Kemungkinan
terburuk yang bisa terjadi dari sebuah pertemanan adalah hilangnya kepercayaan
diantara pelakunya. Arthur mengalaminya setelah melihat hal yang sulit dia
terima. Setelah melihat peralatan Ana di ruang bawah tanah, kesadarannya
seperti diputar ulang. Rasa cintanya terhadap Ana juga menutupi keadaan yang
terjadi. Arthur tidak bisa berpikir jernih. Seperti ada dua kutub magnet yang
saling tolak menolak di otaknya.
“Serius??
Alat panah?? Di dalam kotak?? Di ruang bawah tanah??” Tanya Prof. Uru
bertubi-tubi.
“Mataku
tidak mungkin salah Prof,” Jawab Arthur.
“Sebab
nggak mungkin Ana bisa menggunakan alat itu. Dia anak baik-baik, Aku belum
pernah sama sekali melihatnya memainkan busur dan anak panah,” Kata Prof. Uru
dengan raut muka bingung.
“Lalu
kenapa kotak itu seperti sengaja disimpan di sana??” Tanya Arthur.
“Mungkin
dia ingin menyembunyikannya dariku,” Prof. Uru kembali memasang tali busur.
“Apa
yang harus kita lakukan, Prof??”
Prof.
Uru terdiam, ada kegundahan dalam dirinya, sembari melanjutkan pekerjaannya.
Arthur masih berdiri tidak jauh darinya. Menunggu pertanyaannya dijawab. Arthur
masih melipat satu tangannya di dada dan mengelus dagu dengan jari-jarinya.
Kemampuan Arthur dalam memanah memang sudah lama tidak diasah, tapi tidak ada
waktu untuk Arthur berlatih dan mengasah kemampuannya lagi.
“Ini
pegang,” Prof. Uru memberikan Arthur busur yang telah selesai dia garap.
“Apa
yang harus kita lakukan Prof?? Kau belum menjawab pertanyaanku,” Keluh Arthur
melihat Prof. Uru berlalu meninggalkannya.
“Kau
mau kemana Prof?!” Tanya Arthur lantang.
Arthur
mengikuti Prof. Uru yang bingung mencari sesuatu diantara rak buku. Tangannya masih memegang busur dan satu set
anak panah.
“Kau
harus bersiap, Arthur. Kita kehabisan waktu,” Prof. Uru melihat sekilas jam
tangannya sambil mencari barang diantara rak buku.
Arthur
mengalungkan satu set anak panah pada pundaknya dan menarik tali busur untuk
menguji seberapa kuat Prof. Uru memasangnya.
“Nah,
ketemu,” Sontak Prof. Uru—mengambil
gulungan kertas di salah satu rak buku.
“Itu
apa Prof??”
“Ini
jawaban dari pertanyaanmu, Arthur.”
Prof.
Uru menuju meja kerjanya. Arthur membuntutinya. Prof. Uru meminggirkan
tumpukkan buku dan beberapa barang yang tergeletak di atas meja, membuatnya
jatuh lepas ke lantai. Prof. Uru membuka gulungan kertas itu, dan meletakkan
buku di kedua ujung kertas.
“Kau,
tahu tempat ini, Arthur??”
“Apa
ini??” Tanya Arthur, bingung.
“Ini
peta, coba lihat polanya... See??”
“Peta??
Pola apa sih, Prof??”
“Garis
putus-putus, bintang, lingkaran, garis panjang, persegi panjang yang
dikelilingi titik-titik kordinat yang saling menyambung. Lihat lagi Arthur,”
Prof. Uru menjelaskan dengan tangan yang sibuk diatas kertas.
“Ohyaaa...
I See, Prof. I See. Sepertinya aku tahu tempat ini,” Arthur berpikir sejenak,
melihat kertas diatas meja dengan seksama.
“Kau
tahu?? Dimana??” Tanya Prof. Uru.
“Ini
seperti tanah lapang yang dulu dijadikan tempat parkir heli. Cuma ada satu
tanah lapang yang luas di kota ini, Prof.”
“Gerbang
masuk kota!!” Arthur dan Prof. Uru bersamaan.
“Kalau
memang Ana salah satu dari Askar Kecha, pasti dia berada disini saat ini,”
Prof. Uru menunjuk peta.
“Bentar-bentar.
Salah satu?? Darimana Prof bisa tahu ada banyak Askar Kecha??” Tanya Arthur
penasaran.
“Ada
kemungkinan Askar Kecha lebih dari satu kan, Arthur.”
Prof.
Uru bergegas menggulung kertas diatas meja lalu mengembalikkannya di tempat
semula. Arthur mengikuti dengan langkah pelan. Ada kenaehan yang lewat di otak
Arthur.
“Ayo,
Arthur. Sudah hampir Gelap,” Prof. Uru memecah kebingungan di pikiran Arthur.
“Oh...
Oke Prof,” Spontan Arthur menjawab.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar