep aku angin lalu doang. Kita tuh temen. Kita saling cerita apapun. Kenapa itu semua jadi berhenti? Coba jelasin.

Inget, yang aku tulis ini cuma apa yang aku rasain aja selama ini. Jangan lagi salah paham. Jangan marah. Bisakah sekali aja kamu juga memahami apa yang aku rasain, seperti dulu aku mengakomodir setiap kesedihan dan ceritamu.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.