Sunday, July 30, 2017

Kota.


NOTE: Puisi ini diikut-sertakan dalam Lomba Sastra & Seni UGM 2017

-----

Kota telah berhenti bernyanyi,
dicurinya tawa dari saku kanan ke saku kiri.
Tak ada lagi keriangan anak-anak kecil di taman-taman kota.

Taman sejuta kata, tempat orang-orang
merenungi hari-hari akhir sebelum kematiannya,
meninggalkan nasib pada lampu dan bangku-bangkunya.

Si bapak sibuk dengan cara lama,
mencari suara untuk naik takhta,
lupa membangun kota dan perdaban.

Kota kita telah kehilangan nyawa,
ditariknya bibir-bibir itu ke dalam
kubangan penuh intrik dan tawa sinis.

Hilangnya kuasa rakyat pada penguasa
yang mengaku tak mampu membeli sebatang rokok
tapi saku celana terus saja sobek.

Kota telah berubah,
dan sajak-sajak pelipur lara
telah bersemayam pada dinding warna-warni penuh luka.

Membangun kota atau bahkan negara,
bukan berarti membangun fisiknya.
Tapi membangun pikiran manusia yang ada di dalamnya.

Aku tidak mencintai apa-apa dari kota ini,
aku hanya sibuk menyayangi kata-kata.
Meninggalkan kenangan di tiap lampu jalan.

Lalu kota telah berhenti bernyanyi,
hanya ada tukang becak, pedagang asongan,
dan manusia-manusia gila penghuni balai kota.

Selamat malam, kota yang asing di pikiranku,
tempat pengasingan paling sedih.
Tempat dimana aku kehilangan diriku sendiri.


Semarang, 29 Juli 2017
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, July 25, 2017

Dilarang Kencing di Tembok


NOTE: Cerpen ini diikut-sertakan dalam Lomba Sastra & Seni UGM 2017

-----

Perkumpulan tahunan di RT 2 digemparkan oleh kematian seekor kucing kampung berwarna cokelat. Sebelumnya pertengkaran dahsyat terjadi di antara Si Korban dan kucing kampung berwarna hitam milik Bu Sumi. Kucing cokelat itu bernama Selo, salah satu kucing veteran di RT 2 milik seorang ibu rumah tangga bernama Happy. Nama yang unik, membuat para tetangga selalu bahagia ketika memanggil Bu Happy, entah candaan atau sindiran.

Selo mati dengan darah terkujur di seluruh tubuhnya, darah keluar dari keempat kakinya yang terkena cakaran Kucing Bu Sumi. Kucing Bu Sumi memang terkenal mengerikan, Selo adalah korban ketiga, kucing hitam memang terkenal mengerikan, bagaimana tidak seluruh tubuhnya tak terlihat di kegelapan, bahkan matanya sekalipun. Hanya Bu Sumi yang dapat mengenali kucingnya. Kucing yang juga menjadi teman tidurnya saat malam tiba.

Perkumpulan itu memang biasa dilakukan dua minggu setelah lebaran. Waktu yang tepat, karena para tetangga yang pergi mudik sudah kembali ke rumah, sehingga tak ada satu pun yang tertinggal menghadiri acara tersebut. Selo dan Kucing Bu Sumi mulai menjadi liar saat pembacaan doa penutup acara oleh seorang ustad yang terkenal di RT itu. Setelah keduanya saling tatap dan menimbulkan suara erangan khas para kucing, tiba-tiba Kucing Bu Sumi menyerang Selo—singkat dan cepat, langsung membuat Selo tergeletak di karpet merah tempat si ustad berdiri.

Semua warga yang hadir sontak berteriak, Si Ustad mengumpat dengan mic yang masih di depan mulut, ibu-ibu yang menyebut nama tuhan, bapak-bapak yang santai melihat kematian Selo sembari meminum secangkir kopi sachet pemberian salah satu warga khusus untuk acara tersebut. Anak-anak bersembunyi di balik punggung para ibu. Darah Selo bercampur dengan warna karpet, beberapa detik setelah respon pertama, raut muka para warga berganti, ada semburat kesedihan di wajah mereka—RT 2 berduka.

Sebelum acara di mulai, Selo dan Kucing Bu Sumi memang sudah bertikai di depan rumah Pak RT. Permusuhan mereka terjadi cukup lama saat kucing Bu Sumi cemburu melihat Selo bersama Wati. Kucing paling cantik di kampung milik istri Pak RT. Wati kucing setengah persia dan setengah kampung berwarna putih-abu. Kucing hasil perkawinan antara kucing lokal dan non lokal. Wajar jika banyak kucing mengincar Wati, termasuk Selo dan Kucing Bu Sumi.

Pasca kematian Selo, Perkumpulan Kucing RT 2 mengajukan hak angket kepada pemimpin kucing seluruh kampung. Kucing Bu Sumi dianggap dengan sengaja dan kesadaran penuh membunuh Selo dengan tragis dan tanpa ampun di depan para manusia yang juga mencintai kucing. Ketua pengajuan angket kucing bernama Lori menganggap Kucing Bu Sumi telah berbuat seenaknya dan melupakan hak kucing dan perikekucingan. Hak angket itu berisi tuntutan hukuman gantung kepada Kucing Bu Sumi.

Sisil, pemimpin kucing kampung telah menerima gugatan itu dari sekretarisnya. Sisil kemudian merapatkan bersama anggota dewan kucing lainnya. Rapat itu berlangsung di tanah lapang samping masjid kampung, tempat biasa anak-anak bermain sepak bola. Siang itu setelah sholat dzuhur, Sisil memimpin dua belas ekor kucing, tujuh betina dan lima jantan, mereka duduk bergerombol, saling berdebat dan menyanggah opini kucing lain.

Salah satu anggota dewan kucing menganggap bahwa wajar jika kucing Bu Sumi bertikai dengan Selo, karena itu naluri batiniah seekor kucing, ada lagi yang beranggapan meskipun naluri tapi seharusnya tak sampai menghilangkan nyawa—membuat seluruh kampung berduka bahkan para pemilik kucing lain yang takut kalau saja kucingnya menjadi korban selanjutnya.

Satu anggota dewan kucing bernama Tembong, mengatakan bahwa Kucing Bu Sumi bisa dijerat Pasal 76 Undang-Undang Perkucingan, pasal itu berbunyi, “Barangsiapa yang dengan sengaja dan kesadaran penuh menghilangkan nyawa kucing lain, harus dihukum seberat-beratnya hukuman gantung atau menjadi kucing rumahan selama sisa umurnya.”

Tembong adalah ahli hukum pidana kucing yang telah sangat berpengalaman mengurusi dan menyelesaikan konflik horizontal pada sesama kucing di seluruh kampung. Tembong kucing seorang pengacara kondang, diberi nama Tembong karena ada bercak hitam di sebagian hidungnya. Tembong kucing yang termasuk tampan dikalangannya, dicintai banyak kucing betina bukan hanya karena ketampanannya, juga karena kecerdasan dan kepintarannya.

Selama hampir seminggu Lori dan kucing lain menunggu dewan kucing atas angket yang meraka ajukan. Namun selama hampir seminggu itu juga mereka tak mendapat kabar dan jawaban. Seminggu setelah Selo mati, mereka mengadakan peringatan tujuh hari kematian di samping rumah Pak RT, Wati sebagai tuan rumah menyediakan ciki wiskas, yang diberikan Bu RT ketika merasa gemas melihat para kucing berkumpul. Selo dikubur di samping rumah Pak RT, di sana ada tanah kosong milik Pak RT yang belum terjual.

Di sana mereka membicarakan kudeta jika dewan kucing tak mengabulkan permohonan hak angket mereka. Lori berujar bahwa perbuatan Kucing Bu Sumi adalah perbuatan yang kejam dan pantas diberi hukuman berat yang setimpal, terlebih lagi kebencian Lori terhadap Kucing Bu Sumi telah membuncah cukup lama, saat ia mendengar bahwa kekasihnya, dikawini oleh Kucing Bu Sumi dengan paksa di suatu maghrib di bulan Juni.

Lori tak mendengar rintihan dan teriakan kekasihnya itu, karena saat itu adzan berkumandang cukup keras, terdengar hingga luar kampung. Lori sangat familiar dengan suara kekasihnya, tapi hari itu kealpaannya membuatnya harus merasakan patah hati sekaligus kemarahan terhebat dalam sejarah hidupnya. Kekasihnya tak lagi perawan, bukan karenanya tapi karena kucing lain. Sungguh kisah cinta yang menyedihkan.

Wati merasa kehilangan atas meninggalnya Selo, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Selo adalah kucing jantan yang ia cintai melebihi cintanya pada Bu RT—majikannya yang membesarkan Wati dari lahir hingga kini. Ciuman pertama Wati dan Selo terjadi saat pengajian Israj Miraj di rumah, saat itu Selo menghampirinya yang sedang duduk melihat bintang-bintang yang indah di langit malam.

Selo mendekat dan duduk di samping Wati, Selo sempat bercerita bahwa hal terindah dalam hidupnya adalah bertemu dan mengenal Wati, sebagai kucing betina Wati seketika luluh, ia menyandarkan tubuhnya pada Selo, lalu ciuman itu terjadi saat Surat Al-Fatihah dibacakan. Wati tak pernah melupakan kenangan itu. Kenangan manis yang tak bisa ia ulang lagi sampai kapan pun.

Lewat seminggu, Bu Sumi masih mengurung kucingnya di kandang, katanya sebagai bentuk hukuman agar kucingnya tak lagi berulah dan menyebabkan dirinya malu dihadapan para tetangga. Kucingnya dikurung pada sebuah kandang ayam yang terbuat dari kayu dan dibentuk serupa anyaman. Di atasnya ditaruh sebuah batu besar untuk mengganjal agar kucingnya tak bisa keluar. Kekuatan Kucing Bu Sumi sangat besar, salah satu kucing terkuat yang ada di kampung itu.

Kucing Bu Sumi memang telah banyak berulah yang membuat kucing lainnya marah dan membenci. Tapi kemarahan dan kebencian itu hanya dipendam, tak ada yang berani melawan Kucing Bu Sumi yang memiliki banyak anak buah. Hanya Selo yang mempunyai sedikit keberanian untuk melawannya, kucing malang yang kini hanya tinggal nama.

Kucing Bu Sumi memang cukup punya nama, ia sangat dihormati. Ayahnya adalah mantan Ketua Dewan Kucing yang mempimpin hampir sepuluh tahun, kekuatannya tak bisa dibendung oleh siapa pun, Ayah Kucing Bu Sumi adalah diktator yang ulung. Semua gerak-gerik warga kucing diatur dan ada hukuman berat bagi siapa saja yang melanggar aturan itu. Tak boleh ada kucing yang buang kotoran sembarangan di depan rumah warga, di gundukkan pasir pembangunan salah satu rumah atau buang kotoran di atap rumah warga. Seluruh kucing hanya boleh membuang kotorannya di tempat yang sudah disediakan para majikan.

Ada satu aturan yang membuat kucing-kucing dewasa yang masuk musim kawin jadi ketakutan. Aturan itu tak membolehkan setiap kucing untuk kencing sembarangan sekalipun di tembok. Banyak dari kucing jantan dewasa yang masuk musim kawin membuang air maninya di tembok-tembok warga, sembari terus mengejar betina yang dicintainya untuk dikawini. Banyak keluhan dari para majikan, yang lelah terus menerus harus membersihkan air kencing atau air mani yang sering kali menciptakan bau yang kuat, aroma tak sedap yang mengganggu hidung.

Kini ayah Kucing Bu Sumi sudah memasuki usia renta, masih dipelihara Bu Sumi dengan cekatan dan telaten. Kerjaannya hanya tidur dan makan, tapi kekuatan namanya masih menggaung hingga kini, hal itu dimanfaatkan oleh Kucing Bu Sumi untuk memudahkannya berbuat semena-mena pada warga kucing yang lain. Ayahnya sama sekali tak mengetahui perbuatan anaknya, tak ada satu kucing pun yang memberitahu. Bahkan Bu Sumi sama sekali tak pernah mengeluhkan kenakalan kucingnya itu.

Setelah sekian lama menunggu, Lori dan kucing lainnya mendengar kabar bahwa permintaannya untuk menghukum Kucing Bu Sumi ditolak. Kabar ini membuat perkumpulan kucing RT 2 marah besar, alasan ditolaknya permintaan adalah untuk menjaga perdamaian di antara kucing-kucing. Karena perbuatan Kucing Bu Sumi dinilai masih dalam tahap normal sebagai naluri seekor hewan. Wati yang mencintai Selo lebih dari apapun, mendesak perkumpulan itu untuk melakukan demo besar-besaran di depan Kantor Dewan Kucing.

Mereka merasa keadilan tidak ditegakkan secara nyata dan transparan. Mereka meyakini ditolaknya permintaan mereka karena Kucing Bu Sumi adalah anak dari mantan kucing penting yang dihormati. Kucing yang membuat kucing-kucing di kantor dewan bisa duduk nyaman dan sejahtera. Lori setuju atas permintaan Wati. Mereka akan melawan ketidak-adilan, mengumpulkan masa dan segera melakukan aksi seminggu setelah kabar itu mereka terima.

Kucing Bu Sumi mendengar kabar akan digelarnya aksi dari salah satu anak buahnya. Bu Sumi telah melepaskan kucingnya, dan sedikit memarahi, mengancam akan mengurangi jatah makan jika perbuatan memalukan itu diulangi lagi. Kucing Bu Sumi tak kaget mendengar kabar dari anak buahnya, memang sejak dulu sudah banyak yang tidak menyukainya. Anak buahnya sangat loyal, karena sama-sama berbulu hitam, kesamaan itu membuat mereka satu suara untuk menguasai kampung.

Salah satu anak buahnya adalah anggota Dewan Kucing, kabar itu lalu diteruskan hingga sampai ke meja dewan. Malamnya, rapat terbatas diselenggarakan, hanya ada anggota dewan inti saja. Aksi itu adalah serangan balik dari ditolaknya angket rakyat kucing. Kebanyakan dari mereka mengkhawatirkan pergerakan massa yang bisa mengubah situasi politik, kenyamanan dan keamanan kampung. Karena biasanya aksi diselenggarakan pada dini hari, teriakan dari para kucing bisa mengganggu manusia, imbasnya mereka bisa disiram air atau bahkan kena tendang.

Rapat itu memutuskan satu hal, dewan akan bekerja sama dengan Kucing Bu Sumi untuk mengatasi aksi tersebut. Kucing Bu Sumi bersedia mengambil tawaran tersebut dengan syarat; menyediakan makanan setiap hari di luar jam makan dari majikan, dan jika berhasil, Kucing Bu Sumi meminta untuk diangkat sebagai ketua dewan yang baru.

Kucing Bu Sumi mengumpulkan massa lebih banyak dari yang bisa dikumpulkan Lori dan Wati. Suntikan dana dari dewan membuatnya mudah membayar kucing-kucing liar yang tak punya majikan dan hidup di got-got dan tempat sampah. Lori dan Wati mendengar bahwa akan ada aksi perlawanan yang dikomandoi Kucing Bu Sumi. Massa yang mereka bawa masih terbilang kurang untuk melawan Kucing Bu Sumi. Hari semakin dekat, Lori dan Wati tetap menggelar aksi dengan membawa sukarelawan tambahan dari kampung sebelah.

Pukul dua dini hari, saat purnama tampak sedap dipandang—menguning terang. Balai RW tempat Kantor Dewan Kucing telah dijaga oleh pasukan Kucing Bu Sumi. Lori dan Wati memimpin pasukannya di depan, aksi berjalan damai dengan penyampaian tiga tuntutan rakyat, salah satunya untuk menghukum mati Kucing Bu Sumi.

Tak ada satu pun anggota dewan yang meladeni mereka. Anggota dewan telah menyerahkan semuanya kepada Kucing Bu Sumi. Aksi yang awalnya terkendali berubah memanas saat Kucing Bu Sumi keluar dari dalam kantor dewan dengan muka sombong, mendekat dan berdiri di depan Lori dan Wati. Mereka saling tatap, keheningan sempat hadir beberapa detik, suara angin terdengar lirih, sampai Kucing Bu Sumi menggoda Wati dan meludahi Lori, baku hantam antar dua pasukan tak terhindarkan. Suara-suara teriakan menggelegar hingga ujung kampung. Salah seorang warga yang mendengar lalu menyiramkan satu ember air. Namun perkelahian di antara dua pasukan masih terjadi dan terus melebar, membangunkan banyak warga.

Hingga subuh ketegangan masih terjadi, para majikan membawa kucing-kucing mereka masuk dan mengurungnya. Termasuk Kucing Bu Sumi, Wati, dan Lori. Kucing-kucing liar kembali ke sarangnya. Setelahnya kampung menjadi sunyi, warga kembali tidur, ada yang menuju ke masjid, dan ada yang bersiap untuk berangkat kerja. Bu Sumi marah besar, di kandang yang sama, ia menyiramkan air untuk memberi hukuman pada kucingnya yang kelewat nakal dan tak punya aturan. Ayah Kucing Bu Sumi tak peduli, ia hanya melihat anaknya yang kedinginan dari atas sebuah kursi kayu.

Setelah kegagalannya, Lori dan Wati pasrah, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Tak lama setelah aksi itu, Kucing Bu Sumi diangkat menjadi Ketua Dewan Kucing atas jasanya memberi kedamaian di kampung. Jelas, banyak yang tak terima. Dari kucing veteran hingga kucing-kucing kecil yang masih disusui ibunya. Banyak yang tak suka sepak terjang Kucing Bu Sumi yang licik dan tak punya sopan-santun.

Kepemimpinan Kucing Bu Sumi hampir sama dengan ayahnya, diktator baru—sebutan untuk Kucing Bu Sumi dari Lori dan Wati. Peserta aksi dari pihak Kucing Bu Sumi, mulai mendapatkan jabatan sebagai upah membantu mendamaikan kampung. Ada yang menjadi anggota dewan, ketua cabang, pemimpin pasukan penjaga, dan asisten pribadi Kucing Bu Sumi.

