Ana yang mengendarai Cruisernya
pelan-pelan berhenti setelah melihat rumah Arthur dari kejauhan. Rumah yang
sebagian besar kontruksinya terbuat dari kayu itu telah berubah menjadi abu.
Hitam pekat dengan asap yang masih sedikit mengepul di udara. Ana memakirkan
Cruisernya di pinggir jalan. Berkeliling melihat sisa-sisa abu rumah Arthur.
Ana menatap jam di ponselnya. Mengirimkan pesan pada Arthur. Memberitahu
kondisi rumahnya. Anjing liar mendatangi Ana, mengendus abu rumah Arthur dan
buntut yang bergoyang, membuat Ana sedikit terganggu. Ana memutuskan
pergi—melanjutkan perjalanan. Suara knalpot Cruiser mengagetkan Anjing liar
itu, membuatnya lari mengejar Ana. Belum jauh Ana meninggalkan rumah Arthur,
Anjing itu berhenti mengejar Ana yang semakin kencang mengendarai Cruisernya.
“What?? Pemanah??” Arthur tersentak.
“Iya pemanah, kenapa kamu sekaget itu
Arthur,” Tanya Prof. Uru.
“Lihat mata ini... Hilang, karena apa??
Karena anak panah sialan dari pemanah sialan,” Tegas Arthur menunjuk rongga
matanya.
“Justru itu Arthur, pemanah dilawan
juga dengan pemanah. Ide dilawan dengan ide. Gagasan dilawan dengan gagasan.”
“Kenapa harus panahan siih?? Kalau kita
bisa bunuh orang dengan peluru, kenapa kita justru pilih panahan,” Keluh
Arthur.
“Peluru nggak bisa menembus rompi anti
peluru, Arthur... Tapi anak panah... Anak panah bisa dengan mudah menembusnya,”
Prof. Uru menggambarkan dengan isyarat tangan.
“Aduuh,” Arthur memijat keningnya.
“Ada ditanganmu. Ambil atau...” Tantang
Prof. Uru.
“Tidak usah berlebihan, kita dipihak
yang sama,” Jelas Ana.
“Prajurit Ana,” Salah seorang bertanya.
“Maaf, ini standard yang harus
dilakukan,” Tiga orang pemanah menurunkan alat panahnya.
“Jadi apa setelah ini,” Tanya Ana dari
atas Cruiser.
“Sembunyikan Cruisermu, panjat salah
satu pohon, kita harus menunggu sisanya sebelum gelap,” Seorang pemanah
menjelaskan.
Ana menyalakan Cruisernya,
memakirkannya dibalik pohon. Ana memanjat pohon setelah tiga pemanah lainnya
kembali memanjat pohon tempatnya bersembunyi.
“Fine... apa boleh buat,” Arthur
mengangkat bahu, pertandan pasrah.
“So??” Tanya Prof. Uru.
“Oke, kapan kita bisa mulai??” Tanya
Arthur.
“First, kamu harus tahu teorinya, ada
buku tentang itu yang bisa sedikit membantumu,” Prof. Uru mulai mencari buku di
beberapa rak. Arthur mengikutinya dari belakang.
“Aaahh, kenapa semua hal yang bisa langsung
dipraktekan, tetap saja butuh teori,” Keluh Arthur.
“Teori itu dasar, Arthur. Bayangkan
jika sebuah bangunan tanpa dasar, tanpa penyangga. Bayangkan ketika sebuah
negara tidak punya dasar negara. Coba bayangkan,” Prof. Uru sibuk mencari buku
diantara rak yang tingginya melebihi tinggi Arthur dan dirinya.
Prof. Uru berhasi menemukan buku yang
dicarinya. Buku yang tidak tebal, Arthur bisa dengan mudah selesai membacanya
kurang dari dua jam. Arthur mulai membaca.
“Mau kemana, Prof??” Tanya Arthur disela-sela
membaca.
“Kita tidak punya alat panah, kita
harus membuatnya sendiri. Biar aku yang mencari semua keperluanmu. Selesaikan
bacaanmu. Waktu kita tidak banyak.”
Arthur membiarkan ucapan Prof. Uru
mengambang di langit-langit. Kesunyian mengiringi setelahnya. Arthur kembali
fokus membaca, matanya tidak lepas dari setiap kata yang ada di buku itu. Prof.
Uru tersenyum menatap Arthur dari kejauhan, senyum yang membuat gigi putihnya
terlihat.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar