Manusia memang butuh sentuhan. Tak terkecuali Anggara. Hari
itu dalam satu ranjang yang sama, sentuhan dari wanita yang baru dia kenal
meruntuhkan segalanya. Wanita yang telah memiliki kekasih justru memilih untuk
mengikat waktu bersamanya. Sentuhan yang tak lagi bicara soal hasrat atau
nafsu. Sentuhan itu meruntuhkan tembok yang dibangun untuk Amanda. Saat itu
pula, Ananta ingin menjadi manusia paling munafik, membohongi temanya sendiri
soal satu ranjang bersama, soal perasaan baru yang tumbuh hanya lewat sentuhan.
Jerman benar-benar memanjakan Ananta. Bersama Geraldine, dia
masih diatas ranjang hingga malam tiba. Saat dingin mulai menusuk tulang,
membuat Geraldine merasa butuh pelukan. Ananta yang juga merasa kedinginan, memilih
memberi pelukan sekaligus menghangatkan tubuh sendiri. Menaikan semua
ketegangan ditingkat paling atas. Mereka berdua mengangkat selimut, menutup
tubuh hingga ke leher. Sungguh ironi, menikmati tubuh kekasih teman sendiri.
“Kita belum berbuat apa-apa,” Kata Ananta menatap langit kamar.
“Memangnya ini apa??” Geraldine menyusuri perut Ananta
dengan telunjuknya.
Ananta terdiam.
“Memang, kamu mau apa??” Geraldine menggoda.
“Kita masih malu-malu.”
“Apakah ini malu-malu??” Tangan Geraldine masuk ke dalam
celana Ananta.
“Not pretty sure,” Ananta mengerang, menahan kenikmatan.
Geraldine terus mengikat Ananta dalam lingkarannya, mencium bahu Ananta berulang kali. Di balik
selimut, dia melingkarkan tanganya pada perut Ananta. Sesekali menggelitik,
membuat Ananta merasa Geli. Ananta terus mencium lembut kepala Geraldine,
menabrakkan nafasnya pada ubun-ubun. Hal yang disukai banyak wanita. Geraldine
tak banyak bicara, hanya sesekali merintih, merasakan kenikmatan diantara dua
kelamin yang saling bersentuhan. Merasakan sentuhan tangan yang mengelus pusat
ketegangan. Selama itu pula, Geraldine bisa melupakan Niko, kekasih yang telah
lama diikat.
Sebuah dilema, terikat pada satu hal disaat kita ingin yang
lain, ingin merasakan hal lain. Ingin mengikat yang lain. Mereka tidak merasa
bersalah. Menganggap ini semua adalah nasib baik, kecelakaan yang diinginkan
banyak orang. Menjadi makhluk hedonis berarti siap mengorbankan apapun termasuk
fisik apalagi Hati. Ananta juga terpaksa untuk menutup mulutnya, tidak banyak
bicara, menikmati setiap detik yang dilalui bersama. Menikmati setiap celah inti
jantung. Debar jantung yang dirasa cukup untuk mewakili semua yang tercipta di
kamar itu, di ranjang dengan sprai putih terang.
“Aku besok pulang.”
“Pulang?? Ke Indo maksudmu??” Tanya Geraldine, melirik
Ananta.
Ananta mengangguk.
“Ngapain?? Di sini aja, sama aku.”
“Nggak bisa, Ge... Kalo mau ikut aku aja.”
“Kalo gitu aku juga nggak bisa.”
“Ayolah,” Ananta memohon.
“Jangan memaksa, An,” Geraldine bangkit, duduk menatap
Ananta.
Ananta tersenyum. Beberapa detik mereka saling tatap. Hingga
Geraldine duduk diatas Ananta. Jari-jarinya menyusuri perut Ananta yang bidang,
membuat Ananta merasa geli. Rambut Geraldine yang terurai benar-benar menggoda.
Di atas Ananta, Geraldine menari-nari, melepaskan branya, melemparnya ke mata Ananta.
Pinggul Ananta masih merasakan goyangan Geraldine. Ananta menyingkirkan bra
hitam yang menutup matanya. Kedua tangan Ananta mulai bermain, menyusuri
pinggang hingga meremas payudara Geraldine, lembut dan tidak tergesa-gesa.
Sampai tangan Geraldine memegang tangan Ananta, memberi arahan untuk meremas
lebih keras, lebih liar.
Pagi jatuh di Jerman, kebahagian memang bisa berlalu
sangat cepat. Ananta sedang bersiap mengejar penerbangannya kembali ke Jakarta.
Seperti seorang anak yang manja, Geraldine terus menggodanya untuk membatalkan
penerbangan. Untuk menikmati hari sekali lagi. Wanita memang tampak lucu ketika
tidak bisa menutupi dan menahan nafsunya. Ananta hanya tersenyum, memakai
setelan jas dan sepatunya. Memasang jam, bercermin—merapikan rambut.
“I’m ready,” Ucap Ananta di depan cermin.
“Kamu serius??” Geraldine memelas.
“Kenapa??” Lembut Ananta menjawab.
“Nggapapa,” Geraldine menunduk pelan.
“Hey, it’s oke,” Ananta mendekat, duduk di ujung ranjang.
“Be careful, An.”
“Pasti,” Ananta mencium kening Geraldine.
“Wait,” Geraldine menahan Ananta bangkit.
“Apalagi??”
“Apa mungkin kita ketemu lagi??”
“Banyak kemungkinan, Ge. Indonesia terbuka untukmu,
rumahku terbuka untukmu,” Ananta tersenyum, kembali duduk di ujung
ranjang—menatap Geraldine.
“Jerman juga terbuka untukmu, An. Hatiku pun demikian.”
“Aku nggak cukup yakin bakal balik kesini.”
“Kalo gitu, aku juga nggak yakin bakal ke Indo,”
Geraldine membalas, kesal.
“Jangan paksain diri, Ge” Ananta terkekeh.
Geraldine menghela napas.
“Oke??” Ucap Ananta.
Geraldine mengangguk.
“Rasain ini di Indo, Ge” Ananta mengecup bibir Geraldine,
singkat dan lembut. Geraldine tersenyum, matanya terpaku menatap Ananta hingga
sosoknya ditelan pintu Apartemen.
Ananta tidak buru-buru meminta nomor ponsel Geraldine.
Dia ingin menciptakan rindu dan menikmatinya. Ananta sengaja ingin membuat
Geraldine terus terpikir dan akhirnya menyerah pada rasa egois dalam dirinya.
Dan akhirnya, memilih menyusulnya ke Indonesia. Ananta hanya perlu bersabar,
sesuatu yang tidak banyak orang bisa menghadapinya.
Perjalanan Ananta terasa begitu berat dan lama, seperti
ada yang tertinggal. Bahkan rindu pun tidak bisa dikendalikan. Pikirannya terus
terpaut oleh waktu, terikat pada momen bersama Geraldine. Terikat waktu bersama
Geraldine adalah sesuatu yang paling membuatnya merasa ada selama perjalanan
kemarin. Tentu Ananta tidak akan membuatnya menjadi sia-sia, tidak akan
melupakan bahkan menyesalinya. Sembari mencoba mengusir sosok Inneke dan
Amanda. Dua wanita yang menjadi bagian dari perjalanan absurd yang tak
terjadwal, perjalanan nekat, bahkan Ananta belum paham betul apa maksud tuhan
menggerakkan fisiknya.
Masih di apartemen, Geraldine berbaring. Melihat
ponselnya, satu foto Ananta yang tengah memakai setelan jas terus membuatnya
tersenyum sendirian. Bibirnya mengembang, sembari sesekali memikirkan apa yang
baru saja terjadi, di atas ranjang bersama Ananta bahkan lebih liar yang bisa
dia lakukan bersama Niko. Geraldine masih bisa merasakan sentuhan Ananta di
payudaranya. Merasakan lembut bibir Ananta, merasakan gigi Ananta yang mengigit
bibirnya. Semuanya masih tergambar jelas di dalam kepala. Sampai Geraldine
lepas dalam ombak, tidak sadar bahwa tanganya telah cukup lama memainkan
vaginanya. Seorang wanita orgasme sendirian, sungguh kasihan.
Merasakan udara pertama di Jakarta, hanya Ananta
satu-satunya orang yang tak membawa tas, koper atau bahkan kardus. Melangkah
keluar, mengambil koran di sudut ruang tunggu, menuju area parkir, mencari
mobilnya. Cuaca sangat cerah, berbeda saat Ananta berangkat, membelah hujan
dari rumahnya. Hampir pukul sepuluh, setelah menemukan mobilnya, Ananta
langsung tancap gas menuju kantornya yang terletak di Pusat Kota. Jalanan
lengang, membuat Ananta berani berkendara diatas kecepatan normal. Sepanjang
perjalanan, Ananta terus melihat gedung-gedung tinggi yang dilewati. Sesuatu
yang paling dia rindu di Jakarta. Melihat gedung dari dalam mobilnya adalah
rutinitas. Seperti vitamin baginya. Menikmati perspektif ruang yang ada di
dalam kota.
Geraldine melakukan aktivitas seperti biasa. Pergi
bekerja. Belum cukup tidur semalam bisa membuatnya melupakan momen itu. Selama
perjalanan hanya ada sosok Ananta di kepalanya. Geraldine terus mencoba
mengusirnya, tapi terus gagal. Jarak dari apartemen ke tempat kerjanya cukup
jauh. Satu kali naik kereta, berhenti di stasiun kedua lalu berjalan kaki
sejauh setengah kilometer. Sejauh itu pula Geraldine berusaha memanipulasi
pikirannya, mencoba memikirkan hal lain, selain Ananta.
Mobil Ananta berhenti tepat di depan lobby kantor, seperti
biasa, menyerahkan kunci mobil pada salah satu karyawannya. Beberapa orang
menyapanya, Ananta membalas dengan senyum. Ruangannya ada di lantai lima. Sekretarisnya
telah menunggu disana. Membawa beberapa berkas yang perlu dilihat dan
ditandatangani. Lift terbuka di lantai lima, Ananta langsung bisa melihat Maria
berdiri tegap di depan pintu ruangannya. Heels dan rok hitam diatas lutut
membuat kakinya yang putih bersih terlihat. Mata Ananta menyapu hingga rambut
Maria yang terkuncir, blus merah marun membuat pancaran auranya keluar dengan
sempurna. Ananta tersenyum, dia selalu suka dengan tampilan Maria.
“Selamat Pagi, Pak Ananta,” Senyum Maria, bersemangat.
“Hush... Aku ini calon suamimu,” Bisik Ananta, mengecup pipi Maria.
“Iyaa, aku tahu,” Maria menggoda, mengecup bibir Ananta
singkat.
Ananta masuk ke ruanganya, Maria mengikuti di belakang,
menutup pintu lalu menguncinya. Ananta duduk di sofa cokelat, Maria meletakkan
berkas-berkas yang dibawanya. Maria melepaskan kedua heelsnya, berjalan menghampiri
Ananta penuh goda, lalu melepas kancing blusnyaya—membiarkannya
tergeletak di lantai. Bra hitam dan rok hitam menyatu dengan kulit putihnya,
sampai Maria berada tepat di depan Ananta yang duduk rileks dan santai. Maria
membuka resleting roknya, menurunkan roknya pelan-pelan, dengan sedikit
menari—menggoda Ananta. Maria membuka ruang diantara kaki Ananta lebih lebar,
kedua tangannya memegang kedua lutut Ananta. Dengan singkat, Maria telah berada
dipangkuan Ananta. Menggeliat dan terus menggoda.
“Oh come on... Aku bahkan baru sampai,” Ananta mencium
bra hitam Maria.
“Kamu...” Maria memegang kepala Ananta.
Ananta mengehela napas, menghirup aroma wangi Maria,
tanganya berusaha membuka kait bra Maria. Hingga terlepas, membiarkannya jatuh
ke lantai. Ananta masih dalam ritme pelan mencium kedua payudara Maria,
tangannya turun, mengelus bokong Maria. Ananta menggigit puting Maria, membuta
Maria merintih matanya menatap langit-langit. Maria belum membuka pakaian
Ananta. Hal yang memang biasa dilakukannya. Wanita yang tidak buru-buru.
“Stop!” Ananta menghentikan semua gesture tubuhnya. Maria
tertawa, melihat Ananta yang berlalu menuju meja kerjanya. Ananta perlu membuka
emailnya, ada pekerjaan yang perlu dilanjutkan setelah beberapa hari tertunda.
“Pakai bajumu,” Ucap Ananta melihat Maria yang duduk di
sofa, masih berusaha menggodanya.
“Mar, Maria...” Senyum Ananta, dibalas Maria lembut.
Maria memakai branya dihadapan Ananta. Memakai blus dan rok hitam.
Ananta terus menyapu habis lekuk tubuh Maria yang indah. Wanita paling seksi di
kantor. Maria memakai heelsnya, mengambil berkas-berkas lalu menghampiri
Ananta.
“Ini... Tolong di cek, Pak Ananta,” Maria meletakkan
berkas-berkas di meja Ananta, mengecup pipi Ananta lalu berlalu, pergi.
“Terimakasih, Sayang.”
“Sama-sama.”
Banyak email yang masuk. Tapi, hanya dua email yang
menarik perhatiannya. Email dari Inneke dan Amanda. Weekend ini Inneke free
dari penerbangan. Amanda akan liburan selama satu bulan di Indonesia, sendirian
tanpa suami. Keduanya meminta waktu untuk bisa bertemu. Ananta tersenyum,
menggeleng pelan—puas. Merasa semesta masih memihaknya. Ananta merebahkan tubuh
di kursi kerjanya, menatap layar komputer, terus tersenyum. Hingga dia
dikagetkan suara ponselnya, satu panggilan masuk. Dari Niko. Ananta langsung
mengangkatnya.
“Hallo, Nik??”
“Kata Gege, lo udah balik??”
“Iyaa udah nih, baru aja. Kenapa??”
“Enggak... Gue mau ke Jogja, nih. Lo Ikut ya.”
“Mau ngapain??”
“Liburan lah, ada Si Gege juga kok. Dia besok balik ke
Indo, ambil penerbangan pagi.”
Ananta terdiam.
“An??”
Ananta tersenyum sekali lagi.
“Gimana, An??”
“Ayo-ayo aja aku mah.”
“Asik... Okedeh, ntar gue WA detailnya. See you soon,
bro.”
“Siap!”
Ananta menutup panggilan, meletakkan ponselnya, bangkit
berdiri mengepalkan kedua tangan dengan tekanan penuh.
-----