Sunday, June 28, 2015

16


Oke, mari kita mulai lagi. Sebelumnya aku akan bertanya beberapa hal. Bagaimana dengan kisah V? Lalu Kisah I? Apa yang kamu dapat dari sana? Apakah kamu menganggap V & I adalah inisial nama seseorang? Kalo memang iya, siapa nama yang ada di dalam otakmu? Apakah kamu yakin dengan intuisimu? Sebelum kamu benar-benar yakin, aku akan mengubah kesimpulanmu di Clue ketiga ini. Tapi, aku memohon jangan menganggapku gila atau hebat dalam menulis V & I. Aku belum segila dan sehebat Eko Tunas… Hmm, kamu tidak tahu siapa Eko Tunas? Kamu yakin? Ah, kamu kampungan! Oke, aku akan memberi waktu tiga menit untukmu mencari tahu siapa Eko Tunas. Caranya? Search di Google.com lalu ketik namanya, pilih salah satu artikel, lalu simpulkan. Oke? Kamu paham? Kita mulai dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Kota Tours, Orleans, Blois, Angiers, Reims dan Nantes, mengalami perubahan mendadak, masyarakat dari bahasa yang berbeda akan memasang tenda-tenda mereka Sungai mengalir deras di Rennes, bumi akan terkena gempa di darat dan lautnya. Ketika Mars, Merkurius dan Bulan berhubungan erat mengarah ke selatan maka akan terjadi kekeringan besar, sebuah gempa bumi akan terdengar di kedalaman Asia baik Corinth maupun Ephesus berada dalam kondisi gawat…
 
Stop!! Kembali—kembali, jangan tutup layar gadgetmu hanya karena kamu tidak tahu apa yang aku maksud. Aku akan bersedia membantumu dalam hal ini. Jangan bodoh, cerdaskan dirimu. Dua hal itu adalah teori Kuantrain dari seorang berkebangsaan Prancis yaitu Nostradamus. Jangan bilang kamu tidak tahu (lagi) siapa itu Nostradamus? Oke, oke… Diawal kamu tidak tahu siapa Eko Tunas? Sekarang kamu juga tidak tahu siapa Nostradamus? Sebenarnya apa isi otakmu itu? Jangan isi otakmu dengan hal-hal yang merugikanmu… Begini saja, sebelum aku meneruskan kisah ini, aku akan memberimu waktu tiga menit lagi untuk mencaritahu siapa itu Nostradamus. Oke? Setuju? Dalam hitungan ketiga. Siap? Satu, dua, tiga…

Perempuan cantik itu masuk ke dalam mobil berwarna hitam… Aku sengaja tidak memberitahumu apa merk mobil itu. Biar kamu yang menentukan. Tapi awas, jangan kamu anggap mobil itu adalah taksi atau truk. Perempuan cantik yang akan aku ceritakan ini, tidak semurah itu. Perempuan cantik itu memberikan senyuman pada seorang lelaki yang duduk di depan kemudi… Aku harap, kamu tidak bertanya “Siapa lelaki itu?” Aku sengaja. Biar kamu yang tentukan siapa pria itu. Tapi awas, jangan kamu anggap lelaki itu adalah sopir taksi ataupun truk. Perempuan cantik yang akan aku ceritakan ini, tidak semurah itu… Ohiya aku hampir lupa, sudahkan kamu mencaritahu siapa Eko Tunas dan Nostradamus? Belum? Aduh kenapa kamu tidak pernah menuruti apa mauku. Cari tahu!! Karena hal itu akan sangat berpengaruh dengan kisah yang akan kamu baca. Isi otakmu dengan hal-hal yang menguntungkanmu. Oke? Ingat jangan bandel. Aku hanya mencoba membantumu agar tidak bingung menghadapi kisah ini. Kali ini satu menit saja. Siap? Satu, dua, tiga…

Sudah hampir satu jam perempuan cantik itu pergi. Sudah hampir 10 kilometer lelaki itu membawa perempuan cantik itu pergi dari hingar-bingar kota. Mereka saling melemparkan senyum, kedipan mata perempuan cantik itu membuat lelaki yang ada di sampingnya jadi tidak fokus mengendarai mobil…

Ingatkah kamu satu titik kosong di dinding yang dipenuhi unsur kimia dalam kisah I? Ingat? Tidak? Aduh, kemana saja kamu? Jangan-jangan kamu belum membaca kisah I dan V. Kamu parah, bodoh!! Sudah aku bilang turuti apa kataku. Baca dulu kisah V dan I. Jangan sok gaya, simpulanmu akan seperti simpulan anak TK, jika kamu hanya membaca kisah ini. Baca lengkap!! Kamu sungguh merepotkanku, aku harus menghentikan sejenak kisahku untuk memberikanmu waktu enam menit untuk membaca kisah V dan I. Masing-masing tiga menit. Oke? Awas kalau kamu tidak membacanya, aku akan sangat marah. Ingat, turuti apa kataku. Mari kita mulai dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Di kedalaman batu-batu karang tersimpan kenangan yang menjadi pahit untuk diingat.    Rasanya perempuan cantik itu akan mengeluarkan sesuatu dari celah-celahnya. Orang secara sadar tidak akan berani menyentuhnya, pun dengan lelaki itu yang tidak menyadari bahwa tidak akan pernah ada kehidupan jika tidak ada hal itu. Mata lelaki itu melotot. Dinding-dinding akan berubah dari batu-batu karang menjadi sesuatu yang keluar dari celah perempuan cantik itu. Selama enambelas tahun penuh damai… Tahukah kamu apa yang keluar dari celah perempuan cantik itu? Belum / tidak tahu? Aku harap kamu belum tahu, karena jika kamu tidak tahu—itu berarti kamu malas mencari tahu. Mari pejamkan matamu satu menit saja, lalu pikirkan apa yang keluar dari celah perempuan cantik itu. Paham? Dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Perempuan cantik itu mengatakan sesuatu pada lelaki itu. Selamat hari Senin! Hard times make us think the unthinkable, karena kepercayaan susah dijelaskan secara verbal apalagi non verbal. Barangkali memang kesetiaan orang yang tidak setia, membuatmu kebal menelan caci maki bibir-bibir yang belum mengenal apa itu cinta. Setiap kali aku merindukanmu, aku pergi tidur agar kamu muncul. Aku tahu itu mimpi belaka, dari situ aku tak mau lagi terjaga. Seems like it was yesterday when I saw your face because I'm in a battle with my heartbeat, The more i struggle, the more I get deep. Mungkin yang terbaik bukan yang datang baik-baik seperti orang baik, tetapi yang sebaik-baiknya diperbaiki, demi kebaikan. Nice Feeling Keeper… 

Oke, cukup sampai di situ. Lelaki itu hanya diam mendengarkan baik-baik perkataan perempuan cantik itu. Karena lelaki itu menuruti perkataanku untuk tetap fokus mengendarai mobil tidak sepertimu yang tidak pernah menururti apa kataku sejak kisah ini dibuka. Sekarang aku tahu kamu bingung apa maksud dari kisah ini. Sudah aku bilang sejak kisah V di rilis. Kamu cukup menuruti apa kataku dan semuanya akan terkendali dan selesai dengan baik. Begini saja, karena aku baik hati. Aku akan memberimu waktu dua menit untuk berpikir keras apa yang aku maksud dalam kisah ini. Oke? Dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Kisah ini adalah bagian dari yang hilang, alasan kenapa ada titik kosong di dinding yang penuh dengan unsur kimia dalam kisah I, juga alasan kenapa kisah V dianggap banyak orang yang paling nyata.

Perempuan itu sibuk membaca buku—diam mendengarkan ocehan lelaki itu. Ingat? Ingatkah kamu dengan kisah V dan I. Ini adalah jaring yang sebenarnya kita satukan bersama-sama sejak awal. Apakah kamu berpikir kenapa harus dengan crayon, perempuan dalam kisah V menggambar di dinding kamarnya? Sedangkan perempuan dalam kisah I menggunakan spidol hitam untuk menulis di dinding belakang rumahnya. Tapi perempuan cantik dalam kisah ini tidak menggunakan apa-apa untuk menulis ataupun menggambar...

Dalam kisah ini dinding-dinding sudah berubah menjadi sesuatu yang keluar dari celah-celahnya. Kamu tahu sesuatu itu? Kamu bingung? Harusnya tidak! Karena jika kamu sudah membacanya semua kamu tidak akan bingung. Kalau kamu masih bingung baca ulang semuanya. Sesuatu yang dimaksud sangat dekat denganmu. Aku menghadirkannya di setiap celah dalam kisah V, I dan kisah ini. Oke, ini clue terakhir untukmu mulai menyimpulkan, aku akan memberikanmu waktu selama mungkin sebelum kamu menghubungiku untuk memberitahu simpulanmu atau sekedar memberitahuku bahwa otakmu rusak karena membaca kisah-kisahku. Aku minta maaf, oke mari kita mulai dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…


I Can’t See You…
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Friday, June 26, 2015

I


Hmm, oke akan aku lanjutkan kisah V dari drama sebelumnya. Aku akan memandumu dalam menegakkan kisah dalam cerita ini. Siapkan dirimu, aku akan memberi waktu untukmu mengambil camilan dan minuman yang bisa membantu meningkatkan gairahmu dalam membaca kisah ini. Oke? Akan aku beri satu menit dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Aku melihatnya berdiri menatap dinding putih di belakang rumahnya.  Di dinding itu banyak kode angka, Valensi dan massa atom dalam unsur-unsur kimia. Dari Aktinium hingga Rubidium. Dari  Ac sampai Rb. Dari 3 ke 1. Dari – sampai 1,53. Kamu paham? Tidak? Hmm, mungkin belum. Jangan khawatir aku akan memandumu menyelesaikan masalah ini. Buka unsur-unsur kimia dalam susunan periodik SMA yang kamu simpan rapi dalam kardus cokelat di atas lemari pakaianmu. Akan aku beri waktu dua menit, lalu pelajari kode angka, valensi dan massa atom dari semua unsur yang ada. Oke, dalam hitungan ketiga silahkan ambil barang itu. Satu, dua, tiga…

Aku melihat perempuan itu membawa spidol hitam yang dipegangnya di tangan kanan dan catatan kecil di tangan kirinya. Perempuan itu telanjang bulat, dia mulai menuliskan satu unsur di dinding putih itu, Sangat dekat hingga payudaranya menempel lembut pada dinding putih itu. Hmm, tahan nafasmu jangan sampai terengah-engah, aku tahu yang ada di pikiranmu, tapi tolong kesampingkan dulu pikiran binalmu soal perempuan yang aku maksud. Rapikan baju dan celanamu, tegakkan lagi posisi dudukmu, jangan membaca ini sambil tiduran di kasur apalagi di lantai. Akan sangat berbahaya, jadi lebih baik duduk saja. Akan aku beri waktu tiga menit untukmu bangkit dari kasurmu. Oke, siap? Ingat, dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Perempuan itu menuliskan unsur Indium dalam simbol dan kode angka 49, juga 3 dalam valensinya. Perempuan itu juga menuliskan nama di bawahnya. Jerman Ferdinand Reich dan Hieronymus Theodor Richter, lalu merabanya sesaat. Oke, apakah kamu tahu siapakah kedua nama itu? Belum? Oke, akan aku bantu. Mari buka Tab baru dalam gadgetmu. Tuliskan Google.com dan ketik nama itu di mesin pencari google, tunggu beberapa detik pilih satu artikel saja. Lalu baca dengan teliti tanpa melewatinya. Aku tahu kamu tidak suka membaca sesuatu yang tidak ada urusanya denganmu. Tapi, untuk mengetahui kisah ini kamu harus melakukannya. Kesampingkan egomu, Ingat itu. Akan aku beri waktu empat menit. Kita mulai dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Sudah? Ah, kamu berbohong. Aku akan menghentikan cerita ini jika kamu belum mencarinya. Ini akan mendukungmu untuk mengetahui kisah yang ada dalam drama ini. Jangan malas! Akan aku beri waktu lagi untukmu sebelum aku melanjutkannya, dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Perempuan itu duduk telanjang di kursi kayu yang meninggalkan debu di pantat putihnya. Perempuan itu berpikir sejenak, dagunya terangkat. Dia telah mencari jejak talium unsur dalam sampel bijih seng. Sebuah garis indigo brilian dalam spektrum sampel mengungkapkan adanya indium. Indium sekitar melimpah seperti perak, tetapi jauh lebih mudah untuk pulih karena biasanya terjadi bersama dengan seng, besi, timbal dan tembaga bijih. Oke, oke, oke. Aku tahu kamu mulai bingung dengan jalan cerita kisah ini. Jika kamu bingung, kamu harus kembali lagi mencari tahu dua nama tadi. Atau mungkin kamu sama sekali belum mencaritahu? Bahaya! Itu pembunuhan untukmu. Sudah aku bilang kamu harus mengikuti perintahku untuk memahami kisah ini. Jangan bandel, mari kita mulai lagi, akan aku beri waktu tiga menit lagi untukmu. Siap? Seperti biasa dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Ada satu titik kosong di dinding itu. Tak ada tulisan unsur di titik itu, kosong—bersih  dikelilingi spidol hitam bertuliskan unsur-unsur periodik kimia. Perempuan itu sengaja menyisahkan bagian kosong itu untuk satu huruf lagi. Aku melihatnya menangis, air matanya menetes jatuh di payudaranya yang menggantung keras. Stop! Sudah aku bilang kesampingkan pikiran binalmu tentang perempuan ini. Dia orang yang berpengaruh di hidupku, menghadirkanku wahana baru. Perempuan culun yang sering menangis hanya karena mengingat masa lalunya, lesu—lemah. Sudikah kamu mengartikan ini semua? Apakah kamu paham? Oke, tunggu sepertinya kamu belum tahu siapa perempuan culun yang malang itu. Akan aku bantu supaya kamu tahu. Ikuti aku, mari pejamkan matamu dua menit. Tidak lama, bayangkan semua clue itu dalam kepalamu. Oke? Siap? Dalam hitungan ketiga. Satu, dua, tiga…

Perempuan itu mulai memakai pakaian. Kaus putih dengan gambar gajah. Dengan pelan perempuan itu memakai ditengah badai tangis yang sedang mengganggunya.

Ini clue kedua untukmu mulai memahami. As you walk on by , when you call my name. Ada yang seperti itu. Belajarlah antonim , kalo ada pertemuan pasti ada perpisahan. Belum merasa berkorban karna cinta belum pudar. Seperti apakah setia itu? Ketika rembulan menyusut menjadi setengah bagian, perempuan itu hanya bisa menangis malu mengerti itu semua. Perempuan itu tahu, ketika rembulan telah bulat sempurna, bahwa dia bukan satu-satunya wanita yang memasuki kehidupanku. My kind of perfect. Perempuan itu menganggap prianya adalah pria sejati yang membuatnya sangat senang menunggu dan menangis di sudut kamarnya. Melukis di dinding kamarnya dengan air mata yang menetes dingin. Sssttt, sudah. Tidak akan aku lanjutkan lagi. Sayapnya telah patah. Aku terdiam tapi kamu bengong—melongo. Oke, tahan dulu. Akan aku beri waktu satu menit, satu menit saja untukmu mencari tahu siapa perempuan itu. Caranya? Baca ulang kisah ini baik-baik, kamu akan menemukan namanya dibalik kata-kata yang sengaja kamu lewatkan ataupun terlewat olehmu dan tidak sempat kamu baca. Jangan kaget, jika kamu sudah menemukannya, jangan beritahu siapa-siapa, ini rahasia kita berdua. Oke? Siap? Dalam hitungan ke tiga. Satu, dua, tiga…


I See You, I…
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Wednesday, June 24, 2015

V


Suasana masih sunyi—sepi, mencekam—gelap, tak ada cahaya yang masuk diruangannya. Suara detik jam beradu dengan tangisannya yang tak kunjung berhenti sejak satu jam yang lalu. Terbaring remuk di kasur masa kecilnya, mengenang ratusan kenangan yang dia lewatkan begitu saja, hanya karena egonya yang menguasai dirinya, dia harus kehilangan orang yang paling dia kasihi.

Kakinya menggantung, kasurnya sudah tak cukup muat untuk tubuhnya. Dinding-dinding kamarnya masih sama, puluhan gambar dari crayon warna-warni masih menempel di sana. Dia tersenyum sembari membayangkan melihat masa kecilnya berdiri, menggambar sebuah roket di dinding kamarnya. Ibunya memarahinya. Ayahnya mendukung, kakaknya hanya tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.

Aku akan menceritakan kisahnya. Tapi, aku mohon jangan menganggap bahwa kisah ini adalah kejadian nyata yang pernah atau baru saja aku alami.


Raganya terhempas melihat ayah dan ibunya tidak dalam satu ikatan lagi. Dia menangis meski senyumnya selalu mengembang kemanapun dia pergi. Dia wanita yang kuat lebih kuat dari batu-batu karang. Aku? Tentu aku bukan siapa-siapanya. Aku tak pernah ada dalam catatan indah hidupnya. Dia tak melirikku. Tapi, aku meliriknya. Bukan karena cinta. Tapi, karena aku peduli. Entah berapa bahasa lagi yang harus aku pakai untuk membuatnya melirikku, menganggapku atau untuk sekedar membalas senyumku. Sudah tak ada kata maaf yang mampu dia terima dengan baik. Aku pasrah, ini untuknya bukan untukku. Mari selesaikan puzzle terakhir dari kisahnya.

Kasur masa kecilnya membuatnya enggan bangkit. Langit-langit kamar membuat matanya terpejam manis penuh luka. Dinding-dinding menjadi masif, cahaya lampu menua. Perlahan mati—gelap. Matanya terpejam. Dia melihat sosok dalam kegelapan, mengajaknya berbicara dalam bait yang dia buat sendiri. Tidak dalam satu ikatan lagi bukan berarti mereka berpisah. Orangtuanya masih mesra bersama seperti muda dulu. Jangan bingung, ini bukan Science Fiction ataupun makalah penelitian. Buka matamu, telingamu juga pikiranmu. Aku akan membahasanya lagi. Satu per satu.

Sosok itu membuatnya tenang. Dia tak takut gelap, seperti biasanya. Sosok dalam gelap itu mengajaknya berbicara. Menyanyikan lagu masa kecilnya. Aku mengenalnya sejak dia datang ketempatku, tatapan matanya pertama kali tertangkap olehku. Meskipun dia tak menangkap tatapanku. Aku yakin, dia orang yang jujur, tak mungkin berbohong dengan orang yang baru dia kenal. Sejak awal aku sudah tahu akan ada bahaya yang menghadangnya. Namun dia diam tak peduli dengan semua apa kataku. Aku merasa bersalah telah mencampuri urusannya. Tenang, ini belum selesai masih ada lagi yang akan aku ceritakan tentangnya. Dia, perempuan tenang yang malang. Tubuhnya tersakiti. Aku tahu, ada sesuatu yang membuat tubuhnya melemah. Aku melihatnya. Tunggu!! Jangan buru-buru ingin tahu. Sebentar, akan aku kupas satu per satu.

Dia masih berbicara panjang dengan sosok dalam kegelapan di kamarnya. Tertawa sembari memegang lembut bayangan itu. Tidak terlalu jelas apa yang mereka bicarakan. Seperti aktor pantomim, tanpa suara. Tapi, gerak-geriknya membuat kejelasan yang nyata dan ada. Sekarang tanganya memeluk bayangan itu, sosok yang sedari tadi dia ajak mengarungi kegelapan kamar. Oke, tunggu dulu jangan berhenti sampai di sini. Aku masih belum menemukkan gairahmu dalam membaca kisah ini. Tegakkan tubuhmu, kembangkan senyummu, letakkan semua kenangan masa lalu di pundak kananmu dan masa depan di pundak kirimu. Mulailah berpikir siapa yang aku maksud, kamu mengenalnya. Dia adalah orang dekatmu. Aku akan membantumu lagi. Perlahan-lahan. Pejamkan matamu, dua detik saja.


Oke, sudah? Matanya mulai terbuka, sosok itu hilang. Cahaya lampu perlahan menyala terang. Dia terbangun, memandangi sekitar sampai matanya tertuju pada satu gambar dengan crayon berwarna biru. Gambar apa itu? Apakah kamu tahu? Apakah kamu melihatnya? Tidak? Mungkin belum, mari pejamkan matamu lagi. Satu kali lagi dan bayangkan gambar apa yang muncul. Siap? Dalam hitungan ketiga ikuti nalurimu pejamkan matamu pelan-pelan lalu buka matamu ketika kamu sudah menemukan gambar apa yang dia maksud. Satu, dua, tiga.


Sudah? Jangan berbohong. Akan aku ulangi kalau kamu belum memejamkan matamu. Sekali lagi dalam hitungan ke tiga. Oke? Siap?. Satu, dua, tiga.


Apa yang kamu temukan? Gambar hewan? Tumbuhan? Gambar Hati? Bukan!! Kita semua salah. Itu adalah gambar sosoknya, bukan dia yang menggambar tapi kita. Tanpa sadar kita yang sudah menggambar sosoknya. Kamu, aku, dia, Kita. Sekarang gambar yang kita buat sedang dia pandang dengan teliti. Dia kagum dengan gambar sosoknya yang kita buat. Lihatlah, dia tersenyum, aku selalu bahagia melihat senyumnya apalagi matanya ketika tersenyum. Kamu tahu? Belum? Oke, akan aku bantu untuk mengetahuinya. Tapi, tunggu dulu. Tunggu aku selesai menatap senyum dan matanya. Empat detik saja. Oke? Tunggu!!


Oke, sudahkah kamu menemukan siapa dia? Aku sudah. Dia yang ingin memulai semuanya dari awal lagi. Dia yang ingin memulai dengan orang yang baru bukan kenangan masa lalu. Dia yang tak ingin lagi tertipu dengan satu aspek yang menentu dan paling penting, agama. Dia yang sangat bahagia dengan kesendiriannya, mungkin. Dia yang kadang enggan membalas pesan dari seorang laki-laki karena tak ada satupun yang mewakilinya. Dia yang terkadang tidak siap akan perubahan yang datang menghampirinya. Dia tak pernah butuh pembenaran ataupun pembelaan. Dia yang tubuhnya tersakiti yang membuatku peduli namun tak dianggap. Dia ingin dimanja ketika kedua bahunya terangkat sembari menarik nafas.


Paham? Ingat ini bukan kisah nyata, ini Fiction. Tapi, perlu dicatat bahwa perempuan itu ada. Siapa perempuan itu? Perempuan yang diam-diam justru membantuku mencari kekuranganku, lalu aku memperbaikkinya. Meskipun kini dia tak peduli, meskipun aku meminta maaf dengan ratusan bahasa yang ada di dunia. Mungkin akan jadi sia-sia. Tapi aku masih peduli, aku tak bisa diam jika ada satu temanku yang masih membenciku, karena itu sungguh menyiksaku. Kamu tahu? Tidak? Coba pejamkan matamu sekali lagi, lima detik saja. Bayangkan sekali lagi dalam hitungan ketiga. Dia perempuan baik yang siap dan tanpa sungkan memberitahu kelemahan dan kekuranganmu itu yang membuatku masih terus peduli denganya karena semakin banyak dia memberitahu kelemahanku lalu aku memperbaikinya. Maka, aku tak akan punya kelemahan lagi. 

Itu clue untukmu sebelum kita mulai.

Oke? Siap? Satu, dua, tiga.. I See You, V.
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, June 18, 2015

LANGGAM 3142


Ada guratan di lehernya
Aku memegangnya
Ada senyum di matanya
Berharap matanya jatuh dan merindu
Ada kehampaan di bibirnya
Seperti Antitesis yang belum selesai
Dia hanya diam dalam harap cemas tak tentu
Seperti pips dalam dadu
Menunggu dilempar,
Lalu digerakkan
Dan dimainkan

Dalam batas tertutup awan putih
Rumput-rumput hijau dalam diorama
Gunung-gunung menjulang gagah berani
Gulungan awan empuk seperti kasur
Dia masih diam bak patung proklamator
Berharap bisa pulang dengan baling-baling bambu
Atau sampai puncak dengan pintu kemana saja
Raganya terhempas es yang berubah jadi angin
Jiwanya terkubur di rumput yang menjilat punggung

Empat camar masih kuat terbang
Mengarungi indah ciptaanNya
Aku melongo
tubuhku terhempas di kaki-kaki bukit
Aku melihatnya di atas sana
Tertawa layaknya anak kecil dibelikan mainan baru
Mataku berbinar
Matanya berbinar
Mata perempuan itu juga
Kami hanya burung perkutut
Tertidur di padang rumput penuh lutut
Harap cemas menunggu empat camar turun

Doa dalam haru
Tangis dalam doa
Indahnya hanya Satu
Tak ada mata uang yang mampu membelinya
Cinta dan kasih dari sekumpulan manusia kecil dan malang
Berharap bersatu dalam taliNya
Di atas sini kami berbagi
Menolong sesama
Menyayangi juga mencintai
No standard in how to love something
No standard in how to love someone
It can only be felt by the heart


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Sunday, June 14, 2015

RAN FLEURISTE (Final Episode)


Seekor merpati terbang melintasi Taman Bunga Keukenhof ketika Ranum dan Rain duduk berdua di bangku kayu berwarna putih dan beberapa kelinci putih yang mondar-mandir didepan Ranum menghalanginya untuk melihat jajaran bunga warna-warni yang tertata rapi dan membentuk pola lingkaran yang bercabang. Tak biasanya merpati terbang melintasi Keukenhof yang terletak diantara kota Hillegom dan Lisse. Situasi ini langka, apalagi Keukenhof hanya dibuka setahun sekali pada minggu terakhir bulan Maret hingga pertengahan bulan Mei.

Orang-orang berkeliling mengitari jalan setapak sejauh 15 kilometer untuk melihat lebih dari tujuh juta bunga Tulip, Daffodil dan Hyacints tapi tidak dengan Ranum dan Rain, mereka memilih duduk di bangku kayu berwarna putih. Di dekat kumpulan tulip yang juga berwarna putih. Merpati itu masih saja terbang diatas mereka berputar-putar seperti orang yang mabuk. Seperti ada pesan yang hendak  disampaikan. Ranum dan Rain berbincang-bincang dan saling melempar opini tentang bunga-bunga yang ada di Taman Keukenhof. Mata Rain masih terus menatap lesung pipit Ranum yang masih saja berbicara tentang bunga-bunga yang ada di Keukenhof, Rain memalingkan wajahnya ketika Ranum menangkap Rain yang memandangi dirinya.

Kelinci putih itu masih terus mondar-mandir di  depan mereka membuat kesan nyaman jadi sedikit hilang. Tema taman Keukenhof tahun ini adalah United Kingdom – Land of Great Gardens. Kombinasi bunga-bunga yang membentuk mozaik Big Ben dan Tower Bridge khas London tempat yang juga ingin Ranum kunjungi selain Jerman. Tempat yang membuat Ranum jatuh cinta dengan kultur dan budayanya.

Fashion memang berubah setiap enam bulan sekali, tapi ada satu hal yang tetap sama: Ranum, gadis beralis hitam dan berambut pirang dengan sejuta mimpi untuk membahagiakan banyak orang lewat bunga, kini dia berada di samping pria yang belum lama dia kenal. Ranum sangat mudah jatuh cinta pada mereka yang hidup tenang dan tidak terduga. Diam dalam tenang, putih sangat bersih. Hidup tanpa dosa karena tak pernah sekalipun mengurusi hidup orang lain. Stabil atau mungkin Stagnan.

Siang ini Ranum menemukan keanehan di langit Keukenhof, seperti ada garis horizontal lurus yang tak jelas dimana ujungnya, Ranum melongo benar-benar tak percaya. Pria itu tiba-tiba menyusuri jari-jari Ranum hingga memegang tangannya, Ranum tidak melepaskan tanganya, sentuhan halus Rain membuat Ranum merasa nyaman dan tenang.

Ranum kaget, dia melihat Pria dari Tropea Beach itu berdiri tepat di depan Paviliun Oranje Nassau yang memamerkan koleksi beragam bunga tulip. Ranum menutupi wajahnya dengan bersandar di pundak Rain. Rain Galvin kaget, matanya menatap Ranum lembut meganggap Ranum membalas kemesraan yang dia ciptakan lewat tangan. Beberapa detik setelah Ranum menutup wajahnya di pundak Rain, pria dari Tropea Beach itu melewati  mereka berdua.

Merpati dan kelinci itu tiba-tiba menghilang, setelah pria dari Tropea Beach itu semakin jauh dari tempat Ranum dan Rain duduk. Merpati terbang bersama merpati lainnya. Kelinci putih itu bersembunyi diantara bunga-bunga di Keukenhof. Pria dari Tropea Beach itu benar-benar tidak sadar bahwa dia berada di tempat yang sama dengan Ranum. Ranum bersyukur. Ranum melepaskan wajahnya dari pundak Rain Galvin. Lalu tersenyum ketika Rain menatap Ranum bingung. Bingung dan bertanya-tanya.

“Kenapa Ranum?” Tanya Rain.

“Nggak apa-apa, tanganmu?”

“Oh ini” Rain memegang erat tangan Ranum, “aku ingin menghangatkan tanganmu”.

Rain sedang bercerita, Ranum mendengarkan cerita Rain tentang kekasihnya yang meninggalkanya dan pergi bersama pria lain. Rain melihat kekasihnya sedang bermesraan pada suatu malam di Tropea Beach, Italia. Rain melihatnya dari penginapan yang berada diatas tebing di pinggir jalan Tropea Beach. Seorang pria mencium kekasihnya lalu menggendongnya masuk ke dalam sebuah tenda kemah yang didirikan di Tropea Beach, Italia. Setelah melihat kejadian yang membuat Rain kaget dan marah besar, lalu Rain menghampiri pria itu, adu pukul sempat terjadi. Kekasih Rain melerainya. Rain menampar Kekasihnya lalu pergi tanpa mengucapkan apa-apa.

Ranum melongo apa yang diceritakan Rain, persis yang dia rasakan ketika pergi ke Tropea Beach, Italia untuk mencari pria yang meninggalkanya hampir dua tahun.

“Kamu kenal pria itu?” Tanya Ranum.

“Tidak, aku belum pernah melihat pria itu sebelumnya. Hanya sekali ketika kejadian itu”.

“Itu pria yang dulu aku cintai, yang sempat pergi ke Italia karena alasan pekerjaan”.

“Ha? Maksudnya?” Tanya Rain.

“Pria yang kamu lihat bersama kekasihmu di Tropea Beach adalah orang yang dulu sangat aku cintai… Dia mantan kekasihku”. Rain melepaskan genggaman tanganya, menatap mata Ranum dalam-dalam. Mata Rain dan Ranum berbinar.

Ini bukan Roman yang  sengaja mempertemukan dua orang bernasib sama. Kenyataanya Rain dan Ranum punya masa lalu yang sama, Membuat mereka membenci dan antipati. Sama-sama pernah dihianati.

“Ini kebetulan?” Ranum membalas tatapan Rain dalam-dalam.

“Bukan… Ini takdir, Ranum” Rain memegang kedua tangan Ranum, ibu jarinya mengusap tangan Ranum perlahan.

“Kalau ini takdir, kenapa tuhan mempertemukan kita yang punya nasib sama di tempat ini?”.

“Aku tidak tahu, Ranum. Yang aku tahu, aku mencintaimu sejak pertama kali pergi ke Ran Fleuriste”.  

“Jadi, Itu alasanmu memberikanku kartu namamu? Supaya aku bisa menghubungimu?”.

“Iya, dan kamu benar menghubungiku”.

“Itu juga alasanmu kenapa kamu mengajakku bertemu dalam secarik kertas yang kamu berikan bersama uang untuk membayar tulip pesananmu?”.

“Iya, itu semua benar. Dan kini kita ada di sini, Ranum”.

“Lalu apa maksudmu mengajakku kesini?”.

“Ik hou van jou, Ranum”.

“Maaf. Tapi, aku belum mencintaimu seperti kamu mencintaiku sekarang”.

“Tidak perlu minta maaf, Ranum. Aku akan menunggumu dan membuatmu mencintaiku” Ranum terdiam sesaat, matanya menatap mata Rain dengan lembut, senyumnya mengembang. Ranum memeluk Rain, tangan Ranum dan Rain saling mengusap punggung. Rain berbisik “Ik hou van Jou, Ranum”.


(Tamat)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

RAN FLEURISTE (Episode 9)


Aku masih memikirkan Sean. Sejak malam itu dia masih saja mendiamkanku, aku tidak suka Sean yang seperti ini, nampak begitu ganas dimataku. Terakhir dia mendiamkanku enam bulan ketika aku tidak mendengarkannya soal pria dari Tropea Beach itu. Menatapku saja Sean ogah-ogahan. Senyumnya berubah, seperti bukan Sean yang biasanya. Gumamku makin berat sampai pagi ini Sean masih saja diam tanpa kata, aku tahu ketika Sean mendiamkanku berarti ada yang salah dariku. Disaat inilah aku bisa memperbaikki kesalahanku, aku akan membuatnya tersenyum dan mau berbicara denganku lagi. Caranya cukup mudah, biarkan Sean melihat Rain Galvin menjemputku di Ran Fleuriste.

Pagi ini aku masih menunggu pria itu menjemputku, meski ketakutanku soal pria masih saja menghantuiku, aku terpaksa menunggu, melawan ketakutan itu semata-mata demi Sean dan untuk membuktikan perkataan Sean tentangnya dan tentang cinta. Aku tidak pernah paham apa itu cinta yang aku tahu cinta adalah penyakit campak dari ras manusia yang sudah ada dari zaman dulu dan dipertahankan hingga sekarang. Zaman ketika adam dan hawa bertemu di taman eden atau bertemu disebuah gurun dalam versi lainnya.

Aku menunggu lagi, ketakutan itu mulai hilang perlahan berubah menjadi rasa penasaran yang terus menghantuiku. Tidak ada yang spesial dari penampilanku hari ini, seperti biasa serba hitam dan putih. Rambutku hanya kuikat dengan karet pembungkus buket bunga. Sesuai suasana hati sejauh ini belum ada yang spesial dari pria itu. Hanya satu kelebihanya: dia pintar membuatku penasaran, hampir mati aku dibuatnya penasaran. Aku benci situasi ini. Aku yakin dia akan memasang bintang-bintang dan mengalirinya dengan cahaya rembulan di malam hari. Mencoba membuatku terpesona dan penasaran lagi. Gaya kampungan kebanyakkan pria. Kalau dia membawakanku bunga, tidak akan aku terima, mungkin seketika akan langsung aku buang. Gila saja, seorang florist di kasih bunga. Seperti seorang ibu yang harus menyusui bayinya, sudah biasa bahkan terlalu biasa.

Duapuluh menit setelah aku membuka tokoku, pria itu belum juga datang. Kebebasanku seketika menjadi menyenangkan, seperti anak-anak kecil yang menunggu ayahnya pulang kerja dan berharap dibelikan mainan baru. Jantungku bedebar ketika Savage Rivale miliknya perlahan mulai terparkir di depan Ran Fleuriste. Sean melihatnya, dia tersenyum matanya berbinar itu pertanda bahwa Sean tidak marah lagi denganku. Hanya kurang dari beberapa detik tiba-tiba Sean sudah ada di pintu belakang Ran Fleuritse, kubukakan pintu itu, seketika Sean langsung memelukku, dia membisikkanku “bersenang-senang lah Ranum, aku menyayangimu” dia mengusap pipiku, tersenyum lalu pergi lagi. Aku suka cara Sean mengusap pipiku, lembut dengan ujung-ujung jari yang menyusur hingga ujung dagu. Aku hanya tersenyum, tidak ada satu kalimatpun yang keluar dari bibirku.

Pria itu berdiri di depan pintu, membuka pintu “Goedemorgen Ranum” katanya dengan senyum yang mengembang, berbeda dengan senyumnya tempo hari. “Pagi juga, sebentar aku akan menutup tokoku dulu” Ini saatnya aku menghilangkan kecanggungan yang terjalin diantara kami sejak pertama bertemu. Akan aku ubah sapaanku terhadapnya jadi sapaan manis yang tidak terdengar aneh. Mata pria itu mengikutiku sesekali sembari tersenyum yang membuatku salah tingkah. Aku menghampirinya pertanda semua urusanku di Ran Fleuriste sudah selesai, Aku dan pria itu keluar lalu aku mengunci Ran Fleuriste, meletakkan kunci dibawah vas bunga yang ada di depan Ran Fleuriste. Tempat biasa aku meletakkanya, sengaja tidak aku bawa karena aku takut tidak sengaja menghilangkannya.

Dia membukakan pintu mobilnya untukku, hal biasa seperti kebanyakkan pria. memutari bagian depan mobil lalu masuk. Savage Rivale miliknya perlahan meninggalkan Ran Fleuriste. Hingga seratus kilometer dari Ran Fleuriste kami masih terdiam, saling menunggu siapa yang akan membuka pembicaraan labih dulu. Di perempatan lampu lalu lintas berubah merah pria yang ada disebelahku mulai mengajakku berbicara.

“Kamu sudah pernah ke Keukenhof?” tanya pria itu.

“Hanya setahun sekali, kira-kira pertengahan bulan April. Kamu?”.

“Baru sekali ini, aku tahu kamu sangat menyukai bunga-bunga. Alasan itu yang membuatku ingin mengajakmu ke Keukenhof” Lampu lalu lintas berubah hijau. Aku tidak membalas pembicaraanya, sengaja untuk membuatnya penasaran dan terus memburuku lewat pertanyaan-pertnyaan yang keluar dari bibirnya. Jarak dari Ran Fleursite ke Keukenhof cukup jauh memakan waktu sekitar satu jam. Dalam situasi ini aku ingin menguji cara dia memperlakukan perempuan. Dalam situasi canggung di dalam mobil apalagi untuk orang yang baru sekali pergi berdua, sungguh akan sangat membunuh. Kalau tidak ada yang memecahkan situasi di dalam mobil suasana jadi seperti malam hari ketika orang-orang sudah terlelap, Sepi bahkan bisa jadi mencekam.

Pria ini tetap tenang sesekali bersiul dan mengajakku berbicara. Sejauh ini dia belum menyombongkan dirinya bahwa dia seorang Galvin, keluarga terpandang di Belanda, aku sudah tahu bahkan sebelum dia memperkenalkan dirinya langsung padaku. Dia menanyaiku seputar Ran Fleuriste. Basa-basi yang bisa membuat suasana dalam mobil menjadi lebih hidup dan menyenangkan, dia orang yang humoris sesekali melemparkan candaan yang bisa membuatku tertawa, aku mulai suka caranya memperlakukanku.

“Ranum, kamu suka nulis ya?”.

“Ah, nggak juga. Aku lebih suka membaca”.

“Kamu bohong, tanganmu terlihat seperti tangan seorang yang suka menulis” Dia memperhatikan jari-jariku yang beradu di pangkuanku.

“Hahaha, ketahuan deh. Iya, aku sesekali menulis sekedar untuk mengisi waktu luang di Ran Fleuriste”.

Dia tidak membalas pembicaraanku. Seperti balasan karena aku tidak membalas pembicaraanya tadi. Sekarang aku menjadi canggung, aku salah tingkah mengubah letak dudukku. Sesekali dia tertawa kecil. Menikmati pemandangan lucu yang aku buat. Pria ini berhasil membuatku penasaran lagi.

Taman Keukenhof sudah terlihat dari beberapa meter posisi Savage Rivale miliknya. Dia mencari lahan parkir, memarkirkan Savage Rivale miliknya lalu turun. Aku tidak turun, aku kira dia akan membukakan pintu untukku, ternyata tidak. Dia langsung pergi, beberapa meter setelahnya dia kembali tapi tidak untuk membukakkan pintuku. Dia membuka pintu kemudinya.

“Kenapa nggak turun?”.

Aku tersenyum lalu keluar. “Sialan” gumamku dalam hati.

(Bersambung)


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Thursday, June 11, 2015

RAN FLEURISTE (Episode 8)


Rasanya baru kemarin aku bertemu dengannya, tapi dia sudah berani mengajakku pergi atau mungkin berkencan. Aku merasa seperti berada di stasiun yang penuh sesak. Penumpang yang naik—turun dari kereta dan aku tidak tahu jelas sedang apa aku di stasiun itu, aku bingung. Aku seperti digoda oleh lelaki cabul yang memesan wanita malam setelah capek sepulang kerja. Meninggalkan istrinya untuk bermain-main bersama wanita malam. Seperti kuda yang digiring masuk ke kandang. Dia mengajakku dengan cara yang tidak biasa. Belum pernah aku melihat seorang pria yang mengajak wanita yang disukainya dengan cara ini. Biasanya hanya diajak ngobrol dengan sedikit canggung karena takut ajakannya ditolak ataupun mengajak melalui pesan singkat. Dia cerdik, mau tidak mau aku harus mengabarinya lagi lewat pesan singkat. Untuk mengabari bersedia atau tidak aku dengan ajakannya untuk bertemu.

Aku Bingung masih mematung di meja kasir sejak pria itu memberikanku secarik kertas yang bertuliskan “Set a meet, Ranum?”, Aku belum pernah mengalami situasi seperti ini, aku bingung. aku harus meminta saran dari Sean, orang yang bisa memberikanku jalan keluar atas rasa bingung yang menderaku. Meskipun Sean hanya membuat pipiku merah merona setiap membicarakan seorang pria. Tapi, dia adalah satu-satunya orang yang mengerti aku luar—dalam. Yang aku pikirkan hanya satu: aku takut Rain Galvin seperti pria brengsek yang membuatku antipati terhadap pria bertahun-tahun, pria yang membuatku membenci Italia dan Tropea Beach. Apalagi Rain Galvin berasal dari keluarga terpandang di Amsterdam, ada sekitar 70 cabang Rain Coffee di seluruh Belanda. Itu yang membuat ketakutanku hilang. Kiranya tidak mungkin seorang Rain Galvin berperilaku brengsek seperti pria dari Tropea Beach itu. Aku akan meminta saran Sean malam nanti. Setelah toko tutup, waktu dimana kami bisa menghabiskannya bersama.

“Sean, lihat ini” aku melihatkan secarik kertas yang diberikan Rain Galvin pada Sean.

“Set a meet, Ranum?..... Dia mengajakmu kencan?..... Wow, sudah bertahun-tahun sejak pria brengsek itu, nggak ada yang mengajakmu kencan… Terus kamu mau apa?”.

“Nah itu, aku bingung. Tiba-tiba dia kasih kertas itu ke aku, mungkin kamu ada saran?”.

“Yaelah, kamu minta saran ke aku? Kalau aku pasti iya—iya aja. Asal kamu bahagia aku bakal ikut bahagia. Udah jalanin dulu aja, toh kamu juga belum tahu, dia itu orangnya kaya gimana. Mungkin dia suka sama kamu?”.

“Ah, nggak mungkin lah, Sean”.

“Loh, kenapa nggak mungkin?”.

“Terlalu cepat, Sean”.

“Kamu lupa? Berapa lama pria dari Tropea Beach itu dekat sama kamu terus baru kalian memutuskan untuk saling berhubungan?.... Dua tahun Ranum!! Terus apa yang kamu rasain? Kamu justru lihat dia cabul sama perempuan lain kan? Cinta nggak memandang waktu, Ranum. Juga nggak memandang tempat apalagi keadaan. Cinta bisa datang kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun”.

“Terus? Aku harus apa, Sean?”.

“Ih kamu ya, bener-bener deh, kamu nggak boleh bingung sama yang namanya cinta. Sekali lewat kamu nggak bisa ngejar apa lagi berharap cinta bisa kembali lagi... Hubungi dia, bilang kalau kamu mau”.

“Ah nggak mau, Masa harus aku duluan yang  bilang”.

“Aduh, Ranum. Terus apa masalahnya kalau kamu duluan yang bilang?”.

“Aku kan perempuan, sudah seharusnya aku yang nunggu dia bilang duluan”.

“Mau siapa duluan yang bilang, nggak ada pengaruhnya, Ranum. Pada akhirnya kalian juga bakal saling berhubungan. Ibarat domino kalau belum ada satu domino yang jatuh duluan, domino yang lain juga nggak akan jatuh berurutan. Cinta itu bukan untuk orang yang bodoh menunggu tanpa pikir dua kali. Cinta itu berpihak sama orang yang berani memulai”.

“Jodoh pasti bertemu, Sean. Aku percaya itu”.

“Iya benar, terus kamu mau pasrah gitu? Menunggu tuhan menggerakkan takdirmu? Kamu kalau nggak berusaha mana mungkin tuhan kasih apa yang kamu mau” Sean meninggalkanku sebelum aku menjawab pertanyaanya.

Sean langsung pulang tanpa pamit. Malam ini aku duduk sendirian di kebun Ran Fleuriste, tidak ada Sean yang biasanya menemani, tidak ada teh dan roti yang biasanya menemani aku dan Sean. Tidak ada bintang, seperti pertanda bahwa alam tidak memihakku. Aku masih trauma dengan kejadian di Tropea Beach. Hanya itu. Beberpa menit aku terdiam. Tiba-tiba Sean datang lagi.

“Kalau kamu trauma sama masa lalu kamu, Jangan harap ada cinta yang berpihak sama kamu”. Lalu Sean pergi tanpa berpamitan lagi.

Aku terdiam, merasakan ada pergulatan batin dan perang antara ego dan hati di dalam diri. Seperti ada yang menggerakkan tanganku untuk mengambil handphone yang ada di saku celana. Aku merasakan ada yang memaksa jari-jariku untuk mengirimkan pesan. Pesan yang ditujukan untuk Rain Galvin. Aku melihat badan pesan masih kosong. Ibu jariku tepat berada di depan layar handphone.

“Kapan kamu akan mengajakku pergi?”. Diluar batas sadarku aku sudah mengirimkan pesan untuk Rain Galvin.

“Sabtu aku akan mengajakmu ke Keukenhof, aku akan menjemputmu di Ran Fleuriste sesuai jam buka tokomu”

Rain Galvin memang bukan pria yang suka basa-basi. Hanya sekali dia membalas pesanku, semuanya tersampaikan dengan baik. Selalu ada rasa penasaran yang datang darinya. Rasa penasaran yang menggantung di otakku, seperti jeruk yang siap dipetik.

“oke. Ik zal voor u klarr” Aku akan menunggumu. Membuktikan perkataan Sean tentangmu, tentang cinta.
 

(Bersmabung)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.