Wednesday, July 31, 2019

Cara-Cara Terakhir Untuk Tersesat.



Tiap kali hal ini terjadi, aku selalu berharap bahwa aku tidak menuliskannya. Karena ketika tulisan seperti ini benar-benar eksis dan lahir artinya aku tidak sedang baik-baik saja. Aku selalu memimpikan kesempatan kedua, aku memimpikan lebih dari beribu kali. Ada banyak hal yang selalu aku sesali, meski sudah kuniatkan untuk diputuskan. Mengambil langkah-langkah yang sejak awal sudah kumengerti akan menjadi sakit, akan jatuh sekali lagi. Sungguh bagaimanapun aku tidak pernah mengharapkan hal-hal seperti ini terjadi lagi. Aku selalu terjebak pada hubungan yang tidak adil. Hubungan-hubungan yang membawaku pada garis batas tapi aku terkunci di dalam, saat aku melewati batas itu aku tetap berada di jeruji yang sama. Dan terus terulang entah sampai kapan.

Aku hilang kendali, satu hal aku ingin kamu, lain hal aku menyadari hal itu tidak mungkin terjadi. Barangkali bagimu tidak ada yang salah, tapi kamu selalu lupa—aku masih manusia, yang punya hati, punya perasaan. Sungguh ini tidak adil, saat aku mulai membuka kemungkinan untuk siapapun, membuka segala yang ditutup oleh yang lalu, aku selalu menemukan hal yang sama; sebuah hubungan yang terlanjur dimiliki orang lain. Barangkali benar, nyaman adalah jebakan. Tapi sesungguhnya aku merasa nyaman sejak pertemuan kita pertama kali. Caramu tertarik pada segala hal yang keluar dari bibirku, sentuhan-sentuhan yang sudah lama tidak kuterima dari siapapun, atau caramu memborbardir ruang obrolan di whatsappku. Aku takut kehilangan itu saat aku terpaksa memutuskan. Biasanya memutuskan hal yang ternyata buruk bagiku, namun tetap perlu kutempuh. Rasanya seperti ditelan hidup-hidup.

Percayalah, aku masih rentan, sejak hubungan yang terakhir membuatku berhenti. Mengalami fase-fase menyebalkan, fase di mana aku butuh namun tidak berani mengungkap apa yang ada. Saat di mana aku berada dalam ruang hitam, dan aku butuh cahaya yang menuntunku ke luar. Saat kenangan yang terakhir membuatku memikirkan bahwa pertemuan adalah hal yang penting dan kubutuhkan, namun aku selalu memikirkan posisiku. Di mana aku, dan sebagai apa aku. Ini selalu menjadi tidak adil untukku. Aku berusaha mengendalikan semuanya, berharap ketika yang satu hilang, aku tidak kehilangan yang lainnya, namun kenyataannya aku yang ditinggalkan, entah dengan terang-terangan, atau dengan cara-cara yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Yaa barangkali kecewa adalah kata yang pas untuk disematkan menjadi nama tengahku.

Aku adalah sisa-sisa kerapuhan dari dinding kokoh yang dulu pernah ada dan sempat melindungiku dari perasaan-perasaan ingin. Ingin memiliki, ingin menyayangi, ingin mencintai, atau ingin-ingin yang lain. Kubiarkan perasaanku tenggelam pada segala kondisi yang membawaku ke ruang paling tenang, ruang paling nyaman, sampai aku tersadar; aku lupa jalan pulang. Bahkan setelah aku ingat ke mana jalan pulang, aku tersadar, aku tak punya rumah. Di situasi seperti itu, aku butuh kamu. Namun kamu punya rumah yang selalu menunggumu, selalu siap kapanpun, dimanapun kamu butuh. Aku; hanya pria yang tersesat jauh entah ke mana. Hilang kendali, hilang diri, hilang hati.

Setiap kali hubungan itu berakhir, aku selalu ingin hubungan itu kembali lagi. Aku selalu bernafsu untuk memperbaiki hal-hal yang rusak dan hancur karenaku sendiri. Yaa, aku terlalu naif untuk menyadari bahwa hal-hal yang kuinginkan hanya akan menjadi debu yang beterbangan, tertiup angin—hilang. Aku naif, menginginkanmu kembali, menginginkanmu untuk meninggalkan kekasihmu saat ini, terlalu naif untuk memiliki hubungan yang baik-baik saja, tanpa perlu risau tentang keberadaan, tidak perlu risau bahwa aku hanya menjadi orang ketiga—sekali lagi. Dan terus terulang. Meski pernah kubilang, relationship itu persoalan human experience, ternyata aku menyadari, pengalaman ini mungkin hanya aku yang pernah dan mampu mengalami. Ditinggalkan, diacuhkan, dilupakan, atau hanya menjadi pilihan. Sesungguhnya aku rindu, aku yang dulu.

Yang menentang segala hal, yang tidak peduli bahwa ada cinta yang butuh dibalas. Aku bersikap seolah semua tidak pernah terjadi, namun sayangnya aku salah mengambil sikap, lupa bahwa segala hal adalah persoalan momentum. Yang ujung-ujungnya aku hanya menyesali, atas sesuatu yang tidak adil. Menangis di tengah malam, di atas roda dua berkecepatan tinggi, dan berharap ada kendaraan lain yang menabarakku, menghancurkanku sekalian. Daripada aku harus merasakan dejavu berulangkali. Kupikir aku terselamatkan dengan keberadaanmu, tapi aku menyadari satu hal, makin dalam aku terlibat, makin jauh aku tersasar—tidak tahu jalan pulang. Aku hanya ingin kamu ada, di tempat dan waktu yang tepat. Bukan dalam setiap kesedihan yang lagi-lagi harus terulang.

Tapi, semua yang pernah aku alami, sungguh tidak ingin kulupakan sama sekali. Aku menikmati masa-masa itu, masa tidak menjadi pilihan, masa menjadi orang lain untuk mempertahankan seseorang, masa-masa menjadi ramah untuk tidak dianggap asing. Atau masa-masa saat kebahagiaan dan rasa sedih hanya berjarak satu jengkal. Aku akan mengingatnya sampai aku tidak lagi mampu merasakan apa itu jatuh cinta, apa itu rindu, apa itu cemburu, apa itu sakit hati, apa itu kecewa. Saat tulisan ini muncul dan di titik ini kamu membacanya, barangkali aku telah menghilang dari radar, dan cukupkan dirimu. Aku tidak ada di mana-mana, aku berada jauh dalam jangkauanmu jika yang ada dipikiran dan hatimu hanyalah laki-laki lain.

Aku terlalu larut dalam ceritamu, sampai aku melupakan cerita yang ingin kutulis sendiri, dan kamu menolak menjadi tokoh dalam cerita itu. Tidak ada yang terlalu perlu disesali, aku hanya kepingan kecil dari kepingan penting dalam ceritamu—kisah cintamu yang menyenangkan, yang kubantu untuk menjadi sempurna. Aku hanya tokoh pengganti—yang mendukung keberadaanmu, saat kamu dan laki-laki itu terlibat dalam situasi menyebalkan atau bahkan pertengkaran hebat. Aku tidak akan sembunyi, meski keberadaanku selalu berusaha kamu sembunyikan. Aku ada, meski kamu tidak ada di mana-mana. Aku hanya butuh udara, butuh sesekali bernapas dari keadaan yang makin hari makin membuatku gila.

Aku akan menghilang tepat setelah pesan terakhir laki-laki itu masuk ke ponselmu. Aku hanya sedih, aku hanya kecewa pada diri sendiri—yang terlalu larut dan emosional pada hubungan yang tidak mampu kukendalikan, karena aku bukan pilotnya atau bahkan co-pilot. Aku hanya pemain cadangan, dan saat aku berada dalam permainan aku hanya bisa mengacaukan, tentu kamu menyadari itu. Aku adalah kekacauan yang teratur, selalu menghancurkan segala hal yang seharusnya ada untuk menjadi obat bagi setiap napas yang kamu ambil dari hiruk-pikuk yang membuatmu jenuh.

Tapi aku tetap manusia, punya perasaan yang seharusnya tetap kamu jaga. Punya perasaan takut kehilangan, sehingga bersikap seolah semua harus sesuai iramaku. Aku adalah penghancur bagi diriku sendiri, aku adalah bom waktu dan racun dalam diri. Aku hanya rindu, merasakan diri yang baik-baik saja, tanpa perlu berpikir kita ini apa, tanpa perlu berpikir besok akan jadi seperti apa. Aku rindu kamu, sungguh. Aku rindu diriku yang dulu. Yang selalu membantumu menulis cerita yang lugu dan membuatmu candu. Aku ingin menolong sekali lagi—bukan menjadi tokoh yang harus ditolong. Saat semuanya menghujam persis ke jantungmu, apa lagi yang perlu kamu tunggu. Selain kematian yang menunggu. Aku hanya menunggu, kamu yang datang sebagai penolong atau sebagai kematian yang tidak membawa ampun. Aku selalu menunggu bagaimana ini akan berakhir.

Satu hal yang perlu kamu tahu, apapun yang terjadi di akhir. Aku adalah pihak yang pasti akan kalah, bahkan hanya dengan menutup mata.


-----


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.