Wednesday, July 31, 2019

Cara-Cara Terakhir Untuk Tersesat.



Tiap kali hal ini terjadi, aku selalu berharap bahwa aku tidak menuliskannya. Karena ketika tulisan seperti ini benar-benar eksis dan lahir artinya aku tidak sedang baik-baik saja. Aku selalu memimpikan kesempatan kedua, aku memimpikan lebih dari beribu kali. Ada banyak hal yang selalu aku sesali, meski sudah kuniatkan untuk diputuskan. Mengambil langkah-langkah yang sejak awal sudah kumengerti akan menjadi sakit, akan jatuh sekali lagi. Sungguh bagaimanapun aku tidak pernah mengharapkan hal-hal seperti ini terjadi lagi. Aku selalu terjebak pada hubungan yang tidak adil. Hubungan-hubungan yang membawaku pada garis batas tapi aku terkunci di dalam, saat aku melewati batas itu aku tetap berada di jeruji yang sama. Dan terus terulang entah sampai kapan.

Aku hilang kendali, satu hal aku ingin kamu, lain hal aku menyadari hal itu tidak mungkin terjadi. Barangkali bagimu tidak ada yang salah, tapi kamu selalu lupa—aku masih manusia, yang punya hati, punya perasaan. Sungguh ini tidak adil, saat aku mulai membuka kemungkinan untuk siapapun, membuka segala yang ditutup oleh yang lalu, aku selalu menemukan hal yang sama; sebuah hubungan yang terlanjur dimiliki orang lain. Barangkali benar, nyaman adalah jebakan. Tapi sesungguhnya aku merasa nyaman sejak pertemuan kita pertama kali. Caramu tertarik pada segala hal yang keluar dari bibirku, sentuhan-sentuhan yang sudah lama tidak kuterima dari siapapun, atau caramu memborbardir ruang obrolan di whatsappku. Aku takut kehilangan itu saat aku terpaksa memutuskan. Biasanya memutuskan hal yang ternyata buruk bagiku, namun tetap perlu kutempuh. Rasanya seperti ditelan hidup-hidup.

Percayalah, aku masih rentan, sejak hubungan yang terakhir membuatku berhenti. Mengalami fase-fase menyebalkan, fase di mana aku butuh namun tidak berani mengungkap apa yang ada. Saat di mana aku berada dalam ruang hitam, dan aku butuh cahaya yang menuntunku ke luar. Saat kenangan yang terakhir membuatku memikirkan bahwa pertemuan adalah hal yang penting dan kubutuhkan, namun aku selalu memikirkan posisiku. Di mana aku, dan sebagai apa aku. Ini selalu menjadi tidak adil untukku. Aku berusaha mengendalikan semuanya, berharap ketika yang satu hilang, aku tidak kehilangan yang lainnya, namun kenyataannya aku yang ditinggalkan, entah dengan terang-terangan, atau dengan cara-cara yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Yaa barangkali kecewa adalah kata yang pas untuk disematkan menjadi nama tengahku.

Aku adalah sisa-sisa kerapuhan dari dinding kokoh yang dulu pernah ada dan sempat melindungiku dari perasaan-perasaan ingin. Ingin memiliki, ingin menyayangi, ingin mencintai, atau ingin-ingin yang lain. Kubiarkan perasaanku tenggelam pada segala kondisi yang membawaku ke ruang paling tenang, ruang paling nyaman, sampai aku tersadar; aku lupa jalan pulang. Bahkan setelah aku ingat ke mana jalan pulang, aku tersadar, aku tak punya rumah. Di situasi seperti itu, aku butuh kamu. Namun kamu punya rumah yang selalu menunggumu, selalu siap kapanpun, dimanapun kamu butuh. Aku; hanya pria yang tersesat jauh entah ke mana. Hilang kendali, hilang diri, hilang hati.

Setiap kali hubungan itu berakhir, aku selalu ingin hubungan itu kembali lagi. Aku selalu bernafsu untuk memperbaiki hal-hal yang rusak dan hancur karenaku sendiri. Yaa, aku terlalu naif untuk menyadari bahwa hal-hal yang kuinginkan hanya akan menjadi debu yang beterbangan, tertiup angin—hilang. Aku naif, menginginkanmu kembali, menginginkanmu untuk meninggalkan kekasihmu saat ini, terlalu naif untuk memiliki hubungan yang baik-baik saja, tanpa perlu risau tentang keberadaan, tidak perlu risau bahwa aku hanya menjadi orang ketiga—sekali lagi. Dan terus terulang. Meski pernah kubilang, relationship itu persoalan human experience, ternyata aku menyadari, pengalaman ini mungkin hanya aku yang pernah dan mampu mengalami. Ditinggalkan, diacuhkan, dilupakan, atau hanya menjadi pilihan. Sesungguhnya aku rindu, aku yang dulu.

Yang menentang segala hal, yang tidak peduli bahwa ada cinta yang butuh dibalas. Aku bersikap seolah semua tidak pernah terjadi, namun sayangnya aku salah mengambil sikap, lupa bahwa segala hal adalah persoalan momentum. Yang ujung-ujungnya aku hanya menyesali, atas sesuatu yang tidak adil. Menangis di tengah malam, di atas roda dua berkecepatan tinggi, dan berharap ada kendaraan lain yang menabarakku, menghancurkanku sekalian. Daripada aku harus merasakan dejavu berulangkali. Kupikir aku terselamatkan dengan keberadaanmu, tapi aku menyadari satu hal, makin dalam aku terlibat, makin jauh aku tersasar—tidak tahu jalan pulang. Aku hanya ingin kamu ada, di tempat dan waktu yang tepat. Bukan dalam setiap kesedihan yang lagi-lagi harus terulang.

Tapi, semua yang pernah aku alami, sungguh tidak ingin kulupakan sama sekali. Aku menikmati masa-masa itu, masa tidak menjadi pilihan, masa menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, masa-masa menjadi ramah untuk tidak dianggap asing. Atau masa-masa saat kebahagiaan dan rasa sedih hanya berjarak satu jengkal. Aku akan mengingatnya sampai aku tidak lagi mampu merasakan apa itu jatuh cinta, apa itu rindu, apa itu cemburu, apa itu sakit hati, apa itu kecewa. Saat tulisan ini muncul dan di titik ini kamu membacanya, barangkali aku telah menghilang dari radar, dan cukupkan dirimu. Aku tidak ada di mana-mana, aku berada jauh dalam jangkauanmu jika yang ada dipikiran dan hatimu hanyalah laki-laki lain.

Aku terlalu larut dalam ceritamu, sampai aku melupakan cerita yang ingin kutulis sendiri, dan kamu menolak menjadi tokoh dalam cerita itu. Tidak ada yang terlalu perlu disesali, aku hanya kepingan kecil dari kepingan penting dalam ceritamu—kisah cintamu yang menyenangkan, yang kubantu untuk menjadi sempurna. Aku hanya tokoh pengganti—yang mendukung keberadaanmu, saat kamu dan laki-laki itu terlibat dalam situasi menyebalkan atau bahkan pertengkaran hebat. Aku tidak akan sembunyi, meski keberadaanku selalu berusaha kamu sembunyikan. Aku ada, meski kamu tidak ada di mana-mana. Aku hanya butuh udara, butuh sesekali bernapas dari keadaan yang makin hari makin membuatku gila.

Aku akan menghilang tepat setelah pesan terakhir laki-laki itu masuk ke ponselmu. Aku hanya sedih, aku hanya kecewa pada diri sendiri—yang terlalu larut dan emosional pada hubungan yang tidak mampu kukendalikan, karena aku bukan pilotnya atau bahkan co-pilot. Aku hanya pemain cadangan, dan saat aku berada dalam permainan aku hanya bisa mengacaukan, tentu kamu menyadari itu. Aku adalah kekacauan yang teratur, selalu menghancurkan segala hal yang seharusnya ada untuk menjadi obat bagi setiap napas yang kamu ambil dari hiruk-pikuk yang membuatmu jenuh.

Tapi aku tetap manusia, punya perasaan yang seharusnya tetap kamu jaga. Punya perasaan takut kehilangan, sehingga bersikap seolah semua harus sesuai iramaku. Aku adalah penghancur bagi diriku sendiri, aku adalah bom waktu dan racun dalam diri. Aku hanya rindu, merasakan diri yang baik-baik saja, tanpa perlu berpikir kita ini apa, tanpa perlu berpikir besok akan jadi seperti apa. Aku rindu kamu, sungguh. Aku rindu diriku yang dulu. Yang selalu membantumu menulis cerita yang lugu dan membuatmu candu. Aku ingin menolong sekali lagi—bukan menjadi tokoh yang harus ditolong. Saat semuanya menghujam persis ke jantungmu, apa lagi yang perlu kamu tunggu. Selain kematian yang menunggu. Aku hanya menunggu, kamu yang datang sebagai penolong atau sebagai kematian yang tidak membawa ampun. Aku selalu menunggu bagaimana ini akan berakhir.

Satu hal yang perlu kamu tahu, apapun yang terjadi di akhir. Aku adalah pihak yang pasti akan kalah, bahkan hanya dengan menutup mata.


-----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, June 2, 2019

Di Tubuhmu Tumbuh Aku


aku ingin kembali
pada setiap kata yang pernah ada Kita,
atau setiap rasa yang dulu pernah ada

aku lelah
merasa diri baik-baik saja
tapi hati terkapar lemah

aku memilih menyerah
di antara kesedihan lama
dan luka yang belum juga reda

sungguh di pelukanmu aku luruh,
sebab suara tak lagi lirih
karena senyummu mampu menghilangkan perih.

aku akan pulang
ke tempat seharusnya kita berdua
di tubuhmu yang tumbuh aku


Semarang, 2 Juni 2019
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, May 28, 2019

Menunggu itu Seni


Aku pernah cerita
Tentang mengapa kita tak pernah bisa bersama.

Aku suka menatap kedalaman matamu
Menikmati senyum dan candamu
Menikmati peluk yang hangat saat kau cerita tentang kekasihmu

Aku tak ingin kehilangan itu
Aku memilih melihatmu dari kacamatku .
Rinduku selalu terlambat satu detik,
ada orang lain yang lebih dulu mengucap itu,
dan kamu terlanjur tersipu

Aku memilih menunggu
Menunggu itu seni,
karena kita bertaruh pada yang tak pasti.


Semarang, 29 Mei 2019
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, May 14, 2019

Kita dan Cerita yang Singkat


Kita membiarkan diri
larut pada cerita masing-masing.

Sampai kita lupa,
di cerita orang lain,
kita jadi bagian paling penting.

Namun kita memilih
untuk tidak hadir
melengkapi cerita itu

Kau selalu butuh seseorang untuk merilis semua yang membuat pikiranmu jadi gila, kita butuh seseorang yang bisa utuh memahami cerita kita, bukan yang sekadar ingin mendengar hanya untuk dibilang perhatian,

Karena,
Setelah kamu, mereka yang datang hanya menjadi cerita-cerita yang singkat


Semarang, 15 Mei 2019
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, May 7, 2019

SEMUA DITINGGALKAN SAAT SEMUA DIHAPUSKAN



Delapan hari setelah kiamat terjadi, seorang lelaki duduk di depan gereja dengan dasi bermotif merpati dan sepasang sepatu hitam pemberian sang istri. Wajahnya muram seperti mendung malam atau barangkali tembok yang kusam. Ia membawa setangkai mawar merah yang sudah tak lagi merekah, ia berpikir bahwa dirinya telah kalah; menyendiri di antara reruntuhan gedung lima lantai dan kedai kopi tempat ia biasa menepi. “Ini akhirnya,” gumamnya setiap kali angin dan debu menyentuh kulit yang menghitam karena tak lagi pernah mandi.

Sehari sebelum kiamat terjadi ia punya janji dengan seorang misionaris yang ia temui pertama kali usai ibadah di minggu pagi. Tak lagi ada pretensi, pikirnya saat ia melihat misionaris itu keluar dari gereja yang mulai sepi. Ia mengikuti wanita itu sampai di depan rumah, kecanggungan seketika melumuri tubuhnya saat wanita itu melihat dirinya. “Ada yang bisa saya bantu?” bahkan ia ingat kalimat pertama yang keluar dari bibir misionaris itu. Lalu ia pergi tanpa permisi dengan jantung yang berdebar kencang seperti mesin Ferrari milik Didier Pironi, ia meninggalkan sang misionaris sendiri.

Pertanyaan lalu muncul dan merebak hingga ke ubun-ubun, semuanya berebut minta dijawab lebih dulu, “Wanita itu anggun,” pikirnya saat pergi dari depan rumah sang misionaris, dan menyusuri jalan yang terasa panjang tanpa ujung. Hari-hari ia habiskan dengan menguntit, berbicara pada diri sendiri; bagaimana cara untuk bisa bertatap muka dengannya, membicarakan banyak hal mulai dari anjing lucu yang ia lihat menggeliat di kaki misionaris setiap kali wanita itu meninggalkan rumah, atau tentang Tuhan yang telalu lama terlelap sampai alpa bahwa dunia telah bergeser entah ke mana.

Ia yang seorang Budha taat duduk di dalam gereja saat ibadah minggu pagi sesak oleh keluarga yang berharap kebaikan dunia. Ia diam dan mendengar semua cerita dari Pastor berambut putih dengan monokel di mata kiri. Ia mengambil Injil yang tersedia di depannya—ada kantong yang disediakan di belakang kursi untuk menampung kitab suci. Ia membukanya perlahan sembari menciumi bau kertas. Ia merasakan ketenangan dalam hatinya yang memerah karena setiap kata yang keluar dari pastor itu, ketenangan yang sama saat ia beribadah atau melakukan semedi di tengah malam.

lalu ia melihat misionaris itu, kembali jantungnya berdebar kencang. Ia fokus menatap ke depan, sesekali melirik. Ia merasa misionaris itu terus menatapnya sampai ibadah pagi selesai.

“Saya tahu kamu bukan seorang Kristen,” misionaris itu berdiri di depan pintu. Mereka bersalaman, “Saya Maryam,” dari berbagai nama yang lelaki itu pikirkan, ia sama sekali tak memikirkan nama mainstream itu. “Ya saya tahu, nama yang mencolok, sangat mainstream,” ucap misionaris setelah melihat senyum yang aneh dari lelaki itu. Sang Misionaris melepas jabat tangannya, dan lelaki itu masih belum mengucapkan apa-apa. “Tunggu saya di sana, saya akan menemuimu sepuluh menit lagi,” lelaki itu duduk di bawah pohon yang rindang—matanya tak pernah lepas dari misionaris yang menyapa semua jemaat sampai gereja sepi.

“Saya lebih suka disebut biarawati, bukan misionaris,” wanita itu membuka percakapan, lalu duduk setelahnya. “Saya tahu kamu akan menulis misionaris di ceritamu nanti.”

“Aku bahkan belum terpikiran untuk menulis pengalaman ini.”

“You will,” biarawati itu tersenyum.

“Ada apa dengan misionaris?”

“Saya tidak suka posisi itu.”

Keduanya tertawa.

Hari-hari setelahnya Maryam dan lelaki yang bahkan lupa mengenalkan dirinya menghabiskan waktu berdua hampir setiap hari. Maryam hanya punya waktu pukul lima sore hingga tujuh malam, lelaki itu tak pernah ingin membuang-buang waktu, hanya dua jam dari 24 jam dalam sehari yang ia punya untuk bertemu Maryam. Saat ibadah minggu lelaki itu selalu datang ke gereja—sendirian, orang-orang mempertanyakan ia dari komunitas apa. Tak ada yang mengenalnya kecuali orang-orang gereja—Maryam dan Pastor bermonokel.

Hari-hari mereka habiskan duduk di taman kota, saling berpandang, membicarkan hal-hal yang bukan tentang keduanya. Sesekali mereka pergi ke museum kota, atau menikmati kopi susu di kedai yang berbeda lalu membandingkan rasanya.

Seminggu sebelum kiamat terjadi, lelaki itu berulang tahun yang ke empat puluh tujuh, Maryam menghadiahinya sebuah dasi bermotif merpati. Maryam bilang merpati adalah simbol cinta, simbol pembawa pesan perdamaian. Lelaki itu merekah saat kata-kata dari Maryam menyentuh lembut telinganya, dan mereka berpelukan di antara malam yang dingin di bangku taman kota.

“Aku punya istri,” lelaki itu membuka obrolan setelah pelukan mereka yang lama.

“Saya tidak kaget,” Maryam tersenyum.

“Lalu?”

“Apa?”

“Tak biasanya seorang perempuan merasa tenang dan baik-baik saja mendengar seorang lelaki mengaku telah memiliki istri.”

“Memangnya saya bisa apa? Saya telah memutuskan, tidak ada yang perlu disesali. Barangkali kamu yang menyesal, menikahi seseorang yang sama sekali tidak kamu cintai. Karena itu kamu ada di sini.”

“Bukan makasudku membohongi istriku. Aku hanya. . .” kata-kata tertahan di atas kepala, lelaki itu berusaha keras mencari kata yang tepat.

“Daripada memahami kompleksitas manusia, kamu memilih menghindarinya. Padahal, kita adalah entitas tunggal yang tak akan pernah terpecahkan.”

Obrolan mereka terhenti, sudah tepat pukul tujuh, dan Maryam harus segera pergi.

Keesokan harinya Maryam tak terlihat di mana-mana, lelaki itu merasa telah melakukan kesalahan yang membuat Maryam mungkin menjauhinya. Hari-hari ia habiskan di dalam gereja, duduk lesu, memikirkan banyak kemungkinan. Sampai dua hari sebelum kiamat terjadi ia tetap diam bahkan saat lonceng gereja keras terdengar menggetarkan pipi dan telinga. Sampai ketika ia bangkit untuk pulang, ia melihat Maryam berdiri di altar gereja, lelaki itu tersenyum dan menghapus air matanya, berjalan cepat menghampiri—nyaris berlari lalu memeluk erat Maryam yang tampak cantik dengan gaun putih tanpa lengan.

“Lima hari aku menunggumu, duduk di gereja dan mencarimu di rumah,” lelaki itu mengelus lembut punggung Maryam.

“Lima hari saya mencari jawaban.”

“Jawaban?” lelaki itu melepas peluk, menatap Maryam penuh tanya.

“Temui aku di sini besok, kamu akan tahu semua jawabannya.”

Keduanya menghabiskan hari sampai lupa waktu, sudah lewat pukul tujuh, dan Maryam hanya diam tersenyum saat lelaki itu bertanya batas waktu yang sudah lewat, tidak seperti biasa—Maryam mengabaikannya. Maryam makin erat menggenggam tangan lelaki itu. Malam yang dingin menyelimuti kota, Maryam bersandar pada pundak lelaki itu, menyenandungkan sebuah lagu yang membuat lelaki itu terpejam karena merdu senandung Maryam.

“Kamu tahu, semua akan dihapuskan setelah kita tua, nama, usia, masa lalu, setiap kenangan bahkan masa depan. Dan kita hanya bisa tinggal—menunggu sampai waktunya datang.”

Lelaki itu diam, dengan perasaan yang berkecamuk di dalam.

“Semua akan ditinggalkan saat semuanya dihapuskan. Masing-masing menjadi sendiri, bahkan waktu terdiam, ruang-ruang dibelokkan. Saat akhir segalanya mulai muncul ke permukaan, kita dipaksa melupakan segalanya.”

Maryam mencium pipi lelaki itu. Lalu malam menghabiskan diri saat keduanya bercinta di bangku taman.


----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, March 10, 2019

Kolase Epidemi



Ada sesuatu yang hilang sejak satu per satu orang pergi tanpa meninggalkan jejak. Pergi tanpa memberi arti yang lebih. Pergi tanpa satu kata pun. Semua seolah jadi tanpa arti, dari semua yang dibangun dengan susah payah, atau yang dibangun hanya dari melanjutkan sesuatu yang dimulai orang lain. Ada yang hilang dari dalam dirimu, tapi kamu berusaha keras mencari apa yang kosong, sisi apa yang seharusnya diisi. Aku bingung, sesuatu hilang bahkan tak kusadari kapan perasaan ini memulai diri di dalam bagian hidupku. Seolah semuanya terjadi alamiah, seolah memang hal itu harus terjadi dan bagian dari perjalanan hidup.

Mungkin ada orang menyebutnya depresi, kekosongan yang lahir dari keramaian tingkat tinggi yang sebelumnya ada dan dibangun bersama orang-orang sakit yang ibu jarinya tak pernah berhenti mengonsumsi gossip artis ibu kota. Pernahkah kamu merasa sendiri—kesepian saat suasana sebetulnya sedang sangat bising-bisingnya. Ini seperti kamu berada di sebuah kotak kaca, kamu terkurung di dalamnya dan dari dalam kamu melihat keramaian di luar, keramaian yang terus mengular tanpa henti.

Barangkali semua memang dilahirkan dengan epideminya masing-masing, yang disusun seperti sebuah kepingan puzzle, dan kita selalu kehilangan keping terakhir. Ada kekosongan di sana yang perlu diisi sebelum bentuk keindahannya bisa benar-benar utuh dinikmati, tapi apakah kita sanggup menemukan keping terakhir itu sendirian. Lama-lama epidemimu membentuk sebuah kolase yang indah, namun tetap ada yang kurang, seperti melihat matahari terbit saat mendung menutupinya dan kamu hanya bisa melihat sisa-sisa cahaya yang muram terpancar dari balik awan. Kita sebut apa ini? Kesedihan mendalam? Atau hanya ketidakberuntungan.

Otakmu dipenuhi berbagai macam pertanyaan, dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit, tentang mengapa cinta tak pernah punya makna yang pasti, atau tentang mengapa sebelum tidur kita selalu memikirkan orang yang sama. Aku pernah ada di titik sangat dicintai lalu berakhir sangat tidak dicintai, rasanya begitu membingungkan—aneh. Kita belajar memahami setiap inci pemikiran manusia, sebelum kita selesai mempelajarinya kita dihadapkan pada manusia lainnya, yang barangkali bahkan lebih rumit untuk dibedah. Mungkin karena dinding yang ia bangun untuk menutup semuanya.

Aku berhenti menulis sangat lama, sejak yang terakhir benar-benar mengguncangku, aku mengutuk diri sendiri, mengapa tak pernah benar-benar mampu mencintai seseorang yang datang, aku selalu mencari rumus yang tepat tapi tak pernah kutemui di mana-mana. Semesta selalu punya caranya sendiri, meski kadang dengan cara-cara itu aku tak pernah menyukainya. Aku ingat semuanya, orang-orang yang menceritakan kisahnya padaku, dan berakhir bahagia karena semuanya selesai dengan baik. Tapi mereka melupakan aku, selalu ada korban dari setiap perjalanan, korban dari setiap cerita, menjadi korban karena mendengarkan adalah caraku mengutuk diri sendiri. Tak pernah mampu mengurus jalan hidup sendiri, tapi khatam mengurus masalah orang lain. Lalu salah siapa?

Rasa kecewa barangkali akan menjadi nama tengahku, aku bahkan heran banyak orang membuatku kecewa, banyak orang berlagak baik menawarkan sesuatu, tapi berakhir menjadi epidemi yang mengakar keras, tanpa suara, tanpa gerak, bahkan tanpa hembus napas. Mereka tanpa sadar membentuk sebuah monster yang akhirnya tidak percaya pada human relationship, saat tulisan ini dibuat barangkali namamu adalah salah satu nama yang ada di buku catatanku, dan menjadi salah satu nama yang dicoret—dihapuskan dari memori dan tak lagi ingin kusentuh. Aku heran sendiri, tak pernah ada kata maaf, seolah hal semacam itu bukanlah sebuah kesalahan. Kali ini aku bingung, bagaimana bisa membuat kecewa, marah, menyesal, sebal seorang manusia bisa disebut bukan kesalahan.

Saya hilang ketertarikan, pada semua hal, pada semua yang datang, pada semua yang menawarkan romantisme namun sama sekali tidak romantis. Orang harus belajar cara memelihara manusia lainnya, bahwa jika kau mencintai seseorang buat dia merasa bebas, yakinkan dia, bukan mengikat dia dengan ikatan yang sempurna dan bikin sesak napas. Orang harus belajar itu, sebelum menerima kekuatan tertinggi yang bisa tuhan beri. Seketika cinta jadi tak punya arti karena dibentuk dan dibawa oleh orang-orang yang tak paham cara memahami manusia, semua berlagak ingin menjadi yang paling perhatian namun sejatinya hanya bikin muntah. Posesif adalah senjata nuklir yang mematikan, dan aku muak.

Seperti mendengar amarah ibu yang tak kunjung henti saat anaknya melakukan kesalahan fatal, atau sekadar nakal yang sebetulnya bisa dimaafkan dalm satu kata. Tapi semua itu tak bisa keluar, ia tertahan di ubun-ubun, dan rasanya panas. Kau selalu butuh seseorang untuk merilis semua yang membuat pikiranmu jadi gila, kita butuh seseorang yang bisa utuh memahami cerita kita, bukan yang sekadar ingin mendengar hanya untuk dibilang perhatian, Jari-jari ikut marah, saat isi kepala keluar seperti muntahan, aku sakit tapi tak kuketahui apa obatnya, bingung dan mencari namun terus menemukan jalan buntu, di saat yang sama, aku melihat semua orang tampak senang, tampak tak punya masalah, meski mungkin di kamar tidurnya seluruh bantal basah oleh air mata. Mereka hanya menemukan kesenangan-kesenangan kecil. 

Saat ditanya apakah kamu bahagia? Hanya ada suara yang mendengung keras di dalam kepala.


-----

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.