Sunday, June 14, 2015

RAN FLEURISTE (Episode 9)


Aku masih memikirkan Sean. Sejak malam itu dia masih saja mendiamkanku, aku tidak suka Sean yang seperti ini, nampak begitu ganas dimataku. Terakhir dia mendiamkanku enam bulan ketika aku tidak mendengarkannya soal pria dari Tropea Beach itu. Menatapku saja Sean ogah-ogahan. Senyumnya berubah, seperti bukan Sean yang biasanya. Gumamku makin berat sampai pagi ini Sean masih saja diam tanpa kata, aku tahu ketika Sean mendiamkanku berarti ada yang salah dariku. Disaat inilah aku bisa memperbaikki kesalahanku, aku akan membuatnya tersenyum dan mau berbicara denganku lagi. Caranya cukup mudah, biarkan Sean melihat Rain Galvin menjemputku di Ran Fleuriste.

Pagi ini aku masih menunggu pria itu menjemputku, meski ketakutanku soal pria masih saja menghantuiku, aku terpaksa menunggu, melawan ketakutan itu semata-mata demi Sean dan untuk membuktikan perkataan Sean tentangnya dan tentang cinta. Aku tidak pernah paham apa itu cinta yang aku tahu cinta adalah penyakit campak dari ras manusia yang sudah ada dari zaman dulu dan dipertahankan hingga sekarang. Zaman ketika adam dan hawa bertemu di taman eden atau bertemu disebuah gurun dalam versi lainnya.

Aku menunggu lagi, ketakutan itu mulai hilang perlahan berubah menjadi rasa penasaran yang terus menghantuiku. Tidak ada yang spesial dari penampilanku hari ini, seperti biasa serba hitam dan putih. Rambutku hanya kuikat dengan karet pembungkus buket bunga. Sesuai suasana hati sejauh ini belum ada yang spesial dari pria itu. Hanya satu kelebihanya: dia pintar membuatku penasaran, hampir mati aku dibuatnya penasaran. Aku benci situasi ini. Aku yakin dia akan memasang bintang-bintang dan mengalirinya dengan cahaya rembulan di malam hari. Mencoba membuatku terpesona dan penasaran lagi. Gaya kampungan kebanyakkan pria. Kalau dia membawakanku bunga, tidak akan aku terima, mungkin seketika akan langsung aku buang. Gila saja, seorang florist di kasih bunga. Seperti seorang ibu yang harus menyusui bayinya, sudah biasa bahkan terlalu biasa.

Duapuluh menit setelah aku membuka tokoku, pria itu belum juga datang. Kebebasanku seketika menjadi menyenangkan, seperti anak-anak kecil yang menunggu ayahnya pulang kerja dan berharap dibelikan mainan baru. Jantungku bedebar ketika Savage Rivale miliknya perlahan mulai terparkir di depan Ran Fleuriste. Sean melihatnya, dia tersenyum matanya berbinar itu pertanda bahwa Sean tidak marah lagi denganku. Hanya kurang dari beberapa detik tiba-tiba Sean sudah ada di pintu belakang Ran Fleuritse, kubukakan pintu itu, seketika Sean langsung memelukku, dia membisikkanku “bersenang-senang lah Ranum, aku menyayangimu” dia mengusap pipiku, tersenyum lalu pergi lagi. Aku suka cara Sean mengusap pipiku, lembut dengan ujung-ujung jari yang menyusur hingga ujung dagu. Aku hanya tersenyum, tidak ada satu kalimatpun yang keluar dari bibirku.

Pria itu berdiri di depan pintu, membuka pintu “Goedemorgen Ranum” katanya dengan senyum yang mengembang, berbeda dengan senyumnya tempo hari. “Pagi juga, sebentar aku akan menutup tokoku dulu” Ini saatnya aku menghilangkan kecanggungan yang terjalin diantara kami sejak pertama bertemu. Akan aku ubah sapaanku terhadapnya jadi sapaan manis yang tidak terdengar aneh. Mata pria itu mengikutiku sesekali sembari tersenyum yang membuatku salah tingkah. Aku menghampirinya pertanda semua urusanku di Ran Fleuriste sudah selesai, Aku dan pria itu keluar lalu aku mengunci Ran Fleuriste, meletakkan kunci dibawah vas bunga yang ada di depan Ran Fleuriste. Tempat biasa aku meletakkanya, sengaja tidak aku bawa karena aku takut tidak sengaja menghilangkannya.

Dia membukakan pintu mobilnya untukku, hal biasa seperti kebanyakkan pria. memutari bagian depan mobil lalu masuk. Savage Rivale miliknya perlahan meninggalkan Ran Fleuriste. Hingga seratus kilometer dari Ran Fleuriste kami masih terdiam, saling menunggu siapa yang akan membuka pembicaraan labih dulu. Di perempatan lampu lalu lintas berubah merah pria yang ada disebelahku mulai mengajakku berbicara.

“Kamu sudah pernah ke Keukenhof?” tanya pria itu.

“Hanya setahun sekali, kira-kira pertengahan bulan April. Kamu?”.

“Baru sekali ini, aku tahu kamu sangat menyukai bunga-bunga. Alasan itu yang membuatku ingin mengajakmu ke Keukenhof” Lampu lalu lintas berubah hijau. Aku tidak membalas pembicaraanya, sengaja untuk membuatnya penasaran dan terus memburuku lewat pertanyaan-pertnyaan yang keluar dari bibirnya. Jarak dari Ran Fleursite ke Keukenhof cukup jauh memakan waktu sekitar satu jam. Dalam situasi ini aku ingin menguji cara dia memperlakukan perempuan. Dalam situasi canggung di dalam mobil apalagi untuk orang yang baru sekali pergi berdua, sungguh akan sangat membunuh. Kalau tidak ada yang memecahkan situasi di dalam mobil suasana jadi seperti malam hari ketika orang-orang sudah terlelap, Sepi bahkan bisa jadi mencekam.

Pria ini tetap tenang sesekali bersiul dan mengajakku berbicara. Sejauh ini dia belum menyombongkan dirinya bahwa dia seorang Galvin, keluarga terpandang di Belanda, aku sudah tahu bahkan sebelum dia memperkenalkan dirinya langsung padaku. Dia menanyaiku seputar Ran Fleuriste. Basa-basi yang bisa membuat suasana dalam mobil menjadi lebih hidup dan menyenangkan, dia orang yang humoris sesekali melemparkan candaan yang bisa membuatku tertawa, aku mulai suka caranya memperlakukanku.

“Ranum, kamu suka nulis ya?”.

“Ah, nggak juga. Aku lebih suka membaca”.

“Kamu bohong, tanganmu terlihat seperti tangan seorang yang suka menulis” Dia memperhatikan jari-jariku yang beradu di pangkuanku.

“Hahaha, ketahuan deh. Iya, aku sesekali menulis sekedar untuk mengisi waktu luang di Ran Fleuriste”.

Dia tidak membalas pembicaraanku. Seperti balasan karena aku tidak membalas pembicaraanya tadi. Sekarang aku menjadi canggung, aku salah tingkah mengubah letak dudukku. Sesekali dia tertawa kecil. Menikmati pemandangan lucu yang aku buat. Pria ini berhasil membuatku penasaran lagi.

Taman Keukenhof sudah terlihat dari beberapa meter posisi Savage Rivale miliknya. Dia mencari lahan parkir, memarkirkan Savage Rivale miliknya lalu turun. Aku tidak turun, aku kira dia akan membukakan pintu untukku, ternyata tidak. Dia langsung pergi, beberapa meter setelahnya dia kembali tapi tidak untuk membukakkan pintuku. Dia membuka pintu kemudinya.

“Kenapa nggak turun?”.

Aku tersenyum lalu keluar. “Sialan” gumamku dalam hati.

(Bersambung)


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar