Sunday, November 30, 2014

Kurir Terakhir


Pria berkumis tebal itu masih mondar-mandir didepanku sejak setengah jam lalu. Stasiun ini masih belum terlalu ramai, terlihat pedagan-pedagang asongan yang sibuk menyiapkan dagangannya, petugas-petugas kereta yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sudah hampir dua jam aku disini, duduk sendiri di bangku kayu yang suaranya berdecit. “Pria dengan topi cowboy” masih aku ingat  kalimat perintah Hanief, bosku. Aku membawa barang yang dibungkus kardus sepatu berwarna coklat yang tidak aku ketahui apa isinya. Hanief  bilang ini tugas penting, dia bilang bahwa aku kurir terbaiknya. Dia juga memberikanku satu tiket keberangkatan kereta api.
Bunyi roda kereta yang bergesekan dengan rel kereta api itu sedikit mengganggu telingaku. Satu lagi, rangkaian gerbong kereta mulai memasuki stasiun ini, terdengar suara petugas stasiun yang mengingatkan penumpang untuk menjauhi rel.
Kereta itu berhenti di jalur 1, tepat didepanku. Sampai kereta itu benar-benar berhenti, suara kerumunan penumpang  mulai terdengar. Penumpang yang naik dan turun membuat keindahan jadi hilang, di ujung kerumunan aku melihat pria yang membuatku terjaga di stasiun ini sejak dua jam tadi. Pria dengan jas hitam, celana jeans ketat dan topi cowboy coklat, menghampiriku dengan mantap, matanya yang besar dan tatapan yang tajam membuat kesan baik jadi hilang. “Naiklah kereta ini,turun di stasiun berikutnya”. Kalimat itu mengiringi perginya pria itu, hilang di balik punggung penumpang lain. Tanpa berpikir panjang, aku langsung naik dan duduk di tempat yang dituliskan di tiket itu.
            Aku duduk gelisah di samping seorang ibu yang sedang menyusui anaknya, penumpang lain sibuk dengan gadgetnya, ada yang tidur pulas dengan mulut yang terbuka, membaca koran.  Dua petugas restoran kereta api sibuk menawarkan dagangannya dengan troli yang memang biasa dipakai. Aku terus menatap keluar jendela, di balik jendela itu debu dan asap tak ada bedanya, mengaburkan pandangan. Awan hari ini tak jelas berbentuk, seperti garis lintang yang tidak jelas ujungnya.
“Teh hangat mas?, nasi goreng” salah satu petugas restoran menanyaiku. “oh enggak mas, terimakasih”. “mau kemana mas?” petugas itu membalas percakapanku. “Teh hangat satu mas”. Aku sengaja tidak menjawab pertanyaannya, aku sendiri tidak tahu kenapa aku disini dan mau kemana tujuanku.
Baru kali ini aku naik kereta untuk menghantarkan barang, biasanya hanya dengan mobil atau montor. Kata Hanief ini barang penting. Aku memang tidak pernah membuka barang yang aku hantarkan, karena itu melanggar aturan seorang kurir. Jarak dari stasiun tempatku naik kereta ini sampai stasiun selanjutnya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu satu jam.
Telepon genggamku berbunyi, ini dari Hanief. “Hallo bos ”, “masih kau bawa barang itu?” Hanief  menjawab dengan suara yang pelan, seperti serius sekali. “Masih bos santai saja” jawabku juga pelan. “berikan kepada pria berkacamata hitam yang berdiri di depan kamar mandi di stasiun berikutnya, dan ambil barang titipanku yang dibawanya”     Hanief sudah menutup teleponnya, sebelum aku menjawab perintahnya..
Aku sampai di stasiun yang dimaksud. Barangnya jatuh ketika aku hendak bergegas  menuju kamar mandi di stasiun itu, barang ini cukup berat dibungkus kertas alumunium foil. Tanpa pikir panjang aku memasukkannnya lagi di dalam kardus.Aku hampir sampai di  kamar mandi stasiun. Benar saja,  pria berkacamata hitam itu sudah ada di depan kamar mandi. “Ini barangnya” aku memberikannya dengan mantap. Orang itu mengeceknya lalu tersenyum dan mengangguk.“Terimakasih, kembalilah, ini tiket kereta untuk kau pulang” . Dia memberikanku tiket kereta dan amplop coklat besar yang dilipat, aku tahu isinya. Uang jutaan rupiah, aku merasakannya.
Di kereta kepulanganku aku memikirkan barang yang aku bawa tadi, sepertinya aku kenal dengan barang itu. Aku merasakan dengan tanganku, semacam bubuk.
Aku sudah sampai, turun bersama penumpang-penumpang lain yang berebut keluar lebih dulu, Aku mencari pria yang membawa barang  yang di bungkus kardus sepatu. Aku menemukannya, pria kecil dengan rambur keriting yang duduk tidak jauh dari pintu kereta tempatku keluar. Dia melambaikan tangannya ke arahku, aku membalas lambainnya.
“Kamu diutus bos?” tanyaku bingung. “Iya, ini pertama kalinya aku menjadi kurir”, dia menjawab penuh semangat. “Oke, Berhenti di stasiun berikutnya dan jangan coba-coba membuka barang itu” aku terpaksa mengatakannya supaya anak itu tidak membukanya, dia orang awam. Harus diberitahu.
Anak itu bergegas masuk kereta, tatapannya ceria. Mungkin karena ini pertama kalinya dia menjadi kurir dan akan mendapatkan uang dari hasil kerjanya sendiri. Aku pergi meninggalkan stasiun dengan rasa bingung dan curiga, setelah ini aku harus menemui Hanief dan meminta bayaranku.
“Sejak kapan, kau menjadi Bandar narkoba?” aku melemparkan amplop coklat berisi uang kearahnya.
“Apa maksudmu?”
“Barang apa yang aku hantarkan tadi?” aku mendekatinya.
“Kau tidak perlu tau” wajahnya meremehkan.
“Aku perlu tau atau mungkin besok kau sudah ada di balik jeruji besi”
“Tak usah banyak gaya. kau tinggal lakukan apa yang kusuruh, lalu aku memberi bayaranmu. Apa susahnya?” Tangannya mengambil barang di laci mejanya.
“Apa yang kau lakukan?, mana bayaranku?” Hanief menodongkan pistol dengan peredam suara ke arahku, membuatku berhenti mendekatinya.
“Jadi, sudah lama tak ada kabar dari Rio, ini yang kau lakukan kepadanya?” tanyaku tegas.
“Aku punya banyak orang, yang siap menghantarkan barang itu ke dia” tangannya menarik pelatuk pistol itu .
“Lalu? Kau membunuh mereka semua?”
“Tidak, hanya kurir-kurir sok tau sepertimu dan Rio” tangan kirinya melemparkan uang bayaran ke arahku.
Belum sempat aku menangkapnya, dentuman halus dari pistol melesat ke arahku.



            
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, November 29, 2014

Harapan yang hilang


            Aku ingat sering aku melihatnya di sebuah restoran jepang yang selalu ramai tiap makan siang. Dia selalu membawa karung putih yang kumal, tubuhnya tidak lebih besar dari karung yang dia bawa.

            “Kamu kenapa disini?”
            “Ini rumahku kak”
            “Rumahmu?”
            “Iya, sejak dua tahun lalu tempat ini jadi rumahku”
            “Orang bodoh-pun tahu kalu ini restoran jepang, jadi ini bukan rumahmu”
            “Ini rumahku”

            Dia terus saja mengatakan “ini rumahku” dengan suara yang samar-samar, sepanjang hari. Dari matanya aku bisa melihat rasa kecewa yang begitu mendalam, perasaan yang seharusnya tidak dirasakan olehnya.
Sampai saat ini, aku masih melihatnya duduk di depan restoran itu. Dia, pria kecil yang berjuang sendiri mengais sampah-sampah sisa restoran, dia menunggu.

“Aku tidak menunggu sampah, kak”
“Lalu?”
“Aku menunggu sebuah harapan, yang masih ingin aku perjuangkan”
“Kemana ibumu?”
“Tuhan bersamanya”
“Maaf”
“Ibuku meninggal dua tahun lalu”
“Bapakmu?”
“Aku takut dia meninggalkanku dan memilih menikahi orang lain daripada                                   mengurusku”
“Lalu, apa yang kamu lakukan disini?”
“menunggunya datang menemuiku”
“Dimana dia sekarang?”

“Duduk nyaman di sebuah restoran jepang miliknya sendiri yang dirintis bersama         istrinya”.

("Harapan yang hilang" sebuah tulisan yang terinspirasi dari mimpiku kemarin malam)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, November 26, 2014

Matahari ke 3


Kini aku sadar aku harus seperti matahari yang ditunggu para nelayan untuk pulang dari mencari ikan, matahari yang ditunggu orang-orang untuk berangkat kerja, matahari yang mau dengan sukarela menyinari seluruh bagian bumi tanpa meminta sedikitpun imbalan dari orang-orang yang menikmati sinarnya, dan pergi terbenam ketika memang sudah saatnya, pergi ketika para nelayan pergi mencari ikan untuk menghidupi keluarganya, pergi ketika para manusia lelah dari rutinitas setiap harinya dan pergi ketika manusia mulai tak butuh sinarnya. 
Ketika itu matahari tidak pernah mengeluh apalagi membangkang karena ada bulan yang akan mengantikan tugasnya sementara, matahari juga tak perlu tanya kenapa dirinya harus menyinari dan harus memberikan kehidupan untuk banyak orang, manusia tidak akan bisa menjawab pertanyaan itu. 
Aku mempunyai matahari yang setiap hari membuatku mengerti arti hidup, selalu membuatku sadar akan hal salah yang aku lakukan. Mereka, keluargaku. yang siap kapanpun menerangi hidupku tanpa menunggu waktu dan siap kapanpun pergi ketika aku tak menginginkannya lagi, tanpa adanya batasan waktu. Aku selalu membutuhkan mereka untuk menerangi hidupku, bersama ini kutuliskan lembaran air mata yang kubawa bersama harapan dan impian keluargaku untuk membuat hidup yang lebih bermakna menjalin kehidupan bersama tanpa adanya batasan waktu dan batasan hati, aku ingin bangkit bersama dengan keluarga ini merajut mimpi yang akan aku raih lewat dorongan mereka , lewat doa-doa mereka yang akan selalu aku simpan dalam hati. 
Bersama ini juga aku dedikasikan hidupku untuk orang tuaku, kakakku dan adikku yang selalu bisa membuatku meneteskan air mata ketika aku mengingat kalian.
Aku mengerti bahwa cinta yang sebenarnya adalah cinta yang aku rasakan ketika aku bersama mereka. Ibuku air matamu adalah air mataku. Bapak, nyanyian semangatmu adalah alasan kenapa aku ingin sepertimu. kakak-kakakku lantunan doamu adalah hal yang membuat hatiku tenang bak bunga yang tumbuh dengan indah di taman-taman kota. 
Kakakku,Pemikiranmu yang terkadang belum bisa aku cerna memberitahuku kalau aku harus banyak belajar demi majunya masyarakat di negeri ini. 
Kakakku ketenanganmu memberi arti bahwa semua masalah akan kalah dengan sendirinya dengan ketenangan yang datang dari diri sendiri. 
Adik tercintaku, kegigihanmu untuk berjuang dijalanmu sendiri membuatku tau bahwa terkadang aku tak perlu meniru orang lain untuk menggapai mimpiku, cukup dengan apa adanya diriku. 
Cinta, mimpi dan harapan menjadi satu ditubuh kami, menaklukann rintangan yang menghalangi jalan kami menuju mimpi yang kami rajut bersama. Mereka keluargaku Matahari ke tigaku yang akan selalu ada, meski tak ada lagi sunrise/sunset.
 Selalu ada tanpa batasan waktu.



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tuesday, November 25, 2014

DIA



          Hujan mulai turun pagi ini, hal yang sebenarnya aku suka tapi kali ini tidak. Aku berfikir, pasti Ayah memutuskan menunda pergi jalan-jalan ke-Jogja sampai hujan reda, hari ini Ayah ulang tahun.
Ayah mengajak sekeluarga untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-42. Sampai pukul 9 hujan belum juga reda. Aku masih berada di depan kaca selama hujan turun, berimajinasi bersama boneka kesayanganku . Ini kebiasaanku yang sering dibilang “kebiasaan gila” oleh adikku. Membayangkan menjadi seorang Kahlil Gibran yang membacakan puisi untuk Selma Karamy. Sayangnya aku perempuan, aku tidak bisa menghayati menjadi seorang laki-laki, Susah.
Foto itu, foto yang menempel di sudut kamarku juga menemaniku. Aneh biasanya dia mengirimkanku ucapan “selamat pagi” . Tapi, sampai jam segini belum ada SMS darinya, hanya ada SMS dari operator seluler yang memberitahuku bahwa masa aktif kartu-ku tinggal seminggu lagi.


Aku mencoba mengirimkan SMS, tidak terkirim. Aku telepon, tidak aktif. Lagi-lagi kayak gini, gumanku dalam hati. Aku selalu mencoba cuek dan berusaha tidak melihat foto itu, aku tidak bisa. Mata ini selalu melirik ke-arah foto itu. Rasanya ingin melemparinya. Kursi, meja, kaca, Apapun.
Aku belum bisa lepas dari bayang-bayangnya, aku  masih teringat hari itu. Hari dimana kursi taman yang kusam menjadi saksi, sebuah percakapan halus tapi menyakitkan. Tanganya ada dipundakku, aku menyandarkan kepalaku dipundaknya. Kami saling diam, takut untuk memulai pembicaraan, ini situasi dimana darahku mengalir begitu hangat, detak jantung berdetak kencang . Situasi yang selalu ingin aku bangun bersamanya, "Aku ingin pergi, aku tidak bisa menjadi diriku sendiri ketika bersamamu". Kalimat yang masih aku ingat hingga sekarang.. 
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.