Monday, July 30, 2018

Kado Hari Jadi


Malam ini,
kutitipkan sepaket mimpi.
Dibungkus daun sunyi,
dengan perekat sepi.

Dan tulisan
"jangan dibuka sendiri."
Jangan kaget,
paket itu tak ada isi;

Aku Hanya ingin
kamu selalu ada di sisi.
Lalu menebak-nebak
apa yang selanjutnya terjadi.

*Ditulis oleh seorang penuh misteri.


Semarang, 30 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, July 28, 2018

Saat - Saat Lain


Kucumbui kau di pelataran rumah
saat tentangga masih nyenyak terlelap
saat langit masih buta cahaya

saat kucing dan anjing bercinta di tengah jalan
saat para pemulung mencari uang dari sampah
saat marbot masjid siap azan subuh

saat koruptor itu masih dikejar-kejar sejak semalam
saat kamu masih selingkuh dengan kekasihmu yang lain
saat bapakku masih mendengkur keras 

Kucumbui kau di pelataran rumah
saat kekasihku bercinta dengan orang lain


Semarang, 26 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Riuh Rindu


Rindumu terlambat satu detik. 
Ada orang lain yang lebih dulu mengucap itu 
dan aku terlanjur tersipu.

Barangkali karena kamu sering mengelak 
dari suara-suara yang muncul di kepala. 
Atau riuh-riuh yang mengganggu telinga.

Tentang perasaan 
yang bingung harus
berbuat apa.


Semarang, 28 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Hanya Ada Hana


Semuanya sederhana
hanya kita yang sulit terima
memilih yang tak nyata
meninggalkan yang sudah ada


Semarang, 25 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, July 24, 2018

Seorang Pria di Persimpangan


Aku ada di tubuh sepi
tubuhku miliknya
tapi hatinya bukan milikku.


Jakarta, 22 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Bebas Cemburu


Aku dicemburui waktu
Saat kutemui kamu
hatimu masih bukan milikku

Aku cemburu pada waktu
dia tak pernah kutemu
tapi mendapatkan hatimu

Aku cemburu padamu
bebas buta mencintai orang itu
tanpa melihat aku juga mencintaimu


Jakarta, 21 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, July 19, 2018

Mayat - Mayat di Kereta


Sebelum kau kutemui, 
aku melihat rangkaian kereta api 
berhenti di pinggir kali. 

Tak ada siapa pun di dalamnya, 
semua pintu terbuka, 
tapi mesin masih menyala.

Kupikir ini hanya mimpi, 
saat kulihat lebih jauh, 
tak ada beda antara mimpi dan hidupku kini.

Semua sama; 
membawa pada satu tujuan, 
yaitu mati.


Semarang, 19 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, July 15, 2018

Membunuh Mimpi - Mimpi



Ini tentang mimpiku semalam, tentang mimpi-mimpi yang telah membunuhku berulang kali. Aku terbangun dua kali dan mimpi itu tetap berlanjut. Aku semacam terbangun dari sebuah perjalanan waktu yang gagal total. Di hutan dengan pohon-pohon pinus menjulang tinggi itu aku berdiri di depan seorang wanita dengan pakaian serba hitam, bibir merahnya seolah bersinar di antara redup-redup sekitar. Kami berdiri berjauhan, mimpi itu terasa begitu nyata, aku bahkan masih mengingat wajahnya. Seorang wanita yang entah bagaimana bisa merasuki mimpi-mimpiku. Ini ketiga kali aku memimpikannya. Dan ia benar-benar membunuhku.

Aku selalu bertanya pada diri sendiri, apakah kita boleh jatuh cinta pada seorang yang belum pernah kita temui? Apakah bisa mencintai seseorang yang belum benar-benar kita kenal. Pertanyaan itu terus menggema di kepala, aku masih mencintai seseorang yang telah mati, yang membuatku menulis tiga buku untuk benar-benar yakin untuk kembali melanjutkan hidup. Tapi tetap saja, aku masih mencintai seseorang—yang sudah mati.

Ini tentang mimpiku semalam, ada semacam debar yang membuatku terbangun dengan keringat yang menyetubuhiku. Ia wanita yang sebetulnya membantuku keluar dari rasa sakit, aku bahagia mendengar suaranya saat ia menelponku, atau saat ia tiba-tiba tanpa kabar dan angin, mengirimiku pesan. Ia memborbardir ruang obrolanku dengan penuh ceracau yang selalu mampu membuatku hangat dengan senyum-senyum itu.

Aku mencoba mengingat apa yang ia katakan dalam mimpi itu, aku berusaha tidak mengabarinya lepas mimpi itu usai. Aku sungkan, aku tidak berani, aku lemah, aku terlalu takut mendengar responnya. Aku takut ia tak tertarik atau tak peduli. Tapi semakin lama aku memendam sendiri, semakin sering mimpi itu terus menggema minta keluar. Mimpi-mimpi selalu berhasil membuatku menyerah pada realita, mimpi adalah tempat aku lari dari kenyataan. Mimpi selalu berhasil membunuhku.

Aku bahkan bisa merasakan angin yang menyentuh kulitku, suara-suara daun yang bergesekkan, atau suara cuit burung yang menggema di telingaku. Di mimpi itu aku menatapnya penuh kedalaman, dan wajahnya yang diselimuti kehangatan itu membuatku rindu ingin menyapanya sekali lagi. Sakit yang diderita bahkan tak lagi kurasa, aku berpikir apakah aku membutuhkannya? Tapi realita seolah selalu menamparku. Realita membuatku sadar diri. Bahwa aku hanya pria yang jauh datang dari luar kehidupannya. Entah perasaan macam apa ini, aku sungguh ingin bertemu dengannya.

Di mimpi itu, ia sempat tersenyum sekali, yang membuatku tertular dan membalas senyumnya yang manis, senyum yang meramalkan kisah cinta kami. Senyum yang membunuhku saat pertama kali menatapnya. Senyum yang kurindui bahkan sebelum kutemui. Jika ini yang dinamakan cinta, aku lebih baik mati, daripada terus hidup hanya mampu melihat dan merasakan kehadirannya dari jauh. Bahkan ketika sakit itu melanda lagi, aku hanya mengingat namanya, hanya ingin bertemu dengannya. Tapi takdir seolah mengelabuhiku. Aku perlu sabar katanya. Untuk bertemu dan menuntaskan perasaan itu. Aku terbunuh oleh mimpiku sendiri.

Wanita ini sungguh sangat sederhana, ia melihatku dari caranya memahami hidup. Paling tidak aku mampu menjadi diri sendiri karenanya, aku suka membaca pesan-pesan lamanya. Di mimpi itu senyumnya begitu romantik, begitu narkotik. Aku masih berusaha mengingat kata-kata yang ia ucapkan dari bibir itu sebelum aku terbangun dari tidur yang singkat, namun mimpi itu terasa begitu lama. Yang akhirnya kuputuskan untuk memberitahunya tentang mimpi yang kualami semalam.

Melalui tulisan ini, kuharap ia membacanya, kuharap ia mampu memahami apa yang sebenarnya kurasakan, kecemburuan yang membuncah saat ia menceritakan seorang yang ia cintai, atau perasaan yang membuatku merasa ingin memiliki; Namun realita selalu membuatku terbunuh, aku terbunuh di dua ruang: Realita dan mimpi sendiri. Aku harap ia tetap menjadi nafas di tiap pagiku, atau mimpi di tiap malamku, saat bahkan ia tak mengharapkan kehadiranku.

Aku benci mimpi-mimpi, aku ingin membunuhnya. Tapi saat mimpi-mimpiku hanya di isi olehnya, aku rela hidup terus di ruang mimpi. Aku ingin mencumbuinya di sana, merinduinya di sana, memeluknya di sana, menciumnya di sana. Memilikinya di sana. Meski itu hanya mimpi, tapi setidaknya aku merasa hidup di sana.

Di detik ini aku ingat apa yang ia katakan di mimpi itu. “Pagi ini dingin sekali,” lalu ia tersenyum dan aku terbangun. Dan terus bertanya apa maksud kalimat itu. Untukmu, Vi. Semoga kamu membacanya. 

----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, July 14, 2018

Gerbong Kosong


Di antara gerbong kosong itu
aku duduk dan menunggu.
Kereta tak lagi jalan; ia istirahat 
dari beratnya menampung dan menumpang.

Sedang malam telah naik.
Aku melihat dalam kegelapan gerbong  
yang kosong melompong.

Menunggu adalah seni.
Karena kita bertarung
pada yang tak pasti.


Semarang, 14 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, July 10, 2018

Tentang Tuhan yang Bercinta


Bisakah kita jatuh cinta pada seseorang 
tanpa sedikit pun berpikir;

apakah ia memang jodoh kita, 
apakah ia pilihan terbaik dari tuhan, 
atau apakah orang tua kita merestui.

Karena 
ketika kita terjebak pada konsep itu, 
sesungguhnya 
kita tidak pernah benar-benar mencintai.

Apakah kita bisa mencintai 
tanpa berpikir apa agamanya. 
Tanpa harus memenuhi perintah institusi agama 
yaitu menikah.

Apakah bisa 
Tuhan berhenti sok tahu 
atas apa yang kita inginkan?


Semarang, 10 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Mengunjungi Rumahmu


Aku ingin terlelap di kamarmu,
berpura-pura terpejam
tapi jantung terus berdebar kencang.

Aku rindu aroma tubuhmu,
aroma yang menempel 
di selimut dan bantal-bantalmu. 

"Sudah tidur?" tanyamu memecah hening. 
Lalu berdua kita habiskan malam,
bicara tentang kucing-kucing kita yang manis dan lucu.


Semarang, 9 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, July 8, 2018

Maaf, Saya Menulis Cerita yang Salah



Di kepalaku hidup seorang wanita yang bahkan telah mati sejak cinta pertama kali dijatuhkan. Wanita itu adalah sosok yang kamu baca di buku-bukuku. Dan hari ini usianya bertambah. Aku ingin merayakannya dengan dua cara. Pertama, aku akan pergi ke tempat kali pertama kami bertemu. Saat kami menghabiskan hari berdua, bercerita tentang sebuah sekolahan yang ingin kita bangun berdua atau tentang bintang-bintang di langit malam yang menyembunyikan cinta kita. Kedua, menulis tentangnya sekali lagi. Membagikannya padamu, semoga kamu paham, bahwa pernah ada sepasang manusia yang saling mengorbankan untuk sesuatu yang adil dan lebih besar. Dan inilah cerita itu pertama kali dimulai.

Ini bukan cerita fiksi, ini sepenuhnya cerita tentang aku, Zahid Paningrome. Dan tokoh dalam semua novelku, Popy. Ia ada, ia seorang wanita yang kukagumi sejak kali pertama melihatnya duduk bersila di salah satu bangku di sudut sekolah kala itu. Aku hampir tidak pernah berbicara padanya sejak itu. Untuk urusan memulai aku memang bukan ahlinya, aku orang yang tidak percaya diri, orang yang tidak bisa memahami bagaimana awal cinta itu tiba.

Seperti yang ada di novel Tentang Anna. Ah! Novel itu, aku menulisnya dengan penuh air mata, bagaimana caramu tidak merasa kehilangan apa pun ketika kamu dipaksa menyusuri masa lalumu, masa saat kenangan dengan sadar sedang dibuat bersama dengan seseorang yang bahkan tidak bisa kamu percayai untuk bisa hidup bersamamu. Aku akan menceritakan beberapa hal yang tidak ada di dalam buku-bukuku. Sesuatu yang belum pernah kutulis.

Saat itu, malam di salah satu lorong sekolah, hujan turun. Aku berteduh bersama kekasihku. Ya, aku mencintai Popy, tapi juga memiliki kekasih. Jangan heran, ini baru awal dari semua cerita. Saat itu aku dan kekasihku duduk berdampingan, dan di samping kekasihku Popy duduk, masih dengan tas merahnya bergambar club favoritnya, Manchester United. Saat kekasihku yang pertama kali kucium bibirnya di salah satu tangga sekolah dijemput untuk pulang, aku masih duduk menunggu hujan reda bersama Popy.

Sebenarnya itu kali pertama kami bertukar senyum dan membicarakan banyak hal. Detik itu aku tahu, aku mencintainya, dan detik itu juga aku tahu, ada rasa yang ia simpan untukku. Meskipun mungkin bagimu aku terlalu percaya diri. Tapi ketika kamu juga berada di sana, kamu akan memahami maksudku, memahami perasaanku dan kepercayaan-diriku. Awalnya ia bercerita tentang club kesayangannya yang baru menang, aku tidak betul-betul memahami, namun caranya bercerita membuat seluruh tubuhku kaku. Ia seperti melupakan dunia untuk beberapa saat, dan hanya menyisakan kami di antara hujan yang murung malam itu.

Kamu tahu apa yang aku lakukan setelah ia berhenti cerita? Ya, aku mengeluarkan seluruh hal yang ada di pikiranku tentangnya, malam itu aku berlaku jujur pada diriku sendiri, bahwa ia—wanita yang ada di sampingku malam itu, telah lama menyita perhatian dan pikiranku. Aku tak mengatakan bahwa aku cinta, aku hanya jujur pada apa yang kurasa setelah selama ini. Tahu apa responnya? Ia hanya diam, sampai hujan berhenti lalu ia pulang, meninggalkanku tanpa berpamitan. No, ini bukan karangan, ini nyata terjadi. Kalau kamu mau menanyakannya pada mantan kekasihku, kamu akan sepenuhnya percaya, bahwa kami memang berada di sana malam itu.

Sejak kejadian itu aku tak berani menyapanya, aku merasa melakukan kesalahan besar. Aku selalu mencoba menghindarinya, namun ia, wanita itu selalu tampak santai, tatapannya masih lembut dan meneduhkan. Sampai suatu hari, ia mengajakku bertemu, setelah meminta nomor teleponku melalui akun instagramku. Menurutmu apa yang aku rasakan kala itu? Aku juga menuliskan bagian ini di Tentang Anna. Aku tak bisa merasakan apa-apa saat itu. Aku hanya senang, Aku harap kamu mampu memahami perasaan ini, perasaan saat orang yang kamu cintai balik memahamimu.

Yang aku tahu, aku penasaran apa yang membuatnya berani mengajakku, memulai lebih dulu. Jawaban itu kudapatkan saat kami duduk berdua di salah satu Starbucks di salah satu mall yang ada di Semarang. Ia berencana mengajakku untuk menulis cerita bersama. Ini seperti harta karun yang kamu temui di dalam rumahmu sendiri, aku tak percaya bahwa ia adalah penikmat tulisan-tulisan di blogku. Saat itu aku sudah satu tahun menulis di blog. Ia menceritakan kecintaannya pada salah satu cerpenku, Senja Pertama. Yang aku ceritakan juga di Tentang Anna.

Seseorang yang memahami apa yang kamu sukai, mendekatimu dengan sesuatu yang juga kamu sukai. Saat itu aku merasa keberuntungan ada di pihakku. Pertemuan kami di Starbucks hari itu hampir terjadi selama tujuh jam. Sesekali membahas soal cerita, sesekali ia berhenti untuk menanyakan sesuatu padaku, pun sebaliknya. Kami seperti sedang mendikte satu sama lain, seperti sedang meraba perasaan masing-masing. Rasa itu nyata, kami seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, seperti dunia hanya milik berdua.

Aku tidak akan banyak menceritakan apa yang terjadi setelahnya, situasinya rumit. Dan lagi aku telah menulisnya semua di novelku. Ia memiliki kekasih, tapi ia mencintaiku, aku saat itu tak sedang terikat oleh siapa-siapa. Aku juga mencintainya. Pertemuan itu terjadi setahun setelah pertemuan di bawah hujan malam itu, hampir sembilan bulan setelah aku dan kekasihku putus. Bayangkan, selama itu kami tak saling bicara dan saling menghindar, lalu ia menyerah dengan semua kekonyolan kami. Lalu memilih untuk mengakhiri dan memutuskan untuk bertemu.

Mungkin kamu bertanya di mana konfliknya sehingga membuatnya pergi bahkan belum juga kembali. Oke. Aku ingin ia menjadi kekasihku, tapi ia hanya ingin hubungan yang tak terikat. Ia mencintaiku, aku juga. Akhirnya kami memutuskan untuk menjalin kasih namun tak terikat. Mugkin kamu pikir ini perselingkuhan. Bukan! Aku punya ceritaku sendiri tentang menjadi orang ketiga yang juga kuceritakan dalam Tentang Anna.

Saat pertemuan kami yang kedua di Starbucks yang sama, ia menceritakan sesuatu yang sedikit membuatku kaget. Pertama, ia menceritakan tentang aku pada kekasihnya, kedua ia mengidap semacam penyakit yang karena itu ia putus dengan kekasihnya. Aku juga menceritakannya di bukuku, Tentang Anna. Yang waktu itu aku ceritakan ia menangis dan takut jika kami bersama, aku akan melakukan hal yang sama seperti kekasihnya itu. Aku sekuat tenaga meyakinkannya, bahwa aku tak mungkin melakukan hal hina seperti itu. Bahwa aku mencintainya apa adanya, tak berharap apa pun dari dirinya. Aku mencintai pikirannya, matanya, dan hatinya. Tak ada hubungan transaksional yang aku pikirkan sama sekali.

Ya. Itu akhir kita bertemu, sampai pelan-pelan ia menjauh, mulai dari hanya membalas chatku tanpa ingin bertemu, mulai tak membalas chatku, mulai memblockir semua social mediaku. Sampai tak ada kabar sedikit pun. Saat itu mungkin kamu bisa menyebutnya: Aku mulai gila, saat itu kupikir aku butuh orang lain untuk membantuku move on. Namun setelah aku coba berkali-kali, aku terus saja gagal. Tak ada satu pun yang mampu memahamiku seperti ia memahamiku.

Aku mengubah pikiranku, akhirnya memutuskan menghidupkannya di buku-bukuku daripada harus move on dan terus saja gagal. Aku yakin kamu tak akan mampu membayangkan bagaimana rasanya menulis seseorang yang kita cinta, namun tak bisa kita miliki. Yang meninggalkan kita seperti sampah. Ya. Aku masih terharu setiap membaca tulisanku sendiri, persis saat aku menuliskannya. Kenangan membuat kita menjadi lebih sensitif, lebih mudah membuat kita sanggup memahami manusia.

Mungkin kamu pikir semua sudah selesai saat aku menulis tentangnya karena orang akan bahagia ketika melihat dirinya hidup di karya orang lain. Tidak! Tidak semudah itu, sampai tulisan ini dibuat Popy tak pernah lagi menghubungiku. Aku? Aku tak pernah tahu bagaimana kabarnya. Aku telah menarik diri untuk tidak lagi mengganggunya. Aku bahkan tak tahu apakah ia sudah membaca buku-bukuku atau belum. Semoga. Aku merasa mungkin ia tak suka saat aku menulis cerita cinta di antara kami, lalu menjadikannya tokoh dalam certiaku. Kalau memang gitu aku hanya ingin meminta maaf melalui tulisan ini, di hari tepat saat usianya bertambah. Aku ingin meminta maaf, aku telah salah menulis cerita.

Tapi bukankah fiksi mengizinkan kita untuk menghidupkan segala realita yang tidak relevan dengan hidup kita? Maaf, saya menulis cerita yang salah. Maaf kamu tetap hidup di bagian hatiku paling dalam, akan kusimpan, tak akan kubuka, lagi. Lalu kamu mungkin bertanya, sekarang perasaanku jatuh pada siapa, pada wanita macam apa. Jawabannya mudah, salah satu wanita yang membaca habis tulisan ini sampai pada di titik terakhir. Kamu kah itu?




--i love you, R--
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, July 6, 2018

Di Tepi Sepi


Jika bagimu pagi adalah tempat 
untuk mengabdi pada rasa sepi. 
Aku mengubahnya jadi rindu yang tak bertepi.

Di kedalaman matamu 
aku melihat seorang Ibu 
yang berjalan di dinginnya malam.

"Tak ada cinta hari ini," katanya. 
Hanya kita; 
yang terbelenggu oleh rasa sakit.


Semarang, 7 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, July 5, 2018

Kopi di Bibir yang Merah


Ketika aku menghindari bibirnya yang ada persis di depan bibirku,
ia justru mencium hidungku. "Kopi?" katanya menawari, aku tersenyum.
Lalu ia menuju dapur, rambutnya masih teracak selepas bangun tidur.

Baju putihnya yang kedodoran
hampir menutup hingga ke lutut.


Semarang, 30 Juni 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Ombak di Laut Utara


Di tidurnya ia tenang,
ia memimpikan seorang kakek yang berselancar di laut utara.

Kemarin ia menyeberang bersama seekor kura-kura di sampingnya;
ia menunggu 3 jam dan membuat kemacetan panjang. Ia tidur dengan kain putih susu yang menutup hingga ubun-ubun.


Semarang, 4 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Kota di Saku Celana


Ia duduk di sebuah bangku kayu berdecit di pusat kota. 
Dengan rokok kretek yang mengepul di atas kepala. 
Ia memikirkan sepasang sepatu yang kedodoran 
dan kaus kaki yang lupa dibeli.

Masih ia simpan cincin lamaran di saku celana. 
Hingga sepuluh tahun kematian kekasihnya.


Semarang, 2 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Pagi yang Lugu


Kita bertemu di Sabtu pagi penuh lugu. 
Saat itu angin menyibak rokmu.

Kukira kita seumuran, aku sudah terlanjur jatuh cinta, 
dan kita sempat tidur bersama. 
Tak kusangka anakmu begitu rupawan.


Semarang, 4 Juli 2018
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.