Apa
yang harus dikatakan oleh seorang wanita ketika tiba seorang pria di depan
matanya? Lalu memintanya untuk terus menatapnya sampai matahari terbenam dan
terbit lagi. Si Pria hanya meminta Si Wanita terus menatapnya—tanpa batas yang
berdiri di antara mereka. Di saat yang sama Si Wanita tidak bisa menatap Si
Pria karena ada perasaan orang lain yang dia jaga. Seseorang yang memelihara
perasaannya dengan sangat baik. Si Pria mencoba menjalin hubungan dengan
seseorang yang baru—mencoba melupakan seseorang yang telah lama memelihara
perasaannya, tapi begitu cepat membunuh dan mengobrak-abrik perasaannya. Si
Pria berkata pada Si Wanita tepat di depan matanya “Memang terasa aneh mencoba
menjalin hubungan dengan seseorang yang baru disaat kita masih belum bisa
melupakan seseorang yang dulu—yang telah lama menghuni bagian terdalam hati
kita.”
Ketika
sepasang kekasih yang memiliki banyak kesamaan, mereka sangat percaya diri akan
keberhasilan hubungan yang mereka bangun. Tapi, mereka lupa. Bahwa, suatu
hubungan ibarat air laut yang punya siklus pasang-surut. Terkadang, hubungan
yang terlihat baik di atas kertas, belum tentu berhasil di kehidupan nyata. Sepasang
kekasih yang saling menguatkan, mengatakan bahwa suatu hubungan hanya butuh
keperayaan di antara mereka. Agaknya mereka lupa, bahwa kepercayaan ibarat
Anggrek, Indah tapi mudah rapuh, butuh kondisi yang tepat supaya Anggrek bisa
tumbuh subur, tanpa kondisi yang baik Anggrek akan mudah mati.
Ranum
berhenti menulis, air matanya menetes ketika Anggrek yang dia tulis
mengingatkan dia pada kejadian di Tropea Beach, Italy. Seorang pria yang dia
yakini bisa menjadi pelipur lara, mematahkan semua kata yang pernah di ucapkan,
menghancurkan kenangan yang pernah dibuat bersamanya, meremukkan hati yang
diserahkan padanya dengan sukarela. Ranum bangkit dari meja kerjanya, kedua tangannya
membasuh muka. Ranum menuju jendela yang berada di kamarnya, menatap keluar.
Kenangan di Tropea Beach benar-benar melambatkan ingatannya. Masa lalu
benar-benar membuatnya berjalan lambat, membuat kebingungan yang tak kunjung
usai, antara membuat masa depan baru atau memperbaikki masa lalu yang sempat
jadi masa depannya.
Ranum
meyakini satu hal, bahwa mereka yang mabuk akan cinta masa muda, hidupnya
terpenjara dengan nafsu. Hingga dia lupa, seluruh yang dia punya telah hilang
dengan cuma-cuma. Manusia tidak pernah bersahabat dengan penyesalan. Penyesalan adalah musuh yang susah ditaklukkan, karena datang tanpa
diduga. Musuh yang bisa membuatmu hancur perlahan, menggerogoti seluruh
tubuhmu, merusak sistem otakmu. Mematikanmu hingga ke dalam. Penyesalan bisa
membuatmu menjadi lebih baik, tapi juga bisa membuatmu menjadi manusia yang
lebih buruk dari sebelumnya. Ranum paham betul dengan penyesalan. Dia tidak
ingin musuh terbesarnya kembali ke kehidupannya dan menghancurkannya sekali
lagi.
Ponsel
Ranum berdering, buru-buru Ranum mengambil ponsel yang berada di tempat
tidurnya. Satu pesan dari Rain.
“Aku di perjalanan menuju rumahmu.”
Ranum
melihat jam di ponselnya, hampir pukul delapan, Ranum menepuk keningnya, Dia benar-benar
lupa janji malam ini. Lalu Ranum buru-buru menelpon Rain.
“Iya,
Ran. Gimana?”
“Aduh,
Rain. Aku bener-bener lupa kalo ada janji sama kamu, malam ini.”
“Yah…
Terus gimana dong?”
“Di rumah
aku aja gimana? Kita gak perlu pergi keluar.”
“Oh
gitu? Yaudah gapapa.”
“Maaf
ya Rain, aku bener-bener lupa.”
“Iyaudah
gapapa, santai aja.”
“Makasih,
Rain.”
“Sama-sama,
Ranum.”
“Aku
tunggu ya.”
“Oke,
bye, Ranum.”
“Bye.”
Ranum menutup telponnya. Bergegas merapikan kamarnya. Lalu pergi mandi.
Duapuluh
menit berlalu, Rain sudah berdiri di depan pintu memakai setelan jas tanpa dasi,
Ranum masih memakai Bathrobe putih usai mandi dengan rambut yang digerai.
Menuju pintu depan lalu membukakan pintu untuk Rain.
“Hai,
Rain, Maaf lama, habis mandi” Rain sedikti kaget, terpesona dengan Ranum yang
mengenakan Bathrobe putih.
“Iya
gapapa, ini buat kamu.” Rain memberikan satu buket tulip merah.
“Oh,
Makasih” Ranum tersenyum, menghirup aroma tulip.
“Masuk
Rain” Rain melayangkan pandang.
“Duduk,
Rain. Aku ganti baju dulu ya.” Ranum menutup pintu. Rain hanya tersenyum dan
mengangguk.
Sepuluh
menit Rain menunggu, Ranum datang mengenakan kaus putih lengan panjang dan
celana pendek hitam di atas lutut dengan rambut yang sudah di kuncir.
“Maaf
ya, Rain. Jadi nunggu lama deh.”
“Iya
gapapa, kok kamu bisa lupa sih? Padahal tadi pagi bilangnya gak akan lupa” Rain
terkekeh, tersenyum menatap Ranum.
“Iyanih,
aku seharian nulis di kamar, sampai lupa waktu” Ranum tertawa.
“Oh
gitu, nulis apa emang?” Tanya Rain.
“Nulis
yang bisa ditulis aja, mau lihat?”
“Boleh”
Ranum bergegas mengambil laptop di kamarnya.
Ranum
kembali dengan membawa laptop yang setengah terbuka, meletakkannya di meja.
Ranum menyilahkan Rain membacanya. Sambil Rain membaca, Ranum pergi ke dapur—menyiapkan
minuman untuk Rain.
Ranum
kembali dengan membawa dua Snifter dan satu botol Red Wine, Monte Alpha. Ranum
menuangkannya pada Snifter yang dia bawa. Meletakkannya di samping Rain yang
masih fokus membaca.
“Gimana,
Rain?” Kata Ranum setelah Rain selesai membaca.
Rain
menutup laptop, menatap Ranum dalam-dalam.
“Kamu
kenapa Rain?”
Rain
masih terdiam menatap Ranum dalam-dalam. Ranum mengalihkan pandang.
“Perasaan
siapa yang masih kamu jaga, Ran?”
“Kenapa
kamu bilang gitu?” Tanya Ranum
“Tulisanmu.”
Rain mengambil Snifter berisi Red Wine, lalu meminumnya.
“Nggak,
nggak ada” Ranum mengelak.
“Coba
tatap aku” Rain memegang kedua tangan Ranum.
Ranum menatap Rain, Ibu jari Rain mengelus pergelangan tangan Ranum.
“Apa
yang harus dikatakan oleh seorang wanita ketika tiba seorang pria di depan
matanya?” Tanya Rain.
Ranum
masih terdiam, menatap Rain dalam-dalam. Rain mendekatkan genggamannya membuat
Ranum mendekat. Ranum masih menatap Rain hingga tanpa sadar, ujung hidung
mereka menempel. Pelan-pelan Ranum menutup kedua matanya, ketika bibir Rain
menyentuh bibirnya.
(BERSAMBUNG)