Friday, June 24, 2016

Arthur #2 Eps. 9




Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi dari sebuah pertemanan adalah hilangnya kepercayaan diantara pelakunya. Arthur mengalaminya setelah melihat hal yang sulit dia terima. Setelah melihat peralatan Ana di ruang bawah tanah, kesadarannya seperti diputar ulang. Rasa cintanya terhadap Ana juga menutupi keadaan yang terjadi. Arthur tidak bisa berpikir jernih. Seperti ada dua kutub magnet yang saling tolak menolak di otaknya.

“Serius?? Alat panah?? Di dalam kotak?? Di ruang bawah tanah??” Tanya Prof. Uru bertubi-tubi.

“Mataku tidak mungkin salah Prof,” Jawab Arthur. 

“Sebab nggak mungkin Ana bisa menggunakan alat itu. Dia anak baik-baik, Aku belum pernah sama sekali melihatnya memainkan busur dan anak panah,” Kata Prof. Uru dengan raut muka bingung.

“Lalu kenapa kotak itu seperti sengaja disimpan di sana??” Tanya Arthur.

“Mungkin dia ingin menyembunyikannya dariku,” Prof. Uru kembali memasang tali busur.

“Apa yang harus kita lakukan, Prof??”

Prof. Uru terdiam, ada kegundahan dalam dirinya, sembari melanjutkan pekerjaannya. Arthur masih berdiri tidak jauh darinya. Menunggu pertanyaannya dijawab. Arthur masih melipat satu tangannya di dada dan mengelus dagu dengan jari-jarinya. Kemampuan Arthur dalam memanah memang sudah lama tidak diasah, tapi tidak ada waktu untuk Arthur berlatih dan mengasah kemampuannya lagi. 

“Ini pegang,” Prof. Uru memberikan Arthur busur yang telah selesai dia garap.

“Apa yang harus kita lakukan Prof?? Kau belum menjawab pertanyaanku,” Keluh Arthur melihat Prof. Uru berlalu meninggalkannya.

“Kau mau kemana Prof?!” Tanya Arthur lantang.

Arthur mengikuti Prof. Uru yang bingung mencari sesuatu diantara rak buku.  Tangannya masih memegang busur dan satu set anak panah.

“Kau harus bersiap, Arthur. Kita kehabisan waktu,” Prof. Uru melihat sekilas jam tangannya sambil mencari barang diantara rak buku.

Arthur mengalungkan satu set anak panah pada pundaknya dan menarik tali busur untuk menguji seberapa kuat Prof. Uru memasangnya.

“Nah, ketemu,” Sontak Prof. Uru—mengambil  gulungan kertas di salah satu rak buku.
“Itu apa Prof??”

“Ini jawaban dari pertanyaanmu, Arthur.” 

Prof. Uru menuju meja kerjanya. Arthur membuntutinya. Prof. Uru meminggirkan tumpukkan buku dan beberapa barang yang tergeletak di atas meja, membuatnya jatuh lepas ke lantai. Prof. Uru membuka gulungan kertas itu, dan meletakkan buku di kedua ujung kertas.

“Kau, tahu tempat ini, Arthur??”

“Apa ini??” Tanya Arthur, bingung.

“Ini peta, coba lihat polanya... See??” 

“Peta?? Pola apa sih, Prof??”

“Garis putus-putus, bintang, lingkaran, garis panjang, persegi panjang yang dikelilingi titik-titik kordinat yang saling menyambung. Lihat lagi Arthur,” Prof. Uru menjelaskan dengan tangan yang sibuk diatas kertas.

“Ohyaaa... I See, Prof. I See. Sepertinya aku tahu tempat ini,” Arthur berpikir sejenak, melihat kertas diatas meja dengan seksama.

“Kau tahu?? Dimana??” Tanya Prof. Uru.

“Ini seperti tanah lapang yang dulu dijadikan tempat parkir heli. Cuma ada satu tanah lapang yang luas di kota ini, Prof.”

“Gerbang masuk kota!!” Arthur dan Prof. Uru bersamaan.

“Kalau memang Ana salah satu dari Askar Kecha, pasti dia berada disini saat ini,” Prof. Uru menunjuk peta.

“Bentar-bentar. Salah satu?? Darimana Prof bisa tahu ada banyak Askar Kecha??” Tanya Arthur penasaran.

“Ada kemungkinan Askar Kecha lebih dari satu kan, Arthur.”

Prof. Uru bergegas menggulung kertas diatas meja lalu mengembalikkannya di tempat semula. Arthur mengikuti dengan langkah pelan. Ada kenaehan yang lewat di otak Arthur. 

“Ayo, Arthur. Sudah hampir Gelap,” Prof. Uru memecah kebingungan di pikiran Arthur.

“Oh... Oke Prof,” Spontan Arthur menjawab.


(BERSAMBUNG)


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, June 23, 2016

Arthur #2 Eps. 8


Prof. Uru tidak kesusahan untuk membuat satu alat panah. Dengan kayu dan beberapa tulang hewan, Prof. Uru sudah dapat membuat satu alat panah untuk Arthur. Prof. Uru meruncingkan bagian depan sebuah batang kayu yang dijadikannya sebagai anak panah. Prof. Uru melubangi sedikit bagian ujung kayu lainnya, sebagai Arrow Rest atau tempat untuk meletakkan anak panah pada tali busur.

Busur buatan Prof. Uru terdiri dari kayu yang melengkung, dengan tali busur yang terikat pada kedua ujungnya. Kayu akan melengkung lebih dalam ketika tali busur ditarik. Prof. Uru menggunakan tali yang digulung di bagian tengah kayu sebagai pengganti Grip, atau tempat untuk memegang busur. 

Busur telah ditemukan pada masa Paleolitik atau awal periode Mesolitik. Panah dibuat dari kayu pinus, terdiri dari poros utama dan sebuah poros depan sepanjang 6-8 inci. Dulu, sebagian besar tentara Assirian dan Persian, menggunakan alat panah sebagai alat perang melawan musuh. Dalam Pertempuran Crecy, Pasukan Inggris yang lebih kecil menang atas pasukan Perancis yang jauh lebih besar. Inggris menggunakan busur panjang untuk memenangkan pertempuran. Busur panjang menjadi senjata yang dapat lebih cepat dibidikkan daripada busur silang. Busur panjang yang digunakan Pasukan Inggirs dapat dengan mudah menembus setelan baju baja tentara Perancis.

“Jadi bagaimana?? Semenarik apa buku itu untukmu??” Prof. Uru menunjukkan busurnya pada Arthur.

“Tetap saja teori nggak berbicara banyak,” Arthur mengambil busur panah dari tangan Prof. Uru.

“Ini beberapa anak panah, aku membuatnya dari sisa kayu pembuatan rak buku di gudang Boulgetse yang ada di belakang,” Prof. Uru menyerahkan beberapa anak panah pada Arthur.

“Tali busur??” Tanya Arthur, mengambil anak panah dari tangan Prof. Uru.

“Untuk tali busur, harus dengan tali yang benar-benar kuat. Sialnya disini nggak ada,” Jelas Prof. Uru.

“Lalu??” Tanya Arthur bingung.

“Kau harus kerumahku, ada tali yang cukup kuat untuk dipakai. Tali itu ada di ruang bawah tanah. Kamu pasti tahu,” Prof. Uru melipat kedua tangannya di dada.

“Kenapa tidak Prof saja yang mengambilnya??”

“Ini saatmu Arthur, uji penyamaranmu. Jarak dari sini ke rumahku tidak terlalu jauh. Kau pasti bisa,” Senyum Prof. Uru.

Dengan penyamaran yang pernah dipakai Prof. Uru. Arthur menuju rumah Ana dengan menumpang truk setelah beberapa menit berjalan kaki. Diperjalanan Arthur mengecek ponsel yang lama tidak dia sentuh. Satu pesan dari Ana muncul di layar ponsel. Arthur membukanya. Bola matanya membesar membaca pesan dari Ana. Tidak ada waktu bagi Arthur untuk memikirkan pesan dari Ana, kebingungan sempat lewat dipikirannya. Beberapa kali Arthur terpikir untuk menelpon Prof. Uru.

Tepat di ujung gang menuju rumah Prof. Uru dengan deretan pohon kelapa yang tertata rapi di sepanjang jalan. Jantung Arthur berdebar, fokusnya terbagi akbiat pesan Ana yang dia baca. Arthur mempercepat langkahnya menuju ruang bawah tanah melalu pintu dibagian samping rumah. Tidak susah bagi Arthur untuk mencari kunci yang terselip diantara bebatuan tepat di depan pintu. Prof. Uru selalu meletakkannya disana.

Arthur menemukkan tali busur yang dimaksud Prof. Uru setelah membuka beberapa peti. Arthur membawanya pada tas yang dia bawa. Sebelum keluar, mata Arthur tertumbuk pada satu kotak dibawah beberapa barang bekas. Arthur mendatanginya—berlutut menyingkirkan barang-barang itu. Rongga matanya menyempit seperti seorang dengan mata sipit. Arthur melihat nama Ana pada kotak itu. Rasa penasaran Arthur membuatnya dengan cepat membuka kotak itu.

“Ini Prof,” Arthur menyerahkan tali busur pada Prof. Uru.

“Kau kenapa??” Tanya Prof. Uru, melihat Arthur tampak bingung.

“Ha?? Oh, No... No Problem,” Jawab Arthur terbata.

“Apa yang kau temukan??” Tanya Prof. Uru, mulai mengotak-atik alat panah buatannya.

“Nothing,” Singkat Arthur.

“Kau tidak pintar berbohong, Arthur. Seperti Ayahmu,”

“Aku melihat satu kotak kayu dengan tulisan Ana di ruang bawah tanah,” Arthur tampak bingung.

“Ha?? Maksudmu??” Prof. Uru menghentikan pekerjaannya.

“Kotak... Dibawah tumpukkan barang-barang lain,” Arthur menjelaskan sebuah kotak dengan isyarat tangan.

“Terus apa masalahnya??” Tanya Prof. Uru.

“Tidak ada masalah dengan kotaknya,” Arthur menatap Prof. Uru.

“Terus??” Tanya Prof. Uru penasaran.

“Isi kotak itu...” Lidah Arthur terasa kelu, kalimatnya dibiarkan tidak selesai—mengambang.

“Apa??” Prof. Uru penasaran.

“Aku melihat satu set alat panah... Apakah itu punya Ana?? Apa benar Ana, Askar Kecha??” Tegas Arthur bertanya, matanya memerah menatap Prof. Uru yang terdiam.



 (BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, June 22, 2016

Arthur #2 Eps. 7


Ana yang mengendarai Cruisernya pelan-pelan berhenti setelah melihat rumah Arthur dari kejauhan. Rumah yang sebagian besar kontruksinya terbuat dari kayu itu telah berubah menjadi abu. Hitam pekat dengan asap yang masih sedikit mengepul di udara. Ana memakirkan Cruisernya di pinggir jalan. Berkeliling melihat sisa-sisa abu rumah Arthur. Ana menatap jam di ponselnya. Mengirimkan pesan pada Arthur. Memberitahu kondisi rumahnya. Anjing liar mendatangi Ana, mengendus abu rumah Arthur dan buntut yang bergoyang, membuat Ana sedikit terganggu. Ana memutuskan pergi—melanjutkan perjalanan. Suara knalpot Cruiser mengagetkan Anjing liar itu, membuatnya lari mengejar Ana. Belum jauh Ana meninggalkan rumah Arthur, Anjing itu berhenti mengejar Ana yang semakin kencang mengendarai Cruisernya.

“What?? Pemanah??” Arthur tersentak.

“Iya pemanah, kenapa kamu sekaget itu Arthur,” Tanya Prof. Uru.

“Lihat mata ini... Hilang, karena apa?? Karena anak panah sialan dari pemanah sialan,” Tegas Arthur menunjuk rongga matanya.

“Justru itu Arthur, pemanah dilawan juga dengan pemanah. Ide dilawan dengan ide. Gagasan dilawan dengan gagasan.”

“Kenapa harus panahan siih?? Kalau kita bisa bunuh orang dengan peluru, kenapa kita justru pilih panahan,” Keluh Arthur.

“Peluru nggak bisa menembus rompi anti peluru, Arthur... Tapi anak panah... Anak panah bisa dengan mudah menembusnya,” Prof. Uru menggambarkan dengan isyarat tangan.

“Aduuh,” Arthur memijat keningnya.

“Ada ditanganmu. Ambil atau...” Tantang Prof. Uru.

Meeting point sudah terlihat dari kejauhan. Sepi yang terlihat terasa biasa bagi Ana. Selalu ada kode masuk bagi para prajurit, semacam password untuk membuka pintu. Ana berhenti tepat di tengah tanah lapang yang kosong dengan pohon-pohon yang mengelilingi. Ana membunyikan klaksonya. Bunyi klakson pertama terdengar singkat. Bunyi panjang klakson kedua membuat daun di beberapa pohon bergetar.

Tiga orang terlihat turun dari tiga pohon yang berbeda. Menghampiri Ana yang belum beranjak dari Cruisernya. Tiga orang dengan kostum yang sama, membawa kantung anak panah di punggung dan busur panah di tangan kiri, tiga orang itu bersamaan mengambil anak panah lalu mengarahkannya pada Ana.

“Tidak usah berlebihan, kita dipihak yang sama,” Jelas Ana.

“Prajurit Ana,” Salah seorang bertanya.

“Kelihatannya??” Jawab Ana.

“Maaf, ini standard yang harus dilakukan,” Tiga orang pemanah menurunkan alat panahnya.

“Jadi apa setelah ini,” Tanya Ana dari atas Cruiser.

“Sembunyikan Cruisermu, panjat salah satu pohon, kita harus menunggu sisanya sebelum gelap,” Seorang pemanah menjelaskan.

Ana menyalakan Cruisernya, memakirkannya dibalik pohon. Ana memanjat pohon setelah tiga pemanah lainnya kembali memanjat pohon tempatnya bersembunyi.

“Fine... apa boleh buat,” Arthur mengangkat bahu, pertandan pasrah.

“So??” Tanya Prof. Uru.

“Oke, kapan kita bisa mulai??” Tanya Arthur.

“First, kamu harus tahu teorinya, ada buku tentang itu yang bisa sedikit membantumu,” Prof. Uru mulai mencari buku di beberapa rak. Arthur mengikutinya dari belakang.

“Aaahh, kenapa semua hal yang bisa langsung dipraktekan, tetap saja butuh teori,” Keluh Arthur.

“Teori itu dasar, Arthur. Bayangkan jika sebuah bangunan tanpa dasar, tanpa penyangga. Bayangkan ketika sebuah negara tidak punya dasar negara. Coba bayangkan,” Prof. Uru sibuk mencari buku diantara rak yang tingginya melebihi tinggi Arthur dan dirinya.

Prof. Uru berhasi menemukan buku yang dicarinya. Buku yang tidak tebal, Arthur bisa dengan mudah selesai membacanya kurang dari dua jam. Arthur mulai membaca.

“Mau kemana, Prof??” Tanya Arthur disela-sela membaca.

“Kita tidak punya alat panah, kita harus membuatnya sendiri. Biar aku yang mencari semua keperluanmu. Selesaikan bacaanmu. Waktu kita tidak banyak.”


Arthur membiarkan ucapan Prof. Uru mengambang di langit-langit. Kesunyian mengiringi setelahnya. Arthur kembali fokus membaca, matanya tidak lepas dari setiap kata yang ada di buku itu. Prof. Uru tersenyum menatap Arthur dari kejauhan, senyum yang membuat gigi putihnya terlihat.


