Friday, November 24, 2017

SATU JAM SEBELUM JATUH CINTA


"Mungkinkah satu jam lagi kita jatuh cinta?"
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Saturday, November 18, 2017

Recitativo #4


Karya-karya Dewi “Dee” Lestari adalah salah satu yang memicu saya untuk mulai menulis, waktu itu di tahun 2013 seseorang meminjamkan saya sebuah buku, karena ia melihat saya sering membaca. Orang itu memberikan saya Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Bisa dibilang itu adalah buku “fantasy” pertama yang saya baca. Kebetulan saya sedang magang selama enam bulan di Jogja, dan pria yang meminjami saya buku berasal dari Bogor, ia sedang menyelesaikan pendidikannya di Universitas Sanata Dharma.

Saya membaca habis buku itu dalam dua hari, lalu mengembalikkannya dan baru tahu bahwa Supernova adalah sebuah Tetralogi, saat itu Gelombang dan Intelegensi Embun Pagi belum rilis. Saat itu juga saya langsung meminjam sekuelnya; Akar. Total saya menghabiskan keempat bukunya selama sepuluh hari. Dan yaa, Supernova dan Dee adalah salah satu yang memengaruhi kehidupan saya.

Tapi bukan itu yang ingin saya bahas lebih lanjut, ini soal rasa penasaran saya tentang The Rizen Planet Theory yang sangat kental ada di Supernova, sebuah teori yang mengemukakan bahwa kehidupan di bumi adalah penjara bagi umat manusia. Saya sendiri tidak tahu apakah Dee juga terinspirasi dari teori ini. My point is; Bagaimana jika benar bahwa kehidupan di bumi adalah penjara bagi kita? Kalo iya, kapan kita akan ke luar? Dan apa yang kita lakukan sehingga kita bisa “masuk” penjara?

Saya percaya reinkarnasi, tapi bukan berarti saya tidak percaya dengan Moksa. Menulis Dhanurveda, membuat saya sedikit banyak membaca hal-hal yang berhubungan dengan Kehinduan. Hal-hal semacam ini telah digulirkan bahkan sejak generasi pertama umat manusia. Namun memang, penjelmaan kembali adalah semacam “hadiah” bagi orang-orang terpilih.

Saya percaya reinkarnasi, tapi bukan teori yang berkembang selama ini. Saya lebih percaya bahwa kehidupan manusia itu seperti pohon berbuah, saat buah muncul di pohon itu, kita tinggal memetiknya. Artinya; apa yang kita lakukan di dunia adalah bentuk “menanam” entah itu kebaikan atau lainnya. Kita bisa memetik itu di kehidupan setelah ini, kita menjelma menjadi “sesuatu” yang lain atas dasar apa saja yang kita lakukan di dunia.

Kita ke luar dari penjara tadi dengan amalan yang kita lakukan di dunia. Penjelmaan itu berasal dari “penyerahan diri” terhadap semesta dan isinya. Atau barangkali kita semua telah mengalami reinkarnasi, kita adalah jelmaan yang lain dari kehidupan sebelumnya. Kita menjalani reinkarnasi tahap pertama di dunia saat ini. Artinya kita telah melakukan sebuah kesalahan di kehidupan sebelumnya jika kita mengacu pada The Rizen Planet Theory lalu kesalahan apa yang telah kita lakukan sebelum ini?



-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, November 16, 2017

Post-Strukturalisme dalam film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak


Joseph M. Boggs dalam bukunya The Art Of Watching Films, mengemukakan bahwa “Film sinematik adalah yang mampu menciptakan ilusi kedalaman, ia mengubah layar datar menjadi sebuah jendela untuk penonton mampu melihat suatu dunia tiga dimensi.” Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak mampu menciptakan “kesan” seolah layar putih bukanlah permukaan datar, ia bertransformasi menjadi sebuah “jendela” yang mampu menciptakan “ilusi kedalaman,” dan membentuk suatu dunia tiga dimensi.

Terutama untuk Tata Suara film ini yang menjadi sebab kita seperti menonton sebuah pertunjukkan tiga dimensi, film ini seolah menarik saya masuk ke dalam layar—ke dalam film itu sendiri, melihat Marlina langsung yang terkesan kesepian, terlihat dari raut mukanya. Seperti melihat sebuah pertunjukkan teater yang sangat memukau, scene-scene tempat makan di dalam rumah Marlina seperti sebuah panggung teater satu babak yang memaksa kita untuk tetap fokus pada gambar itu.

Belum lagi film ini menciptakan “ilusi kedalaman” bahwa sepanjang film Marlina mengajak bicara penontonnya, salahsatu scene saat empat pria mati terkapar setelah memakan sup ayam adalah contoh nyata, setelah itu Marlina menatap tajam mata lensa, dengan permainan mimik muka yang sangat baik, ini seperti penegasan bahwa hal itu dibuat semata-mata bukan hanya untuk kepentingan gambar saja.

Film ini sudah memukau sejak awal, sejak gambar dibuka dengan font “Babak I” dengan musik etnik yang terdengar seperti kentongan yang dipukul terstruktur, rapi dengan tempo yang diatur sepersekian detik, ia mengiringi musik lain dan menjadi "pengatur tempo" yang keduanya menyatu dengan amat baik. Bukan lagi sekadar memanjakan mata namun jelas telinga juga ikut termanjakan. Film ini memukau hingga detail terkecil artistiknya; dapur, warung, kantor polisi. Semuanya mampu seimbang mengambil bagian untuk memanjakan mata pentonton, tanpa perlu memaksakan semua yang ada untuk masuk dalam satu gambar. Ia menyatu sempurna.

Kalau kita ingin membedahnya satu per satu, kita akan menemukan sebuah tatanan yang sangat kentara dari satu gambar ke gambar yang lain, detail-detail itu terstruktur secara konstruksif guna mendukung pengambilan gambar yang sepanjang film “diam”. Kita pasti bisa merasakan jika kekosongan artistik muncul di suatu film, untuk film Marlina kita tidak akan menemuka hal itu sama sekali. Marlina mengambil gambar dengan pendekatan banyak sudut pandang, maksudnya; pendekatan ini dibuat oleh lebih dari satu orang, ia bersifat terbuka untuk menemukan sebuah struktur yang paling tepat untuk dimasukkan dalam suatu gambar yang utuh.

Kecantikan Sumba menjadi berlipat ganda saat film ini dengan sadar mengambil gambar yang anti-mainstream, ia sadar kecantikan Sumba tidak bisa dibiarkan hanya dengan pengambilan gambar yang biasa dan murahan. Kita bahkan bisa bilang bahwa film ini indah hanya dengan melihat transisi gambarnya saja. Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak sebetulnya film yang sangat sederhana, dan karena kesederhanaan itu film ini menjadi sangat tidak sederhana. Sebuah konsep Post-Strukturalisme ditawarkan hampir sepanjang film itu berlangsung.

Bahkan bisa kita rasakan saat membaca atau mendengar judulnya. Lalu melihat desain produksinya yang sangat menarik. 4 Babak yang menciptakan struktur kedalaman, pergantian hari yang dikaitkan dengan simbolisme, sebuah kematian di awal dan akhir film, lalu dipungkaskan dengan sebuah “kelahiran baru,” makna simbol yang tertata sangat rapi tanpa menghapus atau melupakan cerita yang sudah dibangun sejak awal. Kantor polisi dan adegan Marlina mandi di pinggir laut dengan ditemani “Topan,” menjadi titik Balik euforia penyerhan diri, bahwa bergantung pada polisi adalah hal yang sia-sia.

Yang juga sangat saya suka adalah keberanian menyatukan musik etnik dengan musik ala France, atau sebuah lagu yang keluar langsung dari bibir tokohnya. Kita mampu menikmati suara-suara itu bahkan tanpa perlu tahu artinya, di sinilah makna “estetika” muncul. Belum lagi film ini menciptakan kedalaman berpikir bagi setiap penontonnya, ia memaksa kita untuk terus membicarakannya sejak keluar dari ruang teater. Dan untuk itu kita perlu mendukung Marlina untuk memenggal kepala setiap superhero di teater sebelah.

Dan sup ayam dimaknai sebagai sesuatu yang lain, di film ini ia tidak hanya menjadi sebuah suguhan makanan. Sup ayam menjadi simbol perlawanan, menjadi titik di mana dendam harus dibalaskan. Dan juga soal bahasa, padahal film Marlina tidak menggunakan bahasa Indonesia murni, alias bahasa daerah. Tapi saya tetap mampu memahami setiap dialognya. Ini bukti, bahwa bahasa kita memang kaya. Dan Marlina menyadarkan kita atas kebanggaan itu.

Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak adalah sebuah pencapaian sinematik yang bukan hanya bicara gambar semata, namun juga detail setiap aspek yang membentuk film itu sendiri. Sebuah “Post-Strukturalisme” dalam Film Indonesia.

#BanggaFilmIndonesia



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, November 10, 2017

Puisi Tentang Chairil


Ini tentang Chairil; katanya Senja di Pelabuhan Kecil 
lebih indah dari narasi yang disampaikan orang-orang waras

Aku ini binatang jalang; yang terus dicari kelemahan 
oleh musuh-musuh dalam buritan kapal

Tapi kata Chairil; Hidup hanya menunda kekalahan. 
Pikiranku kacau karena kata-kata itu

Sekacau orang-orang yang sibuk cari perhatian, 
merasa paling benar padahal mulut sudah banyak darah

Kau perlu membaca untuk belajar memahami manusia, 
bukan hanya mendengar kalimat fana dari kita-kita

Kau perlu menulis untuk memahami diri & pikiranmu sendiri
Tapi kalau kau melulu menulis soal cinta, 
kapan belajar tentang dunia

Aku telah berubah dalam kamar mandi rumah ibuku, 
di sana semua sama; tak ada yang lebih jernih dari air kencingmu

Kau terus saja mencekik diri, 
selalu datang menyalahkan orang lain, 
kau tak sadar; sedang menasehati diri sendiri

Aku hanya binatang jalang, 
kau beri asupan bijak lalu kuolah jadi tai.


Semarang, 3 November 2017
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tentang. . .


Sekarang tentang apa ini. . .
Saat seseorang tertinggal di belakang dan tidak ditunggu, 
ada di mana kamu?

Adakah yang menyadari, 
orang itu menunggu tanpa banyak mengadu

Gelap malam adalah bentuk lain dari kesedihan 
yang telah lama diukir di antara mata dan kata

Aku sendiri melihatnya sebagai sebuah manifes alam. 
Di mana kesepian adalah hal yang tak mungkin terindahkan

Lalu bagaimana dengan kamu? kenapa terus berjalan, 
meski di belakangmu ada yang menunggu dalam sisa-sisa ragu.

Tentang apa ini?
Kenapa ia memilih diam,
 berdiri di samping tangis yang merah padam

Adakah kamu di sana? 
Atau barangkali orang itu adalah kamu. . .


Semarang, 11 November 2017
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.