Asisten Kucing Bu Sumi adalah kucing persia betina berwarna putih yang cantik dan seksi. Banyak desas-desus yang mengatakan bahwa Kucing Bu Sumi sengaja memilih kucing itu untuk memuaskan nafsunya. Sumber yang didapat dari teman Lori, bahwa mulai terlihat kencing atau air mani kucing di tembok kantor dewan. Terutama di sekitar ruangan Kucing Bu Sumi. Mendengar itu Lori langsung mengabari Wati, obrolan mereka menciptakan ide yang cemerlang.

Ada satu peraturan yang tak boleh dilanggar, dan sudah ada sejak dulu. Peraturan untuk membuat undang-undang yang dibuat dan disahkan oleh rakyat kucing. Jadi setiap satu kali masa kepemimpinan, rakyat kucing boleh membuat undang-undang yang ditujukan untuk para pejabat sebagai bentuk pengawasan mereka terhadap anggota dewan. Ketua dari pembentukan undang-undang itu ditunjuk langsung oleh Ketua Dewan Kucing. Ide muncul dibenak Lori, untuk membuat Kucing Bu Sumi menunjuk Wati sebagai ketua pembentukan undang-undang. Bukan hal sulit, karena Lori yakin Kucing Bu Sumi masih memiliki rasa kepada Wati. Wati tak keberatan dengan permintaan Lori.

Pada suatu malam, Wati mengeong di atas rumah Bu Sumi, dengan maksud memanggil Kucing Bu Sumi. Dan benar saja, tak lama setelah itu, Kucing Bu Sumi naik ke atap rumah dan menghampiri Wati. Di sana operasi misi Lori dan Wati dilakukan. Wati membiarkan Kucing Bu Sumi menggodanya, menyetubuhinya. Rintihan Wati terdengar hingga telinga Lori. Misi berhasil dilakukan, Lori dan Wati tinggal menunggu saat rangkaian pembuatan undang-undang dimulai satu minggu lagi.

Wati dan Lori tak salah. Mereka tepat sasaran. Kucing Bu Sumi memilih Wati sebagia ketua pembuat undang-undang. Lori dipilih Wati sebagai wakilnya, mereka punya waktu dua minggu untuk mencari anggota kongres, membuat undang-undang dan mensahkannya. Mereka tak butuh waktu lama, anggota kongres diambil dari para relawan aksi. Kurang dari seminggu mereka telah menyepakati dan mensahkan satu undang-undang yang sangat elementer bagi kalangan kucing dengan suara mutlak.

Kucing Bu Sumi penasaran atas kerja keras Wati—cinta pertamanya. Kabar menyebutkan bahwa hanya satu undang-undang yang disahkan. Kucing Bu Sumi tersenyum mendengar itu, karena Wati dan anggota kongres tak bernafsu untuk mengatur para pejabat yang bekerja untuk rakyat kucing. Besoknya asisten Kucing Bu Sumi datang dengan membawa berkas yang sudah ditanda-tangani seluruh anggota kongres dan Wati. Kucing Bu Sumi terdiam, lidahnya kelu, rahangnya mengeras saat membaca sebuah tulisan dengan blok tebal; “Dilarang Kencing di Tembok”.

-----

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, July 14, 2017

Bahas #FilosofiKopi2


Sejak 2016, saya sangat selektif dalam menulis sebuh review film di blog ini. Hanya film-film yang menurut saya bagus dan memorable saja yang akhirnya saya putuskan untuk bisa masuk di blog ini. Sisanya, biasanya saya hanya menulisnya dalam sebuah thread di twitter. Jika penulis review lain memberikan sebuah bintang dari satu sampai lima untuk film yang direview. Berbeda dengan saya, jika kamu melihat sebuah film sampai berhasil masuk dalam blog ini, itu tanda bahwa saya mencintai film itu melebihi penulis review lain yang sekedar memberi bintang. Anggap saja itu bintang lima dari saya.

Filosofi Kopi 2 adalah film yang pada akhirnya harus saya tulis di blog, setelah sekian lama tidak menulis review Film Indonesia. Perkembangan film Indonesia yang sangat pesat sejak 3 tiga atau empat tahun terakhir, tidak diimbangi dengan kwalitasnya, banyak dari film-film box office yang kwalitasnya justru tidak bisa dibilang baik. Buktinya film-film yang masuk festival film dalam ataupun luar lebih banyak film-film yang jumlah penontonnya tak lebih dari seratus ribu.


Filosofi Kopi 2 benar-benar menjadi film yang memberikanmu kesan baik setelah menontonnya, persis film pendahulunya. Sejujurnya, saya menonton dua kali dalam hari yang sama. Filosofi Kopi 2 adalah bukti kecintaan seseorang terhadap sebuah sinema, yang saya maksud adalah Angga Dwimas Sasongko, selaku sutradara. Dia tanpa kesulitan mengembangkan cerita dari kecintaannya terhadap kopi, hal yang dia temui mungkin hampir setiap hari, bersama Jenny Jusuf, Irfan Ramli, dan dua pemenang sayembara meracik cerita Ben & Jody.

Saat opening Filosofi Kopi 2 saya tak sengaja mengeluarkan kata-kata umpatan yang membuat dua orang di samping saya menegur. Umpatan itu adalah bentuk kekaguman saya pada gambar yang dihadirkan dalam sepersekian detik. Ya, gambar opening Filosofi Kopi 2 begitu terasa narkotik, ditambah visi kamera dan warna film yang membuat opening itu masih tergambar dalam pikiran saya, bahkan hingga saya menulis review ini.

Setelah scene Ben menelpon bapaknya, kita diajak mengikuti keseruan “Genk Filosofi Kopi” di gumuk pasir, kamera dibuat slowmo, mengintimkan tokoh-tokoh yang akan menemani kita di awal film, semacam perkenalan kembali. Dan, ah! Musik di awal film itu membuat saya benar-benar jatuh cinta. Penonton diajak merasakan kehangatan persahabatan mereka, yang berkeliling Indonesia menggunakan VW Combi untuk membagikan kopi terbaik.

Sebelum Filosofi Kopi 2 rilis, Angga sempat membagikan visi dia dalam pengambilan shoot-shoot dalam film ini. Angga berujar dengan menjadikan lukisan Edward Horper sebagai refrensinya. Saya sedikit terkejut, karena sedalam itu seorang sutradara memaknai sebuah gambar pada sebuah film. Saya sedikit mengetahui Edward Horper dari bapak saya, karya-karyanya menjadi salah satu yang berpengaruh dalam seni lukis dunia. Dan ini benar-benar terlihat di Filosofi Kopi 2, seperti scene Nana berpamitan untuk resign saat kehamilannya, lalu saat Ben & Jody ditinggal dua barista (saat sebelum Jody membuka jendela combi dan Ben duduk bersandar pada dinding Combi).

Nyawa Filosofi Kopi dua terletak pada chemistry 4 karakter utamanya, Tara, Brie, dan tentunya Ben & Jody. Saya lebih suka menyebut film ini film yang romantis, “Pure Cinematic Romance” karena gambar dan visi kamera memang terasa begitu romantis, mungkin karena Angga banyak mengambil shoot-shoot yang “intim”. Romantis karena motivasi para tokohnya, apa yang terjadi pada mereka, dan tentu juga Musiknya!

List Soundtrack dalam Filosofi Kopi 2 tak ada yang sia-sia, saya sering melihat banyak Film Indonesia menggunakan soundtrack dan musik hanya supaya terdengar keren, hal ini tidak berlaku untuk Filosofi Kopi 2. Musik menjadi bagian dalam tiap scene, pengadegan dan motivasi tiap tokohnya. Hal ini bisa mempersingkat durasi, seperti yang dilakukan film ini saat Ben mengalami “loncatan putar balik” ketika lagu Zona Nyaman dari Fourtwnty “mengudara” di film. Ini efisien, sangat efisien. Dan itu sangat berhasil dilakukan!

Konflik film ini bisa dibilang kalo saya boleh lebay, “Konflik tingkat tinggi,” karena melibatkan harga diri seorang Ben. Untung penulisnya mengakhiri film dengan sangat manis dan baik “Amazing!” saya akan memaki-maki jika ending tidak dibuat seperti itu, karena konflik sudah diberi pondasi yang kuat, sayang jika diakhiri dengan ending yang “formal” dan terkesan kurang “menukik”.

Bagi saya, salah satu film bisa dikatakan baik saat dia mampu menciptakan “trend” Filosofi Kopi menciptakan trend minum kopi dikalangan anak muda, lalu kedai-kedai kopi menjamur. Hal nyata yang saya rasakan, ketika di Kota saya kedai kopi bisa sangat mudah ditemukan, bahkan dalam jarak yang sangat dekat. Nah, di filmnya yang kedua ini, saya memprediksi trend itu akan masuk ke hal-hal yang prinsipil dari seorang Ben. Seperti celetukan-celetukannya: Babi, “Lo bunuh aja gue sekalian”. dsb. Ohiya, saya penasaran, apakah kacamata Brie akan ngetrend setelah ini?

Hanya saja, ada beberapa detail penyutradaraan yang “luput”. Contoh: Saat Aga mengajak bicara Ben & Jody saat ingin resign setelah Nana mengundurkan diri, semacam tertukar nama, entah kesalahan atau apa. Kemudian saat Ben meminum Enervon C saat sampai di Filsofi Kopi Jogja, karena kamera tak melihatkan Ben minum, shoot selanjutnya gelas sudah tersisa setengahnya. Kemudia saat scene reviewer di Filosofi Kopi, pergerakkan Ben & Jody sedikit menyita perhatian saya, saat shoot diambil dari luar. Detail artistik saat mobil berplat AB ada di Lampung pun demikian.

Brie adalah salah satu tokoh wanita dalam sebuah film yang sangat saya cintai. Tara, saya meyakini Luna Maya pantas mendapatkan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik melalui Filosofi Kopi 2. Ah, dan Ben & Jody adalah refleksi pasangan sempurna dalam sebuah film. Benar-benar tak terpikirkan ada aktor yang bisa menggantikan mereka. Dan Visinema Pictures bersama Angga Sasongko, sekali lagi membuktikan diri dengan “memberikan” sebuah film yang menjadi salah satu Film Indonesia terbaik yang kita punya.

Saat kita bicara tentang sekuel sebuah film, kita seharusnya tidak bicara sebuah perbandingan—lebih bagus yang pertama atau sekuelnya. Seharusnya lebih kepada sekuel ini berhasil atau tidak. Dan Filosofi Kopi 2 adalah contoh sekuel film yang berhasil. SANGAT BERHASIL!

Untuk siapa pun reviewer yang membaca ini, mari mulai mengedukasi penonton, kita juga bisa ikut andil dalam memperbaiki kwalitas Film Indonesia dengan tidak sembarangan mereview sebuah film, setidaknya itu yang saya yakini. Itu yang ideal untuk saya. Terima Kasih :))


Dan seperti kata Ben, “Kopi yang enak harus dibagi-bagi”. Film yang bagus juga harus dibagi-bagi. Mari kita kopiin Indonesia!

#BanggaFilmIndonesia #AyoFilmIndonesia #FilosofiKopi2
  


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, July 11, 2017

Me & Talia


“Bagaimana kata-kata telah membuat banyak orang jatuh cinta dengan mudah, tanpa batasan, tanpa prasangka.” Kalimat itu adalah kesimpulanku saat Talia pada akhirnya masuk ke duniaku. Aku tak butuh banyak modus untuk membuatnya mendekat, tak butuh banyak gombalan tragis yang banyak dilakukan kebanyakan pria saat ini. Cukup saat Talia membaca salah satu tulisanku, umpan telah dimakan, aku tinggal menariknya cepat-cepat.

Aku tak pernah paham bagaimana Tuhan menciptakan konstelasi pikiran para wanita, dia subtil, namun kesubtilannya terasa dibuat-buat, sekejap menjadi seorang putri, sekejap menjadi makhluk paling menyebalkan di dunia. Banyak wanita tak bisa memahami perannya, banyak yang keliru memahami apa itu feminisme. Kebanyakan wanita terlalu sering mempersempit pemikirannya, tak sadar bahwa di mata orang lain itu bisa diartikan sebagai golongan terendah makhluk hidup—sengaja merendahkan diri.

Aku mengetahui hubungan antara Ed & Talia, mereka terlihat romantis, namun sejatinya tidak—setidaknya bagiku. Wanita era ini memang perlu membaca tulisan dari Daniel Defoe tentang “Pendidikan Kaum Wanita,” tulisan itu dibuat tahun 1719 dan masih sangat relevan untuk dibaca. Bahwa ada yang memerjuangkan hak wanita, hingga harus memertaruhkan nyawa, namun kenyataan sekarang, sejarah itu hanya menjadi omong kosong, yang sialnya dilakukan oleh kaum itu sendiri.

Aku ingin merasakan satu peran yang belum pernah kucoba sejak dulu. Dan aku mengambil kesempatan saat Talia secara tidak langsung menjalin hubungan dengan Ed. Peran yang tak disukai banyak orang, peran yang membuat banyak orang tak lagi mau merasakan apa itu cinta. Aku tak menganggap Ed adalah orang ketiga dalam hubungan kami. Aku harus bilang, orang ketiga itu adalah aku.

Talia menceritakan semuanya tentang apa pun yang dia lakukan bersama Ed, sejak berkenalan hingga Talia memutuskan meninggalkan ruang tidur Ed. Talia bercerita di ruang tamu rumahnya, dengan tangis yang tak bisa ditahan, tangis untuk membuatku merasa kasihan. Sekalipun tak ada tangis itu, aku tetap tak akan marah, aku mengerti bahwa wanita adalah makhluk rentan yang pintar menyembunyikan kerentanan itu.

