Malam
yang dingin itu membuat Ibu Arthur tidur lebih awal, memikirkan anaknya yang
lama tidak berkabar. Berulang kali terbangun dan meminum segelas air.
Pikirannya kacau, langit-langit rumah yang dia tatap menjelma wajah Arthur yang
remuk-redam. Mimpi yang mengerikan membangunkannya lagi. Melihat wajah Arthur
dengan satu mata kiri. Pijatan di keningnya belum cukup menenangkannya malam
itu.
Tengah
malam berlalu, suasana sepi berubah. Suara hentakkan sepatu di sekeliling rumah
membangunkannya. Ibu Arthur mengintip dari celah jendela kamarnya. Beberapa
polisi kota telah berdiri mengepung rumahnya dengan senjata laras panjang di
lengan. Keringat di keningnya muncul, tiba-tiba tubuhnya menggigil. Matanya
terus berkedip. Beberapa detik setelahnya suara ketukan pintu sedikit
mengagetkannya.
Beberapa
kali ketukan pintu pelan terdengar, dengan jantung yang terus berdebar, Ibu Arthur
melangkah keluar dari kamarnya, beberapa kali berhenti dan memikirkan lagi apa
yang sebenarnya terjadi. Suara ketukan pintu berubah semakin keras, terdengar
seorang dibalik pintu meminta polisi kota untuk mendobrak pintu. Mendengar itu
Ibu Arthur bergegas berlari menuju pintu rumah lalu membukanya.
Di
depan pintu berdiri seorang wanita dengan mantel panjang dari bahu hingga betis.
Kulit wajahnya putih mulus dengan rambut yang dikuncir membuat leher putihnya
jelas terlihat. Kancing mantel yang tampak besar seukuran permen sejajar dari
leher hingga pinggang. Celana panjang hitam ketat dan heels yang serupa warna
membuat Ibu Arthur semakin jelas mengenali wanita di depannya. Di bagian kanan
mantel cokelatnya tersemat lencana berkilau emas yang hanya dimilikki seorang
di Kota Nanoi.
“Selamat
malam Nyonya Witson,” Sapa Natalie.
“Natalie?”
Ibu Arthur membuka lebar pintu.
“Bagaimana
kabar anda?” Natalie berlalu—masuk sembari melepas sarung tangannya. Dua pengawalnya
ikut masuk lalu tegap berdiri si sudut ruangan yang tidak terlalu besar. Hanya
ada satu lampu yang terang tepat di tengah ruangan dan beberapa kursi dan meja
yang mengkilap karena pantulan lampu.
“Ada
perlu apa anda datang kemari?” Tanya Ibu Arthur dengan mata yang masih terus
menatap Natalie.
“Ku
kira kau pasti tahu, kenapa aku kemari,” Natalie menatap sekeliling ruangan
mungil itu.
“Maksudnya?”
“Aku
mencari anakmu, Arthur. Dimana dia?” Dengan santai Natalie duduk di bangku kayu
yang berdecit.
“Arthur??
ada urusan apa dia denganmu??” Tanya Nyonya Witson penasaran.
“Sudah
seminggu lebih dia menghilang. Sejak kejadian berdarah di Balai Kota seluruh
aparatur kota mencarinya. Dia—anakmu menjadi salah satu dalang kejadian itu.”
“Ha??
Kau pasti bercanda, Arthur sudah tidak ada dirumah sebelum kejadian di Balai
Kota. Dia menginap diruman Ana, Anak Prof. Uru, dilepas pantai Nanoi.”
“Jadi,
kau masih belum sadar? Seluruh polisi kota berpatroli hingga masuk
kerumah-rumah warga hanya untuk mencari anakmu—Arthur!!” Suara Natalie keras
terdengar hingga telinga polisi kota yang berjaga di luar.
“Geledah!!”
Perintah Natalie. Dua pengawal yang berjaga masuk ke ruangan lain di rumah itu.
“Ada
apa dengan Arthur, Nyonya??” Ibu Arthur mendekati Natalie.
“Dia—Anakmu
sudah membunuh anakku,” Natalie beranjak dari tempatnya duduk, merapikan mantel
dan rambut.
“Ha??
Membunuh?? Apalagi ini?? Tidak mungkin Arthur melakukan pembunuhan!!” Bentak
Ibu Arthur. Beranjak dari kursinya menatap tajam Natalie.
“Mari
kita buktikan di pengadilan kota,” Suara Natalie pelan tepat di telinga Ibu
Arthur.
“Negatif
Nyonya!!” Salah satu pengawal melapor.
“Bawa
dia!! Bakar rumah ini!!” Natalie berlalu, memerintahkan polisi kota yang
berjaga diluar dengan isyarat tangan.
Dua
pengawal membawa Ibu Arthur yang berteriak dan memberontak. Salah satu pengawal
langsung menggendongnya, membawanya menuju mobil berplat Balai Kota. Natalie
yang berada di samping sopir, memerintahkannya jalan setelah Ibu Arthur dan dua
pengawal masuk dan menutup pintu mobil. Ibu Arthur menatap
rumahnya yang mulai terbakar. Ada air yang menetes jatuh dari matanya
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment
Ayo Beri Komentar