Friday, November 18, 2016

Terikat Waktu


Manusia memang butuh sentuhan. Tak terkecuali Anggara. Hari itu dalam satu ranjang yang sama, sentuhan dari wanita yang baru dia kenal meruntuhkan segalanya. Wanita yang telah memiliki kekasih justru memilih untuk mengikat waktu bersamanya. Sentuhan yang tak lagi bicara soal hasrat atau nafsu. Sentuhan itu meruntuhkan tembok yang dibangun untuk Amanda. Saat itu pula, Ananta ingin menjadi manusia paling munafik, membohongi temanya sendiri soal satu ranjang bersama, soal perasaan baru yang tumbuh hanya lewat sentuhan.

Jerman benar-benar memanjakan Ananta. Bersama Geraldine, dia masih diatas ranjang hingga malam tiba. Saat dingin mulai menusuk tulang, membuat Geraldine merasa butuh pelukan. Ananta yang juga merasa kedinginan, memilih memberi pelukan sekaligus menghangatkan tubuh sendiri. Menaikan semua ketegangan ditingkat paling atas. Mereka berdua mengangkat selimut, menutup tubuh hingga ke leher. Sungguh ironi, menikmati tubuh kekasih teman sendiri.

“Kita belum berbuat apa-apa,” Kata Ananta menatap langit kamar.

“Memangnya ini apa??” Geraldine menyusuri perut Ananta dengan telunjuknya.

Ananta terdiam.

“Memang, kamu mau apa??” Geraldine menggoda.

“Kita masih malu-malu.”

“Apakah ini malu-malu??” Tangan Geraldine masuk ke dalam celana Ananta.

“Not pretty sure,” Ananta mengerang, menahan kenikmatan.

Geraldine terus mengikat Ananta dalam lingkarannya,  mencium bahu Ananta berulang kali. Di balik selimut, dia melingkarkan tanganya pada perut Ananta. Sesekali menggelitik, membuat Ananta merasa Geli. Ananta terus mencium lembut kepala Geraldine, menabrakkan nafasnya pada ubun-ubun. Hal yang disukai banyak wanita. Geraldine tak banyak bicara, hanya sesekali merintih, merasakan kenikmatan diantara dua kelamin yang saling bersentuhan. Merasakan sentuhan tangan yang mengelus pusat ketegangan. Selama itu pula, Geraldine bisa melupakan Niko, kekasih yang telah lama diikat.

Sebuah dilema, terikat pada satu hal disaat kita ingin yang lain, ingin merasakan hal lain. Ingin mengikat yang lain. Mereka tidak merasa bersalah. Menganggap ini semua adalah nasib baik, kecelakaan yang diinginkan banyak orang. Menjadi makhluk hedonis berarti siap mengorbankan apapun termasuk fisik apalagi Hati. Ananta juga terpaksa untuk menutup mulutnya, tidak banyak bicara, menikmati setiap detik yang dilalui bersama. Menikmati setiap celah inti jantung. Debar jantung yang dirasa cukup untuk mewakili semua yang tercipta di kamar itu, di ranjang dengan sprai putih terang.

“Aku besok pulang.”

“Pulang?? Ke Indo maksudmu??” Tanya Geraldine, melirik Ananta.

Ananta mengangguk.

“Ngapain?? Di sini aja, sama aku.”

“Nggak bisa, Ge... Kalo mau ikut aku aja.”

“Kalo gitu aku juga nggak bisa.”

“Ayolah,” Ananta memohon.

“Jangan memaksa, An,” Geraldine bangkit, duduk menatap Ananta.

Ananta tersenyum. Beberapa detik mereka saling tatap. Hingga Geraldine duduk diatas Ananta. Jari-jarinya menyusuri perut Ananta yang bidang, membuat Ananta merasa geli. Rambut Geraldine yang terurai benar-benar menggoda. Di atas Ananta, Geraldine menari-nari, melepaskan branya, melemparnya ke mata Ananta. Pinggul Ananta masih merasakan goyangan Geraldine. Ananta menyingkirkan bra hitam yang menutup matanya. Kedua tangan Ananta mulai bermain, menyusuri pinggang hingga meremas payudara Geraldine, lembut dan tidak tergesa-gesa. Sampai tangan Geraldine memegang tangan Ananta, memberi arahan untuk meremas lebih keras, lebih liar.

Pagi jatuh di Jerman, kebahagian memang bisa berlalu sangat cepat. Ananta sedang bersiap mengejar penerbangannya kembali ke Jakarta. Seperti seorang anak yang manja, Geraldine terus menggodanya untuk membatalkan penerbangan. Untuk menikmati hari sekali lagi. Wanita memang tampak lucu ketika tidak bisa menutupi dan menahan nafsunya. Ananta hanya tersenyum, memakai setelan jas dan sepatunya. Memasang jam, bercermin—merapikan rambut.

“I’m ready,” Ucap Ananta di depan cermin.

“Kamu serius??” Geraldine memelas.

“Kenapa??” Lembut Ananta menjawab.

“Nggapapa,” Geraldine menunduk pelan.

“Hey, it’s oke,” Ananta mendekat, duduk di ujung ranjang.

“Be careful, An.”

“Pasti,” Ananta mencium kening Geraldine.

“Wait,” Geraldine menahan Ananta bangkit.

“Apalagi??”

“Apa mungkin kita ketemu lagi??”

“Banyak kemungkinan, Ge. Indonesia terbuka untukmu, rumahku terbuka untukmu,” Ananta tersenyum, kembali duduk di ujung ranjang—menatap Geraldine.

“Jerman juga terbuka untukmu, An. Hatiku pun demikian.”

“Aku nggak cukup yakin bakal balik kesini.”

“Kalo gitu, aku juga nggak yakin bakal ke Indo,” Geraldine membalas, kesal.

“Jangan paksain diri, Ge” Ananta terkekeh.

Geraldine menghela napas.

“Oke??” Ucap Ananta.

Geraldine mengangguk.

“Rasain ini di Indo, Ge” Ananta mengecup bibir Geraldine, singkat dan lembut. Geraldine tersenyum, matanya terpaku menatap Ananta hingga sosoknya ditelan pintu Apartemen.

Ananta tidak buru-buru meminta nomor ponsel Geraldine. Dia ingin menciptakan rindu dan menikmatinya. Ananta sengaja ingin membuat Geraldine terus terpikir dan akhirnya menyerah pada rasa egois dalam dirinya. Dan akhirnya, memilih menyusulnya ke Indonesia. Ananta hanya perlu bersabar, sesuatu yang tidak banyak orang bisa menghadapinya.

Perjalanan Ananta terasa begitu berat dan lama, seperti ada yang tertinggal. Bahkan rindu pun tidak bisa dikendalikan. Pikirannya terus terpaut oleh waktu, terikat pada momen bersama Geraldine. Terikat waktu bersama Geraldine adalah sesuatu yang paling membuatnya merasa ada selama perjalanan kemarin. Tentu Ananta tidak akan membuatnya menjadi sia-sia, tidak akan melupakan bahkan menyesalinya. Sembari mencoba mengusir sosok Inneke dan Amanda. Dua wanita yang menjadi bagian dari perjalanan absurd yang tak terjadwal, perjalanan nekat, bahkan Ananta belum paham betul apa maksud tuhan menggerakkan fisiknya.

Masih di apartemen, Geraldine berbaring. Melihat ponselnya, satu foto Ananta yang tengah memakai setelan jas terus membuatnya tersenyum sendirian. Bibirnya mengembang, sembari sesekali memikirkan apa yang baru saja terjadi, di atas ranjang bersama Ananta bahkan lebih liar yang bisa dia lakukan bersama Niko. Geraldine masih bisa merasakan sentuhan Ananta di payudaranya. Merasakan lembut bibir Ananta, merasakan gigi Ananta yang mengigit bibirnya. Semuanya masih tergambar jelas di dalam kepala. Sampai Geraldine lepas dalam ombak, tidak sadar bahwa tanganya telah cukup lama memainkan vaginanya. Seorang wanita orgasme sendirian, sungguh kasihan.

Merasakan udara pertama di Jakarta, hanya Ananta satu-satunya orang yang tak membawa tas, koper atau bahkan kardus. Melangkah keluar, mengambil koran di sudut ruang tunggu, menuju area parkir, mencari mobilnya. Cuaca sangat cerah, berbeda saat Ananta berangkat, membelah hujan dari rumahnya. Hampir pukul sepuluh, setelah menemukan mobilnya, Ananta langsung tancap gas menuju kantornya yang terletak di Pusat Kota. Jalanan lengang, membuat Ananta berani berkendara diatas kecepatan normal. Sepanjang perjalanan, Ananta terus melihat gedung-gedung tinggi yang dilewati. Sesuatu yang paling dia rindu di Jakarta. Melihat gedung dari dalam mobilnya adalah rutinitas. Seperti vitamin baginya. Menikmati perspektif ruang yang ada di dalam kota.

Geraldine melakukan aktivitas seperti biasa. Pergi bekerja. Belum cukup tidur semalam bisa membuatnya melupakan momen itu. Selama perjalanan hanya ada sosok Ananta di kepalanya. Geraldine terus mencoba mengusirnya, tapi terus gagal. Jarak dari apartemen ke tempat kerjanya cukup jauh. Satu kali naik kereta, berhenti di stasiun kedua lalu berjalan kaki sejauh setengah kilometer. Sejauh itu pula Geraldine berusaha memanipulasi pikirannya, mencoba memikirkan hal lain, selain Ananta. 

Mobil Ananta berhenti tepat di depan lobby kantor, seperti biasa, menyerahkan kunci mobil pada salah satu karyawannya. Beberapa orang menyapanya, Ananta membalas dengan senyum. Ruangannya ada di lantai lima. Sekretarisnya telah menunggu disana. Membawa beberapa berkas yang perlu dilihat dan ditandatangani. Lift terbuka di lantai lima, Ananta langsung bisa melihat Maria berdiri tegap di depan pintu ruangannya. Heels dan rok hitam diatas lutut membuat kakinya yang putih bersih terlihat. Mata Ananta menyapu hingga rambut Maria yang terkuncir, blus merah marun membuat pancaran auranya keluar dengan sempurna. Ananta tersenyum, dia selalu suka dengan tampilan Maria.

“Selamat Pagi, Pak Ananta,” Senyum Maria, bersemangat.

“Hush... Aku ini calon suamimu,” Bisik Ananta, mengecup pipi Maria.

“Iyaa, aku tahu,” Maria menggoda, mengecup bibir Ananta singkat.

Ananta masuk ke ruanganya, Maria mengikuti di belakang, menutup pintu lalu menguncinya. Ananta duduk di sofa cokelat, Maria meletakkan berkas-berkas yang dibawanya. Maria melepaskan kedua heelsnya, berjalan menghampiri Ananta penuh goda, lalu melepas kancing blusnyaya—membiarkannya tergeletak di lantai. Bra hitam dan rok hitam menyatu dengan kulit putihnya, sampai Maria berada tepat di depan Ananta yang duduk rileks dan santai. Maria membuka resleting roknya, menurunkan roknya pelan-pelan, dengan sedikit menari—menggoda Ananta. Maria membuka ruang diantara kaki Ananta lebih lebar, kedua tangannya memegang kedua lutut Ananta. Dengan singkat, Maria telah berada dipangkuan Ananta. Menggeliat dan terus menggoda.

“Oh come on... Aku bahkan baru sampai,” Ananta mencium bra hitam Maria.

“Kamu...” Maria memegang kepala Ananta.

Ananta mengehela napas, menghirup aroma wangi Maria, tanganya berusaha membuka kait bra Maria. Hingga terlepas, membiarkannya jatuh ke lantai. Ananta masih dalam ritme pelan mencium kedua payudara Maria, tangannya turun, mengelus bokong Maria. Ananta menggigit puting Maria, membuta Maria merintih matanya menatap langit-langit. Maria belum membuka pakaian Ananta. Hal yang memang biasa dilakukannya. Wanita yang tidak buru-buru.

“Stop!” Ananta menghentikan semua gesture tubuhnya. Maria tertawa, melihat Ananta yang berlalu menuju meja kerjanya. Ananta perlu membuka emailnya, ada pekerjaan yang perlu dilanjutkan setelah beberapa hari tertunda.

“Pakai bajumu,” Ucap Ananta melihat Maria yang duduk di sofa, masih berusaha menggodanya.

“Mar, Maria...” Senyum Ananta, dibalas Maria lembut. Maria memakai branya dihadapan Ananta. Memakai blus dan rok hitam. Ananta terus menyapu habis lekuk tubuh Maria yang indah. Wanita paling seksi di kantor. Maria memakai heelsnya, mengambil berkas-berkas lalu menghampiri Ananta.

“Ini... Tolong di cek, Pak Ananta,” Maria meletakkan berkas-berkas di meja Ananta, mengecup pipi Ananta lalu berlalu, pergi.

“Terimakasih, Sayang.”

“Sama-sama.”

Banyak email yang masuk. Tapi, hanya dua email yang menarik perhatiannya. Email dari Inneke dan Amanda. Weekend ini Inneke free dari penerbangan. Amanda akan liburan selama satu bulan di Indonesia, sendirian tanpa suami. Keduanya meminta waktu untuk bisa bertemu. Ananta tersenyum, menggeleng pelan—puas. Merasa semesta masih memihaknya. Ananta merebahkan tubuh di kursi kerjanya, menatap layar komputer, terus tersenyum. Hingga dia dikagetkan suara ponselnya, satu panggilan masuk. Dari Niko. Ananta langsung mengangkatnya.

“Hallo, Nik??”

“Kata Gege, lo udah balik??”

“Iyaa udah nih, baru aja. Kenapa??”

“Enggak... Gue mau ke Jogja, nih. Lo Ikut ya.”

“Mau ngapain??”

“Liburan lah, ada Si Gege juga kok. Dia besok balik ke Indo, ambil penerbangan pagi.”

Ananta terdiam.

“An??”

Ananta tersenyum sekali lagi.

“Gimana, An??”

“Ayo-ayo aja aku mah.”

“Asik... Okedeh, ntar gue WA detailnya. See you soon, bro.”

“Siap!”

Ananta menutup panggilan, meletakkan ponselnya, bangkit berdiri mengepalkan kedua tangan dengan tekanan penuh. 


-----
Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar