Thursday, December 28, 2017

Recitativo #6


Mari kita bermain sebuah game, oke bilang saja ini permainan. Aku akan memberikan sebuah pertanyaan yang boleh kamu jawab boleh tidak. Tapi aku yakin kamu akan merenungkan hal ini. Jika kamu disuruh memilih, mana yang akan kamu pilih: Menikah dengan orang yang kamu cintai saat ini tapi sepuluh tahun lagi, atau. Menikah kurang dari sepuluh tahun lagi tapi tidak dengan seseorang yang kamu cinta saat ini.

Aku menanyakan hal ini ke beberapa orang, pria dan wanita. Kebanyakan dari wanita yang kutanyai memilih pilihan kedua. Sedangkan para pria memilih pilihan yang pertama. Ini sedikit banyak meyakinkan dugaanku terhadap sesuatu. Apakah benar para pria adalah makhluk yang lebih setia, lebih yakin daripada wanita? Jika iya barangkali kita harus bersyukur karena banyak yang kita dengar sehari-hari tidak seperti itu.

Kebanyakan wanita yang menjawab pilihan kedua beralasan sesuatu yang realistis, aku sendiri memaklumi itu. Tapi ketika aku menjawab; “Berarti menikah atas nama cinta itu bullshit, ya?” mereka masing-masing tertegun, seperti ingin mengganti pilihannya. Lalu apakah benar cinta hanya sebatas alasan palsu yang sering kita pakai untuk mendapatkan seseorang? Jika memang salah, mengapa kebanyakan wanita memilih yang kedua? Apakah benar tanpa cinta kita bisa menjalin hubungan dengan orang lain?

Mungkin memang benar, sejak abad pertengahan manusia tidak lagi “jatuh cinta” karena cinta. Kita hanya mengatasnamakan cinta untuk alasan yang sebetulnya bukan itu. Mungkin juga kamu pernah menemui seorang wanita entah di dunia nyata atau maya memberitahu kita tentang tipe pria yang akan ia nikahi, kita tidak asing dengan kata-kata ini; “Aku harus menikah dengan pria yang mapan,” seolah sulit sekali mereka bilang “pria yang kaya raya.” Inginnya setelah menikah mereka nyaman karena suaminya sudah memberikan hak dan kewajiban soal keuangan. Tapi apakah itu adil bagi pria? Seoalah ia menikahi harta suaminya bukan suaminya sendiri.

Kita juga tidak bisa buta, memang ada para wanita yang akhirnya menikah dengan seseorang yang “mapan,” dan meninggalkan seseorang yang benar-benar dicintainya untuk hal itu—kebanyakan public figure melakukan hal itu. Dan akhirnya hidupnya nyaman, aman, tidak perlu bekerja. Belum lagi mungkin anak akan diurus oleh pembantu. Coba ketika kita balik, pria yang berlagak seperti wanita barusan? Aneh bukan? Bahkan mungkin kedengarannya tidak ada.

No, aku tidak sedang mengkerdilkan peran wanita. Tapi ini pengalaman apa yang aku lihat dan dengar, bisajadi yang kamu lihat tidak seperti itu. Lantas mungkinkah kita hidup di abad kepalsuan? Semua yang ada hanyalah hal-hal palsu yang dibuat-buat. Lantas apa bedanya “mereka” dengan pelacur? Bisajadi bedanya; pelacur melacurkan diri untuk uang pada banyak orang, “wanita itu” melacurkan diri hanya pada satu pria demi uang belanja dan tentu kenyamanannya.

Menikah itu alamiah, tapi jangan main-main untuk hal itu.

----




Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, December 19, 2017

Recitativo #5


Ini minggu yang menggairahkan buatku, pertama karena album Payung Teduh – Ruang Tunggu sudah rilis. Mendengar lagu-lagu di dalamnya aku jadi teringat sajak-sajak Pablo Neruda yang membicarakan cinta dan humanisme, juga seperti membaca kalimat-kalimat Haruki Murakami yang tulus apa adanya. Kedua karena seorang wanita tiba-tiba menghubungiku melalui Whatsapp, ia kembali menjadikanku rumahnya untuk curhat. Aku langsung bisa menebak wanita ini baru saja mengalami putus cinta.

Awalnya memang wanita ini sering menceritakan banyak hal, tapi beberapa bulan yang lalu ia memblokir semua sosial mediaku karena mungkin kekasihnya yang posesif atau barangkali dirinya sendiri yang terlalu parno kalau-kalau hubungannya bisa rusak hanya karena satu orang yang tak berniat apa-apa atas dirinya (Baca: Aku). Jujur aku tidak memasalahkan hal-hal semacam ini, karena begitu sering aku mengalaminya.

Aku suka ketika seseorang datang saat ia sedang membutuhkan, artinya aku dibutuhkan, artinya orang itu sempat memikirkan kemungkinan aku untuk menyelesaikan masalahnya atau sekadar bercerita tentang hari-harinya—artinya dia memikirkanku. Aku suka hal-hal sederhana semacam ini, mendengarkan celotehan-celotehan kecil dari orang lain, meski hati sendiri berulangkali minta diobati.

Para wanita yang patah hatinya adalah makhluk paling rentan. Sialnya banyak pria yang memanfaatkan kerentanan itu. Mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan, bukannya berusaha ikut mengobati rasa sakitnya, mereka justru mengambil alih perasaan yang seharusnya disembuhkan lebih dulu sebelum masuk dunia dan hubungan yang baru. Mungkin dari sana istilah “pelarian” ditemukan dan muncul ke permukaan.

Aku membenci pria-pria semacam ini, mereka tidak bertanggung jawab, entah pikiran mereka ada di mana. Mereka tak memiliki batas yang seharusnya dimiliki setiap orang, bukannya malah menunggu orang menunjukkan batasnya. Pria-pria semacam ini harus dijauhi atau bila perlu dimusnahkan dari muka bumi. Aku tidak sedang bercanda untuk hal ini.

Adalagi teman-teman kelas yang sungguh sangat menyebalkan karena pikirannya yang sempit, mereka tak memiliki kemampuan analisis purna tapi lagaknya berasa yang paling cerdas. Mereka menelan mentah-mentah setiap kata dari seseorang yang dituakan. Padahal jika mereka mampu melihatnya dari sudut pandang lain, sesungguhnya pikiran kita sedang dipermainkan.

Belakangan aku sering bertemu para pengajar yang ujung-ujungnya seperti mendoktrin, mepropagandakan sesuatu, mereka membicarakan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan ilmu yang seharusnya dan seperlunya disampaikan. Mungkin benar kata bapak, radikalisme sekarang disampaikan lewat bangku-bangku sekolah atau kuliah melalui pengajar yang juga radikal dan mungkin otaknya sering masuk ke selokan.

Sialnya kebodohan-kebodohan macam ini bisa sangat mudah kita temui pada wanita-wanita. Entah apa yang sedang terjadi di pikiran dan hati mereka. Seolah mereka tidak kokoh, tidak memiliki idealisme yang seharusnya sudah menempel pada tiap orang sejak ia dilahirkan. Kita mungkin sering melihat seorang wanita yang bernafsu untuk dinikahi atau ingin memiliki pacar lewat kode-kode yang disampaikan lewat sosial medianya. Mereka mungkin tak berpikir bahwa seorang pria akan menikah ketika mereka siap dan ketika wanitanya memang pantas untuk dinikahi. Maka dari itu pantaskan dirimu, bukannya justru merendahkan diri seperti hewan melata.

Minggu ini juga jadi minggu yang membuat saya banyak tertawa, seorang wanita tiba-tiba entah dari mana, analisis semacam apa menganggap diri saya seorang Gay hanya karena saya mendukung kemerdekaan kaum LGBT. Dunia memang bisa hancur lebur jika pemikiran-pemikiran macam ini dibiarkan berkeliaran di sekitar kita, orang-orang yang tak paham apa-apa tapi berlagak paling tahu segalanya hanya untuk dibilang pintar, padahal tololnya bukan main.

Saya mendukung kemerdekaan mereka bukan berarti saya mendukung praktek perzinahan, danlagi narasi-narasi yang terus digaungkan soal “kumpul kebo” disampaikan oleh orang-orang yang menurut sepenglihatan saya justru orang-orang yang alim. Pertanyaannya jika orang-orang gay disebut kumpul kebo, lalu teman-temanmu sepasang kekasih yang suka melampiaskan nafsunya di kamar kos kau sebut kumpul apa? Kumpul tai? Atau kumpul asu? Biasakan memahami segalanya bukan dengan klaim tertutup atau cuma ikut-ikutan orang lain, ingat kita punya otak—itu dikasih gratis oleh Tuhan. Maka pakailah!


Sekian.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, December 7, 2017

Romantisme yang Subtil dalam Film Satu Hari Nanti


Bagaimana jika Satu Hari Nanti pasanganmu merasa bahwa kamu adalah alasan dari semua ketidaknyamanan yang ada di hidupnya. Bagaimana jika Satu Hari Nanti kamu menikmati perselingkuhanmu dengan orang lain. Bagaimana jika Satu Hari Nanti kamu menyadari ada yang lebih penting dari sekadar hubungan dengan kekasihmu. Dan bagaimana jika Satu Hari Nanti itu adalah hari ini?

Satu Hari Nanti adalah bentuk pergulatan tentang cinta, mimpi, dan pikiran liar manusia. Ketiganya ada menjadi nyawa sekaligus pengantar yang baik sepanjang cerita digulirkan, film ini tidak bernafsu mencoba menawarkan keindahan Swiss dan itu sesuatu yang sangat baik. Film ini fokus pada kompleksitas empat karakter utamanya. Keindahan Swiss hanya menjadi transisi antar gambar saja.

Salman Aristo mungkin berusaha memberitahu kita tentang bagaimana kehidupan orang Indonesia di luar negeri yang pada akhirnya “terkontaminasi” dengan budaya yang ada di sana. Swiss dipakai sebagai latar cerita bukan semata karena keindahan di sana, tapi karena cocok dan sangat mungkin terjadi cerita yang semacam itu. Beda cerita ketika latar yang dipakai adalah Indonesia, mungkin penonton akan merasa aneh.

Ini film tentang kerentanan manusia menghadapi dan memahami apa itu cinta. Dari semua tipe wanita mereka yang patah hati adalah orang-orang paling berbahaya, karena dari sana perselingkuhan bisa terjadi. Bahkan film ini bisa dibilang berhasil menciptakan narasi; bahwa perselingkuhan adalah sesuatu yang sakral, setidaknya bagi saya.

Label 21+ bagi saya adalah sesuatu yang berlebihan, adegan-adegan yang membawa film ini ke rating itu sesungguhnya hanya menjadi penegasan bahwa hal semacam itu adalah sesuatu yang PASTI terjadi di suatu hubungan atau sebuah perselingkuhan. Memangnya apa yang dicari seseorang ketika mereka selingkuh? Mungkin alasannya karena bosan atau mencari pelampiasan, agaknya kita setuju umur hanya sekadar angka.

Ini tipe film yang bisa dibilang jelek banget, bisa dibilang buagus banget. Bisa dibilang sangat membosankan, juga bisa dibilang sangat romantis. Bergantung penonton lebih memilih mana; nafsu, pikiran, atau rasa. Tiga hal itu tidak bisa digunakan bersamaan.

Dan aku sarankan. Pilih rasamu. Film Satu Hari Nanti akan membuatmu menjadi makhluk paling beruntung karena memiliki kekasih yang seutuhnya mencintaimu. Apapun itu. Karena Setiap orang akan sepenuhnya RENTAN saat ia sudah mengenal apa itu perselingkuhan. Apa itu cinta. Hanya dengan rasa saling menyayangi kerentanan itu akan hilang. 

Meski ada detail penyutradaraan yang luput, saya suka cara Salman Aristo menunjukkan pergulatan dan kerentanan keempat tokoh utama dalam menghadapi realita di hidupnya. Sangat kentara bahwa Film Satu Hari Nanti adalah film yang disutradarai oleh seseorang yang memang sebelumnya tidak terbiasa ada di ranah itu. Tapi terlepas dari semuanya, Salman Aristo mampu menggambarkan kerentanan, kegetiran, dan pergulatan yang begitu kompleksnya di Satu Hari Nanti.

Satu Hari Nanti adalah salah satu Film Indonesia favoritku yang rilis tahun 2017. Film ini memilih penontonnya dengan label 21+, artinya butuh kedewasaan untuk menontonnya, butuh keterbukaan antara pikiran dan perasaan. Sungguh Satu Hari Nanti lebih dari sekadar romantis.

Dia menghadirkan sekaligus mengajari pelaku industri film yang sering salah mengartikan apa itu romantisme. Satu Hari Nanti tidak sekadar memberikan kata-kata romantis, tapi dia mempertunjukkan dengan sangat baik apa itu romantisme. Satu Hari Nanti adalah pertunjukkan romantisme yang subtil!


#BanggaFilmIndonesia
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, November 24, 2017

SATU JAM SEBELUM JATUH CINTA


"Mungkinkah satu jam lagi kita jatuh cinta?"
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, November 18, 2017

Recitativo #4


Karya-karya Dewi “Dee” Lestari adalah salah satu yang memicu saya untuk mulai menulis, waktu itu di tahun 2013 seseorang meminjamkan saya sebuah buku, karena ia melihat saya sering membaca. Orang itu memberikan saya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Bisa dibilang itu adalah buku “fantasy” pertama yang saya baca. Kebetulan saya sedang magang selama enam bulan di Jogja, dan pria yang meminjami saya buku berasal dari Bogor, ia sedang menyelesaikan pendidikannya di Universitas Sanata Dharma.

Saya membaca habis buku itu dalam dua hari, lalu mengembalikkannya dan baru tahu bahwa Supernova adalah sebuah Tetralogi, saat itu Gelombang dan Intelegensi Embun Pagi belum rilis. Saat itu juga saya langsung meminjam sekuelnya; Akar. Total saya menghabiskan keempat bukunya selama sepuluh hari. Dan yaa, Supernova dan Dee adalah salah satu yang memengaruhi kehidupan saya.

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas lebih lanjut, ini soal rasa penasaran saya tentang The Rizen Planet Theory yang sangat kental ada di Supernova, sebuah teori yang mengemukakan bahwa kehidupan di bumi adalah penjara bagi umat manusia. Saya sendiri tidak tahu apakah Dee juga terinspirasi dari teori ini. My point is; Bagaimana jika benar bahwa kehidupan di bumi adalah penjara bagi kita? Kalo iya, kapan kita akan ke luar? Dan apa yang kita lakukan sehingga kita bisa “masuk” penjara?

Saya percaya reinkarnasi, tapi bukan berarti saya tidak percaya dengan Moksa. Menulis Dhanurveda, membuat saya sedikit banyak membaca hal-hal yang berhubungan dengan Kehinduan. Hal-hal semacam ini telah digulirkan bahkan sejak generasi pertama umat manusia. Namun memang, penjelmaan kembali adalah semacam “hadiah” bagi orang-orang terpilih.

Saya percaya reinkarnasi, tapi bukan teori yang berkembang selama ini. Saya lebih percaya bahwa kehidupan manusia itu seperti pohon berbuah, saat buah muncul di pohon itu, kita tinggal memetiknya. Artinya; apa yang kita lakukan di dunia adalah bentuk “menanam” entah itu kebaikan atau lainnya. Kita bisa memetik itu di kehidupan setelah ini, kita menjelma menjadi “sesuatu” yang lain atas dasar apa saja yang kita lakukan di dunia.

Kita ke luar dari penjara tadi dengan amalan yang kita lakukan di dunia. Penjelmaan itu berasal dari “penyerahan diri” terhadap semesta dan isinya. Atau barangkali kita semua telah mengalami reinkarnasi, kita adalah jelmaan yang lain dari kehidupan sebelumnya. Kita menjalani reinkarnasi tahap pertama di dunia saat ini. Artinya kita telah melakukan sebuah kesalahan di kehidupan sebelumnya jika kita mengacu pada The Rizen Planet Theory lalu kesalahan apa yang telah kita lakukan sebelum ini?



-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, November 16, 2017

Post-Strukturalisme dalam film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak


Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art Of Watching Films, mengemukakan bahwa “Film sinematik adalah yang mampu menciptakan ilusi kedalaman, ia mengubah layar datar menjadi sebuah jendela untuk penonton mampu melihat suatu dunia tiga dimensi.” Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak mampu menciptakan “kesan” seolah layar putih bukanlah permukaan datar, ia bertransformasi menjadi sebuah “jendela” yang mampu menciptakan “ilusi kedalaman,” dan membentuk suatu dunia tiga dimensi.

Terutama untuk Tata Suara film ini yang menjadi sebab kita seperti menonton sebuah pertunjukkan tiga dimensi, film ini seolah menarik saya masuk ke dalam layar—ke dalam film itu sendiri, melihat Marlina langsung yang terkesan kesepian, terlihat dari raut mukanya. Seperti melihat sebuah pertunjukkan teater yang sangat memukau, scene-scene tempat makan di dalam rumah Marlina seperti sebuah panggung teater satu babak yang memaksa kita untuk tetap fokus pada gambar itu.

Belum lagi film ini menciptakan “ilusi kedalaman” bahwa sepanjang film Marlina mengajak bicara penontonnya, salahsatu scene saat empat pria mati terkapar setelah memakan sup ayam adalah contoh nyata, setelah itu Marlina menatap tajam mata lensa, dengan permainan mimik muka yang sangat baik, ini seperti penegasan bahwa hal itu dibuat semata-mata bukan hanya untuk kepentingan gambar saja.

Film ini sudah memukau sejak awal, sejak gambar dibuka dengan font “Babak I” dengan musik etnik yang terdengar seperti kentongan yang dipukul terstruktur, rapi dengan tempo yang diatur sepersekian detik, ia mengiringi musik lain dan menjadi "pengatur tempo" yang keduanya menyatu dengan amat baik. Bukan lagi sekadar memanjakan mata namun jelas telinga juga ikut termanjakan. Film ini memukau hingga detail terkecil artistiknya; dapur, warung, kantor polisi. Semuanya mampu seimbang mengambil bagian untuk memanjakan mata pentonton, tanpa perlu memaksakan semua yang ada untuk masuk dalam satu gambar. Ia menyatu sempurna.

Kalau kita ingin membedahnya satu per satu, kita akan menemukan sebuah tatanan yang sangat kentara dari satu gambar ke gambar yang lain, detail-detail itu terstruktur secara konstruksif guna mendukung pengambilan gambar yang sepanjang film “diam”. Kita pasti bisa merasakan jika kekosongan artistik muncul di suatu film, untuk film Marlina kita tidak akan menemuka hal itu sama sekali. Marlina mengambil gambar dengan pendekatan banyak sudut pandang, maksudnya; pendekatan ini dibuat oleh lebih dari satu orang, ia bersifat terbuka untuk menemukan sebuah struktur yang paling tepat untuk dimasukkan dalam suatu gambar yang utuh.

Kecantikan Sumba menjadi berlipat ganda saat film ini dengan sadar mengambil gambar yang anti-mainstream, ia sadar kecantikan Sumba tidak bisa dibiarkan hanya dengan pengambilan gambar yang biasa dan murahan. Kita bahkan bisa bilang bahwa film ini indah hanya dengan melihat transisi gambarnya saja. Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak sebetulnya film yang sangat sederhana, dan karena kesederhanaan itu film ini menjadi sangat tidak sederhana. Sebuah konsep Post-Strukturalisme ditawarkan hampir sepanjang film itu berlangsung.

Bahkan bisa kita rasakan saat membaca atau mendengar judulnya. Lalu melihat desain produksinya yang sangat menarik. 4 Babak yang menciptakan struktur kedalaman, pergantian hari yang dikaitkan dengan simbolisme, sebuah kematian di awal dan akhir film, lalu dipungkaskan dengan sebuah “kelahiran baru,” makna simbol yang tertata sangat rapi tanpa menghapus atau melupakan cerita yang sudah dibangun sejak awal. Kantor polisi dan adegan Marlina mandi di pinggir laut dengan ditemani “Topan,” menjadi titik Balik euforia penyerhan diri, bahwa bergantung pada polisi adalah hal yang sia-sia.

Yang juga sangat saya suka adalah keberanian menyatukan musik etnik dengan musik ala France, atau sebuah lagu yang keluar langsung dari bibir tokohnya. Kita mampu menikmati suara-suara itu bahkan tanpa perlu tahu artinya, di sinilah makna “estetika” muncul. Belum lagi film ini menciptakan kedalaman berpikir bagi setiap penontonnya, ia memaksa kita untuk terus membicarakannya sejak keluar dari ruang teater. Dan untuk itu kita perlu mendukung Marlina untuk memenggal kepala setiap superhero di teater sebelah.

Dan sup ayam dimaknai sebagai sesuatu yang lain, di film ini ia tidak hanya menjadi sebuah suguhan makanan. Sup ayam menjadi simbol perlawanan, menjadi titik di mana dendam harus dibalaskan. Dan juga soal bahasa, padahal film Marlina tidak menggunakan bahasa Indonesia murni, alias bahasa daerah. Tapi saya tetap mampu memahami setiap dialognya. Ini bukti, bahwa bahasa kita memang kaya. Dan Marlina menyadarkan kita atas kebanggaan itu.

Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah sebuah pencapaian sinematik yang bukan hanya bicara gambar semata, namun juga detail setiap aspek yang membentuk film itu sendiri. Sebuah “Post-Strukturalisme” dalam Film Indonesia.

#BanggaFilmIndonesia



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, November 10, 2017

Puisi Tentang Chairil


Ini tentang Chairil; katanya Senja di Pelabuhan Kecil 
lebih indah dari narasi yang disampaikan orang-orang waras

Aku ini binatang jalang; yang terus dicari kelemahan 
oleh musuh-musuh dalam buritan kapal

Tapi kata Chairil; Hidup hanya menunda kekalahan. 
Pikiranku kacau karena kata-kata itu

Sekacau orang-orang yang sibuk cari perhatian, 
merasa paling benar padahal mulut sudah banyak darah

Kau perlu membaca untuk belajar memahami manusia, 
bukan hanya mendengar kalimat fana dari kita-kita

Kau perlu menulis untuk memahami diri & pikiranmu sendiri
Tapi kalau kau melulu menulis soal cinta, 
kapan belajar tentang dunia

Aku telah berubah dalam kamar mandi rumah ibuku, 
di sana semua sama; tak ada yang lebih jernih dari air kencingmu

Kau terus saja mencekik diri, 
selalu datang menyalahkan orang lain, 
kau tak sadar; sedang menasehati diri sendiri

Aku hanya binatang jalang, 
kau beri asupan bijak lalu kuolah jadi tai.


Semarang, 3 November 2017
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tentang. . .


Sekarang tentang apa ini. . .
Saat seseorang tertinggal di belakang dan tidak ditunggu, 
ada di mana kamu?

Adakah yang menyadari, 
orang itu menunggu tanpa banyak mengadu

Gelap malam adalah bentuk lain dari kesedihan 
yang telah lama diukir di antara mata dan kata

Aku sendiri melihatnya sebagai sebuah manifes alam. 
Di mana kesepian adalah hal yang tak mungkin terindahkan

Lalu bagaimana dengan kamu? kenapa terus berjalan, 
meski di belakangmu ada yang menunggu dalam sisa-sisa ragu.

Tentang apa ini?
Kenapa ia memilih diam,
 berdiri di samping tangis yang merah padam

Adakah kamu di sana? 
Atau barangkali orang itu adalah kamu. . .


Semarang, 11 November 2017
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, October 26, 2017

Poetica-Postmodernism dalam #FilmPosesif


Sebuah metafor dalam kajian film adalah betuk semiologi yang bisa membuat penontonnya mengingat film tersebut setelah filmnya usai. Bagi saya ada perbedaan jelas antara film dan konsep bahasa. Film bukan sekadar bahasa gambar, lebih dari itu ia menjadi objek yang berdiri sendiri. Film dalam perkembangannya menjadi bahasa tunggal semiologi. Yang dapat kita tarik kesimpulan bahwa film yang baik adalah film yang membuat penontonnya berpikir dua kali dalam menerjemahkan isi gambar bahkan setelah ke luar dari ruang teater.

Simbolisme-simbolisme seperti itu erat kaitannya dengan sutradara, karena ia punya ruang lebih luas untuk menentukan apa saja yang perlu masuk dalam sebuah gambar atau frame. Simbolisme atau detail-detail semiotik harus menjadi satu alias menempel pada sutradara, karena hal semacam itu punya kaitan dalam penyampaian maksud gambar di luar dialog antar tokoh.

Simbolisme merupakan semacam isyarat yang bisa dibilang sulit untuk dibicarakan. Kita tidak bisa mengubah isyarat-isyarat dalam film ke dalam bentuk sistem bahasa. Contoh; dalam Film Posesif sebuah kunci yang menggantung di pintu bisa diartikan berbagai macam, apalagi jika sutradara sengaja menahan gambar itu lebih dari 5 detik. Kunci yang mengunci sebuah pintu juga erat kaitannya pada perasaan tokoh saat itu juga.

Kekuatan film tidak mampu kita bedakan atau bahkan kita bandingkan pada sistem-sistem bahasa, ia sudah kuat untuk berdiri sendiri. Meski pun film memang punya kaitan terhadap bahasa. Namun perbedaannya ada pada imaji tiap penontonnya, terjemahan pada sebuah simbol di dalam frame bisa berbeda dari masing-masing orang. Ada yang menganggap contoh yang saya berikan sebagai bentuk yang biasa, ada juga yang lebih dalam mendalami perspektif tersebut.

Film Posesif memberikan gambaran kontruksi lain dalam sebuah film, ia memberikan imaji seolah-olah ia hanya memberikan satu frame saja sepanjang film. Kita terpaut pada dua tokoh utamanya—selalu terpaut. Ikut merasa empati bagaimana bisa perasaan mereka terbentur dan menjadi satu. Dalam satu frame kedua tokoh ini sanggup memberikan aura yang bukan hanya baik tapi menyentuh kedalaman imaji dan membantu membentuk kontruksi gambar yang baik.

Film Posesif adalah film yang sulit dijelaskan, karena ia mudah dimengerti. Seperti kata Christian Metz “Sinema, seni yang mudah, selalu terancam menjadi korban karena kemudahannya… Sebuah film sulit dijelaskan, karena ia mudah dimengerti.” Film Posesif memberikan dan membuka bahasa lain, ia merasuki imaji kita dengan simbol-simbol yang tanpa sadar kita proses dalam ruang pikir kita. Kenapa simbol paus dan penguin disandingkan? Mungkin karena itu memang hewan yang paling tepat untuk menjadi isyarat tokoh Yudhis dan Lala. Seperti ingin memberitahu kita bahwa dua isyarat itu adalah bentuk manifestasi karakter lain.

Pengambilan gambar jelas butuh waktu, begitu juga penontonnya yang butuh waktu extra untuk menerjemahkan imaji-imaji yang ada dalam satu frame yang ditampilkan. Tapi bagaimana jika sebuah film mampu memberikan pendekatan tunggal dalam satu frame? Film Posesif memberikan itu sejak awal film, ia hadir dalam bentuk dua tokoh yang “gila”, dengan kata lain Posesif adalah Yudhis dan Lala. Ia menjadi ketertarikan tunggal untuk setiap penontonnya. Tidak salah untuk menempatkan Putri Marino dan Adipati Dolken menjadi kemungkinan pertama untuk meraih penghargaan aktor dan aktris di Festival Film Indonesia.

Film ini menjadi sangat lengkap dengan kehadiran banyak tokoh pendukung. Cut Mini & Yayu Unru benar-benar menjadi tokoh yang "mendukung" performa tokoh utama. Cut Mini membantu Yudhis, dan Yayu Unru membantu Lala dalam mencapai puncak “kegilaan akting,” Mereka tidak sekadar menjadi “pembantu” yang ke luar sekelabat lalu hilang dilupakan dan tidak bermakna. Ia dengan sendirinya merasuki pikiran tokoh utama dan “mendukung” mereka untuk menjadi spotlight dan mencapai puncak performa. Yayu Unru dan Cut Mini adalah “hero” yang harus saya katakan sangat mungkin mendapatkan penghargaan itu di Festival Film Indonesia.

Maksud dibuatnya simbolisme dalam sebuah film adalah untuk membuat film menjadi lebih berarti dan terus diingat. Meskipun hal ini akan luput dari orang-orang normal yang pergi ke bioskop hanya untuk dihibur atau menemani seseorang nonton. Lebih dari itu, saya sendiri merasa film ini memberikan kesan yang mendalam, Edwin—Sang Sutradara selalu berhasil “meninggalkan jejak” di setiap filmnya. Kepekaan itu membuat Film Posesif menjadi berbobot meskipun memang film ini berlabel 13+, dalam kepekaan simbolisme itu membuat bobot artistiknya otomatis bertambah nilai.

Poetica-Postmodernism dalam Film Posesif membuatnya masuk dalam jajaran drama (romance) terbaik yang pernah ada di Indonesia. Bravo!

#BanggaFilmIndonesia
#FilmPosesif



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, October 23, 2017

Jakarta dari Jendela Kereta


Melihat Jakarta dari jendela kereta

Berat hati harus kubilang:
Saatnya kembali ke kota penuh keterasingan

kota di mana orang-orang sakit berkeliaran di jalanan

Mari mengadu ingatan di berita utama koran

Jakarta, 23 Oktober 2017

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, October 22, 2017

Theia: Tentang Kota dan Pikirannya


Malam itu aku terpaut di ruang tunggu stasiun, aku duduk pada sebuah bangku dengan bantalan berwarna merah di sudut kanan pintu masuk peron. Seorang wanita gelisah, earphone putih menempel di telinganya. Matanya terus tertuju pada layer ponsel, sesekali aku bisa menangkap sorot matanya, seperti ada yang diambil dari dalam diri, kantung matanya memerah, ada tangis yang baru saja mendiami sisi itu. Wanita itu menatapku.

Aku balas tersenyum, ada perasaan yang ikut diselimuti saat pandang mata itu jatuh tepat pada sepasang mataku, senyumnya berubah saat ia menatapku untuk kedua kalinya, ada keriangan di sana, aku melihat ia seperti menemukan pergolakan baru yang lebih membuatnya merasa ada dan dihargai. Wanita itu bangkit berdiri, ia merapikan bawaannya lalu melangkah—menghampiriku. Jantungku berdebar, ia terus tersenyum dalam langkahnya itu.

“Can i…” tanya wanita itu persis di depanku.

“Boleh,” balasku tersenyum.

“Thankyou,” wanita itu duduk tepat di sampingku, ia meletakkan barang-barangnya di bangku samping kanannya. Aku terdiam melihatnya merapikan barang bawaan yang sedikit banyak, satu koper dan tas, dengan beberapa kantung plastik—aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya.

“Theia,” ia mengulurkan tangannya—aku membalas singkat.

“Zahid,” senyumku.

“Theia or Thea?” tanyaku, kesulitan mengeja.

“Theia. Pake i setelah e sebelum a,” ia membenarkan letak duduknya—menatapku serius.

“Achso…”

“Achso?”

“Achso itu maksudnya ‘Ohgitu’ dalam bahasa Jerman.”

“Achso,” Theia tersenyum menggangguk.

“Jadi penuh Achso kita… Eh btw, Theia itu apa artinya?”

“Wah panjang nih kalo dijelasin, ada kaitannya sama astronomi… Jadi gini, ada yang namanya, hipotesis tubrukan besar, artinya gini… Bulan terbentuk dari puing-puing yang tersisa dari tubrukan antara Bumi dan benda seukuran planet Mars, sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu. Nah, objek yang menabrak bumi itu sering disebut Theia. Nama Theia diambil dari mitos Titan Yunani, Theia itu ibu dari Selene, dewi Bulan,” aku terperanga mendengar penjelasannya.

“Oke…” kataku mengangguk pelan.

“Rumit kan?”

“Enggak kok, nama yang indah. Cocok—sesuai sama orangnya.”

“Gombal nih?”

“Enggak dong. Buat apa? Serius itu…”

“Oke oke, kalo namamu?”

“Hmm Zahid… Kalo dalam KBBI sih artinya ‘orang yang telah meninggalkan kehidupan yang ada hubungannya dengan keduniaan’.”

“Widih aku dari Yunani, kamu arab,” Theia menggoda.

“Maknanya tuh, hidup hanya untuk beribadah, bertapa, dan sebagainya. Nggak ada urusan lagi sama kehidupan dunia.”

“Asik, berat banget namamu…” Theia masih menatapku.

“Iya sekarang udah satu ton,” ada tawa yang lepas di antara kami.

Keretaku masih beberapa jam lagi, bayang-bayang malam telah sepenuhnya pergi. Ini dini hari yang dinginnya menusuk hingga ke tulang. Aku dengan flannel biru yang ditekuk masih merasa kedinginan. Theia memakai jaket merah tebal, ia tampak santai—merasa hangat, meski aku terus berusaha lepas dari dinginnya ruang tunggu itu.

Suara-suara kereta berlalu-lalang, pengumuman keberangkatan dan petugas kebersihan yang mondar-mandir jadi pemadangan yang kami lihat bersama. Setelah satu kereta pergi ruang tunggu menjadi sepi. Beberapa menit setelah itu keramaian datang lagi, mereka menunggu keberangkatan kereta selanjutnya.

“Kamu mau ke mana?” Theia memecah keheningan.

“Jakarta,” kataku singkat, sengaja tidak bertanya balik—aku tidak terlalu ingin mengetahui urusan orang lain.

“Mau ngapain?”

“Main-main aja.”

“Aku juga Jakarta, cuma bedanya ini aku balik,” Theia berusaha mencairkan suasana.

“Ohiya? Gimana Semarang? Menyenangkan?” tanyaku pensaran.

“Ya begitulah… Aku nggak menemukan apa-apa di sini, itu yang perlu aku catat. Kota ini nggak memuaskanku. Seperti ada yang hilang dari kota ini, entah apa. Aku juga kurang paham, biasanya aku selalu bisa merasakan koneksi setiap aku ada di sebuah kota yang aku datangi. Tapi di Semarang, perasaan itu hilang, aku kesulitan menerjemahkan perasaan aneh ini… Mungkin kamu bisa bantu?”

“Perasaan kita sama, kota ini dipenuhi orang-orang sakit—kasihan. Mereka tidak tahu kalo dirinya tidak tahu, seluruh sudut kota mulai diwarnai pelangi, sejak ada kampung itu. Rasanya seperti seisi kota punya penyakit latah. Kelatahan-kelatahan itu tidak disadari sebagai sebuah penyakit yang nantinya bikin orang-orang alpa bahwa kebahagiaan mereka itu imitasi, cuma sementara. Bahagia mereka cuma dipermukaan bukan di dalam pikiran—di dalam hati.”

“I know… Itu yang juga aku pikirkan sejak sampai kota ini. Ya tapi gimana, mengubah masyarakat sama sulitnya memahami kenapa tuhan gak mau ngomong padahal dia tahu dia bisa… Kamu sendiri gimana?”

“Apanya?” tanyaku memastikan.

“Kenapa masih hidup di kota ini?”

“Kota ini butuh seorang revolusioner, ia harus berada di tengah-tengah masyarakat—mengubah pola pikir dan cara bersikap… Ini penting, karena kota ini akan terus tertinggal kalo masyarakatnya bingung, mana kemajuan besar, kita ini sedang jalan di tempat tapi dibungkus sama pencitraan pemimpinnya, terlihat seolah kemajuan besar.”

“Tapi, pencitraan kan penting.”

“Iya, tapi mau sampai kapan?”


Theia terdiam, ia hanya tersenyum menatapku. Sampai suara pengumuman dari pihak stasiun—kereta telah tiba. Kami bangkit bersama, melangkah menuju pintu pemeriksaan tiket. Tiba-tiba Theia memegang tanganku, mengelusnya lembut. Aku tersenyum melihat matanya yang cerah—berkaca-kaca. Ia jatuh terlalu dalam pada percakapan itu. Dan aku hanya menanggapinya biasa. 

----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, October 10, 2017

Recitativo #3


Ada dua hal yang ingin kuceritakan tentang apa yang terjadi semalam. Dua hal yang memberikan saya perspektif lain soal wanita, tentang bagaimana jalan pikiran mereka, tentang bagaimana seharusnya saya bisa bijak menyikapinya. Apakah kamu percaya, saya baru saja menyakiti perasaan seorang wanita. Entah dalam kesadaran atau tidak. Saya menyesal, karena menyakiti perasaan seorang wanita adalah hal yang paling saya hindari setelah semua yang sudah dilalui.

Masalah pertama sebetulnya sepele, bahkan agaknya tidak bisa disebut sebuah masalah. Kata-kataku menyakiti seorang wanita, membuatnya harus merespon dengan sesuatu yang sebetulnya tidak perlu. Aku memang sedikit memberi jarak pada semua wanita yang kukenal, saya tidak ingin ada jauh di dalam hidup atau pikiran mereka. Tapi bodohnya itu yang saya lakukan semalam. Membunuh kebaikan seorang wanita hanya dengan sebuah kalimat yang tidak perlu kuucapkan.

Saya harus meminta maaf, itu yang terbesit pertama kali dalam pikiran setelah tahu respon wanita itu. Tidak ada pikiran lain, ini salah saya—tidak mampu menerjemahkan ekspresi seseorang. Di dalam bilik ponsel, suaranya mengartikan dua hal; suara seseorang yang malas mendengar apa pun dariku atau suara seorang wanita yang sedang merasa kelelahan karena begitu banyaknya masalah yang ia hadapi.

Tapi saya cukup senang, wanita itu dengan lapang dada menerima permintaan maafku. Saya punya pengalaman tentang berbuat kesalahan pada seorang wanita di masa lalu, yang membuatku sampai saat ini tidak lagi mampu berbicara dengannya bahkan hanya untuk saling tatap. Ini berat, karena menyakiti perasaan adalah hal paling rendah yang mampu dilakukan seorang manusia. Tapi untuk memulihkan perasaan sakit itu tentu butuh waktu.

Lalu masalah kedua, dalam kesedihanku ada rasanya saya ingin tertawa. Tawa kebodohan setelah berulang kali berpikir tentang apa yang terjadi. Semalam saya memimpikan kamu… Lagi. Hal yang dalam doaku selalu ingin kuhindari, mimpi selalu memberikan saya sudut pandang lain tentang kehidupan. Mimpi seperti dimensi lain yang berdiri sendiri, memiliki waktu dan ruang pandang yang berbeda.

Biasanya saya tidak pernah mampu melihat wajah seseorang dalam setiap mimpi malamku. Tapi kali ini, mimpi itu terasa jelas, saya menerima pesanmu. Apa yang ingin kamu katakan namun tidak sanggup bibir itu bersuara. Kenapa? Apakah kamu sedang ragu? Ya, mungkin kamu sedang meragu. Hal yang sudah kurasakan sejak dulu. Saya memimpikanmu dalam durasi waktu yang cukup lama, saya melihat kamu memeluk kekasihmu, sambil berucap di depanku; “Apa yang terjadi di antara kita adalah sebuah kesalahan besar.”

Ya memang benar! Itu yang juga ingin kuucapkan sejak lama. Inti dalam mimpi itu adalah tentang bagaimana kamu ingin mengucapkan selamat tinggal… Sekali lagi. Setelah pertengkaran hebat yang pernah kita lalui dan setelah kamu meninggalkanku karena rasa bersalahmu. Saya menunggu saat-saat ini, saat di mana perasaan sepenuhnya hancur berkeping. Saat di mana bahkan saya sendiri tidak lagi mau menatanya ulang—kembali menjadi perasaan yang utuh.

Yaa, bagaimana pun, saya hanya penulis yang hanya mampu menerjemahkan perasaan lewat kata-kata, dan mungkin nanti kata-kataku telah kehilangan nyawa. Ia kehilangan napasnya sendiri. Tapi  apa yang telah saya lalu di dunia sebelum ini bersamamu adalah keindahan lain saat semesta sepenuhnya berpihak. “You give me dejavu.” Sialnya begitu.

Ini yang membuat saya semakin yakin, hidup menyendiri jauh dari orang-orang adalah pilihan tepat. Saya telah lelah—menyerah dengan janji-janji yang diucapkan manusia. Mereka selalu mengulangi kesalahan yang sama. Sadar atau mungkin tidak kita seringkali menyakiti perasaan orang lain. Kita tahu tapi kita tidak peduli. Maafkan saya jika setelah ini saya menghilang—berubah dalam wujud yang lain.


----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, September 28, 2017

Bahas #PengabdiSetan


Kunci berhasil dan menariknya film horror adalah ketika film itu mampu menciptakan atmosfer sekaligus membentuknya menjadi satu dalam kerangka film yang utuh secara organik. Film horror yang baik adalah film yang tidak sekadar menjual “setan” yang sudah dibentuk sedemikian rupa oleh tim make up / artistik, melainkan film horror yang dengan cerdik dan cerdas memberitahu penonton bahwa ada yang lebih seram dari “setan” itu sendiri.

Satu contoh sangat jelas diperlihatkan oleh Joko Anwar melalui reboot Pengabdi Setan. Film ini mengawali adegan dengan suasana yang manis, lewat gambar, dan warna film yang memanjakan mata. Lalu setelahnya film mulai membangun atmosfer yang seram dan menegangkan perlahan, tanpa tergesa-gesa, tanpa memaksa bernafsu untuk segera menunjukkan “setan” dan ketakutan. Pengabdi Setan benar-benar membuat kita sebagai penonton menunggu apa yang bakal terjadi setelahnya.

Pengabdi Setan adalah film horror yang kokoh—sangat kokoh! Dia tidak sekadar menjual ketakutan dari setan yang ada, ketakutan itu tercipta salah satunya melalui para tokohnya, yang membuat kita sebagai penonton percaya, bahwa mereka—para tokoh sudah hampir gila rasanya terus menerus diganggu. Ya, para tokoh bermain sangat apik. Mereka dapat mewakili pikiran-pikiran manusia sesuai dengan umurnya. Saking bagus dan menariknya film Pengabdi Setan ini, saya sampai tidak hapal betul siapa nama mereka semua. Saya sudah langsung jatuh cinta bahkan hanya dengan atmosfer film.

Joko Anwar memberikan sesuatu yang baru dalam karyanya yang satu ini, sentuhan baru yang seingat saya belum pernah ada di filmnya. “Motion”. Pergerakan Kamera “zoom in” yang sangat halus, seperti film-film lawas. Seperti diawal film saat kamera mengambil gambar tokoh ibu melalui cermin lemari lalu title “Pengabdi Setan” muncul dengan scoring yang mencekam. Seperti memberitahu penonton untuk bersiap, karena keseraman akan dimulai.

Saya berani mengatakan bahwa Pengabdi Setan adalah satu-satunya film horror Indonesia di dekade baru ini dengan ritme yang sangat sempurna. Penonton seperti “dikerjain”, membuat kita harus siap-siap dengan apa yang terjadi setelah itu, meski kadang apa yang kita tunggu ternyata bukan point dari scene tersebut. Tapi setelahnya tanpa diduga keseraman hadir kembali, sekaligus mencekam yang langsung membuat bulu kuduk berdiri—merinding.

Film ini sekaligus memanjakan penonton yang menyukai kedetailan dalam sebuah film. Tim artistiknya jago, tidak ada kealpaan sama sekali ataupun kesalahan artistik yang masih banyak kita temui dalam film-film di Indonesia, terkhusus film horror. Pengabdi Setan adalah sinema yang kita rindukan , setelah sekian lama industri ini dipenuhi film-film yang tidak berhasil memuaskan penontonnya.

Simbol-simbol dalam Pengabdi Setan juga bukan sekadar menjadi pelengkap film saja. Dia benar-benar menyatu secara organik, yang membuat saya seketika kagum, karena simbol-simbol itu ditempatkan pada tempat dan situasi yang pas dan tepat. Seperti lonceng yang digunakan ibu, lagu kelam malam, hingga Ian yang hampir sepanjang film menggunakan bahasa isyarat dan mampu membuat penontonnya tertawa setelah sebelumnya dihadirkan keseraman yang mencekam. Ian adalah “tameng” bagi penonton.

Dan seperti ciri khas Joko Anwar di setiap filmnya, ia selalu berhasil menanamkan pertanyaan pada setiap penontonnya setelah film selesai dan lampu bioskop dinyalakan. Tidak terkecuali Pengabdi Setan. Baru kali ini saya menonton film horror yang sesegera ingin saya akhiri karena armosfer seram sekaligus mencekam yang hadir sepanjang film. Bravo Joko!

#BanggaFilmIndonesia

-----



  



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, September 25, 2017

Recitativo #2


Aku menangis di malam pertamaku meninggalkan negeri dongeng, malam dimana aku menemukan sebuah melodi sempurna yang kucari seumur hidup. Bahkan dengan kesempurnaanmu dan segala kekuranganku tidak sanggup meruntuhkan batas antara keinginan dan realita bahwa kamu tetap tinggal dan aku harus pergi.

Aku sadar bahwa hari-hari setelah ini, tidak mudah untuk bilang rindu dan ingin bertemu. Pertemuan itu adalah hal yang akan menghantui hari-hariku di sini. Pertemuanku denganmu; tidak akan pernah kusesali—sampai kapan pun.

Jumat, 11 Agustus 2017, aku tidak berharap banyak hari itu. Aku memberanikan diri untuk memulai percakapan, mengajak bertemu karena aku tahu hati ini rindu pada sosok asing yang belum pernah kutemui.

Aku bahkan tidak mengerti apa yang kurasa. Aku tahu seberapa kencang jantung berdetak, memikirkan segala skenario terbaik untuk menutupi perasaan yang menggebu-gebu, memaksa agar pandanganku tidak melulu tertuju padamu.

Recitativo adalah sebuah kata bernoda yang terinspirasi oleh aroma kopi sore itu dan setumpuk kerinduan padamu. Dalam tulisan ini aku ingin mengabadikan kamu, dan semua pertemuan kita; segala kata-kata, baik yang terucap dan yang tidak terucap.  Tulisan ini terinspirasi dari mata cokelatmu dan rasa gugupku. Ia berhulu pada detak jantung yang saling beradu, dan segala perasaan yang bercampur menjadi satu.

Aku senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Aku ingat, pada sebuah sore tahun lalu; aku berjanji, akan pulang musim panas nanti. Aku tidak habis pikir, kalimat itu selalu terngiang-ngiang. Aku selalu membayangkan, apa jadinya jika kita akhirnya bisa bertemu. Apakah satu pertemuan mampu mengubah hal yang seharusnya kita simpan sendiri?

Hatiku hangat, bahkan hanya dengan mengingat lekuk wajahmu, tarikan senyummu, tatapanmu, bahkan hanya dengan caramu menyebut namaku. Aku benci saat mengingat bahwa aku tidak bisa memberi apa-apa, harapan pun bahkan tidak. Aku tidak mengerti, sampai kapan perasaan ini akan terus tumbuh, dan kapan aku harus berhenti. Karena bagaimana pun kamu pantas mendapatkan hal yang  lebih baik dari apa yang aku punya.

Kamu itu layaknya mimpi, begitu sempurna, aku tidak sanggup menyimpanmu sendirian. Di tulisan ini, aku akan membagi seluruh perasaanku yang hampir tumpah. Jumat, 11 Agustus 2017, sampai kapan pun aku tidak akan pernah lupa hari itu. Hari di mana penantian panjangku menemukan ujung. Hari dimana aku akhirnya bisa menatapmu di kesunyian kedai itu.

Aku gugup, jantungku berdetak kencang, aku takut kamu mendengarnya. Kamu sebaliknya, terlihat tenang, bahkan pada tiap detik yang kita lalui tanpa saling cakap. Kamu bilang; kamu menikmati saat-saat itu. Saat kita berdua tidak tahu apa yang harus kita ucapkan. Saat detik berganti menit berlangsung dalam kesunyian.

Aku  bercerita tentang apapun yang bisa kuceritakan. Kadang, rasa bersalah itu masih terasa berat, bagaimana aku menutup portal imajinasi yang ada di antara kita, dan meninggalkanmu di seberang sana—sendirian.  Aku berusaha menyembunyikan seluruh perasaanku, takut kalau-kalau kamu sudah menutup hatimu untukku. Bagaimana pun, aku harus menjaga diriku sendiri.

Aku menebak-nebak, apa yang ada dipikiranmu saat pertama kali melihatku? Masih adakah aku dalam gema dadamu? Masihkah debaran jantungmu tertuju padaku? Masihkah kamu menunggu? Satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Aku mengerti jika kamu sudah menutup pintu. Aku tersenyum dan berusaha terlihat ceria. Terbesit di pikiranku untuk memelukmu, menumpahkan semuanya.


Setiap aroma kopi mengingatkanku padamu. Bagaimana kamu menyentuh lembut tanganku, bagaimana hangatnya hatiku,  diselimuti dengan sejuta kenangan manis. Empat puluh tiga hari tidak cukup  untuk memuaskan hati ini, untuk menikmati setiap debaran jantung kala bertemu denganmu. Perasaanku tumpah, aku kalah. Aku menginginkanmu, apa yang harus aku lakukan untuk bisa ada di sampingmu?

-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, September 3, 2017

Post Card From Me.


"Bahkan saat saya mengumumkan ingin bunuh diri, saya yakin kamu tidak akan peduli."

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, August 30, 2017

Recitativo #1


Hari-hari setelah kepergianmu, pikiranku dipenuhi suaramu. Saya merasa setiap orang adalah kamu. Orang-orang yang menyeberang jalan, yang duduk di kedai-kedai kopi, yang berjalan di tengah malam, atau yang menaiki bus-bus kota. Bahkan mungkin di kematianku yang tak didatangi siapa-siapa saya masih bisa mendengar suaramu. Selamat datang di dunia yang kita bangun bersama. Dunia ini belum lengkap; aku butuh kamu memainkan peranmu.

Jumat, 11 Agustus 2017. Kamu datang, dengan penuh harapan—dengan penuh keterasingan dan rasa bersalah yang ada di pundakmu. Saya tahu itu, saya juga sempat bilang; saya bisa menyerap aura dan perasaan orang lain. Sejujurnya pertemuan itu adalah penantian panjangku. Saya ingin menguji seberapa berat perasaan yang menggema, seberapa keras rasa itu memukulku. Satu pertemuan meruntuhkan segalanya. Saya jatuh bahkan hanya dengan caramu menatap.

Ada yang perlu kamu catat, saya percaya lebih mudah menaklukanmu dengan kata-kata. Maksud saya bukan kalimat gombal atau bahkan modus. Saya yakin semua wanita tahu mana perkataan jujur dari mulut seorang pria atau yang sekadar untuk membuatnya merasa tenang sesaat. Mereka para wanita mempunyai semacam sonar pendeteksi bahkan sejak ia dilahirkan, mungkin karena naluri keibuan yang pada akhirnya mau atau tidak akan sepenuhnya melekat pada diri mereka.

Recitativo adalah sebuah kata bernoda yang akan terus saya tulis dalam kebisingan setelah kepergianmu. Saya hanya ingin bercerita tentang apa yang sudah kita lewati bersama, ini sudut pandangku, selamat menyelami penuh pikiranku, selamat terombang-ambing di sana. Selamat menempuh perjalanan membingunkan. Dan selamat karena kamu adalah bagian dari kisah ini.

Jumat, 11 Agustus 2017. Ingat pertemuan itu? Saya mencoba menebak apa yang ada dalam pikiranmu. Khususnya tentangku, tentang apa yang telah terjadi sebelum itu. Aku penasaran pada detik ketika kursi kayu kau sentuh dengan lembut, apa yang ada di pikiranmu. Apa yang terlintas melihatku duduk di depanmu. Saya sendiri lega, bisa menatapmu dalam kesunyian kedai itu. Detik itu juga rasanya saya sungguh ingin memelukmu, ingin sepenuhnya menerjemahkan semua apa yang kurasa selama hampir satu tahun.

Hari itu saya merasa tenang dan nyaman, meski kamu mengaku jantung berdebar tak karuan. Saya adalah jenis manusia lain, ketika saya merasakan ketenangan dan kenyamanan, itu seperti orang lain yang merasa dag dig dug, merasa pikirannya terpenuhi, merasa jantungnya hampir meledak.  

Saya tidak mengingat jelas percakapan apa yang terjadi di antara kita, yang kuingat hanya indah tatapmu, meneduhkannya suaramu, asiknya ceritamu. Sejujurnya saya sendiri takut jika pertemuan itu tak mengandung arti apa-apa. Seperti apa yang hendak kamu ceritakan sejak dulu, saya menunggu kamu memelukku hari itu, saya menunggu apa yang hendak kamu lakukan saat akhirnya pertemuan kita terjadi. Saya mencintai kamu. . . Bantu saya menerjemahkan perasaan ini.

- - - - -


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.