Prof. Uru tidak kesusahan untuk membuat
satu alat panah. Dengan kayu dan beberapa tulang hewan, Prof. Uru sudah dapat
membuat satu alat panah untuk Arthur. Prof. Uru meruncingkan bagian depan
sebuah batang kayu yang dijadikannya sebagai anak panah. Prof. Uru melubangi
sedikit bagian ujung kayu lainnya, sebagai Arrow Rest atau tempat untuk
meletakkan anak panah pada tali busur.
Busur buatan Prof. Uru terdiri dari kayu
yang melengkung, dengan tali busur yang terikat pada kedua ujungnya. Kayu akan
melengkung lebih dalam ketika tali busur ditarik. Prof. Uru menggunakan tali
yang digulung di bagian tengah kayu sebagai pengganti Grip, atau tempat untuk memegang busur.
Busur telah ditemukan pada masa
Paleolitik atau awal periode Mesolitik. Panah dibuat dari kayu pinus, terdiri
dari poros utama dan sebuah poros depan sepanjang 6-8 inci. Dulu, sebagian
besar tentara Assirian dan Persian, menggunakan alat panah sebagai alat perang
melawan musuh. Dalam Pertempuran Crecy, Pasukan Inggris yang lebih kecil menang
atas pasukan Perancis yang jauh lebih besar. Inggris menggunakan busur panjang
untuk memenangkan pertempuran. Busur panjang menjadi senjata yang dapat lebih
cepat dibidikkan daripada busur silang. Busur panjang yang digunakan Pasukan
Inggirs dapat dengan mudah menembus setelan baju baja tentara Perancis.
“Jadi bagaimana?? Semenarik apa buku
itu untukmu??” Prof. Uru menunjukkan busurnya pada Arthur.
“Tetap saja teori nggak berbicara
banyak,” Arthur mengambil busur panah dari tangan Prof. Uru.
“Ini beberapa anak panah, aku
membuatnya dari sisa kayu pembuatan rak buku di gudang Boulgetse yang ada di
belakang,” Prof. Uru menyerahkan beberapa anak panah pada Arthur.
“Tali busur??” Tanya Arthur, mengambil
anak panah dari tangan Prof. Uru.
“Untuk tali busur, harus dengan tali
yang benar-benar kuat. Sialnya disini nggak ada,” Jelas Prof. Uru.
“Lalu??” Tanya Arthur bingung.
“Kau harus kerumahku, ada tali yang
cukup kuat untuk dipakai. Tali itu ada di ruang bawah tanah. Kamu pasti tahu,”
Prof. Uru melipat kedua tangannya di dada.
“Kenapa tidak Prof saja yang
mengambilnya??”
“Ini saatmu Arthur, uji penyamaranmu.
Jarak dari sini ke rumahku tidak terlalu jauh. Kau pasti bisa,” Senyum Prof.
Uru.
Dengan penyamaran yang pernah dipakai Prof.
Uru. Arthur menuju rumah Ana dengan menumpang truk setelah beberapa menit
berjalan kaki. Diperjalanan Arthur mengecek ponsel yang lama tidak dia sentuh.
Satu pesan dari Ana muncul di layar ponsel. Arthur membukanya. Bola matanya membesar
membaca pesan dari Ana. Tidak ada waktu bagi Arthur untuk memikirkan pesan dari
Ana, kebingungan sempat lewat dipikirannya. Beberapa kali Arthur terpikir untuk
menelpon Prof. Uru.
Tepat di ujung gang menuju rumah Prof.
Uru dengan deretan pohon kelapa yang tertata rapi di sepanjang jalan. Jantung
Arthur berdebar, fokusnya terbagi akbiat pesan Ana yang dia baca. Arthur
mempercepat langkahnya menuju ruang bawah tanah melalu pintu dibagian samping
rumah. Tidak susah bagi Arthur untuk mencari kunci yang terselip diantara
bebatuan tepat di depan pintu. Prof. Uru selalu meletakkannya disana.
Arthur menemukkan tali busur yang
dimaksud Prof. Uru setelah membuka beberapa peti. Arthur membawanya pada tas
yang dia bawa. Sebelum keluar, mata Arthur tertumbuk pada satu kotak dibawah beberapa
barang bekas. Arthur mendatanginya—berlutut menyingkirkan barang-barang itu.
Rongga matanya menyempit seperti seorang dengan mata sipit. Arthur melihat nama
Ana pada kotak itu. Rasa penasaran Arthur membuatnya dengan cepat membuka kotak
itu.
“Ini Prof,” Arthur menyerahkan tali
busur pada Prof. Uru.
“Kau kenapa??” Tanya Prof. Uru, melihat
Arthur tampak bingung.
“Ha?? Oh, No... No Problem,” Jawab
Arthur terbata.
“Apa yang kau temukan??” Tanya Prof.
Uru, mulai mengotak-atik alat panah buatannya.
“Nothing,” Singkat Arthur.
“Kau tidak pintar berbohong, Arthur.
Seperti Ayahmu,”
“Aku melihat satu kotak kayu dengan
tulisan Ana di ruang bawah tanah,” Arthur tampak bingung.
“Ha?? Maksudmu??” Prof. Uru
menghentikan pekerjaannya.
“Kotak... Dibawah tumpukkan
barang-barang lain,” Arthur menjelaskan sebuah kotak dengan isyarat tangan.
“Terus apa masalahnya??” Tanya Prof.
Uru.
“Tidak ada masalah dengan kotaknya,”
Arthur menatap Prof. Uru.
“Terus??” Tanya Prof. Uru penasaran.
“Isi kotak itu...” Lidah Arthur terasa
kelu, kalimatnya dibiarkan tidak selesai—mengambang.
“Apa??” Prof. Uru penasaran.
“Aku melihat satu set alat panah...
Apakah itu punya Ana?? Apa benar Ana, Askar Kecha??” Tegas Arthur bertanya,
matanya memerah menatap Prof. Uru yang terdiam.
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar