Friday, October 20, 2023

Hidup Memang Gitu, Re. Ga Seperti di Drakor-Drakor.


 “Aku inget semalem aku ngantuk, niatnya mau tidur gasik, ya sekitar jam 10, tapi malah ga nyenyak. Jadi tidur ayam-ayam. Baru bisa beneran tidur jam 12, kebangun jam 2, terus kebangun lagi jam 4. Jam 6 udah harus cabut. Pas kebangun itu aku scroll-scroll, ya tiktok, ya twitter, ya Instagram. Sumpah aku ga biasanya jam segitu masih bangun, biasanya waktu tidurnya jelas dan disiplin banget lah aku ini. Aseek. Paling tidur jam 2 kalo ada chat-chat yang menggairahkan untuk tetap dibalas.”

“Anyway, waktu scroll-scroll itu aku nemu berbagai macam postingan, ada yang jam segitu masih makan di luar sama temen-temennya, maksudku mereka yang jam 2 pagi makan tidurnya jam berapa ya? Ada yang bikin story pake lagu galau, entah beneran galau, atau cuma cari perhatian biar dibales? Ada yang beneran berpikir untuk bunuh diri, ada yang baru kelar telpon atau videocall ibunya—aku jadi ikut senyum. Dalam hati orang ini pasti lagi mengalami hari yang berat atau minggu yang sulit. Lalu aku berdoa untuknya—semoga dia baik-baik aja. Aamiin.”

Catatan terakhirnya yang kubaca ternyata membuatku lega, kupikir ia sedang tidak baik-baik saja. Syukurlah. Aku ikut lega. Orang-orang mungkin sedang banyak menghadapi hal-hal sulit dan situasi yang serba berat, tapi di antara mereka, masih ada yang sadar harus melakukan apa untuk membalikkan situasi jadi normal atau setidaknya mendekati normal—yang ia inginkan. Meski kita tahu hal-hal itu yg seperti roda, pasti akan terjadi lagi. Paling tidak kita selalu punya cara untuk terus waras dan tetap menginjak bumi.

Aku sadar, mereka yang tiba-tiba ga pernah bales chat, mungkin sedang sibuk lepas dari pikiran jahatnya tentang dunia yang kelam, sedang berusaha baik-baik saja, sedang mengambil kesempatan untuk sendiri dulu. Atau mereka yang drytexter mungkin memang lagi beneran sibuk, meski kadang pikiran jahatku bilang mereka menolak untuk berurusan sama kita, ya tapi overthinking tuh pasti ada, kita cukup ingat aja kalo segala yang over itu ga baik. Jadi secukupnya aja, paham mana batasnya.

Atau mereka yang dulu deket sama kita, sering ngobrol, sering ketemu, kulineran bareng, selalu semangat dan bersedia kalo diajakin ketemuan. Tapi sekarang ga gitu lagi, kita punya pilihan untuk berpikir positif, barangkali mereka sedang sibuk sama hidup yang lebih menyenangkan dan menghasilkan, atau pikiran negatif mungkin mereka ga cocok sama kita, atau menganggap kita punya niat lain. Ya gapapa, Hidup memang gitu, ga seperti di drakor-drakor.

Semoga kita menemukan apa yang baik buat kita, apa yang membuat kita nyaman, yang bikin kita merasa aman entah itu dalam bentuk tempat, aktifitas, atau mungkin orang. Senyum aja, gapapa sedih, nangis. Tapi jangan lupain mereka yang dulu sempat melahirkan senyum di bibirmu, tawa haru di matamu, atau yang bikin kamu sempat bersyukur karena mengenalnya. Jangan lepas hal-hal yang datang ke kamu dengan cara-cara baik dan positif. Supaya hidup yang anjing ini seengaknya ga terlalu anjing, karena mereka ada. Karena kita berhasil membentuk dan memelihara support system. Termasuk segala yang ada dalam dirimu.

Terima kasih sudah baca sampai sini. Barangkali kita bisa ngobrol atau bahkan ketemu. Santai aja. Ga harus sekarang, nanti-nanti juga bisa.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, October 18, 2023

Para Pemarah dan Kesunyiannya Masing-Masing.


"Aku selalu ngerti, paham titik dimana kamu anggap aku temen, and it’s totally okay. Tapi bahkan kamu ga tau kabarku, ga paham kondisiku, ga ngerti situasiku. Ga pernah nyediain waktu buat ketemu. Selalu aku. Dan tiap kali ada kesempatan buat ketemu, cuma aku yang dengerin kamu. Kamu ga pasang telingamu buat aku. Aku pelan-pelan jadi tahu hal-hal tentang kamu. Sedangkan kamu? Ga tau apa-apa soal aku. Dan aku ga boleh marah, kalau aku marah, kamu menjauh, kamu ga sanggup mengakomodir apa yang aku rasain. Sesuatu yang di luar kepala bisa aku lakuin buat kamu. Akhirnya setelah kamu ketemu orang baru, aku bener-bener ga kamu kenali. Pantaskah itu disebut teman? How dare you!”

“Buatku rulesnya sederhana, kalo kamu, aku, kita, sampe harus begging, mohon-mohon, melata kayak hewan, berarti jangan. Berlaku dalam banyak hal. Apalagi hanyak sekadar ajakan untuk bertemu. Aku jadi ngerti, kita harus belajar menerjemahkan tanda-tanda yang ga tampak. Kode-kode aneh yang sebenernya bisa diganti dengan penolakan yang sederhana. Bahkan kata “tidak”, “enggak”, dan sejenisnya itu umurnya lebih tua dari kita, sudah ada sejak penciptaan pertama.”

Kutemukan catatan itu di dua halaman terakhir, dan catatan terakhir tak sampai hati untuk kubaca sampai akhir. Seseorang mengekspresikan perasaannya dengan cara yang sehat, cara-cara yang baik. Namun dianggap sepele, reaksi orang bahkan bisa kubilang udah kayak tai. Respon-respon dan reaksi-reaksi yang membuat seorang manusia jadi pemarah paling sunyi. Tak meledak-ledak, namun meledakkan dirinya sendiri. Dalam diamnya, ada perkataan-perkataan ganjil dan mimpi-mimpi aneh yang tak kunjung selesai. Yang hanya bisa ia tulis.

Setelah satu percakapan panjang, kau akan merasakan kekosongan yang gelap, kesunyian yang pekat. Setelah satu percakapan panjang itu, barangkali kau lahir sebagai orang baru, hidup dalam sekat-sekat yang tegang dan mengikat. Pada akhirnya kau lahir untuk kematian panjang. Lalu kau tersadar ada perkara-perkara ganjil tentang nasib-nasib buruk di dalam tubuhmu, dan kau berusaha lari dari kenyataan itu—kenyataan bahwa orang-orang menyebabkan itu semua. Orang-orang yang memulainya dengan suka cita, dan mengakhirinya dengan cara paling aneh, cara-cara gelap. Cara-cara jahat.

Lalu aku memikirkan ulang tentang satu hal; Kupikir sedih, kecewa, dan trauma adalah bagian dari merayakan perasaan. Tapi bukankah perayaan hanya dilakukan sekali dalam setahun? Sampai-sampai kita tak lagi sadar, kita dikendalikan oleh pilihan dan sebab yang ditimbulkan orang lain. Kita terperangkap dalam kesunyian yang orang lain buat untuk kita. Kadang manusia tak menyadari cara hidup mereka yang sembrono, (hanya mementingkan perasaan dan pikirannya) bisa menghancurkan orang lain berkeping-keping. Saat sifat buruk yang ada dalam dirimu terekspose seharusnya kau tak merasa nyaman atas hal itu.

Para pemarah hidup dalam kesunyian yang tak mereka buat sendiri, mereka tak akan pernah punya kesempatan untuk merasakan mati. Sebab diam-diam—tanpa sadar ia telah mati. Mereka mungkin akan hidup seratus, atau seribu tahun lagi, meski dalam keadaan mati.

Untuk sebentar saja, rasakan kesunyianmu. Apakah itu benar-benar kesunyian yang kau bentuk sendiri, atau kesunyian yang lahir dari sebab kebusukkan orang lain?

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, October 17, 2023

Orang-Orang Kesepian Ditabrak Babi.


“Aku ingin bertuhan pada babi, bukan babi yang kotor karena lumpur. Tapi babi-babi pink yang dirawat bersih dan berakhir oleh pisau jagal dan dagingnya kunikmati sebagai nasi campur yang biasa kubeli di vihara, atau ramen daging babi yang enaknya ga karuan. Aku bagian dari orang-orang kesepian, dan babi adalah tuhanku, setidaknya sebelum ia menabrakku, karena kebodohanku yang tetap berlari lurus saat dikejar, saat itu aku tak tahu kalau babi tak bisa berbelok. Apalagi menengok ke atas.”

“Sudah saatnya, ini bukan sekte, tapi pergerakkan. Setidaknya kalo ingin jadi babi, jangan jadi babi yang kotor karena lumpur. Kau bermain-main di lumpur—kotor, bau, dan penyakitan. Ya, aku sedang membicarakan seseorang, atau mungkin lebih dari seorang. Barangkali kau juga sama. Atau mungkin kau bagian dari orang-orang kesepian, yang dikotori oleh babi lumpur—mari sebut saja seperti itu. Kalo kita semua sama-sama babi. Jadilah babi yang terawat. Bersih—pink, menggemaskan.”

Yang satu ini bukan catatan yang kutemukan di mana-mana, hanya isi pikiranku setelah melihat babi-babi di peternakan. Barangkali mantanmu juga babi, babi lumpur. Jangan sebut mereka babi terawat, mereka kotor. Mantan apapun, mau itu mantan pacar, gebetan, mantan selingkuhan—untuk yang satu itu kau juga babi lumpur. Untuk menyebut satu relationship itu toxic, butuh minimal dua orang toxic, dua-duanya pelaku, dua-duanya korban—kalau kau ingin menyebutnya seperti itu. Aneh emang, pelaku sekaligus korban. Ya toxic—paling enak sebut aja bego, tolol, bodohhhhhh. H nya lima. Eh itu enam.

Rasanya pengen nyebut babi. Tapi jangan, orang juga punya pilihan. Dan punya pilihan jelas privilege, tapi kita harus belajar mengakhiri hal-hal yang sudah kita mulai. Harus bisa dan harus berani, ya bukankah hidup memang soal keberanian. Sialnya orang-orang itu justru sepertinya hidup nyaman tanpa beban pikiran setelah mematahkan hati seseorang tanpa pesan apapun. Ya, umumnya kita memang hanya akan mengurusi apa yang harus kita urus. Tapi kau, aku, dan kita semua, terlanjur memulai.

Dan memangnya sesuatu yang dimulai tanpa diakhiri harus disebut apa? Perasaan semua orang itu valid. Validasilah, baik atau buruk. Kita semua hanya butuh belajar menerima semua respon, termasuk respon buruk—yang tak sesuai dengan keinginan dalam hati. Bereaksilah tanpa merugikan, terutama merugikan diri.

Supaya kau tak selalu pakai alasan tumbuh dari keluarga dan orang tua yang buruk, lalu menyebut semua pengalaman dan tindakanmu sebagai “inner child.” Aku paham, tapi kita bisa belajar dan meminimalisir, memangnya selama kau hidup, diberi nyawa dan nafas kau tak belajar apapun selain belajar menjadi bodoh?

Satu kebohongan mengekspose sifat buruk yang lain. Kau harus terus berbohong untuk menutupi fakta. Padahal satu perkataan jujur membuat hidupmu lebih mudah—ringan. Semoga kau berubah jadi babi pink, memang sama-sama akan mati. Tapi kita mati dalam keadaan bersih. Jauh dari kehinaan.


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Monday, October 16, 2023

Biar Tuhan Membunuhmu.


“Tuhan, kapan kamu mau membunuhku, aku ingin mati tapi bukan dengan cara bunuh diri. Kalau boleh aku mau request; bunuh aku di tidur malamku, biar ga kerasa aja sakitnya. Tapi kalau ternyata aku bukan jenis manusia yang layak mati tanpa rasa sakit, bunuh aku dengan cepat. Misal karena ditabrak truk tronton yang menghindari kucing oren yang lagi bertengkar sama kucing item yang berebut kucing betina. Terlalu banyak yang, iya maaf, Tuhan.”

Kutemukan catatan lebih singkat itu di bawah bantal paling empuk yang pernah kutemukan, benar, ia mati ditabrak truk tronton yang menghindari kucing oren yang lagi bertengkar sama kucing item yang berebut kucing betina. Iya terlalu banyak yang, Maaf. Tampaknya alam semesta bekerja sama untuk membuat catatan itu benar terjadi, atau mari kita sebut catatan itu sebagai doa. Lantas apakah tuhan mengabulkan doa-doa buruk? Tak ada yang tahu, tak ada yang mengerti.

Biar coba kuceritakan awal kenapa ia menulis catatan itu. Bayangkan kau sudah siap jatuh cinta, mungkin akan terdengar aneh, ya tapi aku percaya jatuh cinta bisa dikontrol, kapan kau mulai, kapan kau berhenti, bahkan kapan kau punya jeda. Ini diluar persoalan anak muda yang sok punya trust issues sehingga tak lagi mau jatuh cinta. Tapi itu persoalan lain. Oke mari kita ulangi; bayangkan kau sudah siap jatuh cinta. Lantas kau bertemu seseorang yang kau rasa tepat, namun kau tidak ingin terburu-buru langsung menikah. Namun orang itu mengaku tidak sedang ingin memiliki hubungan dengan siapapun punya trust issues katanya. Oke, lantas kau menghargai situasinya. Kau jadi dekat dan saling bertukar cerita tentang apapun, bahkan hal-hal paling privat.

Kau bertemu orang itu dari dating apps, kau lantas menghapus aplikasi sialan itu, karena kau pikir cukup bertemu satu orang dan menjadi sedekat itu. Maaf terlalu banyak itu, sudah terima saja. Tapi kau tahu ia belum menghapusnya, masih bertemu dengan beberapa orang setelah pertemuannya denganmu. Ia pun mengaku begitu. Dia jadi sering menceritakan orang-orang yang ia temui dari aplikasi sialan itu. Itu. Itu pun kau lama-lama merasa jengkel, kita sebut saja cemburu. Ia tahu informasi tentang kau menghapus aplikasimu, dan kau kesal cerita yang awalnya menyenangkan berubah jadi cerita kumpulan orang-orang dari dating apps yang sering ia temui. Dan kau tetap mendengarkannya, meski pada akhirnya kau harus jujur bahwa kau tidak suka dengan situasi itu.

Lantas tiba-tiba dia dekat dengan seseorang, kau bisa menebak, iya dari aplikasi sialan itu. Sialnya ia menceritakannya dengan sukacita, lantas kau berpikir dan akhirnya mengutarakan apa yang kau rasakan, kau menunggunya sampai ia siap untuk punya hubungan dengan orang lain, namun orang itu justru sekarang menjalin asmara dengan orang baru. Orang yang baru saja ia temui di aplikasi yang sama. Kau berpikir bahwa durasi perkenalan, lama atau sebentar, tidak mempengaruhi apapun. Kau makin percaya jatuh cinta adalah perkara momentum. Namun satu titik nista kecil terlintas dipikiranmu, jangan-jangan itu caranya menolakmu, caranya bahwa ia tidak tertarik denganmu.

Saat pertama kali ia bilang sedang punya trust issues dan tidak tertarik menjalani hubungan, mungkin ia sedang menolakmu, dan kau tidak menyadarinya. Ya penolakan yang straight forward alias to the point tidak lebih menyakitkan dari penolakan yang abu-abu, menumpuk dosa karena takut bilang tidak. Sama sekali tak manusiawi. Dan akhirnya kau menyerah, karena kau tak ingin jatuh cinta jadi situasi perlombaan siapa mendapatkan apa atau siapa.

Barangkali tuhan membunuhmu, untuk menyelamatkanmu dari orang-orang seperti itu. Kau tak memutus hubungan pertemanan yang sudah terjalin baik. Namun orang-orang itu menjauh. Hal-hal yang selalu kau rasakan. Tuntas sudah.

Kau sama sekali tidak berpikir untuk bunuh diri karena satu orang sialan yang tak punya prinsip dan tak memegang omongannya. Kau hanya berharap tuhan membunuhmu dengan cara paling senyap. Karena kau tahu mati adalah urusan tuhan, dan biar ia melakukan tugasnya. Biar tuhan yang membunuhmu.

Atau sebut saja, menyelamatkanmu.


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, October 15, 2023

Para Pembohong dan Keajaibannya Masing-Masing.


 

“Pada dasarnya aku muak dibohongi. Kenapa orang-orang ini susah untuk bilang aja apa-adanya, apa yang hendak mereka mainkan sesungguhnya aku ga begitu paham. Pikiran negatifku kadang mengarah ke hal-hal buruk dan sifat-sifat congkak, misalnya orang-orang ini ga mau kehilangan yang lain, kasarnya menjadikan yang lain sebagai cadangan. Buatku meskipun kamu memilih pilihan yang menurut kamu baik, tapi kamu sampai harus membohongi orang lain, kayaknya itu tetap ga bisa disebut baik. Memang apa susahnya menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai? Toh sebelumnya kamu juga ga kenal dia, gak kenal aku, dan hidupmu baik-baik aja.

Apa susahnya bilang enggak, apa susahnya nolak. Apa susahnya bilang jujur. Aku muak dibohongi. Aku muak kalo apa yang aku pikirkan benar terjadi. Aku muak apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Pada dasarnya aku muak dibohongi.”

 

Kutemukan catatan pendek ini sembilan belas jam setelah kematiannya. Kau bisa menebak; ia mati bunuh diri, menyayat lehernya dengan pisau cutter karatan yang ditemukan jatuh di bawah kursi tempatnya mengakhiri hidup. Ia tak meninggalkan pesan apapun—untuk siapapun. Hanya catatan pendek, tentang betapa seringnya ia dibohongi. Ajaib-kah? Seorang mati bunuh diri karena muak dibohongi.

Aku mungkin juga jadi alasannya melakukan hal keji itu. Siapa yang tahu. Siapa yang akan tahu bahwa satu titik nista kecil yang kita tanamkan ke orang lain, akan ia ingat terus, membuat tidur malamnya tak nyenyak. Tentang omonganmu yang labil, kemarin hari bilang A, lalu berubah B, dan kau terus mengelak. Namun ia terus mengingatnya dalam-dalam. Apakah kau pikir satu nista kecil itu tidak signifikan? Lalu bagaimana jika semua orang menaruh satu titik nista itu pada satu orang yang sama. Entah, terserah kau bilang itu tidak sengaja, tapi ia mengingatnya, membuat tidur malamnya tak pernah lebih dari tiga jam.

Aku sekarang memikirkan hal-hal di masa lalu yang membentuk keputusan itu. Bahkan perasaan cinta pun, bisa membuat orang memikirkan kemungkinan itu—mengakhiri hidup dengan cara paling sakit—menyakitkan dan mungkin membuat beberapa dari kita muntah-muntah. Pada dasarnya aku juga muak dibohongi, namun sekarang, mati bunuh diri tidak jadi pilihan sadarku. Kalau mati bagimu adalah pilihan terakhir, kamu jelas butuh aku. Biarkan tuhan yang membunuhmu, biarkan tuhan yang mematikanmu, itu tugasnya. Mati tak seharunya jadi pilihan, sama sekali.

Kau pasti butuh aku. Entah nanti, entah kapan.

Entah,

kita lihat saja.

Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.