(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, June 18, 2016

Arthur #2 Eps. 6




Ketika hari baru saja mulai, pagi yang dingin berganti dengan teriknya siang. Prof. Uru dan Arthur masih sibuk mengobrol di salah satu sudut Boulgetse. Di antara rak buku politik dan sosial mereka menghabiskan kopi bersama.

“Jadi gimana bisa, di perpustakaan sebesar ini, dengan koleksi buku yang hampir sejuta, ada peralatan kedokteran,” Tanya Arthur pada Prof. Uru.

“Perpustakaan ini sudah seperti rumah kedua bagiku dan ayahmu, Arthur. Dulu selalu ada pengobatan gratis di tempat ini... Ayahmu yang membuat program itu.”

“Ohyaa?? Unik juga, baru aku dengar perpustakaan jadi tempat pengobatan gratis.”

“Itu uniknya ayahmu, Arthur. Beliau bisa melakukan kebaikan di banyak tempat.”

Kopi dalam cangkir itu semakin pekat, pembicaraan menjerumus kearah kegelapan Kota Nanoi selepas peninggalan Witson. Beberapa buku telah habis dibaca Arthur, buku-buku tipis dengan halaman yang tidak sampai menyentuh seratus.

“Dulu, aku tidak terlalu peduli dengan kehidupan ayah di pemerintahan. Aku sibuk mengejar Ana, bermalas-malasan di rumah, menjadi komentator, kritik sana-sini. Hidup terlalu nyaman saat itu, sampai aku lupa aku menikmati kenyamanan orang lain bukan menciptakan kenyamananku sendiri.”

“Kalau aku boleh bertanya, apa yang membuatmu tidak peduli, bahkan terhadap Ayahmu sendiri,” Prof. Uru duduk setelah lama berdiri.

“Politik.”

“Politik?? Kenapa?? Bukannya semasa Ayahmu memimpin kota ini, politik berjalan dengan baik? Kondusif, semua terkendali ditangan Witson.”

“Yaahh, well. Bagiku politik itu kotor. Cuma dengan cara kotor politik bisa berjalan,” Arthur mengembalikan buku yang telah selesai dibacanya.

“Ditangan Ayahmu, tidak ada politik kotor, semuanya bisa berjalan dengan baik. Kesejahteraan meningkat pesat. Kemiskinan turun. Warga Kota merasa bahagia dibawah kepemimpinan Witson.”

“Nah, baru belakangan ini aku jadi sadar, kebencianku sama yang namanya politik justru nggak baik buat kedepannya. Semua harga ditentukan sama keputusan politik, harga buah, sayur, daging, barang-barang yang kita pakai. Semuanya. Cuma banyak orang yang belum sadar,” Arthur sibuk mencari buku.

“Mereka sibuk cari kesalahan orang. Sampai lupa memperbaiki kesalahannya sendiri. Politik bukan untuk dijadikan kambing hitam dari suatu permasalahan. Politik justru diciptakan untuk memperbaiki, menyelesaikan permasalahan itu sendiri, menjadi jalan keluar.”

Arthur tersenyum, menemukan satu buku yang menarik perhatiannya. Diambilnya buku itu, dengan sampul yang tidak menarik. Hanya ada judul pada sampul buku itu. Buku sejarah perjalanan Kota Nanoi. Buku yang tebalnya membuat Arthur harus membawanya dengan kedua tangan.

“Itu buku, cuma tersisa beberapa copy, yang entah dibawa siapa. Buku tua, rapuh,” Jelas Prof. Uru.

“Beberapa copy?? Kemana yang lain??” Tanya Arthur.

“Hilang bersama sejarahnya, buku itu cukup dicari untuk dibajak, dipalsukan,” Prof. Uru membenarkan letak duduknya.

“Loh, bukannya kalau dibajak dan dipalsukan justru semakin banyak?”

“Seharusnya gitu, buku itu dibajak dan dipalsukan bukan untuk dibaca. Tapi digunakkan untuk bahan bakar. Ketika Kota Nanoi mengalami krisis minyak.”

“Ha?? Kenapa bukan buku yang lain??” Arthur membuka halaman demi halaman di buku itu.
“Entah, seperti misteri yang belum terpecahkan.”

Arthur sibuk membaca halaman pertama buku itu, telunjuknya bergerak mengikuti alur baca. Prof. Uru beranjak dari kursinya, mengisi ulang cangkir kopinya yang kosong. Menuju mejanya dan mengambil koran kota yang dibelinya di pasar.

“Coba baca ini,” Prof. Uru melemparkan koran pada Arthur.

“KOTA INI BUTUH PAHLAWAN,” Arthur membaca pelan judul yang bercetak tebal di halaman utama koran. Menatap Prof. Uru yang menatapnya.

“Kamu harus balas dendam atas apa yang dilakukan padamu, Arthur. Jadilah Pahlawan untuk kota ini, untuk kotamu.”

“Untuk apa?? Kita bisa terus hidup di sini tanpa dicari. Orang-orang mulai melupakan kita,” Arthur melipat koran.

“Kota ini sekarat Arthur, banyak yang harus diselamatkan. Kita nggak bisa berdiam diri disaat yang lain butuh perlindungan,” Tegas Prof. Uru.

“Kalau gitu kenapa bukan Prof. Saja yang jadi pahlawan buat mereka,” Tegas Arthur.
“Aku sudah terlalu tua untuk itu. Kamu masih muda Arthur, ini kesempatanmu. Ingat pesan Ayahmu. Kalau kamu mau, aku punya penawaran. Akan jadi menarik kalau kamu yang melakukan.”

Arthur terdiam. Membuka kembali koran yang dilipatnya. Membaca judul itu dalam hati. Muncul sosok Witson di kepalanya. Prof. Uru menunggu—menatap Arthur yang terlihat berpikir keras.

“Jadi??” Tanya Prof. Uru.

“Semenarik apa tawaranmu??”


 (BERSAMBUNG)


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, June 17, 2016

Arthur #2 Eps. 5




Boulgetse adalah perpustakaan kota yang dibangun pada masa kepemimpinan Witson, Boulgetse mempunyai hampir satu juta koleksi buku. Perpustakaan ini mempunyai ruang bawah tanah yang sangat luas. Bangunan yang lebih mirip gereja dengan lonceng dan jam berukuran besar di bagian atas bangunan. Boulgetse dibangun sebagai fasilitas untuk kaum miskin di Kota Nanoi, agar mereka gemar membaca dan tidak menjadi masyarakat yang bodoh. Witson meyakini dengan membaca hidup manusia akan lebih mudah. Para Anei menyegel bangunan itu setelah kematian Witson. Para Anei takut pengaruh membaca dapat mengubah pandangan kaum miskin terhadap mereka.

Boulgetse menjadi tempat persinggahan Witson ketika tidak sedang di Balai Kota, baginya ketentraman adalah ketika kita berhasil hanyut dalam setiap kata yang ada didalam buku. Membaca menjadi kebutuhan Witson setiap hari, Semasa Arthur kecil, Witson selalu mengajaknya ke perpustakaan untuk sekedar menghabiskan waktu dengan membaca buku. Kebiasaan itu membuat Arthur juga menggemari buku. Bagi Arthur buku bukan sekedar jendela dunia. Buku adalah rumah, tempat kita pulang. Rumah adalah tempat pertama yang paling dirindukan setiap manusia.

Prof. Uru juga sering menghabiskan waktu di Boulgetse untuk melakukan riset melalui buku-buku yang ada disana. Bahkan selain Witson yang mempunyai kunci perpustakaan itu, Prof. Uru juga mempunyai kunci Boulgetse. Kunci pemberian Witson supaya Prof. Uru bisa leluasa melakukan riset dalam urusan pekerjaannya. Sahabat, sekaligus orang kepercayaan Witson semasa menjadi wali kota.

Dulunya Boulgetse selalu ramai saat malam tiba, saat jam kerja habis. Para pekerja memilih untuk menghabiskan waktu di Boulgetse untuk membaca dan sesekali bertemu dengan Witson, berdiskusi tentang banyak hal. Keunikan Witson dalam memimpin Kota Nanoi saat itu, Witson lebih memilih perpustakaan sebagai tempat pertemuan, berbeda dengan pemimpin lain yang membuka Balai Kota untuk berkumpul bersama warganya. Orang-orang menyebut Witson, Malaikat dari Surga atas kebaikan dan kemurahan hatinya terhadap banyak orang.

Kini, Boulgetse menjadi tempat yang terbengkalai, semak-semak ilalang tumbuh di sekitar bangunan itu dan menutupi sedikit bagian bawah bangunan. Seperti kebanyakan perpustakaan di kota-kota besar. Sepi, terbengkalai. Untuk mencari kesunyian di kota-kota besar, pergilah ke perpustakaan. Disana sepi, selama minat baca orang-orang tidak tumbuh. Selama itu pula perpustakaan menjadi tempat asing.

Tapi hari itu, hari saat kejadian berdarah di Balai Kota menggemparkan seluruh penjuru Kota. Boulgetse kedatangan dua tamu. Satu terkapar penuh darah dibagian wajah, satu yang lainnya menggendongnya dengan susah payah turun dari mobil khas Balai Kota dengan atap berbahan kulit yang bisa dibuka. Prof. Uru dan Arthur menjadi penghuni baru Boulgetse setelah sekian lama tempat itu tidak disinggahi

Sesaat ketika Arthur jatuh akibat bidikkan Askar Kecha, Prof. Uru berlari menuju ruangan Charles dan membawa Arthur sebelum petugas keamanan Balai Kota datang. Saat sirine tanda bahaya dinyalakan, Prof. Uru sudah mengendarai mobilnya dan berhasil keluar dari Balai Kota tanpa kesulitan apapun. Hal pertama yang dipikirkan Prof. Uru adalah tempat persembunyian, awalnya Prof. Uru memikirkan rumahnya untuk menghilangkan jejak Arthur. Tapi ketika Mobilnya melewati Boulgetse, seketika Prof. Uru membelokkan mobilnya lalu memakirkannya di bagian belakang Boulgetse yang berbatasan langsung dengan laut.

Prof. Uru kesusahan menangani sendiri luka di mata Arthur. Untungnya Boulgetse bagai rumah baginya. Seluruh alat kedokteran masih tersimpan rapih di satu ruangan di Boulgetse. Setelah dua hari pasca kejadian itu, Arthur terbangun dari tidur panjangnya. Bertanya apa yang terjadi. Arthur jadi seperti seorang yang amnesia. Lupa segala hal, mungkin karena ada bagian dari saraf matanya yang putus akibat busur panah Askar Kecha. Amnesia yang dialami Arthur tidak bertahan lama, hanya beberapa jam setelah dirinya terbangun, Arthur sudah ingat semuanya dengan jelas.  

Sudah hampir dua minggu Arthur tidak keluar dari Boulgetse, Prof. Uru melarangnya. Sudah hampir dua minggu juga Prof. Uru melakukan penyamaran ketika pergi ke pasar kota untuk membeli bahan makanan. Prof. Uru melakukan penyamaran sebagai petani buah dan sayur, dengan menumpang truk-truk pembawa hasil pertanian dan perkebunan yang melintas—melewati Boulgetse.

Dendam yang mulai merajai tubuh Arthur mulai tidak terkendali. Dendam karena Natalie telah merebut semua darinya. Satu pesan di ponsel Rey menjadi bukti keyakinan Arthur, bahwa Askar Kecha adalah Natalie. Orang yang juga menjadi dalang dibalik kematian ayahnya. Hari-hari dihabiskan Arthur untuk bersumpah serapah di hadapan Prof. Uru. Sampai suatu ketika Prof. Uru menawarkan Arthur sesuatu yang menarik.


(BERSAMBUNG)

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.