Sunday, February 21, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 9


Apa yang harus dikatakan oleh seorang wanita ketika tiba seorang pria di depan matanya? Lalu memintanya untuk terus menatapnya sampai matahari terbenam dan terbit lagi. Si Pria hanya meminta Si Wanita terus menatapnya—tanpa batas yang berdiri di antara mereka. Di saat yang sama Si Wanita tidak bisa menatap Si Pria karena ada perasaan orang lain yang dia jaga. Seseorang yang memelihara perasaannya dengan sangat baik. Si Pria mencoba menjalin hubungan dengan seseorang yang baru—mencoba melupakan seseorang yang telah lama memelihara perasaannya, tapi begitu cepat membunuh dan mengobrak-abrik perasaannya. Si Pria berkata pada Si Wanita tepat di depan matanya “Memang terasa aneh mencoba menjalin hubungan dengan seseorang yang baru disaat kita masih belum bisa melupakan seseorang yang dulu—yang telah lama menghuni bagian terdalam hati kita.”

Ketika sepasang kekasih yang memiliki banyak kesamaan, mereka sangat percaya diri akan keberhasilan hubungan yang mereka bangun. Tapi, mereka lupa. Bahwa, suatu hubungan ibarat air laut yang punya siklus pasang-surut. Terkadang, hubungan yang terlihat baik di atas kertas, belum tentu berhasil di kehidupan nyata. Sepasang kekasih yang saling menguatkan, mengatakan bahwa suatu hubungan hanya butuh keperayaan di antara mereka. Agaknya mereka lupa, bahwa kepercayaan ibarat Anggrek, Indah tapi mudah rapuh, butuh kondisi yang tepat supaya Anggrek bisa tumbuh subur, tanpa kondisi yang baik Anggrek akan mudah mati.

Ranum berhenti menulis, air matanya menetes ketika Anggrek yang dia tulis mengingatkan dia pada kejadian di Tropea Beach, Italy. Seorang pria yang dia yakini bisa menjadi pelipur lara, mematahkan semua kata yang pernah di ucapkan, menghancurkan kenangan yang pernah dibuat bersamanya, meremukkan hati yang diserahkan padanya dengan sukarela. Ranum bangkit dari meja kerjanya, kedua tangannya membasuh muka. Ranum menuju jendela yang berada di kamarnya, menatap keluar. Kenangan di Tropea Beach benar-benar melambatkan ingatannya. Masa lalu benar-benar membuatnya berjalan lambat, membuat kebingungan yang tak kunjung usai, antara membuat masa depan baru atau memperbaikki masa lalu yang sempat jadi masa depannya.

Ranum meyakini satu hal, bahwa mereka yang mabuk akan cinta masa muda, hidupnya terpenjara dengan nafsu. Hingga dia lupa, seluruh yang dia punya telah hilang dengan cuma-cuma. Manusia tidak pernah bersahabat dengan penyesalan. Penyesalan adalah musuh yang susah ditaklukkan, karena datang tanpa diduga. Musuh yang bisa membuatmu hancur perlahan, menggerogoti seluruh tubuhmu, merusak sistem otakmu. Mematikanmu hingga ke dalam. Penyesalan bisa membuatmu menjadi lebih baik, tapi juga bisa membuatmu menjadi manusia yang lebih buruk dari sebelumnya. Ranum paham betul dengan penyesalan. Dia tidak ingin musuh terbesarnya kembali ke kehidupannya dan menghancurkannya sekali lagi.

Ponsel Ranum berdering, buru-buru Ranum mengambil ponsel yang berada di tempat tidurnya. Satu pesan dari Rain.

“Aku di perjalanan menuju rumahmu.”

Ranum melihat jam di ponselnya, hampir pukul delapan, Ranum menepuk keningnya, Dia benar-benar lupa janji malam ini. Lalu Ranum buru-buru menelpon Rain.

“Iya, Ran. Gimana?”

“Aduh, Rain. Aku bener-bener lupa kalo ada janji sama kamu, malam ini.”

“Yah… Terus gimana dong?”

“Di rumah aku aja gimana? Kita gak perlu pergi keluar.”

“Oh gitu? Yaudah gapapa.”

“Maaf ya Rain, aku bener-bener lupa.”

“Iyaudah gapapa, santai aja.”

“Makasih, Rain.”

“Sama-sama, Ranum.”

“Aku tunggu ya.”

“Oke, bye, Ranum.”

“Bye.” Ranum menutup telponnya. Bergegas merapikan kamarnya. Lalu pergi mandi.

Duapuluh menit berlalu, Rain sudah berdiri di depan pintu memakai setelan jas tanpa dasi, Ranum masih memakai Bathrobe putih usai mandi dengan rambut yang digerai. Menuju pintu depan lalu membukakan pintu untuk Rain.

“Hai, Rain, Maaf lama, habis mandi” Rain sedikti kaget, terpesona dengan Ranum yang mengenakan Bathrobe putih.

“Iya gapapa, ini buat kamu.” Rain memberikan satu buket tulip merah.

“Oh, Makasih” Ranum tersenyum, menghirup aroma tulip.

“Masuk Rain” Rain melayangkan pandang.

“Duduk, Rain. Aku ganti baju dulu ya.” Ranum menutup pintu. Rain hanya tersenyum dan mengangguk.

Sepuluh menit Rain menunggu, Ranum datang mengenakan kaus putih lengan panjang dan celana pendek hitam di atas lutut dengan rambut yang sudah di kuncir.

“Maaf ya, Rain. Jadi nunggu lama deh.”

“Iya gapapa, kok kamu bisa lupa sih? Padahal tadi pagi bilangnya gak akan lupa” Rain terkekeh, tersenyum menatap Ranum.

“Iyanih, aku seharian nulis di kamar, sampai lupa waktu” Ranum tertawa.

“Oh gitu, nulis apa emang?” Tanya Rain.

“Nulis yang bisa ditulis aja, mau lihat?”

“Boleh” Ranum bergegas mengambil laptop di kamarnya.

Ranum kembali dengan membawa laptop yang setengah terbuka, meletakkannya di meja. Ranum menyilahkan Rain membacanya. Sambil Rain membaca, Ranum pergi ke dapur—menyiapkan minuman untuk Rain.

Ranum kembali dengan membawa dua Snifter dan satu botol Red Wine, Monte Alpha. Ranum menuangkannya pada Snifter yang dia bawa. Meletakkannya di samping Rain yang masih fokus membaca.

“Gimana, Rain?” Kata Ranum setelah Rain selesai membaca.

Rain menutup laptop, menatap Ranum dalam-dalam.

“Kamu kenapa Rain?”

Rain masih terdiam menatap Ranum dalam-dalam. Ranum mengalihkan pandang.

“Perasaan siapa yang masih kamu jaga, Ran?”

“Kenapa kamu bilang gitu?” Tanya Ranum

“Tulisanmu.” Rain mengambil Snifter berisi Red Wine, lalu meminumnya.

“Nggak, nggak ada” Ranum mengelak.

“Coba tatap aku” Rain memegang kedua tangan Ranum.

Ranum  menatap Rain, Ibu jari Rain mengelus pergelangan tangan Ranum.

“Apa yang harus dikatakan oleh seorang wanita ketika tiba seorang pria di depan matanya?” Tanya Rain.

Ranum masih terdiam, menatap Rain dalam-dalam. Rain mendekatkan genggamannya membuat Ranum mendekat. Ranum masih menatap Rain hingga tanpa sadar, ujung hidung mereka menempel. Pelan-pelan Ranum menutup kedua matanya, ketika bibir Rain menyentuh bibirnya.



(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, February 14, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 8


Pagiku menjadi candu. Semalam aku memimpikan Rain... Lagi. Setelah kejadian di Dam Square. Tidak kuduga Rain sangat berani. Untuk seorang yang tampak tertutup—introvert Rain sangat berani menyapaku, menjabat tanganku pagi itu. Aku tidak tahu secepat apa jantungnya berdetak saat itu, yang pasti jantungku terasa mau copot, permukaan tangannya yang halus membuatku kehilangan kendali, Sean melihat pipiku yang memerah pagi itu. Aku malu, kalau Sean melihat salah tingkahku pasti Rain juga melihatnya dengan jelas.

Kejadian kemarin membuatku mengerti sisi Rain yang selama ini tidak terlihat, sisi yang tertutup oleh personanya yang kharismatik, Rain punya selera humor yang sama denganku. Lelucon yang dia keluarkan pagi itu membuatku merasa bahagia, sudah lama sekali aku tidak tersenyum dihadapan seorang pria sejak kejadian di Tropea Beach. Kejadian itu membuatku harus menjaga jarak dengan semua pria yang mendekatiku, termasuk Rain. Tapi, pagi itu merubah semuanya. Aku yakin Rain benar-benar mencintaiku. Atau setidaknya dia memang benar-benar ingin memperjuanganku.

Pagi itu, ketika aku dan Sean akan pulang, Rain mengucapkan hal yang membuatku bergetar. Dia mengajakku kencan, sesuatu yang sangat disukai kebanyakan perempuan, ketika seorang pria berani mengucapkannya langsung tepat di depan mata, itu tanda bahwa ada sesuatu yang mengganggu si pria dan ingin dia selesaikan. Butuh keberanian untuk seorang pria berbicara langsung pada seorang wanita yang belum menjadi apa-apa dalam hidupnya, apalagi ajakannya pagi itu membuatku terasa tenang, aku bisa merasakan ketulusannya, senyumnya membuatku merasa nyaman, tatapannya meneduhkanku. Aku tidak menolak ajakannya, aku yakin malam ini akan menjadi malam terindahku, atau setidaknya akan menjadi malam yang tak terlupakan.

Aku masih tertahan di kasurku, di balik selimut putih yang selalu menemaniku setiap malam. Pagi ini, aku akan mengantarkan ibuku ke bandara, Sean akan menemaniku. Ibu akan pulang ke Indonesia bersama saudara yang kebetulan sedang berada di Belanda setelah dua minggu berlibur di Praha. Alzheimer benar-benar membuat ibu lupa siapa aku. Anna Paulowna sudah tidak seindah dulu. Hamparan sawah tulip tidak bisa menutupi kesedihanku atas apa yang terjadi pada ibu. Seakan dunia menjadi hitam-putih ketika seseorang yang kita sayangi tidak lagi mengenal kita. Hidup terasa sepi—sendiri tanpa cahaya yang biasanya menyinari jiwa seorang anak.

“Sean, bangun. Jangan lupa temani aku ke bandara.” Aku mengirimkan pesan untuk Sean, lalu bergegas untuk mandi dan bersiap-siap. Aku mengecek ponselku, memastikan Sean membalas pesanku.

“Aku ajak Rain ya, biar sekalian ada tumpangan ke Bandara” Balas Sean.

“Oke, ibu udah di Bandara, langsung ke sana aja, nggak perlu ke Anna Paulowna.”

“Oke, aku otw ke tempatmu. Bareng Rain.”

“Aku tunggu.”

Sean memang selalu bisa membuatku tersenyum, sahabat terbaik di hidupku. Mengajak Rain bukan hal yang perlu dirisaukan seperti sebelumnya, apalagi setelah kejadian di Dam Square pagi kemarin. Ini akan menjadi pagi yang seru—bersama Rain dan Sean.

Secangkir kopi, pagi yang cerah di Belanda dan perasaan risau karena sebentar lagi aku akan tinggal tanpa keluarga di Amsterdam, menjadi bumbu pagiku. Terhitung sudah dua hari Ran Fleuriste dan Queens Of Sean tutup, aku rindu memakai celemek bergambar tulip merah, aku rindu berdiri di balik meja kasir, aku rindu roti buatan Sean untuk sarapanku yang aku makan di bawah meja kasir. Aku juga akan merindukan ibu setelah ini.

Bunyi klakson mobil menggema hingga ke telingaku, Rain dan Sean sudah sampai di depan. Tidak biasanya Rain mengendarai Audi. Aku tersenyum, melambaikan tangan—membalas Rain. Sean ada di kursi belakang. Pertanda bahwa Sean ingin aku duduk di samping Rain. Aku membuka pintu depan.

“Hai, Rain—Hai Sean” Aku menutup pintu mobil.

“Pagi Ranum” Balas Sean, Rain hanya tersenyum lalu menginjak Gas.

“Kamu pasti rindu ini” Sean memberikanku roti buatannya.

“Wah, Sean... Makasih yaa, udah tiga hari nggak makan roti sialan ini” Rain dan Sean tertawa.

“Tadi mampir dulu ke tokonya Sean, kata Sean kamu paling suka roti itu” Kata Rain.

“Suka, suka banget. Nih... Tangan orang ini nih yang bikin roti ini jadi enak banget”

“Seenak apa sih. Aku belum pernah tahu rasanya” Kata Rain sambil menatapku.

“Kamu mau?”

“Boleh.”

“Nih. Aku suapin.”

“Ciee, kalian ini, bikin cemburu” Celetuk Sean.

“Hmm...”

“Gimana?” Tanyaku.

“Kamu nggak salah kalo bilang rotinya Sean enak.”

“Iyakan bener. Mau lagi?”

“Boleh banget.”

“Ranum modus!” Celetuk Sean.

“Sini, aku suapin.”

“Aaakkk, Hmm...”

“Eh, itu belepotan gula putihnya.”

“Mana?” Rain melihatnya dari cermin mobil yang ada di atas kepalanya.

“Ini looh” Aku membersihkan gula putih yang menempel di bagian kiri bibir Rain.

“Aahh... Kalian ini” Celetuk Sean—Kami tertawa.

Kami sampai bandara, Ibu duduk disamping paman Ello. Pesawat setengah jam lagi akan berangkat. Aku memeluk paman, menayakan kabar dan memberi salam pada ibu—memeluknya dan mencium pipinya. Ibu bingung menanyakan pada paman siapa diriku. Paman tidak menjawab, paman langsung berpamitan untuk mengalihkan perhatian ibu. Aku menjabat tangan dan memeluk ibu sekali lagi. Meminta paman untuk menjaga ibu dan mengirimkan salam untuk keluarga di Indonesia.

“Well... jangan nangis, Ranum” Sean membasuh air mataku dengan jemarinya. “Masih ada aku sama Rain.” Sean menyentuh kedua pipiku—tersenyum menatapku.

“Ayo, pulang” Ajak Rain. Sean berada sedikit dibelakangku.

Rain menyentuh tanganku—menggenggam tanganku, jari-jarinya mengisi sela-sela jariku. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, tubuhku bergetar, aku merasa tenang dan nyaman.

“Ranum, selalu ada kesedihan, duka dan airmata. Ingat, tuhan selalu punya cara untuk menyembuhkan ketiganya. Perpisahan adalah sebuah misteri yang tak terpecahkan, beberapa orang masuk ke kehidupan kita, beberapa yang lainnya pergi begitu saja tanpa alasan. Tapi, pasti ada seseorang yang berniat untuk jadi bagian hidup kita. Tak ada yang bertahan selamanya, Ranum. Kecuali rasa sakit karena kita kehilangan seseorang yang kita cinta.”

“Thanks, Rain” Aku tersenyum menatap Rain—Rain membalasnya.

“Jangan lupa nanti malam yaa...”

“Nggak akan lupa” Aku semakin erat menggenggam tanganya.

“Ciee, kalian...” Celetuk Sean.


(BERSAMBUNG)


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, February 7, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 7


Peringatan apa yang sengaja dilakukan Ranum. Antara mencintainya dan menunggu kerelaannya terhadap apa yang seharusnya dia ketahui. Bahwa aku mencintainya sejak pertama aku menatapnya, memakai celemek putih dan bibir yang masih menyisakan sisa roti buatan Queens Of Sean.
Ponselku berdering.

“Hallo—Sean?” Aku masih berbaring di sofa.

“Bangun, Rain. Aku mau pergi bedua sama si Ranum, naik sepeda, Mau ikut?”

“Oke-oke tunggu, aku siap-siap dulu” Aku bergegas menuju kamar.

“Aku baru mau keluar rumah, ketemuan sama Ranum di Ran Fleuriste.”

“Terus, aku gimana?” Aku membuka lemari, diam sejenak menunggu jawaban Sean.

“Ketemuan di Dam Square ya, nanti aku kesana.”

“Oke” Aku menutup ponsel, melemparkannya ke kasur lalu mencari pakaian—bergegas menuju kamar mandi.

Aku sudah siap, jam di pergelangan tangan kiri. Sepatu Adidas hitam, celana pendek cokelat dengan saku celana di bagian samping, dan kaus hitam lengan panjang. Ada yang aku lupa—aku lupa. Aku tidak punya sepeda.

Aku memutar otak, berpikir keras apa yang harus aku lakukan... Aku ingat banyak orang yang menawarkan sepedanya untuk di sewakan, aku harus ke Centraal Station. Tidak terlalu jauh dari rumahku.

Buru-buru aku menuju garasi, menyalakan Savage Rivale milikku, menginjak pedal gas sekencang-kencangnya. Menuju Centraal Station dengan jarak yang tidak terlalu jauh, sekitar satu kilometer, kurang dari lima menit untuk sampai sana dengan Savage Rivale milikku.

Dari atas Savage Rivale aku mencari sepeda yang cocok denganku di sepanjang jalan menuju Centraal Station lalu memarkirkan Savage Rivale ku, setelah melihat seorang kakek yang menyewakan sepedanya tepat di depan pintu area parkir Centraal Station.

Kakek itu menyewakan sepedanya untuk 10 Euro per jam. Aku memberinya 30 euro. Memberikan kartu identitasku dan kakek itu memberikan kartu namanya padaku. Eugenius Van Bonifacius, nama yang bagus. Bonifacius—Teman yang baik. Eugenius? Bangsawan. Aku berdeham. Tersenyum, mengucapkan terimakasih, lalu bergegas menuju Dam Square.

Jarak dari Centraal Station menuju Dam Square sekitar 1,5 kilometer. Melewati Holland International  Canal Cruises, agen tur kapal yang menyediakan layanan untuk para turis yang ingin menyusuri kanal-kanal di Belanda. Melewati Muse de Sexe. Sebuah museum  berisi edukasi sex yang biasanya buka pukul setengah sepuluh pagi. Tidak jauh dari Muse de Sexe aku juga melewati Vodka Museum Amsterdam yang tentunya memiliki banyak jenis vodka dari penjuru dunia. Aku juga belum pernah kesana, jadi aku tidak tahu persis soal Vodka Museum Amsterdam. Aku juga melewati Beurs Van Berlage, pusat konferensi, menyusuri sepanjang jalan Damrak memang menyenangkan banyak orang lalu lalang, santai dan tentunya tidak macet. Ada juga museum seni di daerah Damrak, Body Worlds Amsterdam, yang baru bukal pukul sembilan pagi.

Bisa dibilang Dam Square adalah pusat keramaian di Amsterdam, selain letak monumen nasional yang ada di Dam Square. Juga banyak tersebar toko-toko brand terkenal dari penjuru dunia, seperti Louis Vuitton Amsterdam Bijenkorf, toko barang-barang berbahan kulit, entah kulit apa—aku tidak peduli. Aku membeli dompetku disana. Ada juga butik dari merk terkenal Gucci - Amsterdam de Bijenkorf. Museum Madame Tussauds juga terletak di sekitar Dam Square, museum lilin dari tokoh-tokoh dunia, aku pernah bermimpi bahwa akan ada patungku disana, sebagai pengusaha kopi terkenal di seantero Belanda. Tapi gelar pengusaha kopi belum cukup untuk jadi penghuni museum ini.

Aku sampai di Dam Square, mataku menyapu seluruh tempat, mencari Sean dan Ranum yang mungkin sudah sampai lebih dulu. Aku mengirim pesan untuk Sean, lalu menuju monumen nasional, memotret Dam Square lewat ponselku. Mengabadikan lalu lalang para pengendara sepeda dan pejalan kaki. Sampai pada satu titik, kamera ponselku menangkap datangnya Sean dan Ranum dari arah Rokin. Aku memotret mereka lalu melambaikan tangan ke arah Sean dengan tatapan ke arah Ranum yang tampak bingung.

Sean menuju ke arahku, lalu menjabat tanganku—tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumnya dan bertanya,

“Itu Ranum kenapa?”

“Ah, dia. Kaget mungkin” Jawab Sean sambil melambaikan tangan ke arah Ranum, memintanya untuk ikut bergabung dengan kami.

“Kaget kenapa?”

“Dia nggak tahu kalau ada kamu” Sean tertawa.

“Oh gitu, licik kamu Sean” Aku menampar bahu kanan Sean.

“Iyaa... Kalau nggak gitu, pasti dia nggak mau ketemu kamu.”

“Bedankt, Sean.”

Sean tersenyum, Ranum menuntun sepedanya ke arah kami. Matanya menatap ke jalanan. Aku terus menatapnya, sampai dia berhenti tepat di samping Sean. Menjabat tangannya lama. Memberinya senyum lagi ketika dia menatapku. Pipinya memerah.

“Hei, Ranum. Apa kabar?”



(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, February 5, 2016

Ran Fleuriste #2 Episode 6


Semalam itu apa, aku seperti kehilangan kendali atas diriku. Membalas pesan Rain bahkan berkali-kali. Apa yang aku lakukan mungkin dianggap lampu hijau olehnya. Untungnya aku cepat menyadari dan tidak membalasnya lagi.

Pagi musim panas di Belanda, musim yang baik, cuaca yang baik, Aku tidak merelakan tubuhku untuk bermalas-malasan di kasur. Pagi ini milikku dan Sean, bersepeda menjelajahi Amsterdam di bawah paparan sinar matahari. Hari musim panas biasa di Amsterdam, lalu lalang sepeda dan pejalan kaki menghiasi sudut-sudut kota, perahu-perahu menghiasi kanal-kanal Amsterdam yang indah, para pemandu wisata berteriak memandu para turis untuk menikmati keindahan kota Amsterdam. Membacakan peraturan yang harus dipegang teguh oleh para turis. Seperti dilarang membuang apapun dari atas perahu ke kanal-kanal yang dilewati.

Pagi ini aku menunggu Sean di depan Ran Fleuriste bersama sepedaku yang terparkir tepat didepanku. Kami sengaja menutup toko. Scarlet Tee, kedai teh milik kakek Winskel tetap buka seperti biasa, lalu lalang orang-orang tua sudah menghiasi toko sejak aku berdiri menunggu Sean. Rain Coffee juga sudah buka beberapa menit lalu.

Lama aku menunggu Sean yang tidak kunjung datang. Aku mendengar lonceng sepeda dari kejauhan, lonceng sepeda yang tidak terdengar asing bagiku. Itu Sean, menaiki sepeda yang sudah lama tidak aku lihat. Melambaikan tangan ke arahku, aku membalasnya sembari tersenyum dan berteriak memanggil namanya.

“Ayo” kata Sean setelah sampai di depanku.

“Kelamaan nunggu aku nih.”

“Yaa, maaflah. Belum ada sejam kan” Canda Sean.

“Iih, jahatnya. Ayo deh jalan.”

Sean mengikutiku sembari membunyikan lonceng sepeda, menggodaku yang berada di depan. Aku melambatkan kayuhanku, membuatku sejajar dengan Sean.

“Mau kemana kita” Tanyaku.

“Udah ikutin aku aja” Kata Sean yang mendahuluiku.

Kini aku berada di belakang Sean, berganti menggodanya dengan lonceng sepedaku yang terus kubunyikan.

Masyarakat Belanda sangat menghormati para pejalan kaki dan pesepeda yang berlalu lalang di jalanan. Belanda telah memulai aksi nyata untuk menyelamatkan bumi dengan kegemarannya bersepeda, sebuah cara yang  sangat mudah dan murah. Sebagai negara yang pernah mengalami krisis bahan bakar minyak di tahun 1972, Belanda terus melakukan inovasi agar sepeda tetap menjadi pilihan transportasi bagi warganya. Penggunaan sepeda membuat Belanda sangat efisien dalam konsumsi bahan bakar. Di Belanda para pesepeda bagaikan raja yang diutamakan kepentingannya, dan selalu didahulukan jika ingin melintas atau menyeberang jalan. Bahkan orang-orang rela menempuh hingga 20 Km, hanya untuk bersepeda.

“Sean tunggu aku” Kataku pada Sean yang semakin jauh meninggalkanku.

“Cepat Sean, susul aku kalau bisa” Teriak Sean.

“Tunggu aku, Sean!”

Belanda memiliki 400 km jalur sepeda dan sekitar 40 persen transportasi komuter dikuasai oleh sepeda. Belanda mengembangkan rute sepeda tematik sejauh 20-50 km. Belanda juga menciptakan sepedanya sendiri. VanMoof 10 Electrified, sepeda yang dilengkapi dengan peralatan canggih. Seperti sensor khusus yang berfungsi untuk memonitor para pesepeda di jalanan, dan pelacak GPS terkomputerisasi untuk untuk menunjang aspek keamanan sepeda. Rangka sepeda jenis VanMoof 10 Electrified diklaim paling ringan karena dibuat dari bahan alumunium khusus. Sehingga tidak membebani saat mengayuh sepeda. Ada juga indikator tenaga dan pengukur baterai yang berfungsi sebagai remote control.

VanMoof 10 Electrified juga bisa menyimpan energi listrik. Energi yang bisa dihasilkan saat mengayuh pedal sepeda, dan dapat diubah menjadi tenaga kinetis ketika kelelahan menggenjot sepeda. Banyak inovasi sepeda di Belanda mulai dari lampu Pixio hasil pabrikan Rydon, Sumber energi lampu ini berasal dari tenaga surya yang ditangkap oleh panel-panel surya yang terpasang di bagian dalam lampu.

Belanda juga memiliki jalan layang lingkar pertama di dunia yang dikhususkan untuk para pesepeda. Hovenring, Jalan memiliki ketinggian 70 meter yang dibuat oleh Ipy Delft. Hovenring berada di daerah Eindhoven, Veldhoven, dan Meeerhoven. Lumayan jauh dari Ran Fleuriste.

Di Amsterdam juga terdapat banyak persewaan sepeda yang biasanya didatangi para turis mancanegara, seperti MacBike Amsterdam di Central Station dan Waterlooplein 99 dan Yellow Bike – Nieuwezijds Kolk 29 dan Oudezijds Armsteeg 22 sekitar 3 menit berjalan kaki dari Central Station. Para turis sering melintasi sepanjang kanal yang mempesona, menyeberangi Dam Square yang terkenal, dan melewati Rijksmuseum yang megah.

“Akhirnya berhenti juga kamu, Sean” Keringat membasahi seluruh wajahku.

“Lihat deh, Ranum. Ada siapa itu” Sean menunjuk seorang pesepeda yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berhenti.

“Siapa sih” Tanyaku.

“Itu, yang itu.”

“Rain?”

“Iya itu Rain, ayo kesana” Sean meninggalkanku menuju Rain yang melambaikan tangan ke arahnya.

“Sean!!”

Aku curiga Sean sengaja mengajak Rain. Aku belum bergerak dari tempatku berhenti tadi, melihat Sean sudah berada di samping Rain dan mengobrol, melambaikan tangan ke arahku. Mengajakku ikut bergabung. Ada perdebatan di dalam otakku, antara menghampiri mereka atau pergi kembali ke Ran Fleuriste. Jelas Sean menjebakku, agar Rain bisa berdekatan denganku. Aku mati gaya, memilih meninggalkan mereka pasti akan terasa aneh, bukan sekedar aneh bagi mereka dua, tapi juga aneh bagiku. Aku menuntun sepedaku, menghampiri Sean dan Rain yang tersenyum ke arahku.

Mataku memandangi jalanan dan rangka sepeda. Sesekali memandang Sean yang melirik cepat ke arah Rain, Sean menggodaku, aku menahan tawa. Kelakuan Sean membuatku luluh, kehilangan amarah.

Ini momen paling canggung yang pernah terjadi dalam hidupku, berhadapan lagi dengan Rain. Jantungku berdebar kencang ketika Sean menyuruh Rain menjabat tanganku.


(BERSAMBUNG)



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, February 3, 2016

[REVIEW] Surat Dari Praha - Renungan Dalam Sebait Nada.


Surat dari Praha, renungan dalam sebait nada. Film dengan durasi 93 menit ini, berhasil menghantui saya di setiap tidur. Nada dari film ini tak henti-hentinya mengalun indah di dalam otak. Saya menemukan keindahan dari film ini, bukan hanya dalam bentuk visual. Tapi, juga keindahan yang benar-benar bisa dirasakan oleh hati. Keindahan yang sederhana, keindahan yang diciptakan oleh dua tokoh utama Kemala Dahayu Larasati – Teratai yang cantik (Julie Estelle) dan Mayadi Jayasri (Tio Pakusadewo). Chemistry keduanya bagai ombak di lautan yang menyatu dan tak terlepaskan. Meskipun bagi saya akting mereka berdua lebih kearah tekstual dibanding nature, tapi tak jadi soal. Dalam bentuk akting tekstual pun mereka berdua tetap bermain apik. Saya benar-benar dimanjakan oleh tontonan yang berkelas.

Film yang memperlihatkan perbedaan 2 zaman antara sifat orde lama yang keras tapi perhatian seperti Jaya saat menyuruh Laras tidur di sofa tapi memberikan selimut, yang keras tapi diam-diam menyuruh teman baiknya memberikan Laras pakaian, yang keras tapi mau menghantarkan Laras pergi ke KBRI. Dan sifat orde baru yang dimiliki Laras, sikap antipati terhadap sesuatu yang terjadi pada diri Jaya, awalnya. Seseorang yang keras terhadap diri sendiri. Yang mewarisi sikap Ibunya, Sulastri (Widyawati)

Keindahan Praha di balut dalam kesederhanaan Sutradara: Angga Dwimas Sasongko yang tidak punya nafsu berlebihan untuk memperlihatkan sudut-sudut kota Praha, berbeda dengan film-film lain yang syuting di luar negeri. Yang bernafsu mengabadikan sudut-sudut kota tanpa menyadari bahwa film berarti menjual cerita dalam bentuk gambar bukan menjual gambar dalam bentuk cerita.

Warna film yang menyatu dengan kota Praha, cokelat-abu. Kamera yang tak melulu statis, bergerak natural seperti berasal dari getaran tangan DOP. Musik yang indah dan cantik dari lagu-lagu Glenn Fredly memang jadi tumpuan keindahan film ini, entah apa jadinya jika Surat dari Praha minus lagu-lagu dari Glenn. Melihat bagaimana penjelmaan karya Horper, Sang Pelukis realis di beberapa scene film bisa membuat penonton seakan melihat ide dan pemikiran-pemikiran dua manusia yang menjadi satu lewat warna khas Horper, yang direaliskan oleh Angga.

Angga Sasongko memang sutradara muda yang berbakat, membuat film dengan kesederhanaan yang benar-benar merasuk ke hati. Sejak Hari untuk Amanda, Cahaya Dari Timur: Beta Maluku dan Filosofi Kopi, jika kita mengamati tiga film tersebut dan membandingkannya dengan Surat dari Praha, ada beberapa kesamaan yang membekas dan menunjukan bahwa itu adalah ciri khas dari Sang Sutradara: Angga Dwimas Sasongko. Seperti: Pergerakan kamera yang statis—mengikuti tangan DOP dan justru ada beberapa scene di film-film Angga, dimana kamera tidak mengikuti pergerakan aktor. Juga stock shoot yang memperlihatkan jendela-jendela. Saya pun sempat bertanya pada diri saya, apakah Angga Sasongko mencintai jendela? Atau paling tidak suka dengan jendela?

Adegan membayangkan di film Filosofi Kopi, ketika Ben melihat orangtuanya memetik biji kopi, juga hampir mirip di film Surat dari Praha ketika Jaya membayangkan Sulastri yang bermain piano di gedung opera, dan duduk berdua ketika Jaya membaca surat dari Sulastri di akhir film. Dalam hal ini ciri khas dari Sutradara adalah bentuk refleksi lain untuk suatu film.
  
Ciri khas Angga Sasongko dalam membuat ending di film-filmnya ibarat perjalanan pulang. Menghantarkan penontonnya, hanya sampai pada gerbang rumah tidak sampai masuk rumah. Penonton dibiarkan menggantung menerka sendiri apa yang terjadi setelahnya. Membiarkan penonton menggiring opininya sendiri. Ini sentuhan indah dari Sang Sutradara yang jadi refleksi untuk suatu film.

Mendirect hewan seperti Anjing dalam film juga bukan perkara yang mudah. Surat dari Praha melakukannya dengan amat baik. Bagong benar-benar jadi bagian diri Jaya yang merasa kesepian dan penyendiri. Saya suka raut wajah Bagong di ending film, kesedihan sangat tampak di wajah Bagong, seperti kelelahan ketika mengikuti Laras pergi lalu melapor pada Sang Majikan, sekilas saya melihat Bagong benar-benar menangis. Bravo, Bagong! Hal ini juga menjadi kelebihan tersendiri untuk Surat dari Praha dibandingkan film-film lain.

Sangat membanggakan jika kita tahu bahwa Surat dari Praha dibuat hanya selama 11 hari, yang notabene untuk sebuah film, ini jangka waktu yang terbilang sebentar. Tapi, berhasil menghasilkan tontonan yang nyaris sempurna untuk tiket bioskop Indonesia yang bisa dibilang murah. Riset yang lama sejak Cahaya Dari Timur dibuat, memang jadi titik tumpu yang amat kuat di Surat dari Praha. Buah pemikiran yang bisa dibilang jenius dengan riset yang cukup lama, berarti para pembuatnya sadar betul apa yang harus dilakukan ketika proses produksi film berlangsung. Efisisensi waktu toh tidak jadi penghalang untuk film ini.

Surat dari Praha, renungan dalam sebait nada. Kita menyadari betul bahwa berdamai dengan masa lalu adalah sebuah keharusan. Film ini menunjukannya dengan amat jelas, ketika Laras memberikan Jaya satu tiket pulang ke Indonesia, Jaya menolaknya mentah-mentah dan mengatakan bahwa Laras Egois. Dan Laras pun menjawab: “Jangankan ngiklasin apa yang terjadi, memaafkan diri sendiri aja anda nggak bisa.”

Angga Sasongko tidak memaksa penonton untuk tahu bahwa Jaya dan Laras saling jatuh cinta di film ini. Semuanya mengalir apa adanya, penonton akan merasakan sendiri bahwa mereka berdua memang saling mencintai pada akhirnya. Bahwa dari tatapan mereka berdua saja lebih berkata dari sekedar kata-kata. Ini menariknya film ini, A Love Story yang membawa penontonnya masuk dalam-dalam diantara kedua tokoh yang sedang berkonflik. Merasakan bahwa mencintai dan nafsu untuk memiliki adalah dua hal yang berebeda.

Editing yang selaras antara rekaman dan musik yang live mengingatkan saya pada film Whiplash karya sutradara muda Damien Chazelle yang memenangkan Best Sound Mixing dan Best Film Editing dalam Ajang The Academy ke- 87. Saya juga percaya Surat dari Praha akan membawa banyak penghargaan meskipun saya yakin tujuan pembuatan film ini bukan untuk mendapatkan banyak pengharagaan. Tapi, setidaknya film ini sangat pantas untuk mendapatkan gelar Film Terbaik meskipun terlalu dini untuk mengatakan hal ini.

Surat dari Praha, renungan dalam sebait nada. Juga tak melulu mulus dalam perjalanannya, diisukan hasil plagiat dari Kumpulan Cerpen karya Yusri Fajar yang berjudul sama. Tapi tenang, ketika anda membaca review ini saya sudah membaca kumpulan cerpen karya Yusri Fajar sejak 2013 lalu dan tentu saja sudah menonton filmnya. Diluar judul dan kesamaan tempat yaitu Praha, kedua hal ini sangat berbeda, bahkan jauh berbeda. Bahkan garis besar ceritapun sangat berbeda.
Buku kumpulan cerpen Surat dari Praha karya Yusri Fajar berisi 12 cerita pendek yang salah satunya dipilih menjadi judul bukunya. Cerpen Surat Dari Praha bercerita tentang Marwo dan Pavla. Marwo adalah pria asal magelang yang memiliki restoran sate di Praha. Marwo datang ke Praha pada awal tahun enam puluhan untuk menjadi mahasiswa jurusan ilmu politik. Di Praha, Marwo berkenalan dengan Pavla. Pavla adalah mahasiswi dari Praha yang menempuh jurusan teater. Tentu jelas berbeda, latar waktunya saja berbeda. Jadi jelas, tidak ada unsur plagiarisme dalam film Surat dari Praha. Jika anda sudah membaca cerpen dan menonton filmnya, anda pasti setuju dengan saya. Dan ingat, hak cipta sebuah buku adalah untuk melindungi kontennya alias isinya bukan judulnya.
Surat dari Praha, renungan dalam sebait nada. Film yang Indah, cantik, menghantui, menginspirasi, menggairahkan, membahagiakan dan PAS!! #BanggaFilmIndonesia

(Skor: 4,5/5)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.