Kami duduk berdampingan di sebuah sofa, Talia duduk meringkuk, menyandarkan tubuhnya padaku. Talia memegang beberapa tisu untuk menyeka air matanya. Aku berulang kali mencium ubun-ubunnya, mencoba menenangkannya, persis seorang ibu yang mencium bayi kecilnya. Aku sudah membaca semua cerita Ed & Talia, semua yang ada di sana belum pernah kami lakukan. dan Talia mengatakan bahwa semua kejadian yang ada di dalamnya adalah kejadian sebenarnya.

Percakapan hari itu, di atas sofa cokelat panjang cukup melelahkan bagi Talia, tapi tidak bagiku. Talia mengubah posisinya, dia berbaring, menjadikan pahaku sebagai bantalnya. Kami terdiam cukup lama setelah Talia selesai menceritakan semuanya. Aku sengaja tak mersepon cepat-cepat. Aku suka suasana sunyi ini, situasi di mana aku bisa mendengar debar jantung Talia. Aku suka situasi di saat dua manusia saling menunggu siapa yang hendak bicara, siapa yang hendak menatap dan tersenyum lebih dulu.

Dari tempatnya berbaring, aku tahu Talia terus tersenyum di saat aku menatap pintu kayu yang mengkilap. Talia melingkarkan tangannya pada tubuhku. Dan percakapan itu pun dimulai.

“Jadi, soal Ed… Gimana dia sekarang?” tanyaku.

“Aku gak peduli lagi…”

“Semudah itu?” tanyaku sekali lagi, menatap mata Talia.

“Iya,” Talia mengangguk menatapku—tersenyum.

“Gimana bisa wanita sejahat itu, Talia.”

“Maksudnya?” Talia bangkit, duduk menatapku serius.

“Terus apa yang kamu cari dari Ed, kalo sekarang kamu udah nggak peduli lagi?” tanyaku tanpa menatap Talia… Talia terdiam, aku menunggunya menjawab pertanyaanku.

“Kenapa kamu belum pergi dari aku? Memang apa yang belum kamu dapet dari aku?” kataku menambahi, Talia masih terdiam.

“Kenapa kamu bisa setenang ini?” tanya Talia.

“Aku telah membuktikan berbagai hal tentang bagaimana wanita menyikapi persoalan cinta. Aku sudah banyak mengalami situasi-situasi yang nggak mengenakan. Dan kamu tahu apa kesimpulanku? Nggak ada wanita yang benar-benar paham soal ini. Mereka nggak pernah benar-benar mau memahami.”

“Maaf…” Talia memelas.

“Kebanyakan wanita terlalu hebat menafsirkan cinta, padahal sebetulnya mereka egois, mereka ingin bahagia tanpa perlu berkorban, mereka selalu bernafsu untuk mendapatkan apa yang dia mau… Kamu kira kata-kata: ‘Semua cowok sama aja’ karena apa? Karena mereka nggak bisa dapetin apa yang dia mau. Akhirnya menyalahkan orang lain…”

“Tapi, laki-laki juga gitu,” Talia menambahi.

“Apakah aku gitu?” balasku, Talia terdiam sekali lagi—menundukkan kepala.

Talia memelukku, aku diam tak meresponnya. Dia mencium pipiku—lembut. Aku bisa merasakan napasnya yang memburu. Aku masih terdiam saat Talia mulai menciumi telingaku, memainkannya dengan lidah, hingga menyusuri leherku, bahkan aku masih terdiam saat Talia mulai mencium bibirku. Situasi itu terjadi cukup lama. Aku hanya memandang langit-langit rumah, dan memikirkan satu hal.

“Talia…” kataku, Talia tak mengindahkan.

“Talia!” kataku dengan suara yang sedikit kencang, membuat Talia menghentikan ciumannya pada perutku. Talia bangkit menatapku.

“Aku tahu… Sebetulnya kamu butuh ini sejak dulu. Ed memberimu cuma-cuma…”

“Harusnya kamu juga…” kata Talia menggoda.

“Ed nggak tahu,” kataku menggeleng.

“Nggak tahu soal apa?” tanya Talia.

“Nilai terendah seorang pria, saat mereka nggak bijak memandang wanita,” aku menatap Talia, begitu dalam, membutanya terdiam cukup lama—menatapku.

“Sekarang aku tahu, kenapa kamu memilih menyendiri… Aku tahu kenapa banyak orang nggak suka sama kamu, aku tahu kenapa kamu begitu kerasnya berkomentar soal kami—para wanita. Aku tahu… Kamu memerhatikan semua hal, aku nggak menyadari itu.”


“Tapi, bukan berarti aku menolak,” kataku pada Talia, membuatnya tersenyum setelah beberapa detik menatapku dengan raut muka datar.


-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.