Friday, June 10, 2016

Arthur #2 Eps. 3


Ada yang menempuh sepi dengan sukarela, menggadaikan ramai yang membatasi antara sedih dan senang. Ada yang bahagia berada di keramaian. Ada yang memilih untuk menepi bersama sepi. Keduanya adalah makna dari kata yang bisa dibaca. Untuk beberapa orang kata itu tidak terbaca. Kehilangan. Bagian terberat yang bisa diterima hati manusia. Kehilangan tidak menghubungkan apa-apa, tapi berpengaruh atas apa-apa yang dicuri, dirampas dan direbut. Kehilangan jadi makna dari kata yang tidak terbaca jika manusia hanya sibuk dengan diri sendiri. Manusia-manusia sepi yang telah banyak kehilangan, tidak pernah benar-benar bisa merasakan kehilangan.

Lautan masih tanpa nelayan, sepi di lepas pantai Nanoi serupa dengan rumah Ana. Sudah lebih dari seminggu Ana menunggu ayahnya pulang. Menunggu Arthur membalas pesannya. Dengan kerisauan hatinya Ana masih mencoba memaksa dirinya untuk melupakan kejadian tempo hari. Paling tidak Ana hanya ingin mendengar kabar dari dua orang yang paling dicintai dalam hidupnya. Hanya sebatas kabar, hanya itu yang Ana tunggu. Ada yang harus dijelaskan Ana pada Arthur dan Prof. Uru. Bahwa Ana mengetahui kejadian berdarah di Balai Kota. Ana melihat kejadian itu.

Hari itu, saat matahari tepat berada di jantung langit. Ana menyusuri bibir pantai tepat di depan rumahnya. Menatap sekitar, air laut yang menyentuh pelan kakinya seperti tidak terasa. Fokusnya tertumbuk pada rumahnya. Ana menatap cerobong asap berbahan batu bata di atap rumahnya. Aneh, rumah di pinggir pantai mempunyai cerobong asap, yang biasanya ada di rumah-rumah bersuhu dingin. Ada lingkaran serupa darts pada dinding cerobong asap itu. Ana menutup satu matanya, kedua tangannya serupa seorang pemanah yang memegang busur dan anak panah.

Ponsel di saku celana Ana berdering. Buru-buru Ana mengambilnya, Ada pesan yang tidak ingin Ana buka. Ana memasukkan ponselnya. Dering kedua menambah kesal Ana. Satu panggilan masuk dari orang yang sama yang mengirim pesan barusan. Ana menjatuhkan ponselnya di pasir pantai yang halus, dan berlalu—meninggalkannya. Ponsel terus berdering, getar dari ponsel itu membuat pasir pantai ikut bergetar dan menimbun ponsel Ana

Ombak tenang di lepas Pantai Nanoi. Ana menuju ruang bawah tanah dirumahnya, dari sana suara ombak masih saup-saup terdengar. Ana membuka pintu yang membatasi gudang dan tempat penyimpanan. Ana menyalakan bohlam kuning yang bersuara—membuat telinga sedikit terganggu. Di antara tumpukkan barang-barang rusak tidak terpakai, Ana mengambil satu kotak kayu, lalu berlutut untuk membukanya. Kotak kayu itu tidak bergambar dan bertuliskan namanya di bagian depan. Ana membukanya, satu busur panah melengkung sempurna, warna cokelat jadi terlihat mengkilap karena pantulan sinar bohlam, tali busur yang kencang disentuhnya, seperti seorang yang memetik senar gitar. Ana menghitung beberapa anak panah yang ada di wadah berbahan kulit.

Belum sempat Ana menutup kotak itu, suara seseorang yang berteriak memanggil namanya keras terdengar. Buru-buru Ana menutup kotak itu, menaruhnya dibawah tumpukkan barang-barang rusak tidak terpakai lalu mengunci pintu dan meninggalkan ruangan itu. Suara yang berulang memanggil namanya, sangat jelas dikenali Ana. Suara dari seseorang yang membuat Ana menjatuhkan ponselnya.

“Eh, Bibi. Ada apa??” Ana mengatur nafas yang menderu.

“Ana, Ana, Anaaaa. Kamu darimana sih?? Bibi berulang kali menghubungi ponselmu, nggak ada jawaban,” Bibi Ana menepuk pundak Ana.

“Memangnya ada apa, Bi?”

“Ada misi untukmu.”

“Misi?? Lagi??” Tanya Ana serius.

“Kali ini kamu cukup membantu yang lain,” Bibi Ana menjelaskan.

“Yang kemarin itu belum cukup??”

“Lebih dari cukup,”

“Lalu??” Tanya Ana.

“Kamu cukup membersihkan sisanya, Beliau tidak ingin ada jejak lain. Kamu dan yang lain diberi waktu dua hari untuk menyelesaikan. Ini targetmu, jaga baik-baik, jangan sampai orang lain tahu,” Bibi Ana menyerahkan satu lembar foto lalu pergi—meninggalkan Ana.


Setelah Bibi Ana berlalu. Ana melihat tulisan di bagian belakang foto, lalu membaliknya—melihat sosok yang ada dalam foto itu. tulang lehernya mengeras, lemas tangannya memegang foto. Keningnya beradu. Pikirannya berkecamuk, ini misi yang tidak mudah, pikirnya.


(BERSAMBUNG)
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar