Saturday, June 18, 2016

Arthur #2 Eps. 6




Ketika hari baru saja mulai, pagi yang dingin berganti dengan teriknya siang. Prof. Uru dan Arthur masih sibuk mengobrol di salah satu sudut Boulgetse. Di antara rak buku politik dan sosial mereka menghabiskan kopi bersama.

“Jadi gimana bisa, di perpustakaan sebesar ini, dengan koleksi buku yang hampir sejuta, ada peralatan kedokteran,” Tanya Arthur pada Prof. Uru.

“Perpustakaan ini sudah seperti rumah kedua bagiku dan ayahmu, Arthur. Dulu selalu ada pengobatan gratis di tempat ini... Ayahmu yang membuat program itu.”

“Ohyaa?? Unik juga, baru aku dengar perpustakaan jadi tempat pengobatan gratis.”

“Itu uniknya ayahmu, Arthur. Beliau bisa melakukan kebaikan di banyak tempat.”

Kopi dalam cangkir itu semakin pekat, pembicaraan menjerumus kearah kegelapan Kota Nanoi selepas peninggalan Witson. Beberapa buku telah habis dibaca Arthur, buku-buku tipis dengan halaman yang tidak sampai menyentuh seratus.

“Dulu, aku tidak terlalu peduli dengan kehidupan ayah di pemerintahan. Aku sibuk mengejar Ana, bermalas-malasan di rumah, menjadi komentator, kritik sana-sini. Hidup terlalu nyaman saat itu, sampai aku lupa aku menikmati kenyamanan orang lain bukan menciptakan kenyamananku sendiri.”

“Kalau aku boleh bertanya, apa yang membuatmu tidak peduli, bahkan terhadap Ayahmu sendiri,” Prof. Uru duduk setelah lama berdiri.

“Politik.”

“Politik?? Kenapa?? Bukannya semasa Ayahmu memimpin kota ini, politik berjalan dengan baik? Kondusif, semua terkendali ditangan Witson.”

“Yaahh, well. Bagiku politik itu kotor. Cuma dengan cara kotor politik bisa berjalan,” Arthur mengembalikan buku yang telah selesai dibacanya.

“Ditangan Ayahmu, tidak ada politik kotor, semuanya bisa berjalan dengan baik. Kesejahteraan meningkat pesat. Kemiskinan turun. Warga Kota merasa bahagia dibawah kepemimpinan Witson.”

“Nah, baru belakangan ini aku jadi sadar, kebencianku sama yang namanya politik justru nggak baik buat kedepannya. Semua harga ditentukan sama keputusan politik, harga buah, sayur, daging, barang-barang yang kita pakai. Semuanya. Cuma banyak orang yang belum sadar,” Arthur sibuk mencari buku.

“Mereka sibuk cari kesalahan orang. Sampai lupa memperbaiki kesalahannya sendiri. Politik bukan untuk dijadikan kambing hitam dari suatu permasalahan. Politik justru diciptakan untuk memperbaiki, menyelesaikan permasalahan itu sendiri, menjadi jalan keluar.”

Arthur tersenyum, menemukan satu buku yang menarik perhatiannya. Diambilnya buku itu, dengan sampul yang tidak menarik. Hanya ada judul pada sampul buku itu. Buku sejarah perjalanan Kota Nanoi. Buku yang tebalnya membuat Arthur harus membawanya dengan kedua tangan.

“Itu buku, cuma tersisa beberapa copy, yang entah dibawa siapa. Buku tua, rapuh,” Jelas Prof. Uru.

“Beberapa copy?? Kemana yang lain??” Tanya Arthur.

“Hilang bersama sejarahnya, buku itu cukup dicari untuk dibajak, dipalsukan,” Prof. Uru membenarkan letak duduknya.

“Loh, bukannya kalau dibajak dan dipalsukan justru semakin banyak?”

“Seharusnya gitu, buku itu dibajak dan dipalsukan bukan untuk dibaca. Tapi digunakkan untuk bahan bakar. Ketika Kota Nanoi mengalami krisis minyak.”

“Ha?? Kenapa bukan buku yang lain??” Arthur membuka halaman demi halaman di buku itu.
“Entah, seperti misteri yang belum terpecahkan.”

Arthur sibuk membaca halaman pertama buku itu, telunjuknya bergerak mengikuti alur baca. Prof. Uru beranjak dari kursinya, mengisi ulang cangkir kopinya yang kosong. Menuju mejanya dan mengambil koran kota yang dibelinya di pasar.

“Coba baca ini,” Prof. Uru melemparkan koran pada Arthur.

“KOTA INI BUTUH PAHLAWAN,” Arthur membaca pelan judul yang bercetak tebal di halaman utama koran. Menatap Prof. Uru yang menatapnya.

“Kamu harus balas dendam atas apa yang dilakukan padamu, Arthur. Jadilah Pahlawan untuk kota ini, untuk kotamu.”

“Untuk apa?? Kita bisa terus hidup di sini tanpa dicari. Orang-orang mulai melupakan kita,” Arthur melipat koran.

“Kota ini sekarat Arthur, banyak yang harus diselamatkan. Kita nggak bisa berdiam diri disaat yang lain butuh perlindungan,” Tegas Prof. Uru.

“Kalau gitu kenapa bukan Prof. Saja yang jadi pahlawan buat mereka,” Tegas Arthur.
“Aku sudah terlalu tua untuk itu. Kamu masih muda Arthur, ini kesempatanmu. Ingat pesan Ayahmu. Kalau kamu mau, aku punya penawaran. Akan jadi menarik kalau kamu yang melakukan.”

Arthur terdiam. Membuka kembali koran yang dilipatnya. Membaca judul itu dalam hati. Muncul sosok Witson di kepalanya. Prof. Uru menunggu—menatap Arthur yang terlihat berpikir keras.

“Jadi??” Tanya Prof. Uru.

“Semenarik apa tawaranmu??”


 (BERSAMBUNG)


Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar