Ada
yang menempuh sepi dengan sukarela, menggadaikan ramai yang membatasi antara
sedih dan senang. Ada yang bahagia berada di keramaian. Ada yang memilih untuk
menepi bersama sepi. Keduanya adalah makna dari kata yang bisa dibaca. Untuk
beberapa orang kata itu tidak terbaca. Kehilangan. Bagian terberat yang bisa
diterima hati manusia. Kehilangan tidak menghubungkan apa-apa, tapi berpengaruh
atas apa-apa yang dicuri, dirampas dan direbut. Kehilangan jadi makna dari kata
yang tidak terbaca jika manusia hanya sibuk dengan diri sendiri.
Manusia-manusia sepi yang telah banyak kehilangan, tidak pernah benar-benar
bisa merasakan kehilangan.
Lautan
masih tanpa nelayan, sepi di lepas pantai Nanoi serupa dengan rumah Ana. Sudah
lebih dari seminggu Ana menunggu ayahnya pulang. Menunggu Arthur membalas
pesannya. Dengan kerisauan hatinya Ana masih mencoba memaksa dirinya untuk
melupakan kejadian tempo hari. Paling tidak Ana hanya ingin mendengar kabar
dari dua orang yang paling dicintai dalam hidupnya. Hanya sebatas kabar, hanya
itu yang Ana tunggu. Ada yang harus dijelaskan Ana pada Arthur dan Prof. Uru.
Bahwa Ana mengetahui kejadian berdarah di Balai Kota. Ana melihat kejadian itu.
Hari
itu, saat matahari tepat berada di jantung langit. Ana menyusuri bibir pantai
tepat di depan rumahnya. Menatap sekitar, air laut yang menyentuh pelan kakinya
seperti tidak terasa. Fokusnya tertumbuk pada rumahnya. Ana menatap cerobong
asap berbahan batu bata di atap rumahnya. Aneh, rumah di pinggir pantai mempunyai
cerobong asap, yang biasanya ada di rumah-rumah bersuhu dingin. Ada lingkaran
serupa darts pada dinding cerobong asap itu. Ana menutup satu matanya, kedua
tangannya serupa seorang pemanah yang memegang busur dan anak panah.
Ponsel
di saku celana Ana berdering. Buru-buru Ana mengambilnya, Ada pesan yang tidak
ingin Ana buka. Ana memasukkan ponselnya. Dering kedua menambah kesal Ana. Satu
panggilan masuk dari orang yang sama yang mengirim pesan barusan. Ana
menjatuhkan ponselnya di pasir pantai yang halus, dan berlalu—meninggalkannya.
Ponsel terus berdering, getar dari ponsel itu membuat pasir pantai ikut bergetar
dan menimbun ponsel Ana
Ombak
tenang di lepas Pantai Nanoi. Ana menuju ruang bawah tanah dirumahnya, dari
sana suara ombak masih saup-saup terdengar. Ana membuka pintu yang membatasi
gudang dan tempat penyimpanan. Ana menyalakan bohlam kuning yang bersuara—membuat
telinga sedikit terganggu. Di antara tumpukkan barang-barang rusak tidak
terpakai, Ana mengambil satu kotak kayu, lalu berlutut untuk membukanya. Kotak
kayu itu tidak bergambar dan bertuliskan namanya di bagian depan. Ana
membukanya, satu busur panah melengkung sempurna, warna cokelat jadi terlihat
mengkilap karena pantulan sinar bohlam, tali busur yang kencang disentuhnya,
seperti seorang yang memetik senar gitar. Ana menghitung beberapa anak panah yang
ada di wadah berbahan kulit.
Belum
sempat Ana menutup kotak itu, suara seseorang yang berteriak memanggil namanya
keras terdengar. Buru-buru Ana menutup kotak itu, menaruhnya dibawah tumpukkan
barang-barang rusak tidak terpakai lalu mengunci pintu dan meninggalkan ruangan
itu. Suara yang berulang memanggil namanya, sangat jelas dikenali Ana. Suara
dari seseorang yang membuat Ana menjatuhkan ponselnya.
“Eh,
Bibi. Ada apa??” Ana mengatur nafas yang menderu.
“Ana,
Ana, Anaaaa. Kamu darimana sih?? Bibi berulang kali menghubungi ponselmu, nggak
ada jawaban,” Bibi Ana menepuk pundak Ana.
“Memangnya
ada apa, Bi?”
“Ada
misi untukmu.”
“Misi??
Lagi??” Tanya Ana serius.
“Kali
ini kamu cukup membantu yang lain,” Bibi Ana menjelaskan.
“Yang
kemarin itu belum cukup??”
“Lebih
dari cukup,”
“Lalu??”
Tanya Ana.
“Kamu
cukup membersihkan sisanya, Beliau tidak ingin ada jejak lain. Kamu dan yang
lain diberi waktu dua hari untuk menyelesaikan. Ini targetmu, jaga baik-baik,
jangan sampai orang lain tahu,” Bibi Ana menyerahkan satu lembar foto lalu
pergi—meninggalkan Ana.
Setelah
Bibi Ana berlalu. Ana melihat tulisan di bagian belakang foto, lalu membaliknya—melihat
sosok yang ada dalam foto itu. tulang lehernya mengeras, lemas tangannya
memegang foto. Keningnya beradu. Pikirannya berkecamuk, ini misi yang tidak
mudah, pikirnya.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar