Saturday, December 10, 2016

Hujan


Hari ini hujan turun lagi, aku tak bisa mendengar suaramu diantara rintik air yang jatuh menerpa atap rumah. Dini hari ini aku masih ingin kau temani, mata ini begitu berat, terbebani rutinitas sehari-hari, tapi rasanya enggan menutup. Biarkan sekali lagi aku membayangkanmu dalam rintik hujan yang labil, mengikuti suasana hatiku saat ini. Aku seperti merasakan tertidur di sampingmu dengan kamu yang mengelus lembut pipiku. Dalam satu ranjang dan bantal yang sama napas kita bertabrakkan. Sesekali aku memejamkan mata, mencoba mengusir semua keinginan yang terlanjur lewat dalam kepala.

Dini hari ini, kamu menceritakan harimu yang cukup melelahkan, aku mendengar suaramu yang bergetar, menahan tangis yang terus mengikat. Hujan dini hari ini benar-benar menyamarkan tetes air matamu. Sekali lagi, senyum kita bertemu hingga bibir kita tak lagi berjarak. Kita terdiam, merasakan kedekatan yang tercipta begitu sederhana, aku memelukmu, menghangatkanmu melebihi selimut-selimut itu. Kedua tanganmu menyentuh leherku, menghangatkanku. Aku mengelus punggungmu, kita masih terdiam, tersenyum dalam bibir yang tak berjarak. Akhirnya kita tertidur, menikmati semua keinginan dalam mimpi.

“Temani aku,” katamu yang tertidur di rongga dadaku. Merasakan debar jantung yang seirama. Kamu tertawa melihat bulu kuduk di tanganku berdiri.

"Kamu tak pernah tahu rasanya bulu kuduk berdiri karena kehangatan yang diberikan seorang wanita. Ini semua karenamu," kataku mengelak.

"Kamu juga nggak tahu rasanya menahan nafsu. Menunggu prianya memulai dulu," balasmu.

“Aku memang bodoh dalam urusan ini. Tapi aku mencitaimu yang sederhana dalam berkata,” kataku menatapmu yang tersenyum.

Hujan turun lagi, kamu menarik selimut, memelukku dibaliknya. Erat, semakin erat, seperti seorang yang tak ingin kehilangan. Ujung bibirmu menyentuh lembut pipiku, aku menahan geli, kamu terus melakukannya, menggodaku. Selimut menutupi tubuh kita sepenuhnya.

“Jangan main tangan,” kataku.

“Kenapa??” balasmu dengan suara pelan.

“Bahaya,” godaku menahan tanganmu.

“Aku kira kamu suka yang bahaya.”

Aku tersenyum, sekali lagi. Mencium semerbak wangi rambutmu. Kamu selalu bisa membuatku kehabisan kata.

“Kalo dijadiin cerita bagus ya??”

“Iya bagus,” kataku.

“Semenjak kamu masukin namaku di ceritamu, aku selalu membayangkan kalo tokoh utamanya itu kamu.”

“Kenapa gitu??” tanyaku.

“Aku lebih merasa bahagia, aku seperti hidup bersamamu.”

“Aku memang bisa membahagiakan kekasih orang.”

Hujan, begitukah rindu diciptakan?? Seperti dinding yang memisahkan dua tempat, begitu beratkah seorang perlu menanggungnya. Apakah dua manusia yang belum pernah bertemu boleh saling merindu?? Aku bertanya, suaramu menyamarkan suaranya di bilik ponselku. Bahkan kita berdua tak ingin menutup ruang obrolan, menunggu siapa dulu yang akan membalas, menunggu suara notifikasi.

“Aku senang kamu nggak bisa tidur. Puisimu bagus, Aku suka. Banget,” katamu.

“Aku senang Jerman belum larut,” kataku.

“Untung aku lagi jauh disini.”

“Emang kenapa??” tanyaku.

“Serius kamu tanya itu??”

“Aku sedang menggodamu.”

“Kamu berhasil menggodaku,” katamu tersenyum.

Pagi hampir saja tiba, subuh mulai berkumandang, rintik hujan masih turun, aku mendengarnya terus menerpa atap rumah. Aku tahu kamu belum tidur. Aku tahu kamu masih tersenyum membaca ini. Aku tahu kamu ingin terus melihatku membalas semua pesanmu. Baru kali ini aku melewati dini hari bersamamu, orang yang bahkan tak pernah ada dalam pandanganku. Aku tak pernah ragu atau risau, meski kita jauh, aku tetap merasa dekat. Bukankah begitu makna rasa diciptakan?? Untuk menjauhkan yang dekat.

“Terimalah, perasaanmu tidak pernah salah. Dimana dia disentuh disitu dia luluh,” kataku.

“Setiap malam aku selalu berpikir, mana yang benar, dan mana yang salah. tidak memulai percakapan adalah sesuatu yang benar. Karena setelah itu, semua akan jadi salah. Tapi apa daya, aku manusia biasa, yang akhirnya kalah dan salah.”

“Sayangnya ini bukan soal benar atau salah. Kalah atau menang. Ini soal pilihan dimana kemungkinan ada diantaranya. Memilih salah satunya tanpa meninggalkan lainnya,” balasku.

“Aku bingung mau jawab apa,” katamu pasrah.

“Satu dua tiga. Satu hal yg terbesit dipikiranmu sekarang. Jawab!”

“Ich will dich.”

“Itu bercanda kok,” katamu menambahi.

“Ich auch,” balasku.

“Yang ini nggak bercanda,” kataku menambahi.

“Du hast diese Dinge schwerer gemacht... Für mich,” balasmu.

“Ich habe dich nicht belasten belasten... Du hast die Wahl,” jawabku.

“Giliran kamu, Satu dua tiga. Satu hal yg terbesit dipikiranmu sekarang. Jawab!” katamu menantangku.

“Auf dich warten.”

“Aku bakal lama,” katamu setengah merenung.

“Lama atau jauh, kita perlu membuktikan, perasaanmu sekarang cuma karena kamu bosan atau apa. Lambat laun, kita bakal tahu. Kamu bakal tahu, mungkin kamu cuma lagi bosen, cuma penasaran.”

“Aku selalu memikirkan kemungkinan itu.. Sekarang aku gak tahu.”

“Jauh kalo tetap merasa dekat nggak pernah ada masalah buatku. Kita sama-sama menemukan kenyamanan yang selama ini kita cari.”

“Jadi mau apa kita setelah ini??” tanyamu.

“Aku nggak punya jawaban untuk itu.”

Hujan berhenti. Tepat pukul enam pagi aku menutup ponselku. Cuaca berubah cerah. Saat aku melanjutkan rutinitas sehari-hari, kamu baru akan pergi tidur, melanjutkan mimpiku, melanjutkan kisah kita yang tertunda beberapa waktu. Semoga yang telah lama memelihara hatimu kalah oleh aku yang baru masuk duniamu. Semoga…



Zahid Paningrome Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

No comments:

Post a Comment

Ayo Beri Komentar